|

JAKSA YANG AGUNG ATAU KEPALA KEJAKSAAN AGUNG?

Sehubungan dengan maraknya wacana publik mengenai pergantian Jaksa Agung, maka saya mengajukan pertanyaan yang sepintas terdengar membingungkan, yakni apakah Jaksa Agung itu? Dia Jaksa yang Agung atau Kepala Kejaksaan Agung? Jaksa adalah pejabat fungsional dengan tugas utama melakukan penuntutan perkara pidana ke pengadilan, disamping tugas-tugas lainnya yang diberikan undang-undang. Di antara ribuan Jaksa yang ada itu, ada satu orang yang dinamakan dengan istilah Jaksa Agung, yang merupakan pimpinan tertinggi lembaga kejaksaan dengan tugas utama mengendalikan seluruh kebijakan penuntutan, karena kejaksaan pada dasarnya adalah satu dan merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan. Dalam UU 5 Tahun 1991 maupun dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, disebutkan bahwa Jaksa Agung itu adalah pejabat negara. Jadi dia bukan pejabat fungsional. Jaksa biasa pensiun di usia 62 tahun. Jaksa Agung, karena dia satu-satunya Jaksa yang menjadi pejabat negara, maka usia pensiunnya tidak ada. Karena itu kedudukan Jaksa Agung itu istimewa dibanding dengan ribuan Jaksa yang ada, dia bukan sekedar Jaksa biasa, tetapi Jaksa yang Agung. Dia bukan sekedar Kepala Kejaksaan Agung, tetapi dia benar-benar Jaksa dan Agung pula. Ada tugas-tugas yang tidak bisa dilakukan oleh Jaksa biasa, kecuali Jaksa Agung, yakni antara lain mengajukan kasasi perkara demi hukum, mendeponir perkara demi kepentingan umum dan mencegah dan menangkal seseorang tersangka atau terdakwa untuk masuk dan meninggalkan wilayah negara RI.

Analog dengan apa yang dikemukakan di atas ialah apa yang dikemukakan Prof Dr Bagir Manan di hadapan Mahkamah Konstitusi beberapa yang lalu. Ketua Mahkamah Agung itu apakah hakim agung atau Kepala Mahkamah Agung?. Jawabannya tegas, Ketua Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Jadi, Ketua Mahkamah Agung haruslah dijabat oleh seorang Hakim Agung. Kalau dia bukan Hakim Agung, dia tidak bisa menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sementara, hakim agung pensiun dalam usia 70 tahun sekarang ini. Sementara jabatan Ketua Mahkamah Agung tidak ada batasnya. Jadi, kalau sebagai hakim agung dia telah pensiun, maka dia otomatis melepaskan jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Agung. Nah, kalau Jaksa Agung itu ialah Jaksa, sementara jabatan Jaksa Agung tidak dibatasi, maka semestinya begitu dia pensiun sebagai Jaksa, dia harus melepaskan kedudukannya sebagai Jaksa Agung. Namun di sinilah kerancuan itu terjadi, yakni Jaksa itu adalah pejabat fungsional dan pensiun pada usia 62 tahun, sementara Jaksa Agung adalah pejabat negara yang tidak dibatasi masa pensiunnya, dan bahkan tidak dibatasi berapa lama dia memangku jabatan sebagai Jaksa Agung itu.

Sebab itulah, ketika menyusun Rancangan UU tentang Kejaksaan RI, masalah di atas itu sudah diperdebatkan. Kalau Jaksa Agung itu adalah Jaksa dan bukan sekedar Kepala Kejaksaan Agung, maka apakah orang yang asalnya bukan Jaksa, bisakah dia diangkat menjadi Jaksa Agung? Saya selaku Pemerintah waktu itu, mengatakan tidak bisa. Jadi, Jaksa Agung haruslah seorang Jaksa, atau dengan istilah kontemporer minggu-minggu belakangan ini ialah “orang dalam” bukan “orang luar”. Namun, DPR waktu itu menghendaki biarkanlah Presiden memilih sendiri siapa yang akan menjadi Jaksa Agung, dari dalam boleh, dari luar boleh. Dalam sejarahnya, memang lebih banyak Jaksa Agung berasal dari “luar”. Abdul Rachman Saleh adalah contoh paling akhir. Di zaman revolusi dan zaman demokrasi parlementer dulu (1945-1958), Jaksa Agung memang diangkat dari kalangan Jaksa. Ketika itu Jaksa Agung diangkat langsung oleh Presiden, atau diusulkan oleh Perdana Menteri untuk diangkat oleh Presiden. Sejak berlakunya UU No 19 tahun 1960 tentang Kejaksaan,  Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, baik diberi status sebagai menteri maupun sebagai pejabat negara setingkat menteri.

