Yusril Ihza Mahendra yang permohonannya mengenai saksi yang menguntungkan dikabulkan MK, tidak begitu bersemangat menanggapi reaksi Jaksa Agung Basrief Arif yang berulang-ulang mengatakan terus mengkaji putusan MK tersebut. “Entah sampai kapan mereka akan mengkaji putusan MK itu, hanya Tuhanlah yang tahu” kata Yusril dingin. “Kejagung dulu juga mengatakan sedang mengkaji putusan lepas Romli Atmasasmita yang berimplikasi kepada saya. Namun sudah lebih 8 bulan, kajian itu tak kunjung selesai” tambah Yusril.” Nasib saya sampai sekarang terkatung-katung, sehingga dimanfaatkan oleh banyak pihak untuk kepentingan mereka sendiri” tambahnya.
Padahal mengkaji putusan lepas Romli itu sangat sederhana. Saya dengan Romli didakwa bersama-sama melakukan korupsi. Saya Menteri dan Romli Dirjen. Pelaku utamanya adalah Romli, sementara saya diposisikan sebagai “turut serta melakukan” dalam arti memberi kesempatan atau membiarkan Romli korupsi, sesuai ketentuan Pasal 55 kesatu ayat (1) KUHP yang dituduhkan kepada saya. Ternyata, Mahkamah Agung melepaskan Romli, jadi dia tidak terbukti melakukan korupsi. Nah, kalau Romli tidak korupsi, maka kesempatan apa atau pembiaran apa yang saya lakukan kepada Romli? tanya Yusril. Seharusnya sudah lama saya diberi Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2), kata Yusril. Namun Kejagung masih berlama-lama menahan-nahan perkara ini. Soalnya dulu mereka sudah gembar-gembor mengatakan kepada publik saya ini korupsi merugikan negara Rp 420 milyar. Akhirnya kini kebingungan sendiri, tambah Yusril.
Kini Jaksa Agung kembali mengatakan terus menelaah putusan MK. Ini lebih berat bagi Kejagung, karena putusan MK itu mewajibkan Penyidik Kejagung untuk memanggil saksi menguntungkan yang saya minta, yakni SBY dan Megawati. Bunyi putusan MK itu jelas dan terang-benderang. Ketua MK Mahfud MD juga sudah menjelaskan apa makna putusan MK itu. Kejagung nampak berkelit tidak mau memanggil kedua saksi yang saya minta itu, dengan mengatakan adanya kata-kata “dalam batas kewajaran” dalam putusan MK. Mereka seolah ingin menafsirkan putusan MK itu “O, tidak wajar dong Presiden dipanggil sebagai saksi”. Padahal soal kewajaran itu sudah diperdebatkan di MK dan ada argumen saya dalam permohonan uji materil dahulu. “Salahnya Basrief dan Patrialis, keduanya ditunjuk Presiden menjadi kuasa hukum menghadapi permohonan saya, tapi tidak pernah datang ke sidang MK, sehingga tidak mengikuti perdebatan di sana”. Sesudah ada putusan, nampak seperti orang kebingungan, kata Yusril.
Padahal istilah “kewajaran” itu dikaitkan dengan pendapat M Yahya Harahap dalam menafsirkan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP. Dalam pasal itu dikatakan bahwa Penyidik wajib memanggil saksi yang menguntungkan yang diminta tersangka dalam pemeriksaan tingkat penyidikan. Meskipun wajib, menurut Yahya Harahap, Penyidik wajib menilai kewajaran memanggil saksi itu. Misalnya tersangka minta dipanggil 100 saksi yang alamatnya tidak jelas, sehingga sulit dicari. Permintaan itu bisa dinilai tidak wajar dan hanya dimaksudkan untuk mempersulit pemeriksaan, sehingga wajib ditolak. Kewajaran juga harus dinilai dari relevansi antara saksi dengan peristiwa pidana yang disangkakan. Misalnya, seorang tukang ojek di Pasar Rebo menabrak orang hingga luka berat, tetapi meminta Gubernur DKI menjadi saksi menguntungkan, terang ini tidak wajar. Terlalu jauh relevansi antara Gubernur DKI dengan tukang ojek menabrak orang di sebuah jalan di Pasar Rebo. Apalagi Gubernur tidak berada di tempat kejadian kecelakaan itu.
Yang saya minta itu bukan 100 saksi yang alamatnya tidak jelas dan sulit dicari. “Saya minta dua orang saja, SBY dan Megawati, alamat mereka jelas dan mudah dicari”. Relevansi dengan kasus Sisminbakum juga jelas. Megawati memimpin sidang kabinet ketika Sisminbakum diputuskan. Dia juga hadir di Departemen Hukum dan HAM meresmikan Sisminbakum beroperasi. SBY menandatangani empat Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang berlaku di Depkumham, dan tidak pernah memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP, kesuali PP terakhir 29 Mei 2009. “Saya kan dituduh korupsi tidak memasukkan biaya akses itu ke dalam PNBP sehingga menurut jaksa, negara rugi”. SBY perlu menerangkan, berdasar PP yang ditandatanganinya, biaya akses Sisminbakum itu PNBP atau bukan, tegas Yusril.
“Kejaksaan Agung hanya berkelit-kelit saja, memahami sesuatu yang sebenarnya sederhana tetapi kebingunan seperti orang tak mengerti hukum” kata Yusril mengakhiri keterangannya.