AKHIRNYA SEMUA KITA AKAN PERGI (I)
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Minggu pagi tanggal 11 November 2007, saya diberitahu oleh kakak saya, salah seorang saudara sepupu saya, Abdul Hamid bin Baharum, telah berpulang ke rahmatullah, setelah seminggu menderita sakit. Mendapat kabar itu, saya langsung bergegas menyetir mobil datang ke rumahnya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Ketika tiba, saya menyaksikan jenazahnya yang terbaring kaku sedang dimandikan. Saya menunggui sampai jenazah dikafani dan kemudian disholatkan di sebuah mushalla kecil tidak jauh dari rumahnya. Selesai dishalatkan, sejumlah orang membawa jenazah ke sebuah ambulan. Mereka semua berangkat ke pemakaman umum karet. Jenazahpun dimakamkan. Ada dua orang memakai peci dan kain sarung dan berbaju batik membaca talqin dan kemudian berdoa bersama-sama.
Sebagai saudara dekat, saya diminta untuk menyampaikan sambutan. Setelah menyampaikan ucapan terima kasih, mohon doa dan mohon maaf bagi almarhum, saya mengutip salah satu peristiwa yang terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. Suatu ketika Rasulullah menyaksikan sekelompok orang membawa jenazah ke pemakaman. Rasulullah bertanya, jenazah siapakah yang akan dimakamkan itu. Maka salah seorang dari mereka menjawab bahwa itu adalah jenazah si Fulan. Rasulullah kemudian bertanya kepada mereka: Adakah si Fulan itu, selama hidupnya dikenal sebagai orang yang baik. Mereka serentak menjawab: Kami menyaksikan, ya Rasul Allah, si Fulan itu memang orang baik. Maka bersabdalah Rasulullah: Jika jenazah seseorang di usung ke pemakaman, dan 40 orang mengatakan bahwa dia adalah orang baik, maka Allah SWT akan memasukkan ruh orang itu ke dalam surga. Kemudian, saya bertanya kepada hadirin yang hadir di pemakaman: Adakah Saudara-saudara semua menyaksikan bahwa semasa hidupnya, Abdul Hamid bin Baharum ini adalah orang yang baik? Maka serentak para hadirin menjawab: Ya, beliau orang yang baik. Maka saya berkata: Ya Allah, ampunilah saudara kami ini kalau dia melakukan kesalahan. Terimalah segala amal kebajikan yang telah dilakukannya. Masukkanlah dia ke dalam surga Jannatun Na’im.
Selesai upacara pemakaman yang amat bersahaja itu, istri saya yang ikut ke pemakaman Karet bertanya kepada saya. Dia katakan dalam Bahasa Inggris, Pak Hamid yang baru meninggal tadi pagi, mengapa begitu cepat dimakamkan. Di Jepang atau di Philipina, katanya, jenazah baru dimakamkan beberapa hari, bahkan seminggu setelah kematian. Tadi juga saya melihat, ketika imam membaca do’a, mengapa orang yang hadir tidak mengikutinya dengan serius. Mereka saling ngobrol sesamanya. Isteri saya bertanya demikian, karena seumur hidupnya, inilah untuk pertama kalinya dia bertakziah ke rumah seorang Muslim yang meninggal dan mengikuti upacara pemakaman. Dia baru memeluk agama Islam setahun lebih. Sambil menyetir mobil saya jelaskan kepadanya, bahwa dalam ajaran Islam, orang meninggal harus segera dimakamkan. Tidak perlu menunggu lama-lama karena hanya akan memberatkan ruh orang yang meninggal.
Jika seseorang telah wafat, maka selesailah urusannya dengan dunia ini, kecuali tiga hal, yakni ilmu yang bermanfaat dan diajarkan kepada orang lain, amal jariah dan anak yang soleh yang terus-menerus mendoakan orang tuanya. Jika telah wafat, kita harus merelakannya untuk pergi menemui sang Pencipta. Keluarga si meninggal, tidak boleh tenggelam dalam kesedihan, karena setiap orang pasti akan mati. Karena itu, jika anak-anak dan isteri si mati telah hadir, maka kaum kerabat yang lain tak perlu ditunggu lama-lama. Jenazah akan segera dimakamkan. Isteri saya nampak mengerti. Dia berkomentar, alangkah sederhananya upacara pemakaman menurut agama Islam. Dia berdiri di sisi liang lahat dan melihat jenazah diturunkan hanya memakai kain kafan, tanpa kerenda dan dia bertanya tentang hal itu. Saya katakan padanya, ini adalah filosofi ajaran Islam bahwa jasad manusia berasal dari tanah. Karena itu, kembali ke tanah seperti semula. Terhadap kritiknya mengapa hadirin kurang khusyu’ ketika pembaca talqin membaca do’a, saya menerima kritik itu. Saya sependapat dengannya, alangkah baiknya jika kita mengikuti upacara pemakaman dengan perasaan yang lebih khidmat.