Siapa yang akan menjadi Jaksa Agung “menggantikan” Hendarman, semuanya terserah Presiden. Bisa dia diangkat dari “dalam” atau dari “luar”. Bisa pula diangkat dari “luar dalam”. Artinya, seseorang yang dulunya pernah jadi Jaksa pada level tertentu yang kini telah pensiun, dan diangkat menjadi Jaksa Agung. Ini tentu bentuk kompromi, orang itu dulunya di dalam, kini sudah di luar. Mungkin ini baik juga untuk dipertimbangkan Presiden. Orang dalam setelah keluar mungkin banyak merenung dan melihat lagi ke dalam, sisi-sisi lemah kejaksaan yang perlu dibenahi. Mungkin dia lebih mumpuni dari sekedar orang dalam, atau orang luar. Siapa tahu….

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=389

Posted by on Sep 20 2010. Filed under Politik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

14 Comments for “JAKSA YANG AGUNG ATAU KEPALA KEJAKSAAN AGUNG?”

  1. Kitab Tauhid – Muhammad At-Tamimi Rahimahullaahu ta’ala
    Bab
    PENAMAAN DENGAN QADHI AL-QUDHAT
    (HAKIM AGUNG) DAN SEMACAMNYA
    Keserasian Bab ini dengan Tauhid
    Dalam Bab ini Terdapat Pokok-pokok Bahasan
    Perbedaan antara Malik dan Maalik
    Dari Hadits ini dapat Ditarik Poin-poin….

  2. BAB 46
    PENGGUNAAN GELAR “QODLI QUDLOT”
    DAN SEJENISNYA

    Diriwayatkan dalam shoheh Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
    “إن أخنع اسم عند الله رجل تسمى ملك الأملاك، لا مالك إلا الله ” – قال سفيان : مثل شاهان شاه – وفي رواية : “أغيظ رجل على الله يوم القيامة وأخبثه”.
    “Sesungguhnya nama (gelar) yang paling hina di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah “Rajanya para raja”, tiada raja yang memiliki kekuasaan mutlak kecuali Allah ” Sufyan[1] mengemukakan contoh dengan berkata : ‘seperti gelar syahan syah’, dan dalam riwayat yang lain dikatakan : “Dia adalah orang yang paling dimurkai dan paling jahat di sisi Allah pada hari kiamat … ”
    Kandungan bab ini :
    1. Larangan menggunakan gelar “Rajanya para raja”.
    2. Larangan menggunakan gelar lain yang sejenis dengan gelar diatas, seperti contoh yang dikemukakan oleh Sufyan “Syahan syah”.
    3. Hal itu dilarang, (karena ada pensejajaran antara hamba dengan Kholiqnya) meskipun hatinya tidak bermaksud demikian.
    4. Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.

  3. bismillah. Jaksa agung apa pun namanya, yg penting tidak di agung agungkan. Apakah yg diangkat dari internal atau eksternal tdk masalah, aslkan pengganti hendarman perlu yg ahlh. Kalo bukan ahlinya tunggulah kehancurannya. Karena itu orang yg ahli dan bepengalaman jadi jaksa itu yg lebih balik. Yg tidak memiliki pengalaman dan tidakpunya keahlian kalo sy presiden, tidak akan saya pilih. Walau tuntutan dari masyarakat lebih kuat pilih jaksa agung dari ekstenal cukup kuat. Namun apalah artinya kalau dia tidak ahli dan berpengalaman. Kejaksaan agung malah bisa hancur. Apa lagi orang tidak jujur, antek asing dan suka tebang pilih, akan lebih berbaya. Waspadalah kata bang napi. Wassalam.

  4. kalo boleh menyarankan lebih pas namanya Kepala Kejaksaaan Agung (Kakejagung) aja… biar agak berjenjang keliatannya dari kejari sampai kakejagung.. wallahualam.

