MASALAH “UANG TOMY” DI BANK PARIBAS
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Sesungguhnya ada keengganan di hati saya untuk menulis masalah ini, mengingat masalahnya sudah campur aduk antara masalah hukum, politik dan komentar dari berbagai pihak yang mungkin belum mendalami inti persoalan. Semula saya sudah ingin melupakan masalah ini, sebagaimana saya pernah melupakan tuduhan bahwa saya menerima dana cessie Bank Bali pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Belakangan berita yang begitu menggebu-gebu di media massa, ternyata hanya rumors belaka dan samasekali tidak terbukti. Presiden Abdurrahman Wahid sendiri akhirnya mengklarifikasi bahwa saya, dan juga Hamzah Haz tidak terlibat.
Masalah “uang Tomy” di Paribas itu muncul ke permukaan setelah adanya perkara di Pengadilan Guernsey, Inggris, antara Garnet Invesment dengan Bank Paribas. Saya tidak pernah berurusan dengan Garnet Investment ini, baik sewaktu menjadi Menteri Kehakiman dan HAM maupun sesudahnya. Firma hukum Ihza&Ihza juga tidak. Sebelum masuk ke masalah Paribas, saya ingin menjelaskan lebih dulu tentang firma hukum ini. Pada awalnya, firma itu bernama Yusril Ihza Mahendra and Partners, yang didirikan ketika saya berhenti sebagai menteri di zaman Presiden Abdurrahman Wahid. Namun setelah saya masuk kabinet lagi di zaman Presiden Megawati, saya non aktif dari sana. Firma hukum itu ditangani oleh anggota keluarga Ihza yang lain, sehingga diganti namanya menjadi Ihza&Ihza. Patut diketahui bahwa Ihza itu adalah nama keluarga, bukan nama kecil saya. Pengacara yang menangani kasus Garnet vs Paribas di Pengadilan Guernsey bukanlah Ihza&Ihza, tetapi OC Kaligis. Namun pemberitaan media massa mengenai masalah ini campur aduk begitu rupa.
Kasus yang dulu saya pernah terlibat menanganinya, bukan kasus Garnet, tetapi Motorbike International Ltd, sebuah perusahaan yang terdaftar di Bahama. Perusahaan ini bukan berbadan hukum Indonesia. Namun ketiga pemilik sahamnya, yakni Hutomo Mandalaputra alias Tomy Suharto, Sujaswin Lubis dan Abdurrahman Abdul Kadir Mulahale, adalah warganegara Indonesia. Ketiganya duduk sebagai direksi. Namun ketika Tomy ditahan oleh aparat hukum Indonesia, dia non aktif dari kepengurusan. Surat-menyurat perusahaan ditandatangani Sujaswin dan Abdurrahman. Rekening yang dibukukan di Paribas terdaftar atas nama Motorbike International Ltd, bukan atas nama pribadi Tomy Suharto sebagaimana selalu diberitakan media massa. Kalau pemberitaan menyebut uang itu milik Sujaswin Lubis atau milik Abdurrahman Abdul Kadir Mulahale, tentu tidak menarik dan juga tidak punya nilai politis. Nama kedua orang ini, bahkan, samasekali tidak pernah muncul dalam pemberitaan, walau mereka adalah juga pemilik Motorbike.
