- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN IV)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Sebelum saya melanjutkan kisah kenang-kenangan hidup di masa kecil, saya merasa perlu untuk menjelaskan setting sosial masyarakat Belitung lebih dahulu. Pemahaman terhadap setting sosial ini sangat penting untuk memahami latar belakang kehidupan IMG_0004saya di masa kecil, dan pergaulan serta pergulatan kehidupan saya dengan masyarakat sekitar. Apa yang saya gambarkan ini seluruhnya didasarkan atas osbervasi dan pengalaman empiris saya yang terjadi di masa lalu. Pada bagian-bagian tertentu, saya mendiskusikannya dengan kakak dan adik saya. Observasi dan pengalaman empiris itu saya diskripsikan dan sekaligus saya analisis berdasarkan perspektif ilmu-ilmu sosial dari masa sekarang. Tentu hasilnya masih jauh dari sempurna. Saya mencoba mendekati masalah ini dengan menggabungkan pendekatan sejarah dan antropologi. Mudah-mudahan deskripsi dan analisis ini tidak melenceng dari realitas yang sesungguhnya ada dalam kehidupan masyarakat Belitung antara tahun 1961-1975.

Saya lahir dan menetap di Belitung selama sembilan belas tahun. Ketika itu Belitung hanya terdiri dari satu kabupaten — yakni Kabupaten Belitung–dengan Tanjung Pandan sebagai ibukotanya. Kabupaten Belitung terdiri atas tiga kecamatan, yakni Kecamatan Tanjung Pandan, Kecamatan Manggar, Kecamatan Gantung dan Kecamatan Membalong. Kabupaten Belitung berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, dengan ibukota Palembang. Di zaman kolonial, Belitung bersama-sama dengan Bangka, pulau di sebelahnya, adalah suatu keresidenan.Residen Bangka Belitung beribukotakan Pangkal Pinang. Di Belitung ada seorang Asisten Residen berkedudukan di Tanjung Pandan. Di zaman kolonial, Belitung dibagi ke dalam beberapa wilayah setingkat kecamatan di masa sekarang, yang dipimpin oleh seorang Demang. Asisten Residen dijabat orang Belanda. Namun para demang dijabat oleh orang pribumi bergelar Ki Agus,yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsawan yang diwarisi dari Kesultanan Palembang di masa lalu. Belitung pernah menjadi koloni Inggris pada awal abad 19, bersamaan dengan Bencoolen atau Bengkulu sekarang ini. Namun pada tahun 1816, Belanda menukar Belitung dengan Singapura, berdasarkan perjanjian kedua negara. Sejak itu, Belanda menguasai Belitung dan Inggris menguasai Singapura.

Di zaman kemerdekaan, sebagaimana daerah-daerah lain, Belitung otomatis menjadi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Pada akhir tahun 1949, Bangka Belitung pernah menjadi “satuan negara yang berdiri sendiri” sebagai salah satu dari 16 negara bagian Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah kita kembali lagi ke susunan negara kesatuan pada tahun 1950, Belitung menjadi kabupaten di bawah Provinsi Sumatra Selatan. Sejak tahun 1956, masyarakat Bangka Belitung memperjuangkan pembentukan provinsi sendiri, terlepas dari Sumatera Selatan. Perjuangan itu memakan waktu yang cukup panjang, setelah semua bekas keresidenan di Sumatera bagian Selatan menjadi provinsi tersendiri, yakni Keresidenan Palembang (Sumatera Selatan), Lampung, Jambi dan Bengkulu. Upaya itu baru terujud tahun 2000 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Banten. Sejak itu Pulau Belitung dibagi menjadi dua kabupaten, yakni Kabupaten Belitung beribukotakan Tanjung Pandan, dan Kabupaten Belitung Timur dengan Manggar sebagai ibukotanya. Pemekaran kabupaten ini diikuti pula oleh pemekaran kecamatan dan desa. Kota tempat saya lahir dan dibesarkan, yang semula hanyalah kota kecamatan, kini telah berubah menjadi ibukota kabupaten.

Saya tidak dapat mengetahui dengan pasti sejak kapan Pulau Belitung itu dihuni manusia. Kebanyakan orang Belitung, termasuk saya sendiri, kalau diurut silsilahnya, maka pada generasi keempat diatasnya, kebanyakan adalah kaum pendatang. Penduduk Belitung membagi dirinya dalam dua kelompok, pertama kelompok mayoritas yang dari sudut budaya dan bahasa dapat dikelompokkan sebagaiIMG_0003 orang Melayu. Kesamaan kultural dengan masyarakat Melayu Riau dan Johor di Semenanjung Malaya, sangat terasa. Kelompok kedua, yang lebih sedikit jumlahnya adalah kelompok Suku Lalut atau suku Sawang, yang mendiami daerah pantai. Postur tubuh dan wajah kedua kelompok ini sangat kentara. Suku Laut mempunyai postur tubuh yang lebih besar, lebih kekar dengan kulit warna coklat kemerahan. Suku Laut terdapat pula di Kepualauan Riau. Legenda-legenda Suku Laut menyebutkan bahwa nenek moyang mereka adalah Lanun, atau bajak laut berasal dari Pulau Mindanao di Philipina. Di sekitar Belitung memang ada sebuah pulau yang bernama Mendanau. Apakah ada hubungannya dengan Mindanao di Philipina, saya belum pernah menelaahnya. Dari pengamatan saya yang hanya sepintas, memang terdapat kesamaan postur tubuh, warna kulit, serta bahasa dan berbagai jenis kesenian antara Suku Laut dengan penduduk asli Mindanao di Philipina.

Orang Melayu Belitung beragama Islam dan bertutur bahasa mendekati bahasa Kepualauan Riau dan Bahasa Johor. Bagaimana sikap keagamaan masyarakat Belitung, akan saya uraikan dalam paragraf-paragraf di bawah nanti. Sementara orang Laut menganut agama asli, semacam animisme. Orang Laut menggunakan Bahasa Melayu Tua. Jumlah suku Laut kini kian sedikit, karena pertumbuhan mereka sangat jarang. Sebagian besar orang Laut juga telah membaur dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam. Orang Melayu Belitung membedakan dirinya ke dalam dua kategori, yakni Orang Pesisir dan Orang Darat. Orang Pesisir tinggal di sekitar pantai, dan Orang Darat tinggal di daerah pedalaman. Dalam perkembangan masyarakat Belitung, Orang Pesisir lebih mudah beradaptasi dengan perkembangan baru. Sementara Orang Darat relatif lebih lambat. Saya menggunakan istilah Orang Pesisir dan Orang Darat ini dalam bentuk yang netral, tidak menganggap budaya yang satu lebih tinggi dari yang lain.

Suku-suku pendatang dari pelosok Nusantara, nampaknya telah lama pula hijrah ke pulau ini. Pada generasi pertama dan kedua, mereka masih nampak sebagai kaum pendatang. Namun pada generasi ketiga, mereka telah menjadi orang Belitung. Budaya dan bahasanya menyatu dengan penduduk setempat. Ini menunjukkan bahwa daya serap bahasa dan budaya masyarakat Belitung cukup kuat, sehingga mampu mempengaruhi kaum pendatang dan menarik mereka ke dalam lingkungannya. Kaum pendatang itu pada umumnya berasal dari Jawa, Madura, Bawean dan Bugis dalam jumlah yang relatif besar. Ada juga kelompok suku-suku lain dalam jumlah yang lebih kecil, seperti suku Buton, Mandailing, Minangkabau dan Aceh. Migrasi ini telah terjadi sejak zaman kolonial, bahkan sebelumnya, dan terus berlangsung dalam jumlah yang besar, ketika pertambangan timah di Belitung sedang mengalami masa kejayaannya. Kelompok lain, yang perlu dijelaskan secara khusus adalah keberadaan masyarakat Cina di Belitung, yang jumlahnya ditaksir mencapai dua puluh persen dari penduduk Belitung.