  5. Bismillaahirrahmaanirrahiim,

    Hati-hati dgn nama/gelar/sebutan, Islam agama yang sempurna ini bukan hanya teori tapi juga praktek. Jangankan urusan Negara, politik, urusan nama dst, sampai-sampai urusan cebok alias bersih-bersih diatur didalamnya. Kita kaum muslimin sdh dimudahkan dgn adanya SOP-kehidupan dunia dan akhirat yg lengkap tinggal pelajari dgn serius dan tekun kemudian amalkan, beres tinggal urusan Allah yang memberikan janji kemenangan buat kita.

    Yang jadi masalah adalah kita terbawa-bawa hal-hal yg masuk ke dalam Islam kemudian diberi label Islam maka kita kiralah ia dari Islam padahal bukan…nah ini rahasia kenapa kita ummat Islam masih berada dalam kehinaan…

    Wallaahu a’lam

  6. “Kreatifitas Hukum Tata Negara, Mengutuhkan Trias Politika dlm Pemerintahan UUD 1945”.
    (maaf partisipasi & kreatifitas lagi, karena tampaknya memang sedang diupayakan suatu ‘pembenahan’ menyeluruh/mendasar ‘profil’ Kejaksaan Agung?).

    NEGARA; 3 kekuasaan: Legislatif/1, Eksekutif/2, Yudikatif/3, dlm suatu siklus relasi sinergisitas: 1 -> 2 -> 3 -> terpenuhi/kembali ke 1. DALAM dan karena serta dengan/dari NEGARA, “1” adalah mengupayakan keadilan dan membentuk hukum, “2” adalah melaksanakan dan menegakkan hukum, “3” adalah menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.

    SINGKAT KATA:
    1. Di mana posisi Kejaksaan Agung & Jaksa Agung (‘Kepala Kejaksaan Agung’) di dlm Trias Politika?
    Tiada lain di dalam kekuasaan Eksekutif, bertugas melaksanakan dan menegakkan hukum. Jadi, Kejaksaan Agung bersama Yudikatif (Kekuasaan Kehakiman): menegakkan hukum. Yudikatif sendiri bertugas mewujudkan keadilan (UUD 1945 Bab IX).
    2. UUD 1945 Bab IX Pasal 24 (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka …”.
    Bagaimana dgn Kejaksaan Agung?
    UUD 1945 Bab IX Pasal 24 (3): berkaitan dgn kekuasaan kehakiman, UU tersendiri. Jadi, juga merdeka? caranya? bagaimana hubungannya dgn Presiden?
    Merdeka. Caranya? Tetap Presiden RI yg mengangkat seorang SDM RI – yg berkompetensi – menjadi Jaksa Agung (‘Kepala Kejaksaan Agung’); berkompetensi, dalam/dari suatu prosedur – saat ini UU 16/2004 – dan idealnya dari internal Kejaksaan Agung sendiri (agar dan sebagai wujud MERDEKA Kejaksaan Agung itu; memahami/dari pendapat Prof YIM).
    3. Jaksa Agung? ‘Kepala Kejaksaan Agung’? AGUNG? Apa/siapa yg AGUNG?
    (bersambung; kiranya kita menantikan juga pendapat dari internal Kejaksaan Agung itu sendiri).

    Kiranya dimaklumi lebih-kurangnya.

    (HI. Jaktim, 20 Sept. 2010).

  7. Kalau saya, apapaun warna kucingnya yang penting bisa dapat tikus, entah kucing piaraan (karir) atau kucing liar (dari luar). Tapi UU Kejaksaan, mensyiratkan Jagung adalah karir karena dianalogikan dengan hakim agung. Tapi bagi saya bang, kebetulan saya juga seorang hakim, analogi itu tidak tepat. Karena saya pun tidak sepakat hakim agung adalah jabatan karir, dia adalah jabatan politis. Sekali lagi jabatan politis, bukan jabatan karir. Lain halnya dengaan hakim tinggi, semua hakim yang usianya memungkinkan bisa menjaid hakim tinggi. Selain itu, kalau tidak dapat rekemondasi dari atasan, mana mungkin bisa menjadi hakim agung. Nah, dari sinilah bagi saya perlu uji materiil juga ttg UU Kekeuasaan Kehakiman. Dan banyak yang mendorongnya agar hakim karir pun bisa leluasaan maju menjadi hakim agung spt hakim non karir.