*******
Sejak saya datang ke rumah saudara sepupu saya yang wafat itu, saya sungguh merasa sedih, terharu dan berpikir panjang. Rupanya, hari ini berakhirlah kisah perjalanan seorang anak manusia, setelah melalui lautan perjalanan hidup yang cukup panjang. Dia wafat dalam usia 68 tahun. Hamid Baharum yang saya kenal, memang orang baik, sederhana dan bersahaja. Dia bersekolah di sebuah sekolah teknik di Manggar, Belitung, yang cukup menjadi kebanggaan masyarakat Belitung yang sederhana di masa itu. Sekolah itu telah ada sejak tahun 1928, ketika bangsa kita masih dijajah, dan bernama Ambach School (maaf kalau saya salah menulis kata Bahasa Belanda ini). Orang Belitung yang pada umumnya hidup miskin dan bersahaja, sangatlah bersuka-cita kalau anaknya diterima di sekolah itu. Bayangkan, baru menjadi murid saja sudah dianggap setengah pegawai oleh PN Tambang Timah. Kalau tamat akan langsung diangkat sebagai pegawai tetap perusahaan negara itu, dengan gaji dan fasilitas yang lumayan besarnya bagi orang di kampung. Tiap bulan murid sekolah itu mendapat setengah gaji pegawai tetap, mendapat beras 10 kilo, dan berbagai ransum keperluan sehari-hari mulai dari kacang hijau, gula, kopi, minyak goreng sampai sabun mandi, odol dan sikat gigi. Begitu suka citanya orang tua ketika anak mereka diterima, dapat saya ingat ketika saya masih kecil: ada tetangga kami yang tiba-tiba menyelenggarakan kenduri. Ayah saya diundang untuk membaca do’a. Saya tentu ikut ayah saya agar dapat makanan dengan lauk-pauk yang lebih enak, dibandingkan dengan apa yang saya makan sehari-hari. Setelah tiba di rumah tetangga itu, barulah saya tahu, beliau menyelenggarakan kenduri karena anaknya diterima di sekoah teknik tempat Hamid Baharum pernah bersekolah itu.
Tetapi, Hamid Baharum rupanya tidak puas hanya sekolah di sekolah teknik itu, dan kurang puas pula menjadi pegawai PN Tambang Timah dengan gaji yang lumayan besarnya. Dia merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya ke STM. Dia ingin mengadu nasib. Saya tidak ingat persis kapan dia hijrah ke Jakarta. Mungkin sekitar tahun 1958. Ketika itu saya baru berusia dua tahun. Jadi mustahil untuk tahu dan mengingatnya. Namun rupanya nasib Hamid tidaklah sebaik yang dia harapkan. Setelah tamat STM dia bekerja di berbagai perusahaan swasta sebagai pegawai kecil. Rumahnya sangat sederhana. Dia tinggal di perkampungan yang terbilang kumuh di sebuah gang kecil di Jalan Pintu Air, tidak jauh dari stasiun kereta api Pasar Baru. Ketika saya telah menjadi mahasiswa dan tinggal di Jakarta, saya berusaha mencari rumah Hamid. Pernah saya berjalan kaki dengan almarhum ayah saya mencari rumahnya dan bertanya kepada penduduk di sekitar Jalan Pintu Air. Namun usaha saya sia-sia. Saya tak berhasil menemukan rumahnya. Alamatnya tidak terlalu jelas. Saya baru bertemu Hamid, setelah lebih sepuluh tahun saya tinggal di Jakarta. Dia membaca nama saya di koran-koran dan melihat wajah saya di televisi, lalu berusaha mencari alamat saya sampai akhirnya kami bertemu. Sejak itu saya sering bertemu dengannya. Kadang-kadang saya datang ke rumahnya hanya untuk berbincang-bincang sambil tertawa.
Hamid nampaknya berjuang keras untuk meraih nasib hidup yang lebih baik. Namun apa daya, seperti kata pepatah: Maksud hati memeluk gunung. Apa daya tangan tak sampai. Sampai wafat, dia hidup dalam keprihatinan, di tengah kerasnya perjuangan hidup di kota Jakarta. Suatu hari saya datang lagi bertandang ke rumahnya ketika saya telah menjadi Menteri Kehakiman dan HAM. Penduduk di gang kecil itu nampak heran dan tidak percaya ada menteri datang ke tempat itu. Mereka seakan tak percaya pula kalau Hamid yang telah lama tinggal di kampung itu adalah saudara sepupu saya. Seperti biasa, Hamid senang saya datang. Kami berbincang-bincang ke sana-kemari. Saya tanya Hamid, apa yang dia kerjakan sekarang. Sambil ketawa dia bilang, dia “narik bajaj”. Dia lantas menunjuk sebuah bajaj setengah rongsokan yang di parkir di gang sempit di sebelah rumahnya. Saya tertegun melihat bajaj yang sudah hampir menjadi bangkai itu. Ada perasaan iba di hati saya. Bertahun-tahun saudara sepupu saya ini merantau ke Jakarta, namun nasibnya tak kunjung membaik. Dia telah berpindah-pindah kerja dan akhirnya menjadi supir bajaj. Sementara usianya makin bertambah tua saja.
Namun dalam penglihatan saya, Hamid nampak tidak terlalu hanyut dalam kesedihan dalam menjalani kesulitan hidup yang dideritanya. Saya yang menjadi menteri, meskipun mungkin nampak gagah di mata orang lain, kepala saya pusing setiap hari. Wajah saya tak nampak selalu cerah dan gembira. Hamid bercakap-cakap dengan saya menggunakan Bahasa Melayu Belitung, yang dialeknya sudah bercampur-aduk dengan Bahasa Betawi, sambil tertawa dan kadang-kadang melucu. Dia bercerita tentang kehidupan dan tentu berkisah tentang kesusahan hidup sebagai orang kecil, yang saya simak baik-baik. Semua itu adalah nasib yang harus diterima dengan sabar, katanya. Suatu ketika saya menyarankan kepadanya agar dia mencari rumah yang lebih baik, rumah BTN saja agar terjangkau. Saya dan saudara yang lain dapat membantu. Saya berpendapat, jika pindah, dia akan hidup lebih tenang di daerah yang jauh dari kebisingan dan hingar bingar. Dia bisa bikin warung untuk menjalani hari tuanya. Hamid rupanya mempertimbangkan saran saya. Dia sempat membeli rumah BTN yang katanya terletak di Kampung Citayam, di daerah Depok. Namun, tidak lama dia tinggal di situ. Dia lebih senang kembali ke gang kecil di Pintu Air. Banyak tetangga dan banyak teman yang sudah puluhan tahun tinggal bersama. Hingar-bingar dan kebisingan, serta kesesakan penduduk di daerah itu, rupanya sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupannya. Dia tak betah tinggal di tempat sunyi, meski dalam pandangan saya, lebih asri dan tertata lebih baik.