Keberadaan masyarakat Cina di Belitung nampaknya terkait dengan lalu lintas perdagangan antara Negeri Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa.Belitung yang terletak di ujung Laut Cina Selatan, adalah pulau terakhir dengan ukuran relatif besar yang ditemui sebelum masuk ke Pulau Jawa. Peta pelayaran Cina kuno sebelum zaman Cheng Ho (1408) menunjuk sebuah gunung – mereka sebut Gunung Kon Jim San atau Gunung Burung Mandi — yang menjadi pedoman agar perahu berbelok ke arah tenggara untuk sampai ke Kerajaan Singosari, Majapahit dan Pulau Bali yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Mungkin sekali perahu-perahu itu mendarat dulu di Belitung untuk mengambil air dan kayu bakar, sebelum meneruskan pelayaran ke Jawa Timur. Malangnya, laut di sekitar Belitung tergolong landai. Di sekitar pulau ini terdapat banyak karang yang ganas, yang sering menenggelamkan kapal-kapal. Bangkai kapal-kapalkuno Cina, Portugis dan Belanda dengan mudah dapat dilacak di sekitar laut Pulau Belitung. Sebagian besar bangkai kapal itu telah menjadi karang dan dihuni banyak ikan, termasuk ikan hiu yang ganas.

Jejak yang paling meyakinkan untuk melakukan rekonstruksi sejarah keberadaan masyarakat Cina di Belitung, dapat ditelusuri dengan mengacu kepada benda-benda arkelogis, terutama keramik, teracota dan aneka barang yang berasal dari kuningan, perunggu dan tembaga yang ditemukan baik di laut maupun di daratan Pulau Belitung. Para sejarawan, memang masih jarang menggunakan benda-benda yang tergolong sebagai artefak ini sebagai bahan dalam penulisan sejarah. Bagi saya benda-benda ini sangat penting, karena keramik adalah benda yang dapat bertahan ribuan tahun di dalam air maupun di dalam tanah. Benda-benda itu dapat dijadikan bukti keberadaan suatu kelompok masyarakat di satu daerah di zaman yang lampau. Benda-benda itu juga dapat menjadi saksi bisu alur pelayaran yang ditempuh berabad-abad yang lalu.

Keramik Cina paling tua yang ditemukan di laut sekitar Pulau Belitung berasal dari zaman Dinasti Tang, mulai dari abad ke enam Masehi dan selanjutnya. Sampai sekarang belum ditemukan adanya keramik Tang di daratan. Keadaan yang sama terjadi juga pada keramik Dinasti Yuan. Ini menunjukkan bahwa di zaman Tang, orang-orang Cina hanya melintasi Belitung, dan kapal mereka tenggelam menabrak karang. Keramik Dinasti Sung ditemukan dalam jumlah yang besar, bukan hanya di laut tetapi juga di dalam tanah. Keramik Sung ditemukan jauh dari pantai, bahkan di gunung-gunung, seperti Gunung Payung di Tanjung Pandan. Juga berbagai benda seperti naga, canang (gong kecil) dari perunggu dan kuningan. Kelenteng Burung Mandi – yang disebut dalam peta Cina dengan nama Kon Jim San – mungkin sekali dibangun pada masa dinasti Sung pada abad ke tiga belas Masehi. Di sekitar lokasi kelenteng, ditemukan piring, mangkok, buli-buli dan peralatan memasak dari zaman Sung dalam jumlah yang besar, baik masih utuh maupun pecahan. Semua ini menunjukkan bahwa di daerah itu, diabad ke tiga belas sudah ada pemukiman msayarakat China dalam jumlah yang cukup besar. Keramik dinasti Ming dan Ching, ditemukan dalam jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan keramik Dinasti Sung.

Kedatangan orang-orang Cina dalam jumlah yang lebih besar ke Belitung terkait dengan penambangan timah. Orang Belitung nampaknya tidak sanggup bekerja menggunakan cangkul untuk menggali timah. Pekerjaan yang berat itu dilakukan oleh tenaga kerja dari daratan Tiongkok, yang sengaja didatangkan oleh pengusaha penambangan timah orang Belanda. Kaum pedagang Cina, dan keturunan pekerja tambang dari Cina itu, kemudian beralih profesi membangun usaha perdagangan di lokasi-lokasi strategis. Maka berdirilah Pasar Tanjung Pandan dan Pasar Lipat Kajang di Manggar menjadi kawasan pemukiman Cina. Kawasan pasar yang sama juga berdiri di Gantung dan Kelapa Kampit. Pada tahun 1960, saya masih menyaksikan hanya ada satu dua orang Cina membuka toko di kampung-kampung orang Belitung. Namun orang Cina yang membuka kebun menanam sayur sambil memelihara babi, juga tidak sedikit jumlahnya. Jumlah orang Cina yang miskin di Belitung relatif banyak. Tidak benar jika ada anggapan kalau Cina pasti kaya. Orang Cina yang menjadi kuli mengaspal jalan atau menjadi kuli bangunan, adalah pemandangan biasa di Belitung.

Sejak masyarakat Cina membangun lokasi perdagangan itu, penduduk Pulau Belitung terbagi ke dalam tiga kelompok, yakni orang Belanda yang menempati daerah elit dan tertata rapi dengan fasilitas modern, orang Cina yang pada umumnya tinggal di daerah pasar, dan orang “pribumi” Belitung yang menempati kampung-kampung, baik di kota maupun di daerah pedalaman. Oleh Belanda, Suku Laut diberi pemukiman tersendiri. Tenaga mereka dibutuhkan Belanda untuk menjadi kuli menjahit terpal untuk dijadikan karung penampung timah, dan mengangkat barang-barang di pelabuhan. Suku-suku pendatang yang lain, terutama orang Bawean, pada umumnya bekerja sebagai pegawai rendahan di perusahaan timah. Sebagian lagi bekerja sebagai pegawai rendahan pemerintah kolonial. Sebagian mereka sengaja didatangkan untuk menjadi pelayan rumah tangga di rumah-rumah orang Belanda, dan di mes-mes yang mereka bangun. Namun orang Bugis, mayoritas tetap bekerja sebagai nelayan. Orang Madura kebanyakan juga tetap menjadi petani sambil memelihara sapi. Suku-suku pendatang ini pada umumnya membaur dengan penduduk pribumi Belitung. Anak keturunan mereka, seperti telah saya katakan, pada umumnya telah merasa menjadi orang Belitung.