    Nah analogi Jaksa Agung, saya rasa tidak tepat jika dianalogikan dengan Hakim Agung. Bagi saya, yang penting jelas bisa nangkap tikusnya, bukan soal dari dalam atau luar. Kalau soal masalah pengetahuan teknis yudisial khan masih ada Wakilnya dan para JAM. Jadi bagaimana bang logika hukumnya.

  8. TRIAS POLITIKA serta POSISI & PROFIL KEJAKSAAN AGUNG dlm UUD 1945″.
    Maaf sekali lagi partisipasi & kreatifitas Hukum Tata Negara ttg Kejaksaan Agung ini.
    Tampaknya memang sedang diupayakan suatu ‘pembenahan’ menyeluruh/mendasar ‘profil’ Kejaksaan Agung, berangkat dari fakta ‘Jaksa Agung Hendarman Supandji tanpa Keppres’ sebagai penghormatan & penegasan Presiden SBY terhadap kemerdekaan kejaksaan sesuai Penjelasan Pasal 2 UU Kejaksaan “terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”.

    ‎Tiga bidang kekuasaan negara: Legislatif, Eksekutif, Yudikatif (trias politika). KARENA dan DI DALAM Negara RI yg berdasarkan Ketuhanan YME dari bangsa merdeka berkat rahmat Allah YMK, masing2 trias politika itu serta relasi satu & lainnya, adalah sbb.:
    Legislatif/1: mengupayakan keadilan dan membentuk hukum. Eksekutif/2: melaksanakan dan menegakkan hukum. Yudikatif/3: menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.
    Relasi dari satu & lainnya, merupakan suatu siklus sinergisitas: “1” -> “2” -> “3” -> terpenuhi/kembali ke “1”.

    SINGKAT KATA:
    1. Di mana posisi Kejaksaan Agung & Jaksa Agung (‘Kepala Kejaksaan Agung’) di dlm Trias Politika?
    Tiada lain di dalam kekuasaan Eksekutif, bertugas melaksanakan dan menegakkan hukum. Jadi, Kejaksaan Agung bersama Yudikatif (Kekuasaan Kehakiman): menegakkan hukum. Yudikatif sendiri bertugas mewujudkan keadilan (UUD 1945 Bab IX).
    2. UUD 1945 Bab IX Pasal 24 (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka …”.
    Bagaimana dgn Kejaksaan Agung?
    UUD 1945 Bab IX Pasal 24 (3): berkaitan dgn kekuasaan kehakiman, UU tersendiri. Jadi, juga merdeka? caranya? bagaimana hubungannya dgn Presiden?
    Merdeka (Penjelasan Pasal 2 UU 16/2004 ttg Kejaksaan “berarti terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”). Caranya? Tetap Presiden RI yang mengangkat/memberhentikan seorang SDM RI – yg berkompetensi – menyandang/dari jabatan Jaksa Agung (‘Kepala Kejaksaan Agung’); “berkompetensi”, dalam/dari suatu prosedur – saat ini UU 16/2004 – dan idealnya dari internal Kejaksaan Agung sendiri (agar dan sebagai wujud MERDEKA Kejaksaan Agung itu; memahami/dari pendapat Prof YIM: “RUU: posisi Jaksa Agung adalah jabatan tertutup dari kalangan luar; diambil dari Wakil Jaksa Agung, para Jaksa Agung Muda dan pejabat yang setingkat dengan itu”). Utamanya dan seutuhnya (kemerdekaan kerja & kinerja Kejaksaan itu) terdapat di dalam Kejaksaan Agung itu sendiri, yaitu jajarannya hingga di Kejaksaan Negeri dalam pemahaman visi & misi serta semangat & etos kerjanya khususnya dipimpin oleh Wakil Jaksa Agung (Wakil Kepala Kejaksaan Agung) dan para Jaksa Agung Muda selaku Jaksa karier mendampingi/mendukung kerja/kinerja Jaksa Agung (‘Kepala Kejaksaan Agung’).
    3. Jaksa Agung? ‘Kepala Kejaksaan Agung’? AGUNG? Apa/siapa yg agung?
    Kembali dulu ke poin “2”. “Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan Presiden tanpa kreteria jabatan tertutup atau terbuka”, demikian penuturan Prof YIM ttg kesepakatan pada akhirnya di DPR, 2004, untuk UU tentang Kejaksaan RI.
    Jadi, pada hemat saya, utk pimpinan tertinggi dan penanggung jawab dan yang memimpin serta mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan Indonesia, dan selama ini disebut “Jaksa Agung” (UU 16/2004), baiknya kelak disebut “Kepala Kejaksaan Agung”. Karena, sbb.:
    – Jaksa Agung boleh berasal dari unsur luar Kejaksaan Agung (UU 16/2004), sedangkan Jaksa karier paling tinggi berpangkat/jabatan “Jaksa Agung Muda” dan “Wakil Jaksa Agung” (dan ‘tokoh luar’ tidak melampaui – kalau “Jaksa Agung” – pangkat Jaksa karier).
    – “Agung” itu utk “Kejaksaan”, bukan “Jaksa”, sedangkan untuk “Jaksa” cukup “Jaksa Agung Muda”. Dan predikat “agung” Kejaksaan itu pada hemat saya tidak menyalahi prinsip Tauhid, di mana sesungguhnya untuk dan tentang Allah SWT adalah “Maha Agung”, “Maha Akbar”, “Maha Besar”, dlsb.