Kini Hamid telah pergi. Seperti telah saya katakan, saya menyaksikan jenazahnya dimandikan dan dikafankan. Ia diusung ke pemakaman, dengan upacara yang sangat sederhana dan bersahaja. Ketika jasadnya diturunkan ke liang lahat, sekali lagi hati saya tertegun. Beginilah rupanya akhir perjalanan hidup di dunia yang fana ini. Semua orang, semua kita akan pergi seperti Hamid, tidak perduli apakah dia kaya atau miskin, berpendidikan atau tidak, punya jabatan dan nama yang masyhur atau bukan. Hidup ternyata terlalu singkat, walau terkadang kita merasakannya terlalu panjang. Saya teringat ketika saya belajar agama dan filsafat dan membahas masalah waktu. Usia 68 tahun seperti Hamid, mungkin sudah terlalu panjang dibandingkan rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia. Namun dalam pandangan para malaikat, usia Hamid mungkin hanya sekejap mata. Ada malaikat yang setiap hari turun naik dari langit ke bumi membawa rahmat Allah. Namun dijelaskan dalam keyakinan agama, bahwa satu hari malaikat turun-naik itu adalah sama dengan seratus ribu tahun dalam persepsi manusia di dunia fana. Kalau begitu ukurannya, maka tentulah di mata para malaikat, Hamid hidup hanya sekejap, begitu juga orang lain. Lalu saya teringat akan seekor belalang yang hidup di pohon nangka. Warna sayapnya mirip daun nangka yang masih muda. Konon, menurut para ahli biologi, belalang itu hidup tidak lebih dari 24 jam, dan kemudian mati. Waktu saya kecil, saya berkata di dalam hati: kasihan sekali dengan belalang ini, usianya begitu pendek. Tetapi, kalau ingat tentang turun-naiknya malaikat tadi, mungkin para malaikat akan berkata: kasihan sekali melihat manusia, hidup mereka pendek sekali. Sehari kami turun naik dari langit ke bumi, telah jutaan manusia lahir dan mati. Persepsi tentang waktu nampaknya berbeda di antara makhluk ciptaan Allah. Cukup panjang bagi belalang nangka, sangat pendek bagi manusia. Sangat panjang bagi manusia, terlalu pendek bagi para malaikat.
*******
Kematian Hamid Baharum, saudara sepupu saya itu, makin menyadarkan saya bahwa suatu ketika sayapun akan dikuburkan orang seperti dia. Semua hanyalah masalah waktu belaka. Kalau memang demikian keadaannya, saya berpikir, untuk apalah terlalu “ngotot” dalam kehidupan yang fana ini. Tentu kita ingin berbuat amal-kebajikan sebanyak mungkin selama kita hidup, agar bukan saja bermanfaat bagi sesama manusia dan sesama makhluk, tetapi juga sebagai bekal menjalani kehidupan akhirat kelak. Namun, meskipun kita selalu berniat dan beriktikad baik — dan dalam kenyataan kita sungguh-sungguh mewujudkannya dengan segenap kemampuan — toh belum tentu baik juga dalam pandangan manusia-manusia yang lain. Hidup manusia dipenuhi oleh perasaan hasad, iri hati, dengki, curiga dan salah paham. Namun itulah kenyataan hidup yang tak dapat ditolak. Seribu kebaikan yang kita lakukan, terasa hampir tak berbekas, dan alangkah mudahnya dilupakan orang. Namun satu saja kesalahan yang mungkin telah kita buat, akan dihujat setiap hari. Mungkin pula kesalahan itu akan dikenang orang sepanjang masa. Apalagi sekarang kita sedang hidup di alam penuh kebebasan berekspressi dan kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat. Kita tengah hidup di alam demokrasi dengan segala macam tingkat pemahaman dan penafsirannya.
Kalau demikian, haruskah saya berhenti berniat dan beriktikad baik dan berbuat baik di alam nyata? Saya pikir tidak. Seringkali orang tidak menyadari kebaikan dan juga kebenaran. Mereka baru menyadarinya jauh di belakang hari. Bahkan terasa sudah begitu terlambat. Kebaikan tetaplah kita lakukan demi kebaikan itu sendiri, agar kita ikhlas dalam beramal dan batin kita merasa terpuaskan. Kepuasan batin itu penting, walau kenyataan hidup seringkali terasa menyakitkan. Kalau kita banyak berbuat baik kepada orang lain, lebih baik kita melupakannya. Tetapi kalau orang lain berbuat baik kepada kita, wajiblah kita terus mengingat-ingatnya. Semoga saya, menjadi orang yang pandai menghargai segala kebaikan orang lain, dan memaafkan setiap kesalahan dan kekhilafan.
Wallahu ‘alam bissawab.

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=21
Baca postingan ini seraya ku sambil berdoa semoga sewaktu pemakaman kakek ku setahun yang lalu 40 orang yang hadir juga berpikiran beliau adalah orang baik, amin. Agar senantiasa dibukakan pintu surga baginya.
Om Yuzril bagaimana kalo di blognya dipasang koment box gitu bisa diambil dari aggix.com atau banyak lagi yang lainnya. Tetep semangat nge blognya ya….