Meskipun Belitung dihuni oleh suku dan bangsa berbilang kaum, namun dalam sejarah tidak pernah terjadi konflik antar sesama mereka. Konflik antar pribadi tentu bisa saja terjadi, namun konflik IMG_0007yang melibatkan suku bangsa tidak pernah tercatat dalam sejarah. Antara kaum pribumi dengan masyarakat Cina juga tidak pernah terjadi konflik. Perkawinan antara orang pribumi dengan orang Cina adalah hal yang relatif biasa. Orang pribumi menerimanya selama orang Cina itu mau memeluk agama Islam. Sesama masyarakat Cina memang pernah terjadi konflik pada tahun 1914, yang dikenal dengan sebutan Perang Ho Po. Perang ini sesungguhnya adalah kerusuhan internal masyarakat Cina akibat konflik yang terjadi di negeri leluhur, khususnya antara kaum nasionalis dan pendukung kaisar Cina yang terakhir dari Dinasti Ching. Memang pemicu konflik hanyalah gara-gara salah paham dalam upacara keagamaan dalam menghormati arwah leluhur. Namun akar konflik yang sesungguhnya bersifat politik.

Sampai kita merdeka hingga pertengahan tahun 1960-an, kebanyakan masyarakat Cina di Belitung masih berstatus warganegara asing. Sebagian mengaku warganegara RRC dan sebagian mengaku warganegara Taiwan. Saya masih menyaksikan sampai awal tahun 1970, di depan rumah warga Cina dipasang papan yang menyebutkan nama kepala keluarga dan status kewarganegaraannya. Sebagian besar orang-orang Cina itu menjadi WNI melalui proses naturalisasi yang dipercepat pada tahun 1980an. Sejak itu makin banyak anak-anak masyarakat Cina yang bersekolah, bahkan masuk ke perguruan tinggi. Sebelumnya, mereka memang mempunyai sekolah sendiri. Namun semua sekolah Cina ditutup setelah kita memasuki era Orde Baru. Orang Cina di Belitung pada era tahun 1960-an, nampak kurang perduli dengan pendidikan. Baru sejak awal tahun 1970, beberapa anak Cina bersekolah di SMA Perguruan Islam Belitung, sebelumnya sedikit sekali.

Setelah Belanda meninggalkan Belitung dan NV GMB (Gemeenschappelijke Mijnbouwmaatschappij Billiton) dinasionalisasi oleh Pemerintah RI tahun 1958, maka pemukiman elit eks Belanda ditempati oleh pegawai kelas pimpinan atau pegawai staf perusahaan timah. NV GMB adalah perusahaan swasta yang dimiliki oleh kaum kerabat Ratu Belanda. Perusahaan ini sampai sekarang masih hidup, dan setelah merger dengan Brookenhill dari Australia, berubah nama menjadi BHP Billiton, dan kini menjadi salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia. Karena itu tidak mengherankan jika prilaku pegawai perusahaan timah Belanda itu menampakkan unsur feodalisme. Setelah dinasionalisasi, perusahaan timah ini beberapa kali berganti nama. Mula-mula PPTB (Perusahaan Tambang Timah Belitung), kemudian beralih menjadi PN Tambang Timah dan terakhir menjadi PT Timah.

Kompleks elit penigalan NV GMB itu tidak banyak berubah. Fasilitasnya tetap istimewa seperti halnya di zaman Belanda, bahkan semakin dilengkapi dan dipermodern. Perusahaan timah milik Pemerintah RI tetap meneruskan budaya feodal perusahaan milik keluarga Ratu Belanda itu dalam waktu yang relatif panjang. Di Manggar, kompleks elit itu ada di Bukit Samak, seperti telah saya ceritakan di Bagian II serial tulisan ini. Di Tanjung Pandan, kompleks itu berada di pinggir pantai Tanjung Pendam, yang diawali oleh Kompleks Perumahan Frederijk Cornelijs den Dekker sekitar tahun 1852. Kompleks yang lebih kecil terdapat juga di daerah Damar, kira-kira 10 km dari Manggar. Kompleks elit untuk pegawai pemerintahan kolonial berada di sekitar Wihelmina Park, yang terletak di sekitar Gedung Nasional di Tanjung Pandan sekarang ini. Hanya itu saja kompleks elit untuk pemerintahan, karena Asisten Residen Bangka Belitung beserta perangkat pemerintah daerahnya hanya ada di daerah itu.

Pegawai rendahan perusahaan timah dibuatkan kompleks perumahan tersendiri yang bangunannya sederhana, dengan fasilitas sederhana pula. Di zaman Belanda, telah ada Kampung Bandung, yang kemudian diperluas diberi nama Kampung Arab di Manggar. Saya tidak tahu mengapa kampung ini berubah nama menjadi Kampung Arab, sebab sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada masyarakat peranakan Arab bermukim di situ. Di Tanjung Pandan, kompleks serupa ada di Kampung Pilang dan Air Ketekok. Di daerah Gantung, Damar dan Kelapa Kampit, juga terdapat kompleks yang sama. Rumah untuk pegawai rendahan ini hanya terbuat dari kayu, berdinding papan dan beratap seng. Namun setiap rumah mendapat penerangan listrik dan saluran air minum gratis dari perusahaan timah. Sekolah Dasar milik perusahaan timah juga ada di setiap kompleks itu. Fasilitas sekolah itu tentu berbeda jauh dengan fasilitas sekolah untuk pegawai staf.

Fasilitas buat pegawai timah antara pegawai staf dengan pegawai rendahan juga berbeda jauh. Perbedaan itu mulai dari tempat hiburan, olahraga, sekolah, rumah sakit, sampai pada ransum yang dibagikan. Fasilitas cuti juga berbeda. Kalau pegawai staf, setiap tahun ketika cuti, pegawai dan keluarganya mendapat fasilitas untuk berlibur ke Jakarta dan Bandung, dengan biaya ditanggung perusahaan timah. Sebab itulah, perusahaan timah mempunyai beberapa mess yang cukup besar, di Jakarta dan Bandung. Sementara pegawai rendahan kalau cuti, tetap di Belitung saja. Tidak ada fasilitas berlibur sebagaimana pegawai staf. Sampai tahun 1970, anak-anak pegawai rendahan tidak sembarangan boleh memasuki kawasan perumahan pegawai staf. Apalagi anak-anak orang kampung yang berasal dari kalangan pegawai negeri, petani dan nelayan. Satpam yang berjaga di daerah itu akan memperingatkan mereka. Orang tua dan anak-anak pegawai rendahan juga tidak boleh menggunakan semua fasilitas untuk keluarga pegawai staf. Mereka akan diusir Satpam kalau coba-coba menonton atau mandi di kolam renang khusus untuk pegawai staf dan keluarganya.

Jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan perusahaan timah begitu lebar. Kondisi seperti itu merata di empat kota utama di Belitung, yakni Tanjung Pandan, Manggar, Gantung dan Kelapa Kampit. Oleh karena fasilitas yang dibangun Belanda di IMG_0004_NEWManggar jauh lebih besar dan lebih lengkap, maka jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan di kota ini, terasa lebih besar dibandingkan dengan kota-kota yang lain. Jurang perbedaan itu semakin terasa ketika menyambut pergantian tahun. Masyarakat kampung di Belitung pada umumnya tidak pernah perduli kalau tahun akan berganti. Pegawai rendahan perusahaan timah juga menganggap hal itu biasa-biasa saja. Namun bagi pegawai staf perusaah timah, upacara menyambut pergantian tahun adalah suatu yang istimewa. Ada pesta besar, baik diadakan di Wisma Ria – nama baru dari Societeit Belanda — maupun di rumah Kawilasi (Kepala Wilayah Produksi) perusahaan timah, yang masih menempati rumah bekas tuan kongsi timah zaman Belanda.