    Demikian partisipasi & pendapat saya. Kiranya dimaklumi lebih-kurangnya.

    Mengenai kedudukan Kejaksaan dalam konsep trias politika telah saya jelaskan panjang lebar dalam tulisan saya “Kedudukan Kejaksaan Agung Dalam Sisem Pemerintahan Presidensial UUD 1945” yang juga dimuat dalam blog ini. Intinya dalam sistem Presidensial di manapun di dunia ini, Kejaksaan Agung adalah bagian dari ranah organ kekuasaan eksekutif, bukan yudikatif. Kewenangan yudikatif adalah menerapkan undang-undang pada suatu kasus yang diajukan kepadanya. Menuntut suatu perkara untuk mendapatkan keputusan diterapkannya suatu undang-undang atas perkara itu, bukanlah pekerjaan badan yudikatif, melainkan pekerjaan eksekutif. Seperti kita ketahui, tugas utama jaksa adalah menuntut perkara pidana ke pengadilan. Tentu disamping tugas-tugas lain yang diberikan undang-undang.

    Tentang istilah “agung” dalam kaitannya dengan ajaran tauhid, tergantunglah bagaimana kita menempatkan kata agung itu dalam konteks bahasa dan budaya suatu komunitas. Dalam bahasa Melayu, raja biasa disebut sebagai “Yang Dipertuan Agung”. Kita mengenal istilah Mahkamah Agung dan Jaksa Agung sejak tahun 1945, sekedar untuk menterjemahkan bahasa Belanda “Hoogeraad” dan “hoofd officer van justitie”. Istilah “mahkamah” Agung seingat saya dikemukakan oleh Haji Agus Salim dalam sidang-sidang BPU-PKI. Agus Salim sebagaimana kita tahu, sangat keras memegang ajaran tauhid dan menentang faham kemusyrikan. Mungkin Agus Salim sadar bahwa kata “agung” untuk Mahkamah Agung, haruslah dipahami dalam konteks Pembukaan UUD 1945 yang awal, yang menegaskan bahwa “negara berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam konteks sejarah penyusunan UUD 1945, kalau memahami konteks ini, saya berpendapat istilah “mahkamah agung” dan “jaksa agung” tidaklah akan membawa kepada kemusyrikan. Jaksa Agung kita yang pertama kali aktif dalam sejarah di tahun 1945 adalah Mr. Kasman Singodimedjo, yang dikenal sangat keras dalam melaksanakan tuntutan Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita (YIM)

  9. bismillah. Soal kata agung yg menempel pada jaksa, hakim, kejaksaan dan mahkamah sampai saat ini tidak ada seorang ulama pun di indonesia yg menyatakan itu bertentangan dengan tauhid atau musyrik. Kecuali jika ditambah kata yang, jaksa yang agung, hakim yang agung, nah itu yg dapat dikatakan bertentangan. Wassalam.

  10. Kalau saya yang penting orang tersebut bekerja di bidangnya, menguasai ilmunya/kompeten, jujur, berakhlak, amanah. Mungkin dari orang dalam ada gak ya? Kalau ada lebih baik.