Pak Yusril, saya turut berduka atas berpulangnya saudara Bapak yang sesuai penuturan Bapak dapat saya simpulkan bahwa orangnya sangat qona’ah, menerima apapun yang diberikan dengan ikhlas dan senang. Dia hidup sederhana dan malah cenderung kurang, tapi dia tidak mau meminta belas kasihan oang lain, termasuk saudara sepupunya yang jadi menteri. Apabila sifat itu selalu dijadikan pegangan dan sandarannya adalah Allah, saya yakin dunia akan tentram.
Selamat jalan Pak Bahrum, semoga segala amal baik diterima oleh Allah s.w.t.
Saya turut bela sungkawa atas meninggalnya saudara sepupu Pak Yusril.
Semoga segala amal perbuatan baik Pak Bahrum diterima Allah dan dibukakan pintu surga bagi beliau.
Membaca tulisan Pak Yusril membuka perenungan bagi diri saya. Terima kasih telah berbagi, Pak.
Pak Yusril, saya juga baru nge-blog nih, pak. Saya baca publikasi blog anda di banyak media, makanya saya coba-coba melihat isinya.
Sesekali Pak Yusril, anda harus mengisahkan pengalaman anda bekerjasama dengan presiden-presiden RI sejak masanya Presiden Suharto sampai Presiden SBY. Sekali-sekali mampir juga ke blogku yang masih sangat sederhana.
Bismillahirrahmanirrahiem.
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Innalillaahi Wa Inna Ilaihi Raaji’uun. Segala sesuatu adalah milik Allah SWT, dan (pasti) semua itu akan berpulang pada-Nya.
mmm..Abangku, membaca postingang abang ini, serasa hatiku teringat kembali pada ayah yang meninggal pada hari kamis 03 November 2005 lalu pada saat kumandang adzan maghrib dan bertepatan dengan Iedul Fitri 1426H.
Sedih rasanya hati ini bang, namun saya yakin apa yang telah beliau lakukan untuk saya sebagai salahsatu putra yang dititipkan Allah kepadanya, saya berharap Allah akan memberikan tempat yang sangat layak (Jannatun Na’im) bagi beliau.
Betapa tidak, dengan sembilan anak yang harus beliau tanggung, namun pendidikan dan budipekerti adalah hal yang paling utama beliau ajarkan.
Beliau sangat berharap anak-anaknya kelak akan menjadi orang yang berguna minimal bagi lingkungan sekitarnya dan atu bahkan bagi umat manusia keseluruhan.
Secara pribadi, saya sangat bangga dengan ayah saya, bagaimana tidak, hingga akhir hayatnya saja beliau masih saja menanyakan masa depan pendidikan si Bungsu adikku (anak ke 9) yang kala itu baru saja wisuda D3 dari STT TELKOM.
Bagi beliau, pendidikan adalah warisan utama yang dapat menghidupi dan menyinari kehidupan anak-anaknya. Meski ketika kecil dulu, sebagai seorang bocah kadang saya merasa jengkel atau sakit hati kalau ayah marah-marah apabila prestasi saya di sekolah menurun.
Pernah suatu ketika saya dipukul menggunakan sabuk kulit beliau hanya gara-gara saya telat mengikuti pengajian rutin remaja di Masjid dekat rumah.
Saat itu hati saya merasa sakit sekali, betapa tidak, umur saya yang saat itu telah mencapai 17 tahun tentulah malu rasanya jika harus menerima bentakan dan pukulan apalagi itu dilakukan didepan teman-teman kuliah saya.
Namun, akhirnya kini baru saya sadari, betapa ayah adalah sosok orang tua yang sangat mencintai anak-anaknya. (maaf kalo saya menangis ketika membuat tulisan ini).
Saya baru merasakan begitu berharganya apa yang telah ayah tanamkan kepada anak-anaknya. Saat ini saya telah menjadi salahsatu aktivis Partai yang pernah abang pimpin (PBB) di kota Bandung.
Tidak hanya itu, saat inipun dengan usia yang masih cukup muda saya telah menjadi salah satu orang yang sering diajak berbincang dan berdiskusi oleh Walikota Bandung dalam hal kondisi sosial, politik, dan ekonomi kemasyarakatan di kota kami. Belum lagi pekerjaan mapan yang telah saya dapatkan di sebuah perusahaan BUMD di Bandung.
Tentu semuanya adalah berkat kerja keras Ayah dan Ibu yang senantiasa setia mendampingi putra-putranya dalam suka maupun duka, senang ataupun susah.
Yaa Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua Orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi aku tanpa pamrih. Amien.
Wassalam. Rudi Chaerudin, A.Md. (Ketua PAC PBB Kec Kiaracondong Kota Bandung & Ket. Bag. Politik & Otda DPC PBB Kota Bandung).
Salam.
Saya ragu, apakah betul blog ini dikelola oleh Pak Yusril dari Partai Bulan Bintang itu. Sebab, karakter artikelnya tidak seperti yang sering saya baca di majalah Tempo pada dekade 1980-an.
Mohon Pak Yusril bisa memberikan konfirmasinya lewat media massa atau lewat blog ini dengan menampilkan profilnya yang sejati.
Selama tidak ada hal tersebut, saya malah curiga blog ini menjadi “batu” berat yang menenggelamkan Pak Yusril.
Salam.