Di Manggar, rumah bekas tuan kongsi itu memang sangat istimewa. Rumah itu terkenal dengan sebutan Rumah A1. Rumah itu cukup besar dan bergaya arsitektur campuran Belanda-Perancis, yang mungkin sekali di desain oleh Ir. van Basten. Rumah itu berada di titik nol (zero point) Pulau Belitung, dengan menara gaya Eropah yang diberi penangkal petir dan nampak dari kejauhan di atas Bukit Samak. Pemandangan dari rumah itu sangat indah. Ke arah Timur, pemandangan mengarah ke Selat Karimata. Ke arah Barat, akan mengarah pada pepohonan menghijau di daratan Belitung. Di rumah itu pula, konon Gubernur Jendral Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda van Stakenborgh Stachouwer, berdiam sementara ketika melarikan diri dari Batavia, sebelum mengungsi ke Australia ketika pecah Perang Dunia Kedua. Saya masih memiliki gambar disain dan juga foto rumah itu yang dibuat pada tahun 1916.Sekarang, sejalan dengan memudarnya perusahaan timah, rumah itu tinggal fondasinya saja yang tersisa.

Oleh karena posisi perusahaan timah di Belitung begitu dominan, maka peranan Pemerintah Daerah terasa kurang menonjol. Di zaman Belanda, merekapun menganggap Belitung adalah “pulau perusahaan” atau “company island”. Perusahaan Timah mempunyai pembangkit listrik, perbengkelan dan galangan kapal, sentral telefon, sarana air minum, membangun jalan dan jembatan, sampai penyediaan rumah sakit dan sarana-sarana umum lainnya.Bagian terbesar APBD Kabupaten Belitung diperoleh dari pajak timah, yang tentu saja jauh dari mencukupi. Keperkasaan perusahaan timah di pulau itu menyebabkan pemerintah daerah kurang berinisiatif membangun dan mengembangkan daerah. Bahkan sarana-sarana perumahan dan perkantoran untuk pejabat pemerintah daerah, termasuk polisi, tentara, hakim dan jaksa, juga dibantu oleh perusahaan timah.

Jurang antara pegawai staf dengan dengan pegawai rendahan itu, dengan sendirinya mempengaruhi gaya hidup, bukan saja pegawai timah, tetapi juga isteri dan anak-anaknya. Oleh karena penduduk pribumi Belitung jarang-jarang yang menempuh pendidikan tinggi, kelompok yang menggantikan kedudukan orang Belanda dan menjadi pegawai staf pada umumnya adalah pendatang dari daerah-daerah lain. Hanya sedikit sekali jumlahnya orang pribumi Belitung yang sampai ke posisi pegawai staf. Bagian terbesar mereka menjadi pegawai rendahan belaka di perusahaan timah. Kalau ada satu dua orang pribumi Belitung yang mencapai posisi pegawai staf, maka gaya hidup mereka juga mulai berubah dari kebanyakan orang Belitung yang menjadi pegawai rendahan. Mereka mulai mengambil jarak, bukan saja dengan pegawai rendahan, tetapi juga dengan orang-orang kampung berasal dari pegawai negeri, petani dan nelayan.

Masyarakat Cina yang pada umumnya tinggal di daerah pasar, meskipun bergaul erat dengan masyarakat pribumi, namun tetap memelihara identitas mereka. Sehari-hari mereka tetap menggunakan Bahasa Cina dialek Hakka, dan sedikit saja yang menggunakan dialek Hokkian. Sebagian besar masyarakat Cina itu memeluk agama Budhha dan Konghucu. Kelenteng mereka ada pada setiap pemukiman Cina, bahkan di kampung-kampung, ketika masyarakat Cina tinggal membaur dengan penduduk pribumi. Oleh karena orang-orang Cina ini pandai berdagang, maka hampir semua toko yang ada di pasar adalah milik orang Cina, yang sekaligus juga adalah tempat tinggal mereka. Orang-orang Belitung yang berminat berdagang, hanya berani membuka toko di kampung-kampung saja. Toko-toko itupun harus membeli barang ke agen-agen milik orang Cina yang membeli barang dari Jakarta. Sangat jarang orang Belitung pandai menjadi pengusaha. Sebagian besar mereka menjadi petani jika tinggal di kampung-kampung, atau menjadi nelayan jika tinggal di dekat pantai. Sebagian besar lagi hanya menjadi pegawai rendahan di perusahaan timah.

Meskipun menjadi pegawai rendahan di perusahaan timah, orang Belitung sudah merasa lumayan hidupnya, dibanding mereka yang menjadi pegawai negeri, petani dan nelayan. Pegawai negeri, petani dan nelayan, boleh dikata berada dalam suatu kelompok yang sama. Mereka tidak mempunyai fasilitas apa-apa. Kalau pegawai rendahan perusahaan timah tidak boleh menonton di fasilitas huburan untuk kelas atas, mereka masih bisa menonton di fasilitas untuk kalangan mereka. Begitu juga rumah sakit, sekolah dan sarana-sarana lainnya. Pegawai timah kelas rendahan itu selain mendapat gaji tiap bulan, mereka juga mendapat aneka ransum keperluan sehari-hari mulai dari beras, gula, kopi, kacang hijau, minyak goreng, sampai sabun cuci, sabun mandi serta odol dan sikat gigi. Mereka yang tinggal di kompleks perumahan timah mendapatkan fasilitas air minum dan listrik gratis. Menjelang lebaran, mereka juga mendapat uang bonus berkali lipat gaji setiap bulan, di samping mendapat pembagian gratis bahan-bahan untuk pakaian. Kehidupan mereka, walaupun tergolong miskin, namun masih lumayan dibandingkan dengan keluarga pegawai negeri, petani dan nelayan.

Bagi pegawai negeri, satu-satunya fasilitas yang mereka nikmati hanyalah berobat gratis di Dinas Kesehatan Rakyat (DKR) yang kemudian disebut Puskesmas itu. Di DKR tidak ada dokter, yang ada hanya mantri saja dengan satu dua orang pembantunya. Tidak ada perawatan rawat inap di rumah sakit DKR itu.Kalau mereka berobat, apalagi harus dirawat inap di rumah sakit perusahaan timah, yang fasilitasnya sangat lengkap, mereka takkan mampu untuk membayarnya. Fasilitas hiburan samasekali tidak ada. Pegawai timah kelas atas dapat menonton di Societeit Belanda yang dirubah namanya menjadi Wisma Ria. Mereka bisa bermain tenis, bilyard, basket, volly ball dan berenang di kolam renang yang sangat bagus, yang dulunya dibangun Belanda. Pegawai rendahan masih bisa menonton di Wisma Krida, yang dibangun khusus untuk mereka. Untuk menonton gratis di tempat ini, setiap orang harus menunjukkan kartu bahwa mereka adalah pegawai timah. Pegawai negeri, petani dan nelayan tidak boleh menonton di situ, kecuali anak-anak bisa bebas menonton film untuk semua umur.

Meskipun Belitung kaya dari hasil timahnya dan menyumbang devisa cukup besar bagi negara, namun penduduk Belitung sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Mereka hidup seperti kata pepatah: ibarat itik berenang di tengah dunau, tetapi mati kehausan. Ibarat ayam tinggal di lumbung padi, mati kelaparan. Ketika saya kecil antara tahun 1961-1967, gaji pegawai negeri sangatlah kecil. Sudah kecil, Pemerintah juga tidak sanggup membayar gaji setiap bulan. Seringkali pegawai negeri menerima rapel gaji setelah tiga empat bulan kemudian. Berbeda dengan pegawai perusahaan timah yang mendapat aneka ransum, pegawai negeri hanya mendapat jatah beras yang sangat rendah kualitasnya. Beras itu seringkali sudah banyak kutunya, bercampur batu, berbau apek dan mengapung ketika dicuci di dalam air.