Menurut laporan yang saya terima, telah bertahun-tahun Motorbike berusaha untuk mencairkan deposit tersebut, namun Bank Paribas selalu menolaknya dengan berbagai alasan yang sulit untuk mereka terima. Akhirnya mereka bertanya kepada Paribas, apakah ada perintah dari Pengadilan di Inggris untuk membekukan uang itu. Jawaban Paribas tidak ada. Kalau demikian, apakah ada laporan dari Komisi Pengawas Transaksi Keuangan– semacam PPATK — Inggris bahwa uang itu dicurigai sebagai money laundering. Paribas menjawab, juga tidak ada. Paribas hanya mengatakan bahwa mereka curiga dan khawatir kalau-kalau uang itu adalah hasil kejahatan. Motorbike mengatakan, bank tidak bisa menahan sebuah rekening hanya atas dasar kecurigaan. Hal seperti itu akan mempengaruhi kredibilitas sebuah bank. Diskusi itu berlanjut, sampai akhirnya Paribas menyatakan ingin meminta pendapat hukum dan sekaligus klarifikasi dari Pemerintah Indonesia tentang Motorbike dan ketiga pemegang sahamnya. Permintaan itu disampaikan Paribas melalui Motorbike dan pengacaranya.
Firma hukum Ihza&Ihza yang menerima kuasa dari Motorbike — yang ditandatangani oleh Sujaswin Lubis dan Abdurrahman Abdul Kadir Mulahale sebagai direksi — akhirnya mengajukan permohonan pendapat hukum dan klarifkiasi Pemerintah Indonesia itu. Hidayat Achyar dari firma hukum Ihza&Ihza mengatakan kepada saya, bahwa sejak semula mereka sebenarnya tidak ingin melibatkan Pemerintah Indonesia. Namun karena permintaan itu datang dari Paribas, maka mereka tidak punya pilihan lain kecuali melakukannya. Terus terang waktu itu saya menghadapi dilema, karena sangat mungkin kasus ini dipolitikkan dikemudian hari. Orang dengan mudah mengkait-kaitkan Ihza&Ihza dengan saya. Namun saya berpikir, bahwa saya harus melayani semua orang. Kalau surat itu datang dari firma hukum yang lain, pasti akan saya layani juga.
Semua masalah yang diajukan kepada saya sebagai menteri, dari siapapun datangnya, tidak boleh saya tolak. Saya tidak boleh bekerja atas dasar suka atau benci. Saya tidak boleh membeda-bedakan orang dalam memberi pelayanan. Bisa-bisa saya dituduh melanggar HAM karena melakukan diskriminasi. Toh, saya juga menerima Adnan Buyung Nasution yang menelpon minta bertemu, walau ketika datang, beliau membicarakan kliennya Ricardo Gelael. Saya juga menerima Todung Mulya Lubis, Munir, Hendardi, Abdul Hakim Garuda Nusantara dan banyak lagi yang lain. Mereka datang menyampaikan permasalahan kepada saya. Semua saya tanggapi dan saya layani, walau tidak semua dapat saya tangani dan selesaikan.
Saya juga menerima tokoh-tokoh politik dari segala partai, termasuk Sabam Sirait dan VB Da Costa dari PDIP, tokoh Golkar, PPP, PBB dan partai-partai lain. Tokoh “kontroversial” di dunia bisnis, Tommy Winata, saya terima juga karena dia ingin menyampaikan suatu permasalahan. Saya juga menerima orang-orang eks PKI dan eks Mahid yang datang menyampaikan permasalahan hukum dan hak asasi manusia. Bahkan saya menerima telepon Subron Aidit dari luar negeri, yang menyatakan keinginannya untuk pulang ke tanah air. Saya juga menerima Ustadz Abubakar Baasyir dan membantu mengurus amnesti beliau dalam kasus tindak pidana yang terkait dengan politik, bersama Abdullah Sungkar. Saya mengerti Ihza&Ihza mempunyai hubungan dengan saya, tetapi saya harus memberikan pelayanan yang adil dan proporsional, sama seperti pihak-pihak lain. Saya juga tahu dan mengerti bahwa dalam Motorbike itu ada Tomy Suharto sebagai salah seorang pemegang saham. Saya mengerti Tomy Suharto sedang menghadapi perkara pidana. Namun dilihat dari sudut hukum, hak-hak keperdataannya sebagai warganegara tidak hilang karena perkara pidana yang dihadapinya.