  11. Prof. Saya banyak terima kasih atas tanggapan yg diberikan.
    – Sejak awal saya mengamini tulisan Prof “Kedudukan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial UUD 1945″ itu. Bahwa Kejaksaan Agung adalah bagian dari ranah organ kekuasaan eksekutif, bukan yudikatif. Dan dari tulisan itu pula saya mengenal lebih banyak dan jelas profil & kedudukan Kejaksaan Agung. Saya – dgn tulisan saya itu – hanya coba mengajukan ungkapan cara-bentuk lain ttg trias politika. Prof bilang, “Kewenangan yudikatif adalah menerapkan undang-undang pada suatu kasus yang diajukan kepadanya”, ya, pada hemat saya itu adalah bentuk operasionalnya (bentuk operasional kewenangan Yudikatif), lalu saya coba menggambarkan bentuk dasarnya: “menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan”.
    – Terima kasih pula utk penuturan Prof ttg sidang-sidang BPUPKI dan Jaksa Agung kita yang pertama. Dan saya rasa saya paham ttg “konteks bahasa dan budaya suatu komunitas” itu, karena kebetulan saya pernah baca tulisan Prof cukup panjang ttg hal itu dlm suatu buku kumpulan tulisan (bersama Cendekiawan Muslim lainnya). Demikianlah kita paham dan bisa terima istilah Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan bahkan Hakim Agung. Adapun ttg “Jaksa Agung”, sesungguhnya saya sependapat dgn Prof di bagian lain tulisan2 Prof di dalam blog ini, bahwa karena Jaksa Agung boleh bukan Jaksa (UU 16/2004 & legislasinya: “Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan Presiden tanpa kreteria jabatan tertutup atau terbuka”) maka “Jaksa Agung” itu lebih tepat “Kepala Kejaksaan Agung”; jadi bukan dlm konteks prinsip Tauhid. Sebagaimana saya maksudkan di dalam komentar saya itu, “agung”nya Jaksa masih jauh dari “Maha Agung”nya Allah SWT, di samping saya ingin menekankan pula bahwa para Jaksa adalah ‘anggota’ Kejaksaan Agung, “agung”, jadi sudah seharusnya bekerja se-baik2nya, dalam keagungan & kesucian dlsb keluhuran. Kembali ke persoalan2 di dalam sidang-sidang BPUPKI dlm konteks prinsip Tauhid dan UUD 1945 kita dewasa ini. Pemahaman saya adalah sbb.: bahwa UUD 1945 kita saat ini pun (amandemen 1999-2002) adalah hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959, jadi sesungguhnya dijiwai dan merupakan suatu kesatuan oleh/dengan Piagam Jakarta. Jadi, maksud saya di sini, kita pun saat ini – sebagaimana KH Agus Salim dan Panitia 9 misalnya pada 1945 – memahami kata “agung” untuk Hakim Agung misalnya adalah dalam konteks Pembukaan UUD 1945 yang awal itu (kalau tidak maka pemaknaan UUD 1945 Pasal 29 (1) misalnya jadi problematik).
    Sekali lagi banyak terima kasih. (HI).

  12. Bismillaahirrahmaanirrahiim,

    Seorang muslim ketika mendengar ayat Al-Qur’an dan Hadist nabi shallallaahu ‘alaihi wasallaam akan selalu tunduk kepadanya.

    Lihatlah! Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu membantah pendapat Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu ‘anhuma ketika mereka menyelisihi dalil tentang pembatalan haji ke umrah. Dan Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Hampir saja ada batu yang jatuh dari langit menimpa kalian. Aku mengatakan Rasulullah bersabda, sedangkan kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar mengatakan”. Karena tidak boleh berijtihad, jika ada nash atau dalil. (lihat Hadist Shahih tentang gelar/sebutan).
    Terlebih lagi pendapat tokoh-tokoh yang ke-ulamaanya tidaklah sebanding dgn para shahabat apalagi selevel Umar dan Abu Bakar RadliAllaahu’anhu yg merupakan shahabat dekat nabi Shallallaahu ‘alahi wasallaam, maka tentulah tidak layak untuk diikuti tanpa harus menjatuhkan kehormatan mereka dan menghargai apa yg telah mereka lakukan.