Perekenonomian sangat sulit antara tahun 1961-1967 itu. Inflasi membubung tinggi. Di Jakarta rakyat sudah antri membeli beras dan minyak tanah. Apalagi, sejak tahun 1963, Presiden Sukarno mengumumkan konfrontasi dengan Malaysia. Belitung termasuk daerah garis pertahanan terdepan, berhadapan dengan negara tetangga itu. Orang Belitung yang mayoritas Melayu, juga dicurigai akan memihak Malaysia dalam konflik itu. Tentara yang ditempatkan di Belitung berasal dari Kodam Diponegoro. Sebagian besar tentara itu berasal dari suku Jawa. Orang Belitung tak sepenuhnya dapat memahami politik konfrontasi itu. Mereka sukar untuk membayangkan mengapa sesama Melayu, kita harus berperang. Ketidakmengertian itu semakin bertambah, karena dengan konfrontasi, kehidupan rakyat makin bertambah susah. Peta kekuatan politik di Belitung juga berubah. PKI makin bertambah kuat. Mereka berada pada garis terdepan mengkampanyekan Ganyang Malaysia, ganyang Pak Tengku — yang dimaksud adalah Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri pertama Malaysia.

Dalam situasi susah itu, para petani dan nelayan di Belitung benar-benar mengalami dampaknya. Tanah di Belitung tidak sesuai untuk menanam padi. Tak ada sawah di Belitung, karena tanahnya berpasir, sehingga air mudah menyerap ke dalam tanah. Satu-satunya cara menanam padi ialah berladang membuka hutan, dengan alat-alat tradisional, tanpa pupuk dan bibit unggul. Hasilnya, untuk makan satu keluarga saja jauh dari mencukupi. Petani Belitung yang tinggal di kampung-kampung jauh dari pusat kota, pada umumnya hanya menanam singkong, keladi, ubi jalar dan nenas. Kalau mereka menanam sayur, penduduk sangat sedikit. Sepuluh orang saja menanam bayam atau menanam cabai, maka pedagang di pasar sudah tidak sanggup menmpungnya. Harga segera jatuh. Kelapa yang banyak tumbuh di Belitung, hanya dipakai untuk keperluan memasak dan membuat minyak goreng. Hanya sedikit yang dijadikan kopra, yang diusahakan oleh pengusaha Cina. Rumah-rumah petani di kampung pada umumnya sangat sederhana. Tidak ada penerangan listrik, juga tidak ada saluran air minum.

Tidak semua kampung mempunyai Sekolah Dasar. SMP hanya ada di Tanjung Pandan, Manggar, Kelapa Kampit dan Gantung. Hanya ada dua SMA, satu SMA Negeri di Tanjung Pandan, dan satu SMA swasta di Manggar. Pendidikan anak petani yang tinggal di kampung sangat terbengkalai. Demikian juga pendidikan anak nelayan. Jarang-jarang anak nelayan masuk SMP, apalagi SMA. Ketika sudah besar sedikit, anak-anak nelayan akan turun melaut mengikuti jejak ayahnya. Sampai awal tahun 1970 hanya satu dua anak nelayan Bugis yang sekolah di SMP. Pendidikan anak-anak suku Bugis, Madura dan Bawean terbengkalai. Orang tua mereka, yang juga merantau sebagai orang kecil dan miskin, tidak mendorong anak-anak mereka untuk sekolah. Pendidikan anak-anak pegawai rendahan pegawai timah juga kurang berkembang. Di awal tahun 1970, baru ada satu orang Belitung menjadi Insinyur tamatan ITB dan kembali ke Belitung. Baru menjelang tahun 1970 banyak anak-anak Belitung melanjutkan pendidikan tinggi. Kebanyakan mereka kuliah di Bandung, Jakarta dan Yogyakarta. Anak-anak orang Belitung dari pegawai kelas atasan, sebenarnya mampu untuk melanjutkan kuliah. Namun, mungkin karena terbiasa hidup enak, semangat juang mereka tergolong rendah. Di kemudian hari, tak banyak anak-anak dari kalangan ini yang berhasil dalam pendidikan dan pekerjaan.

Kehidupan nelayan, sama saja susahnya dengan kehidupan petani. Nelayan hanya dapat melaut selama enam bulan dalam setahun, sesuai pergantian musim dan arah angin. Kalau musim angin bertiup dari selatan, maka nelayan di bagian timur Belitung praktis tak dapat melaut. Angin terlalu kencang dan gelombang teramat besar. Kalau ada yang berani turun ke laut, hanya bermodalkan katir, bisa-bisa tak pulang lagi ke rumah. Kalau angin bertiup dari arah Barat, maka nelayan di bagian Barat pulau Belitung yang gantian tidak bisa melaut. Ikan dan hasil laut lainnya, sebenarnya melimpah ruah di Belitung di masa itu. Namun, karena penduduk terbatas, harga ikan akan segera jatuh jika hasil tangkapan telah memenuhi pasar ikan. Nelayan menjual ikan melalui tengkulak-tengkulak yang dapat membantu mereka meminjami uang dan beras, yang tentu harus diperhitungkan jika mereka dapat melaut kembali. Dalam pengamatan saya, tengkulak ikan itu bukanlah orang jahat seperti tukang ijon di Jawa. Prinsip kerja mereka adalah saling membantu.

Cita-cita nelayan di Belitung pada masa itu sederhana saja. Jika harga satu kilo ikan sama dengan harga sekilo beras, maka mereka sudah puas dan bahagia. Kenyataannya mereka harus menjual empat kilo ikan tenggiri baru dapat membeli sekilo beras. Ikan yang lebih rendah kualitasnya, bisa lima enam kilo baru setara dengan sekilo beras. Tidak heran jika nelayan Belitung hidup compang camping. Kebanyakan rumah mereka berdinding kulit kayu, beratap daun nipah dan beralaskan tanah belaka. Tak ada fasilitas apapun bagi mereka. Rumah sakit harus bayar, walau rumah sakit pemerintah seperti DKR. Kesehatan para nelayan sangat rendah. Pakaian mereka lebih compang-camping dibanding keluarga pegawai negeri dan petani. Pendidikan anak-anak nelayan sangat rendah. Paling mampu hanya tamat SD saja. Jarang-jarang anak nelayan masuk SMP.

Sebagian besar, mungkin sekitar 80 persen penduduk Belitung beragama Islam. Agama terbesar kedua adalah Buddha/Konghucu yang dianut oleh masyarakat Cina. Agama Kristen, dalam jumlah yang kecil, dianut oleh kaum pendatang. Penganut agama Kristen yang telah lama menetap di Belitung berasal dari keturunan orang Belanda dan Ambon, yang telah menetap di pulau itu sejak zaman kolonial. Sebelum kedatangan agama Islam yang diperkirakan pada penghujung abad 12, orang Belitung menganut animisme yang bercampur-baur dengan ajarah Hindu dan Buddha. Tidak ditemukan adanya bekas-bekas candi Hindu dan Buddha ataupun arca-arca pemujaan dalam agama itu di Belitung. Terracotta bekas pemujaan memang ditemukan di daerah sekitar Membalong, termasuk pekuburan tua yang menunjukkan zaman pra-Islam. Legenda masyarakat tentang kisah Tuk Menek Melanggar Buding, adalah gambaran tentang peristiwa Islamisasi Belitung pada abad-abad pertama kehadiran agama ini.