Gede H. Cahyana
http://gedehace/blogspot.com
Turut berduka cita :)
Innalillaahi wa inna ilahi rajiiuun, turut berduka cita ya Pak! Postingan ini mengingatkan saya pada almarhum bapak dan almarhumah ibu saya. Kita memang akan pergi secara bergiliran…
Pak, tambahin foto dan Shout Box ya? Biar bisa saling interaktif gitu. Dan biar yakin bahawa blog ini memang punya Bapak (kalau saya sih insya Allah yakin ini blog Bapak Yusril ;) ). Sukses!
selamat pak yusril atas peluncuran blog nya….. ditunggu tulisan berikutnya pak, mungkin ke depan tulisan-tulisan bapak termasuk yang dulu-dulu bisa dikumpulkan dalam sebuah buku…
innalillahi wainnalillahi roji’un
turut berduka cita ya pak, setelah membaca tulisan bapak, sangat terharu dan itu semua mengingatkan kita akan kematian dan kita memang pasti kembali kepada-Nya….
ya betul pasang shout box ya pak…biar lebih rame
selamat datang ya pak di dunia blog…sebenernya saya penasaran ketika tadi baca koran tribun Jabar…pas dihalaman depan membahas blognya bapak, karena penasaran saya mampir kesini…alhamdulillah ketemu!!!
turut berduka cita ya bang..
mudah2an, saudara abang dipertemukan dengan para kekasih Allah…
hidup memang sekedar gurau, setelah kita meninggal, itulah hidup sebenarnya.
untuk gede h. cahyana,
silakan lihat di http://priyadi.net, disitu ada laporan pertemuan para blogger dengan bang yusril, setelah sebelumnya terjadi dugaan2 bahwa ini hanya sekedar karakter palsu di dunia maya.
assalamu’alaykum Ustad Yusril, dan inna lillahi wa inna ilayhi raji_un buat engku hamid.
Kalau membaca tulisan Anda, Prof, kesannya Anda soleh dan santun. Tapi sebagai wartawan, beberapa kali ketemu Anda langsung, saya berpendapat bahwa anda kadang menyenangkan, kadang sombong. Maaf, mungkin karena itulah Anda dimusuhi wartawan. Jadi jangan marah, ini koreksi dari seorang pengagum setia.
semua yang bernyawa pasti akan mati. alamiah saja. masalahnya bagaimana menjalani hidup karena itu cerminan kehidupan setelah “hidup” berakhir.
inalillahi waina ilaihi roji’uun. semoga apa yang bapak gambarkan tentang almarhum, benar adanya. dan benar juga menurut Allah. sehingga beliau mendapat tempat terbaik di akhirat.
selamat atas blognya pak!
Tulisan bapak saya tunggu lagi. cerita / kisah / fikiran2 yang bertebaran selama menjadi menteri sekian periode, tentunya sangat berguna bagi bangsa ini.
bravo YIM!
Kehidupan didunia ini adalah hanya bagian dari suatu perjalanan yang belum kita selesaikan, seperti seorang pengembara yang sedang melakukan perjalanan menuju suatu tempat yang diimpikannya.
Banyak cerita suka dan duka, tangis dan tawa yang menghiasi perjalan ini dan semua itu memang harus jalani.
Banyak sekali tantangan dan godaan yang mengganggu perjalan ini sehingga terkadang ada rasa keputusasaan dalam menempuh perjalanan ini, namun ketika kita Istiqamah pada aturan yang telah ditetapkan oleh yang membuat perjalanan Insya Allah kita akan selamat sampai tujuan dengan penuh kebahagian.
Kita berharap semoga perjalan hidup kita yang singkat ini dapat kita jalani dengan baik yang dapat menghasikan kebaikan untuk diri kita juga untuk orang lain dan ingat sang waktu terus medorong kita menuju titik terakhir perjalan ini.
Saya turut berduka cita.
Semua yang bernyawa memang akan mati. Tidak terkecuali kita.
“Dan cukuplah kematian sebagai peringatan,” begitu sabda Nabi. Maka kita selalu harus mengingatkan diri sendiri bahwa kelak kita akan mati.
Semoga saja pada saat mati dan dikubur kelak, orang-orang yang mengantar kita di kuburan akan memberi konfirmasi positif ketika diajukan pertanyaan tentang kebaikan kita. Amin.
Assalamu’alaikum,
Sejak tulisan ini saya muat tadi pagi, telah ada 17 bloger yang memberikan tanggapan. Secara umum, saya berterima kasih atas semua tanggapan itu. Terima kasih pula atas ucapan duka cita atas wafatnya saudara sepupu saya, yang telah saya ceritakan dengan panjang lebar. Semoga setiap kematian, akan menyadarkan kita semua, bahwa suatu ketika kitapun akan mati juga.
Saran Sepenggal Jejak agar saya menulis tentang pengalaman bekerja di bawah beberapa Presiden RI, saya sambut baik. Kapan-kapan memang saya ingin menulis hal itu, untuk menambah wawasan kita semua.
Untuk Gede Cahyana, mohon Anda mengikuti kontroversi masalah ini di blog Jay, Priyadi dan Vavai, serta yang lainnya. Kontroversi tentang saya, telah diselesaikan dengan baik, setelah berbagai “test” dilakukan terhadap saya. Teman-teman telah “ainul yaqin” dan “haqqul yaqin” setelah bertemu secara langsung dengan saya di Billiton Bistro. Beberapa koran Jakarta, juga sudah mengkonfirmasi kesahihan blog saya ini.