Mungkin itulah kesalahan saya, jika orang lain melihatnya dari sudut pandang politik. Tetapi sebagai Menteri Kehakiman dan HAM saya selalu berpikir secara hukum: setiap warganegara Indonesia yang menghadapi masalah harus saya tangani. Tidak boleh ada perasaan suka atau benci. Saya selalu mengacu kepada prinsip yang ditegaskan al-Qur’an “Jangan sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu golongan, menyebabkan kamu berlaku tidak adil terhadap mereka. Berlaku adillah, karena sesungguhnya adil itu lebih dekat kepada takwa”. Saya harus bekerja profesional, walaupun tentu akan menghadapi risiko dipergunjingkan secara politik. Ketika saya berdialog dengan eks Mahid di Belanda atas perintah Presiden Abdurrahman Wahid, anggota DPR dari PPP, Aisyah Amini, telah menuduh saya “anak Masyumi telah rangkul-rangkulan sama PKI”. Anggota PBB ada juga yang marah kepada saya. Mereka menuduh saya ingin “menjemput orang PKI pulang ke tanah air”. Tapi biarkanlah. Tidak ada kerja tanpa risiko. Apapun yang dilakukan pejabat pemerintahan, akan selalu menuai kritik. Orang akan menilai sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya masing-masing. Tidak ada satu langkah yang diambil, akan mampu memuaskan kepentingan semua orang.
Surat yang disampaikan firma hukum Ihza&Ihza itu dikirimkan kepada saya tanggal 26 Pebruari 2004. Intinya memohon pendapat hukum terkait dengan rekening Motorbike di Bank Paribas. Mereka juga memohon klarfikasi apakah Motorbike International Ltd dan para pengurusnya, terkait tindak pencucian uang atau tidak menurut data Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK). Tentu Departemen Kehakiman dan HAM tidak dapat menjawab permintaan itu, kecuali lebih dahulu melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait. Sebab itulah, dilakukan korespondensi dengan PPATK dan dilakukan pengecekan di kejaksaan dan pengadilan, untuk memastikan apakah ada perkara pidana atau perdata, yang melibatkan Motorbike serta pengurus dan pemegang sahamnya.
Ada dua surat PPATK menjawab pertanyaan Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum. Surat pertama Nomor 3/246/PPATK tanggal 17 Mei 2004, dan ditandatangani oleh ketuanya Dr. Yunus Husein selengkapnya berbunyi “Menunjuk surat Saudara No.C.HT.04.10-03 tanggal 19 April 2004 perihal mohon informasi, bersama ini diberitahukan bahwa berdasarkan pengecekan pada database administrasi kami nama badan hukum Motor Bike International Ltd, tidak pernah dilaporkan oleh penyedia jasa keuangan sebagai pihak yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan (suspicious transaction report). Demikian, atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih.” Dalam surat ini tidak dicantumkan kode rahasia. Namun dalam surat kedua, yang lebih tegas menyebutkan nama Hutomo Mandalaputra, Sujaswin Lubis dan Abdurrahman Mulahale, saya menemukan adanya keterangan bahwa informasi ini “bersifat rahasia”. Karena itu, surat kedua ini tidak pernah saya buka kepada publik.
Koordinasi juga dilakukan untuk mengecek register perkara di Kejaksaan Agung, guna memastikan apakah ada kasus pidana, baik ditingkat penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas Motorbike. Hasilnya nihil. Satu-satunya kasus pidana yang ada, berkaitan dengan salah satu pemegang saham Motorbike adalah kasus Hutomo Mandalaputra, yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, namun sedang dalam tahap pemeriksaan di tingkat banding. Amar putusan perkara itu menyatakan terdakwa terbukti bersalah dalam kasus menyimpan senjata api dan bahan peledak, membujuk (uitlokker) untuk melakukan pembunuhan berencana. Kasus yang didakwakan kepada Hutomo Mandalaputra tidak ada kaitannya dengan rekening Motorbike di Bank Paribas. Bagi orang awam, putusan seperti itu telah cukup menjadi alasan bahwa terhukum adalah “penjahat” dan harus dikucilkan dalam semua hal. Namun dari segi hukum, saya mengetahui bahwa Pasal 1918 BW menegaskan, kekuatan putusan pengadilan pidana, hanya terbatas pada apa yang menjadi diktum putusan itu, dan tidak bisa dikaitkan dengan masalah lain. Jadi putusan pidana pembunuhan berencana dan kepemilikan bahan peledak, tidak dapat dikaitkan dengan sengketa perdata rekening Motorbike di Bank Paribas.