Tuk Menek konon kabarnya adalah penyebar agama Islam dari Aceh yang berhasil mengislamkan daerah Sijuk. Namun Tuk Kundo, penguasa daerah Buding menolak memeluk agama Islam. Mereka tetap mempertahankan animisme. Suatu ketika Tuk Menek masuk ke daerah Buding untuk menyebarkan agama Islam, dan terjadi perlawanan dari Tuk Kundo. Peristiwa itulah yang disebut dengan istilah Tuk Menek Melanggar Buding. Dia melanggar garis demarkasi yang memisahkan daerah Sijuk yang Muslim, dengan daerah Buding yang mempertahankan tradisi keagamaan lama. Kerajaan Balok, di sekitar Sungai Cerucuk di Tanjung Pandan mungkin sekali menganut agama Hindu. Tidak banyak informasi mengenai kerajaan Balok, kecuali legenda dan cerita rakyat. Namun Kerajaan Badau, telah memeluk agama Islam. Kerajaan ini berorientasi ke Jawa dan Palembang. Bangsawan-bangsawan mereka menggunakan gelar kebangsawanan Jawa dan Palembang.

Islamisasi masyarakat Belitung pada umumnya berlangsung secara damai. Para penyebar agama Islam cukup toleran dengan kepercayaan-kepercayaan dan tradisi lama yang tetap hidup, namun secara perlahan mengalami proses Islamisasi. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus yang dapat menimbulkan malapetaka tetap hidup dalam masyarakat. Masyarakat Belitung mempunyai kosa kata yang kaya dalam memberi nama dan kategori berbagai jenis makhluk halus, yang secara umum disebut dengan hantu. Upacara-upacara keagamaan lama, seperti selamatan kampung, maras taun, membuang jung (tradisi suku Laut), aneka jenis selamatan, tetap berlangsung hingga hari ini. Demikian pula kepercayaan terhadap jampi-jampi dan benda-benda keramat tetap hidup dalam masyarakat. Harmoni antara Islam dengan kepercayaan lama itu tercermin dalam struktur pemerintahan asli masyarakat Belitung, yakni keberadaan pimpinan sebuah kampung, yang berada di tangan dukun kampung dan penghulu. Di masa kolonial, pimpinan ini ditambah lagi dengan lurah. Sebuah desa atau sebuah kampung, barulah lengkap apabila mempunyai ketiga unsur pimpinan itu.

Dukun Kampung dalam masyarakat Belitung adalah jabatan yang diangkat oleh masyarakat. Tidak selalu jabatan itu diangkat dari seseorang berdasarkan garis keturunan, walau kecenderungan itu ada di banyak kampung di Belitung. Tugas dukun kampung adalah mengurusi dunia gaib dan menjaga keselamatan masyarakat dari berbagai penyakit dan malapetaka yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk halus. Orang di kampung akan memberitahu dukun kalau mereka akan membuka hutan dan membuat ladang. Kalau kawasan itu dikuasai makhluk halus, maka dukun harus membereskan masalah ini lebih dulu, agar jangan timbul malapetaka. Dukun Kampung mempunyai kemampuan untuk bernegosiasi dengan makhluk halus. Ada kalanya makhluk halus bersedia pindah ke tempat lain, jika tempat itu akan digunakan oleh manusia. Hal yang sama juga dilakukan ketika akan mendirikan rumah, dan ketika akan menempati rumah yang baru selesai dibangun. Setiap tahun, setiap kampung akan menyelenggarakan upacara selamatan kampung. Upacara itu diselenggarakan di rumah Dukun Kampung dan dihadiri masyarakat, yang datang membawa daun gandarusa dan daun hati-hati. Dukun Kampung akan memimpin upacara yang diakhiri dengan pembacaan doa menurut agama Islam. Daun gandarusa dan daun hati-hati tadi di bawa pulang setiap orang, di campur air dan dipercikkan di dalam rumah dan halaman masing-masing. Sebagian masyarakat Cina juga menghadiri upacara selamatan kampung, yang dipercaya dapat mengelakkan seluruh penduduk kampung dari malapetaka.

Dukun kampung dipercaya masyarakat sebagai dukun yang bersih dan sejalan dengan ajaran Islam. Jampi-jampi yang mereka baca juga diambil dari ayat-ayat al-Qur’an di samping berbagai kalimat yangdiucapkan dalam Bahasa Melayu Tua. Isi jampi-jampi itu adalah perintah atau ancaman kepada makhluk-makhluk halus agar jangan mengganggu penduduk kampung. Pada umumnya Dukun Kampung adalah orang yang taat beragama. Karena ituDukun Kampung dengan Penghulu yang mengurusi hal-ikhwal kegamaan berjalan seiring. Di beberapa kampung malah ada jabatan Dukun Kampung dan Penghulu berada dalam tangan satu orang, walau keadaan itu biasanya hanya sementara saja. Di samping Dukun Kampung yang secara resmi diangkat oleh masyarakat, terdapat pula dukun-dukun tidak resmi yang menjalankan praktek perdukunan, yang terkait dengan penyembuhan berbagai jenis penyakit, sampai yang melakukan kejahatan dengan menggunakan ilmu gaib.

Namun sesakti apapun dukun beraliran hitam ini, mereka takkan mampu menghadapi kesaktian Dukun Kampung. Walaupun Dukun Kampung itu tidak seberapa tinggi kemampuan ilmu ghaibnya, namun karena ilmu perdukunannya sejalan dengan agama Islam, dan dia diangkat masyarakat, maka kewibawaan dan kesaktiannya menjadi lebih mumpuni. Dukun Kampung memang harus menjaga agar praktek perdukunan beraliran sesat tidak mengganggu kemaslahatan masyarakat. Dukun Kampung juga harus mengatasi perang perdukunan antar berbagai dukun tidak resmi yang menjalankan praktek perdukunan di dalam masyarakat. Sebab, antar dukun dan orang-orang yang tidak mendapat julukandukun, namun memiliki kemampuan ilmu gaib, sering juga terjadi saling unjuk kesaktian di antara sesama mereka.

Masyarakat Belitung percaya, bahwa dukun beraliran hitam dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit bahkan mati, atas permintaan orang lain dengan sejumlah imbalan. Dukun jenis ini biasanya berhubungan dengan makhluk-makhluk halus yang jahat, yang tergolong ke dalam kelompok iblis dan jin dari jenis tertentu yang berprilaku buruk. Masyarakat Belitung juga percaya bahwa jenis-jenis hantu tertentu dapat dipelihara oleh manusia. Makhluk halus yang dapat dipelihara ini pada umumnya bersifat jahat. Di zaman dahulu, ketika belum banyak bidan dan dokter kebidanan, orang kampung yang melahirkan biasa dibantu oleh pengguling, yakni wanita yang pekerjaannya membantu wanita hamil melahirkan. Sebagian wanita itu dipercaya mempunyai peliharaan makhluk halus yang dinamai pulong atau kedaong, yang dapat berujud seperti burung sebesar itik yang terbang di malam hari. Makhluk ini konon mampu membunuh manusia, dengan cara membuat korban kesurupan lebih dahulu.