Untuk Aditya, saya ucapkan terima kasih dan rasa hormat saya atas tanggapan dan kritik yang disampaikan. Saya pribadi sebenarnya amat bersahaja dan selalu bersikap terbuka. Pengalaman saya menghadapi wartawan di era keterbukaan sekarang ini, memang jauh beda dengan “zaman dahulu”. Kalau wartawan bertanya baik-baik, saya dengan senang hati akan menjawab dan menjelaskan dengan baik-baik pula apa yang mereka tanyakan. Masalahnya, saya seringkali bertemu dengan wartawan yang mengajukan pertanyaan dengan gaya interogasi, dan menghakimi orang yang ditanya. Menghadapi hal seperti ini, kadang-kadang saya kesal juga. Pertanyaan yang diajukan sudah tidak bermutu, tetapi sok tahunya minta ampun.
Ketika saya mahasiswa saya pernah mengikuti pendidikan kewartawanan. Saya pernah jadi wartawan paruh waktu. Sebelum saya bertanya kepada seseorang, biasanya saya pelajari dulu masalahnya. Ada wartawan “zaman sekarang” yang mungkin tidak pernah mendapat pendidikan kewartawanan, sehingga bertanya nampak tidak profesional. Ketika saya jadi Mensesneg, saya mengdapi “wartawan Istana” yang semestinya sudah tergolong wartawan yang handal. Namun, kadang-kadang gaya interogasi, sok tahu dan menghakimi mereka ajukan kepada saya. Saya mohon maaf atas semua ini. Marilah kita saling melakukan koreksi, demi kebaikan kita bersama. Sekali lagi, terima kasih banyak atas masukan dan komentar Anda.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun…
Turut berbela sungkawa…
Assalamualaikum W.W..
Saya mengetahui keberadaan blog ini setelah membaca koran, dan saya sangat penasaran.
Sekarang rasa penasaran saya terjawab. Tulisan Bapak sungguh indah, dalam menggambarkan segala situasi yang dialami dalam kehidupan Bapak.
Saya juga mengucapkan turut berduka cita atas kehilangan yang baru saja dialami, semoga amal ibadah almarhum diterima disisinya.
saya turut mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya untuk sepupu bapak yusril. kiranya arwah beliau diterima disisiNya dan segala kesalahan beliau diampuni. Kita semua berasal dari tanah..pada akhirnya akan kembali ke tanah pula..
Setiap kita punya waktu didunia dimana waktu tersebut seluruhnya sangat berharga dan amat sayang jika terbuang sia-sia. menurut saya kita harus berbuat yang terbaik semampu kita didalam kehidupan kita supaya bilamana kita akan berpulang kepadaNya, tiada yang kita sesali dan kita berbahagia karena pernah merasakan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita.
Best regards,
Ika
Hidup adalah perjuangan. Perjuangan adalah upaya menggapai cita-cita. Cita-cita adalah keinginan, dan keinginan manusia tidak sama. Apa yang saudara Bang Yusril alami mungkin itu adalah kebahagiaan baginya.
Untuk bang Yusril, berjuanglah sesuai dengan cita-cita luhur. Sekian dan Terima kasih. Salam dari Saya di Bangka
tulisan yang menyentuh, tapi kenapa panjang amat bos?
Turut berduka cita, Pak Yusril.
Alangkah lebih bagusnya jika blog ini juga dilengkapi dengan foto-foto subyek yang diceritakan dalam artikel ini. Saya tahu pak Yusril adalah newbie di dunia blog. Tapi saya yakin Pak Yusril menyempurnakan blog ini dalam waktu yang singkat.
Salam untuk seluruh keluarga, Pak..
sebetulnya saya sedang luarbiasa sibuk. Pertama karena musti berpacu dengan tenggat dalam pekerjaan. Kedua, menyiapkan kertas kerja tentang program tahunan dan LPJ tahun berjalan. Tapi entah kenapa mata saya nyangkut di tulisan Prof. Yusril Ihza tentang kematian. Ada beberapa persoalan penting untuk dibahas tentangnya.
Pertama soal ketidak-khidmatan orang ketika mengantar jenazah ke tempat pemakaman. Ini soal menarik dan penting. Tetapi bila dipikir-pikir lebih jauh, ternyata ini adalah satu soal kecil dari begitu banyak persoalan orang islam. Kita lupa bahwa sesaat lagi kitalah yang diusung ke liang lahat. Entah bagaimana kita bisa berhadapan dengan Malaikat Penjaga Kubur. Bisakah kita menjawab pertanyaan mereka?
Ini sungguh mengerikan. Karena 50 atau katakanlah 70-an tahun di dunia yang baru saja kita lewati, terasa hanya sesaat. Hilang sudah semua kebanggaan dan kesenangan. Tak ada lagi prestasi, bahkan tak ada peluang untuk sekedar beristighfar. Padahal bolehjadi sebagian besar dari seluruh usia kita diisi dengan kesia-siaan dan dosa. Jadi, bagaimana mungkin kita sanggup menjalani jutaan tahun penuh kepedihan dan derita di alam kubur, sedangkan derita kecil di dunia saja nyaris tak mampu kita memikulnya.
wah, pak,
tulisannya bagus bangeet..
turut berduka cita pak.
kalo boleh request, saya mau tau gimana jejaknya pak yusril yang merantau ke jakarta dan akhirnya bisa jadi mentri.
cerita sukses sering membuat saya makin getol untuk bekerja pak.
Assalamualaikum.
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sebelumnya, Saya mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya.
Setelah baca, Saya jadi teringat kembali dengan gaya bahasa Andrea Hirata serta pengalamannya di Belitong sana di ke 3 novelnya: Laskar Pelangi, Sang Pemimpi dan Endensor. Bagaimana pendidikan sangat dihargai di sana dan bagaimana perjuangan masyarakat di sana mencapai pendidikan. Akhirnya, lewat mimpinya, sampai juga dia di Eropa dan menjajakkan kakinya di seluruh Eropa.