Setelah melakukan koordinasi dan pengecekan itulah, sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, saya menyampaikan pendapat hukum dan klarifikasi kepada Bank Paribas. Surat dalam bahasa Inggris itu, kalau diterjemahkan intinya mengatakan: “Bahwa hasil pemeriksaan dari Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan menyatakan tidak terdapat nama Motorbike International Ltd sebagai pihak yang melakukan transaksi mencurigakan. Bahwa tidak terdapat perkara baik perdata maupun pidana yang terkait dengan Motorbike International Ltd di pengadilan-pengadilan di Indonesia, karenanya tidak terdapat alasan hukum bagi Pemerintah RI untuk menuntut/meminta dana milik Motor Bike International Ltd pada BNP Paribas atau melakukan tuntutan hukum terhadap BNP Paribas. Oleh sebab itu, BNP Paribas tidak berhak untuk menahan dana milik Motor Bike International Ltd, kecuali ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Surat bernomor M-UM.01.06-94 itu saya tanda-tangani tanggal 4 Juni 2004, dan ditembuskan kepada Kedutaan Besar RI di London. Bahkan surat kepada Bank Paribas itu disampaikan melalui KBRI London. Ada sejumlah korespondensi antara Departemen Kehakiman, Paribas dan KBRI London, dan sebaliknya, yang ditangani oleh Wakil Duta Besar atau Deputy Chief of Mission (DCM) Eddy Pratomo. Penanganan kasus dana Motorbike di Bank Paribas, memang diketahui, bahkan melibatkan KBRI di London dan dilakukan secara terbuka. Tidak ada yang dirahasiakan. Departemen Kehakiman harus menempuh langkah itu, karena apa yang dilakukan di luar negeri, haruslah dikoordinasikan dengan KBRI setempat. Bahwa belakangan di koran-koran ada statemen dengan nada menyangkal dari Eddy Pratomo, saya tidak ingin mengomentarinya.
Belakangan hari setelah kasus ini mencuat menjelang reshuffle kabinet, ada pendapat dari kalangan pengamat bahwa rekening Motorbike di Bank Paribas itu adalah uang hasil korupsi mantan Presiden Suharto yang dilarikan Tomy ke luar negeri. Sebab itu, uang tersebut adalah milik negara, milik rakyat Indonesia. Dubes RI yang baru di London, Dr. Marti Natalegawa, juga menyampaikan statemen yang lebih kurang sama. Saya tidak dapat menyalahkan pendapat dan statemen seperti itu, jika dilakukan untuk konsumsi politik dan diplomasi. Sebagai Menteri Kehakiman, seperti telah saya katakan, saya harus bertindak menurut hukum. Pasal 553 jo Pasal 1965 Burgerlijk Wetboek (BW) menegaskan bahwa seseorang atau suatu badan hukum haruslah dianggap beriktikad baik. Seseorang atau badan hukum yang dituduh beriktikad buruk, harus dibuktikan di hadapan pengadilan. Pasal 1977 BW menegaskan bahwa siapa saja yang menguasai benda bergerak adalah pemilik benda itu. Tuduhan bahwa benda bergerak itu bukan milik orang yang menguasainya, harus dibuktikan oleh si penuduh di depan pengadilan. Bukan sebaliknya orang yang menguasai benda bergerak itu yang harus membuktikan bahwa benda itu adalah miliknya.