Di zaman dahulu masyarakat juga percaya, bahwa seseorang dapat menjadi kaya dengan bantuan makhluk halus, melalui upacara nibak. Upacara itu dilakukan dengan memotong sebatang kayu di tempat tertentu di mana makhluk halus itu berdiam. Tentu ada perjanjian tertentu dengan makhluk itu. Bisa juga salah seorang anak mati atau cacat sebagai korban yang harus diserahkan kepada makhluk halus itu. Salah satu tempat yang dikenal luas oleh masyarakat untuk nibak di zaman dahulu, adalah di daerah Sungai Cerucuk, di daerah yang dipercaya sebagai lokasi Raja Berekor. Raja Berekor adalah setengah manusia setengah iblis, yang konon meminum darah dan memakan daging manusia. Legenda kerajaan ini, mungkin sudah lama sekali, sebelum masyarakat Belitung memeluk agama Islam. Tempat lain yang dipercaya berkaitan dengan makhluk halus yang jahat, namun dapat dimintai bantuan untuk aneka keperluan adalah Batu Buyong yang terletak di daerah Tanjung Kelumpang. Sebuah tempat yang dinamai Keramat, yang terletak tidak jauh dari Pantai Pengempangan, pada tahun 1960-an sering dikunjungi masyarakat untuk menunaikan nazar. Jika suatu niat atau cita-cita terkabul, mereka melepas kambing atau ayam di batu itu. Kakek saya, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad mengatakan, batu itu semula menjorok ke air laut dan permukaannya datar, sehingga sering dipergunakan oleh seorang wali penyebar agama Islam untuk menunaikan sembahyang lima waktu. Kakek saya tidak ingat lagi siapa nama wali penyebar agama Islam itu, karena terjadi ratusan tahun yang lalu. Entah mengapa di kemudian hari, batu itu menjadi keramat tempat orang melepas nazar. Namun setelah memasuki dekade tahun 1970, saya tak pernah lagi menyaksikan masyarakat melepas nazar di kawasan batu itu.

Berbeda dengan tugas Dukun Kampung yang mengurusi makhluk-makhluk halus, Penghulu adalah seorang yang diangkat masyarakat untuk mengurusi masalah-masalah keagamaan. Urusannya tidak terbatas kepada masalah-masalah nikah, talak dan rujuk saja, tetapi menangani urusan keagamaan pada umumnya. Penghulu adalah imam dan pengelola masjid serta tanah-tanah wakaf seperti pekuburan. Tugas penghulu pula untuk membaca doa pada setiap upacara, termasuk kenduri yang begitu sering diadakan oleh setiap angggota masyarakat. Penghulu juga menangani pengurusan jenazah, mulai dari memandikan, mengkafani, memimpin sembahyang jenzaah, sampai membaca talqin di kuburan. Siapa saja yang diangkat menjadi penghulu, maka otomatis dia dianggap sebagai ulama yang mengetahui soal-soal keagamaan Islam. Dalam pergaulan saya dengan begitu banyak penghulu di Belitung, pengetahuan mereka mengenai agama tidaklah dapat dikatakan terlalu mendalam. Mereka memahami dasar-dasar akidah Islam, memahami kaidah-kaidah hukum kekeluargaan Islam, serta fasih membaca ayat-ayat al-Qur’an dan mampu menyampaikan khutbah dalam sembahyang Jum’at.

Seperti telah saya singgung sebelumnya, antara Penghulu dan Dukun Kampung telah tercapai harmoni dalam menjalankan tugas masing-masing. Harmoni itu dapat tercipta karena pemahaman keagamaan para penghulu dan masyarakat pada umumnya dapat digolongkan sebagai paham keagamaan tradisional, yang memang bersifat lentur dan akomodatif. Para penghulu itu semuanya mengakui mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jamaah, mengikuti paham akidah al-Asy’ari dan mengikuti mazhab Sjafii. Kitab fikih yang dijadikan pegangan para penghulu itu ialah Kitab Perukunan Melayu, karya Syeikh Arsyad al-Banjari, ulama terkemuka dari Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan pada abad ke 17.Sungguhpun para penghulu mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak ada penghulu yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama, organisasi sosial keagamaan Islam yang berpusat di Jawa. Masyarakat Belitung pada umumnya menganggap Nahdatul Ulama identik dengan organisasi keagamaan kaum pendatang dari Madura dan Bawean. Di Belitung memang tak pernah ada lembaga pendidikan agama seperti pesantren di Jawa, Aceh dan Mandailing. Kultur yang membangun basis hubungan antara santri dengan kiyai seperti di Jawa, tidak terdapat dalam masyarakat Islam di Belitung.

Paham pembaharuan dalam Islam mulai masuk ke Belitung melalui anak-anak muda yang belajar agama di Sumatera Barat pada sekitar tahun 1924. Mereka yang bersekolah di Yogyakarta pada dekade ketiga abad ke 20, juga memperkenalkan paham pembaharuan Muhammadiyah. Kampung yang mula-mula sekali menyebarkan paham pembaharuan keagamaan ini adalah Batu Penyu di Kecamatan Gantung. Institut Manggar, sebuah sekolah beraliran modern yang memadukan sekolah bergaya Belanda dengan sekolah Islam modern, sedikit banyaknya mendorong pula tumbuhnya pemahaman keagamaan yang bercorak pembaharuan. Guru-guru sekolah itu, sebagian besar didatangkan dari Jawa dan Sumatera Barat. Guru-guru sekolah itu memperkenalkan pula paham nasionalisme, seperti disebarluaskan Ir. Sukarno di Jawa. Meskipun demikian, gerak kaum pembaharu ini tetap terbatas. Pengaruhnya tidak menyebar luas ke tengah-tengah masyarakat yang tetap mengikuti paham keagamaan tradisional, yang telah mencapai harmoni dengan unsur-unsur kepercayaan pra Islam. Harmoni itu nampaknya memberikan kestabilan kepada jiwa masyarakat.

Sikap keras kaum pembaharu dalam memurnikan akidah dari unsur-unsur syirik, khurafat dan bid’ah, belum dapat diterima. Kelompok yang lebih moderat, yang memberikan toleransi kepada praktek-praktek keagamaan pra-Islam, tetapi memberikan warna Islam kepadanya, nampak lebih dapat diterima masyarakat Belitung. Dalam pengamatan saya, masyarakat Belitung tidaklah terlalu keras memegang ajaran agama. Ada sebagian masyarakat yang taat menjalankan perintah-perintah ibadah agama, namun sebagian lagi melalaikannya. Kelompok yang kedua ini, baru nampak kelihatan pergi ke mesjid, ketika sembahyang Idul Fitri dan Idul Adha. Sungguhpun demikian, mereka akan marah besar jika dikatakan bukan orang Islam. Usaha penyebar agama lain untuk memurtadkan orang Belitung, boleh dikata tidak pernah berhasil. Hanya satu dua orang saja yang beralih ke agama lain, itupun terjadi di masa sekarang. Misionaris Kristen telah bekerja sejak zaman kolonial, namun tak berhasil mengajak orang Belitung untuk memeluk agama itu. Mereka hanya berhasil mengkristenkan orang-orang Cina.