Bang Yusril jadi penulis novel aja kali ya (^.^). Dari awal pindah ke Jakarta, sampai jadi menteri. Bakal jadi best seller. Hehehe.
robbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah, wa qina azabannar. amin.
Assalamu’alaikum Pak Yusril.
Atas informasi vavai saya coba melihat-lihat “rumah” Bapak ini. Syukurlah kalau memang blog ini ditujukan untuk menambah wawasan, berbagi pengetahuan dan pengalaman. Saya senang sekali bergabung di sini.
Kekesalan Bapak terhadap perilaku “wartawan sekarang” menurut saya punya nilai jual. Saya sering menyaksikan di tv dialog Bapak baik dengan sesama pakar maupun dengan reporter, yang menampilkan karakter temparemental dan ekspresif., justru di situlah daya tariknya., dan punya nilai jual terhadap pemirsa., hehehe. Bukankah tayangan gambar dan suara membutuhkan tekanan suara dan mimik wajah.
Barangkali, reporter memang menunggu keluarnya reaksi Bapak yang terkesan keras menjawab pertanyaan yang menurut Bapak memojokkan dan mengadili. Ada dua kemungkinan penyebab reporter bersikap demikian, mungkin karena memang belum terdidik tapi berlagak serba tahu, bisa juga memang mereka butuh “news value” yang punya nilai jual tersebut.
Mohon maaf, jika ada salah dan janggal.
Wassalam.
Bang Yusril,
Mendukung komentar dan request sdr. Didats,
sepertinya akan sangat bermanfaat jika ada
semacam memoar perjalanan Pak Yusril sampai
saat ini. Dari Belitong, jadi Menteri,
jadi Cheng Ho(main film), sampai ngeblog !
Saya kira akan banyak manfaatnya bang, sebagai bahan
guidance, pencerahan dan pembelajaran bagi generasi
selanjutnya yang ingin mentransformasikan mimpi
jadi kenyataan (transforming “dream” into “reality”).
Best regards,
is-albab
Sampai berkaca-kaca saya membacanya. Memang ketika kita tenggelam dalam perbuaruan kenikmatan dunia, manusia (eh saya) seolah-olah tak akan ada kematian, tapi klo menyempatkan diri merenung/tafakkur begitu sebentarnya kita (saya) di dunia ini. Tahun 2100 yang aktif di blog ini “pasti” sudah berpindah alam. Allahumma inna nas-aluka husna khatimah, Amin.
Saya terharu membaca tulisan ini, dan membuat makin yakin bahwa kita hanya meminta tolong kepada Allah Swt, bukan kepada makhluk.
Sukses buat Bang.
turut berbela sungkawa ya pak
bener sih, manusia emang suka lupa kalo cuman mampir minum…
saya setuju dengan pendapat YIM tentang gaya wartawan saat ini, yang merasa sok teu dan sok penting, padahal bisa dibilang bahwa kerjaan dia itu hanya ngompori massa yang kebanyakan masih uneducated.
Selamat datang dg Blog yg baru pak Yusril, tampilannya sudah ok. Insya Allah kami akan senang membaca tulisan2 yg akan anda munculkan dalam blog ini. Cerita tentang kepergian sepupu Almarhum Hamid sungguh amat menyentuh dan banyak hikmah yg dapat kami serap dari tulisan itu. Kami tunggu tulisan2 berikutnya. Wassalam
kepala ini serasa disiram air es. ‘dalam’ sekali pak tulisannya
Assalamualaikum.
Innalillahi wa innailaihi rojiun. Sebelumnya, Saya mengucapkan turut berduka cita sedalam-dalamnya.
Pak Yusril,
KEHILANGAN UANG KEHILANGAN BANYAK, KEHILANGAN SAHABAT KEHILANGAN LEBIH BANYAK, KEHILANGAN SEMANGAT ADALAH KEHILANGAN SEGALA GALANYA
Komentar bapak dalam kalimat:
“Cukup panjang bagi belalang nangka, sangat pendek bagi manusia. Sangat panjang bagi manusia, terlalu pendek bagi para malaikat”
Mengingatkan saya pada kejadian tujuh tahun lalu,
sekedar berbagi (gantian gitu lo..)
Saya juga pernah mengalami mengalami di alam lain (Alam ghaib) ternyata di alam sana satu detik sebanding dengan seribu tahun di alam dunia, namun paling mengherankan satu langkah di alam dunia sama dengan ribuan kilometer di alam ghaib.
Saat itu juga saya melihat mahluk aneh warna gelap tak tampak rupa, juga melihat sinar terang yang indah.
Tapi saat itu tetangga dan sanak saudara sudah sedang membacakan yasin buat saya.
Bayangkan pak, di alam sana kita hanya mempunyai dua sifat saja yang lainya gak ada, cuma “Senang” Dan “Tidak Senang”
Saya ceking ke dokter tubuh saya normal.
Dibantu oleh seorang kyai, saya ikhlas hari itu juga sedekah satu ekor sapi, saya kembali ke alam normal, dan sampai sekarang saya sangat trauma dengan kejadian itu.
Sejak saat itu saya menghindari hal-hal sedih, takut terulang lagi
oh sram…..
Jangan maen-maen pak, tulisan bapak sangat menyentuh hati saya
Judul Blog Bapa “AKHIRNYA SEMUA KITA AKAN PERGI”
Membuat merinding
Jika ada saran kirim ke email
Screet_h2_j8s8x@yahoo.co.id
Assalamualaikum Wr.Wb.
Bang, saya tahu blog abang dari koran. Terus, begitu aku buka ada berita duka tentang saudara kita yang meninggal di jakarta, kebetulan saya keturunan “perenggu” kek Dulah, terus aku konfirmasi ayah ternyata waktu di ac seangkatan dengan beliau, innalillahi semoga arwahnya ditempatkan di tempat yang layak di sisi Allah SWT. Amien.