    Yang lebih menyakitkan lagi bahwa sebagian Istilah-istilah itu justru disadur dari istilah dari bahasa yg “maaf” penjajah yg tentu kita sdh pahami bersama..

    Hendaklah kaum Muslimin memperhatikan urusan mereka, dari perkara yg terbesar hingga yang terkecil agar tidak menjadi penyesalan di hari yg tidak ada tawar menawar disana.

    1. Contohlah Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau berkata : “Jika ada hadits yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was allam, maka kami taat sepenuhnya. Jika ada ucapan yang datang dari para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kami taat sepenuhnya. Jika ada ucapan yang datang dari selain mereka, maka mereka adalah tokoh, dan kami juga tokoh”. Maksudnya, sama-sama ulama, selama itu merupakan masalah ijtihadiy.

    2. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “Jika ucapanku bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka benturkanlah pendapatku dengan tembok”. Maksud beliau, tinggalkanlah pendapatku

    3. “(Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih)” [An-Nur : 63]

    Namun demikian Allah dan Rasul-Nya pulalah yg mengajarkan kepada kita untuk bertaqwa sesuai kemampuan dengan tidak mengabaikan apa-apa yang telah datang dan sampai kepada kita.

    wallaahul musta’an, ‘alihittiklan..

  13. bismillah. Kita tidak bisa meragukan keimanan dan tauhid ulama indonesia dan ulama lainnya di dunia, apalagi yg mengikuti faham ahlussunnah wal jamaah. Al ulama warasatul ambiya. Ulama pewaris para nabi. Mereka lebih faham dari kita soal al quran, as sunnah dan atsar sahabat, termasuk pendapat tabi’in dan tabi’it tabi’in, bahkan sudah mengamalkannya lebih dahulu. Karena itu kita tidak bisa meragukan mereka. Itulah sebabnya kita tidak pernah membaca dan mendengar mereka mempersoalkan istilah jaksa, hakim, kejaksaan dan mahkamah agung. Saya setuju dengan prof YIM dan komentator lainnya, lebih baik Kepala Kejaksaan Agung. Wallahu a’lam.

  14. Mengungkap Kesalahpahaman Tentang Tauhid

    Banyak yang mengira bahwa tauhid adalah sekedar keyakinan bahwa Allah itu satu, tidak berbilang. Tauhid itu maknanya Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta. Itulah yang biasa dikenal di dalam istilah para ulama sebagai tauhid rububiyah, yaitu mengakui keesaan Allah dalam perkara mencipta, mengatur dan semacamnya. Padahal, tauhid yang menjadi inti dakwah para nabi dan rasul bukan itu. Tauhid yang menjadi tujuan utama dakwah ialah tauhid uluhiyah; yaitu menujukan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah dan meninggalkan segala sesembahan selain-Nya. Hal itu sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah dalam ayat (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan apapun.” (QS. an-Nisaa’: 36).

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah yang dimaksud dengan tauhid itu sekedar tauhid rububiyah yaitu keyakinan bahwa Allah semata yang menciptakan alam sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang dari kalangan ahli kalam dan tasawuf. Bahkan, mereka menyangka apabila mereka telah bisa menetapkan kebenaran hal ini dengan bukti dalil maka mereka merasa telah mengukuhkan hakekat tauhid. Mereka beranggapan apabila mereka telah menyaksikan dan mencapai tingkatan ini maka itu artinya mereka telah berhasil menggapai puncak ajaran tauhid. Padahal sesungguhnya apabila ada seseorang yang mengakui sifat-sifat yang menjadi keagungan Allah ta’ala dan menyucikan-Nya dari segala sesuatu yang mencemari kedudukan-Nya dan juga meyakini bahwasanya Allah satu-satunya pencipta segala sesuatu, tidaklah dia menjadi seorang muwahid sampai dia mengucapkan syahadat la ilaha illallah; tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, sehingga dia mengakui bahwa Allah semata yang berhak untuk diibadahi dan dia menjalankan ibadah kepada Allah serta tidak mempersekutukan-Nya.” (Dikutip dari Fath al-Majid, hal. 15-16)

    Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat la ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan la ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Ini artinya mereka telah menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan la ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah tiada sesembahan yang benar selain Allah (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)

Leave a Reply