Seperti telah saya jelaskan, keberadaan lurah dalam struktur kepemimpinan tradisional masyarakat Belitung, mungkin baru diperkenalkan pada zaman penjajahan. Tugas para lurah adalah melaksanakan administrasi kampung dan mengeluarkan berbagai jenis surat yang diperlukan masyarakat.Di zaman dahulu, tugas pelayanan yang paling banyak ditangani lurah adalah mengeluarkan surat jalan bagi orang yang ingin bepergian dan mengeluarkan surat jual beli tanah berdasarkan Hukum Adat. Di masa kemudian tugas lurah disibukkan dengan administrasi kependudukan, sebagai perpanjangan tangan Pemerintah. Lurah bertanggungjawab pula dalam memelihara kebersihan dan keamanan lingkungan kampung. Berbeda dengan Dukun Kampung dan Penghulu yang diangkat masyarakat, lurah dipilih masyarakat dalam pemilihan. Meskipun demikian, para lurah itu tidak mendapat gaji dari Pemerintah. Dalam praktek lurah bisa saja berasal dari kaum pendatang. Saya telah menceritakan tentang Lurah Daeng Semaong yang berasal dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, pada Bagian III serial tulisan ini. Jadi berbeda dengan Dukun Kampung dan Penghulu yang memang dijabat oleh orang Belitung sendiri. Para Lurah yang menangani administrasi kampung itu berinduk kepada Kepala Negeri yang bertugas mengkoordinasi mereka. Di Tanjung Pandan, Manggar dan Gantung pada zaman dahulu ada Kepala Negeri, yang menggantikan posisi Demang di zaman Belanda dan pendudukan Jepang. Sekarang Kepala Negeri sudah digantikan oleh Camat. Lurah juga digantikan oleh Kepala Desa.

Sebagaimana masyarakat di daerah lain, masyarakat Belitung juga tertarik kepada gerakan politik. Gerakan politik itu muncul melalui organisasi-organisasi, baik lokal, maupun organisasi yang berpusat di daerah lain. Di zaman penjajahan, gerakan nasionalis telah mulai menanamkan pengaruhnya dalam masyarakat, baik melalui organiasi PNI maupun Parindra, pada tahun 1930-an. Sarekat Islam juga mulai bergerak di Belitung pada tahun 1920 dibawa oleh seorang yang berasal dari Minangkabau, Sutan Arbi. Gerakan Buruh juga mulai aktif di kalangan pekerja perusahaan timah sejak zaman Belanda. Gerakan politik itu makin terasa dihari-hari pertama proklamasi kemerdekaan, ketika sejumlah tokoh mengambil inisiatif membentuk Komite Nasional Daerah Belitung sesuai anjuran Presiden Sukarno beberapa hari setelah proklamasi. Komite Nasional itu diketuai oleh Dr. H.M Joedono – ayah Billy Joedono yang pernah menjadiMenteri Keuangan pada masa pemerintahan Presiden Suharto.

Sejak itu partai-partai mulai berdiri, yakni PNI, Partai Buruh dan Masyumi. PNI memang telah mempunyai pengurus sejak zaman Belanda. Partai Buruh di dukung oleh serikat buruh yang telah ada pula sejak zaman Belanda. Masyumi didirikan dengan cara melebur organisasi sosial pendidikan keagamaan Nurul Islam, menjadi cabang partai itu. Nurul Islam didirikan oleh beberapa tokoh, termasuk Aidit (ayah dari DN Aidit yang kemudian menjadi Ketua PKI). Dua tokoh Masyumi yang naik ke pentas nasional ialah Ki Agus Djohar dan Mohammad Saad, yang diangkat menjadi anggota Senat Republik Indonesia Serikat, dan kemudian menjadi anggota DPR RI setelah RIS dibubarkan.

Pengaruh PKI tidaklah kuat sampai diselenggarakannya Pemilihan Umum 1955. Dalam Pemilu 1955 pengaruh Masyumi sangat dominan di Belitung. Dari 15 orang anggota DPRD Kabupaten Belitung, Masyumi mendapat 10 kursi, PNI 4 kursi dan Partai Buruh mendapat 1 kursi. PKI tidak mendapat kursi samasekali. Orang Belitung yang orientasi keagamaannya tradisional, ternyata dalam politik mendukung sebuah partai Islam modernis. Gejala menguatnya PKI baru terjadi pada akhir 1960, ketika Masyumi telah dibubarkan oleh Presiden Sukarno. DN Aidit yang berasal dari Belitung dan lahir di Tanjung Pandan, ketika itu telah menjadi tokoh sentral PKI nampak mulai menggiatkan partai itu di Belitung, walau keluarganya yang ada di Belitung sebagian menjadi pendukung Masyumi.

PKI mulai memperkuat basis gerakan buruh, dengan mendirikan SBTI (Serikat Buruh Timah Indonesia) sebagai organisasi satelitnya. Ketimpangan pegawai timah – seperti telah saya jelaskan dengan panjang lebar — membuat organisasi ini menjadi mendapat banyak pengikut. Mereka yang menjadi anggota SBTI ini serta-merta diberhentikan sebagai pegawai perusahaan timah setelah terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Kebanyakan mereka menjadi anggota serikat buruh ini tanpa mengetahui keterkaitan organisasi itu dengan PKI. Apalagi memahami Komunisme sebagai sebuah ideologi. Pada tahun 1960-an PNI di Belitung juga mulai berorientasi ke kiri, yang kala itu disebut sebagai PNI ASU (Ali-Surachman). Sesudah Peristiwa G 30 S PNI di Belitung sempat dibekukan cukup lama. Sebagian markasnya diduduki KAPPI. Sejak Masyumi dibubarkan, sebagian tokoh-tokohnya memperkuat PSII. Di Belitung Timur, PSII berkembang cukup kuat menandingi PNI. Keadaan ini berubah total setelah Pemerintah berpihak kepada Golkar dalam Pemilu 1971.Golkar mendominasi DPRD. Pegawai perusahaan timah dan pegawai negeri diintimidasi akan dipecat jika tidak memilih Golkar. Sejak saat itu keberadaan partai-partai lain mulai memudar.

Dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat Belitung terus berlangsung, sampai saya meninggalkan Belitung di penghujung tahun 1975. Menjelang saya pergi, perubahan-perubahan mulai terasa. Secara perlahan sikap perusahaan timah juga mulai berubah. Jurang antara pegawai staf dengan pegawai rendahan sedikit demi sedikit dikurangi. Banyak pula kalangan pegawai staf itu yang mulai membuka diri untuk bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Pemerintah Daerah juga mulai aktif, sejalan dengan makin tidak menentunya harga timah di pasaran dunia. Zaman terus berganti dan berubah, demikian juga dengan masyarakat Belitung. Apa yang saya tulis di sini hanyalah sebuah sketsa tentang setting sosial masyarakat Belitung ketika saya tinggal di sana. Sketsa ini akan menjadi latar belakang untuk memahami pergulatan kehidupan saya di masa kecil, yang akan saya ceritakan lagi nanti pada Bagian V dari serial tulisan ini. Mungkin tulisan ini terdapat kekurangan dan kelemahan di sana sini. Saya senantiasa untuk membuka diri dari setiap saran, kritik dan komentar untuk menyempurnakannya.

Demikianlah adanya tulisan saya, hamba Allah yang dhaif ini. Hanya Allah jualah yang lebih mengetahui segala persoalan.

Wallahu ‘alam bissawwab.