Salut untuk keberanian abang berdialog via internet, mudah-mudahan banyak pelajaran yang bisa kita dapat dari dunia maya ini, saat ini ada dua orang belitong yang aku kagumi salah satunya anda dan bang andrea sang novelis yang bisa membuat suasana “Billitonis”. Ditunggu tulisan-tulisan berikutnya, salam hangat buat keluarga.
Wassalam
bang yusril,……
kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya atas kepergian saudara sepupu abang, semoga segala kebaikan beliau mendapat ganjaran sebagai pahala dari Alloh SWT.
Dari Allah kita berasal dan kepada-Nya jua akan kembali ..
Ungkapan ttg perjalanan hidup sepupu Pak Yusril sampai ajal menjemput menyentuh hati siapa saja, karena ditulis apa adanya .. semoga amal-amalnya diterima Allah dan kesalahannya di ampuni .. amin … 3 x
dulu ddiriku pernah mendukung, untu jadi presiden PESIDEN RI…………………..
dulu ddiriku pernah mendukung, untu jadi presiden PESIDEN RI…………………..
dulu ddiriku pernah mendukung, untu jadi presiden PESIDEN RI…………………..
jarang sekali saya menjumpai blog seperti ini… banyak pelajaran, hikmah, tausiyah, dan nasihat bagi diri saya pribadi maupun pembaca lainnya…
walaupun banyak cerita miring tentang diri pak yusril dimasyarakat kita, tapi dengan membaca pengalaman pak yusril ini, benar2 dapat membuka hati saya bahwa orang lebih senang melihat kekurangan kita, dibanding melihat kebaikan kita.
mudah2an pak yusril tetap diberi petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT begitu pula kita semua. Amin.
Membaca tulisan pa Yusril, saya teringat ketika seminggu menjelang lebaran kemarin saya mendapat kabar calon bapak mertua saya telah tiada. Beliau mendapat perawatan di Rs. Wijaya Kusumah Kuningan sekitar tiga hari, dan setelah itu tanpa firasat apapun meninggalkan keluarga yang sangat mencintainya.
Saya akhirnya mafhum bahwa diatas segalanya masih ada yang kuasa. Kita tidak tahu kapan akan dipanggil oleh-Nya, entah esok, lusa, bulan depan, kita tidak tahu. Yang kita tahu hanyalah agar kita selalu mempersiapkan diri saat tiba giliran kita menghadap yang kuasa. Dan sebagai anak, melalui tulisan anda, saya kembali tergugah tentang 3 hal yang tak mungkin terputus, amal kebajikan, shodakoh jariyah dan doa anak yang sholeh.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, turut berduka buat pa Yusril
O ya, saya tahu blog pa Yusril dari koran, saya penasran dan saya buka dech….pengen tahu apa isinya he…..saya juga lagi belajar ngeblog neh…
Turut berduka cita.
Terharu dengan kisah hidup, Pak, Hamid. Mudah-mudahan amal baik beliau diterima di sisi Allah SWT.
Ada kenikmata tersendiri ketika membaca artikel ini…
Salam kenal Pak Yusril…
Jebee
Apakah baru kini bapak sadari “Akhirnya Semua Kita akan Pergi”?? setelah terjungkal dari empuknya kursi kabinet ??
Sekiranya bapak masih bersandar dikursi kabinet itu, apakah kalimat meyentuh ini masih terselip dikalbu sanubari ??
“Akhirnya semua kita menyadari”
tapi sayang kesadaran itu muncul bukan diawal mengabdi……
Semoga kita dapat memetik semua hikmahnya
Salam Hangat
Pak Yusril,
Saya salah satu pengagum Pak Yusril dan selalu mengikuti berita tentang Pak Yusril baik dikoran maupun di media elektronik, dan dari masa masa menjadi Menteri. Cara Pak Yusril berbicara dan berdiskusi di Televisi menunjukan bahwa Pak Yusril mempunya wawasan yang luas. Artikel ini memberikan kita pelajaran bahwa manusia ini sebenarnya tidak ada apa apanya dibandingkan dengan kebesaran Tuhan, dan kita masih melihat banyak sekali manusia yang sombong, baik memamerkan harta dan jabatan, padahal waktu meninggal kita tidak membawa apa apa.
Terimakasih untuk sharingnya dan sukses untuk Bapak.
kog Bapak bisa tertarik main film? ^__^
atau bisa juga memang Anda yang sombong. Bisakah(?)…?
Seperti Dessy yang miss no comments. Makin dia no comments ya makin dicecar. Atau teringat masa2 sekolah kalok ada teman yang marah saat dogoda, Kecuali dia adalah “jagger”nya si situ, dianya itu akan terus menerus jadi sasaran godaan.
Mau memilih jadi jagger, tentu tidak simpatik. Mau bersantun-santun melelahkan. Jadi, sila pilih sendiri
Pak Yusril yang baik,
Menyentuh sekali ceritanya..kita semua berdoa semoga almarhum diberi tempat sebaik-baiknya disisi-Nya…btw, karena Pak Yusril dari Belitung jadi ingat Andrea Hirata, penulis tetralogi laskar pelangi…
salam,
yayan
“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim,laki2 dan perempuan mukmin,laki2 dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,laki2 dan perempuan yang benar,laki2 dan perempuan yang khusyuk,laki2 dan perempuan yang bersedekah, laki2 dan perempuan yang berpuasa, laki2 dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki2 dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar ” ( QS Al-Ahzab (33) : 35)