Karena uang itu disimpan di bank atas nama Motorbike International Ltd, maka jika ada tuduhan atau klaim bahwa uang itu bukan miliknya, maka pihak yang menuduh atau mengklaim itu harus membuktikan sebaliknya di depan pengadilan. Sampai posting ini saya tulis — sepanjang pengetahuan saya — belum ada gugatan perdata atau tuntutan pidana atas Motorbike atau para pemegang sahamnya oleh pihak manapun juga, termasuk oleh Pemerintah RI atas keabsahan kepemilikan mereka atas uang yang disimpan di Bank Paribas itu. Dalam mediasi untuk mencapai perdamaian dalam kasus Goro versus Bulog, jaksa malah mengajukan usul agar uang Garnet Investment –- bukan Motorbike –- dibekukan sebagai jaminan agar Tomy membayar kewajibannya kepada Bulog. Usul ini secara implisit menunjukkan bahwa jaksa juga mengakui bahwa uang itu milik Garnet, bukan milik pihak lain.
Saya menyaksikan ada semacam penggalangan opini yang luar biasa melalui media massa mengenai kasus Paribas ini. Ketua PPATK Yunus Hussen berulangkali mengungkapkan kekecewaannya kepada saya, karena segala ucapannya selalu diputarbalikkan oleh koran Media Indonesia. Yunus merasa dia dijadikan alat oleh koran yang dikomandani Ketua Dewan Pembina Golkar Surya Paloh itu untuk memojokkan saya. Saya menduga semua ini berkaitan dengan isyu resuffle kabinet yang ketika itu didesakkan kepada Presiden SBY. Berbagai diskusi diselenggarakan di berbagai tempat, termasuk oleh Indonesian Corrupiton Watch (ICW). Namun saya tidak pernah diundang dan diberikan kesempatan untuk memberikan keterangan dan terlibat dalam diskusi, sehingga semuanya terkesan sepihak dan mau menang sendiri. Prof. Dr. Romly Atmasasmita, mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum dan mantan Kepala BPHN ketika saya menjadi Menteri Kehakiman, juga menyampaikan pendapat dalam diskusi yang diselenggarakan ICW itu. Pendapatnya dimuat Kompas. Demikian pula pendapat Prof. Dr. Yenti Gunarsih, yang disebut pakar money laundering dari Universitas Trisakti. Intinya, Prof. Romly mengatakan bahwa Departemen Kehakiman dan HAM tidak boleh mengeluarkan pendapat hukum (legal opinion), sehingga pendapat hukum yang saya keluarkan menjawab pertanyaan Bank Paribas adalah melampaui tugas dan kewenangan. Sampai hari ini saya belum mengkonfirmasi kepada Prof. Romly apa benar pendapatnya demikian. Namun Kompas memuat berita itu lebih dari sekali, tanpa bantahan dari beliau.
Benarkah Departemen Kehakiman dan HAM tidak boleh mengeluarkan pendapat hukum kepada pihak swasta terkait dengan masalah perdata? Mari kita baca Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM No. M.01-PR.07.10 Tahun 2001. Pasal 242 huruf b Keputusan tersebut menyebutkan bahwa salah satu tugas Direktorat Perdata, Ditjen Administrasi Hukum Umum ialah “pemberian pertimbangan, pendapat hukum, legalisasi dan penyelesaian masalah di bidang hukum perdata umum”. Dalam praktek, baik sebelum, pada saat dan sesudah Prof. Romly menjadi Dirjen AHU, telah ada ratusan pendapat hukum yang dikeluarkan untuk memenuhi permintaan instansi Pemerintah, swasta maupun perorangan. Ada pendapat hukum yang ditandatangani oleh Direktur Perdata, ada yang ditanda-tangani oleh Dirjen AHU, ada pula yang ditandatangani Menteri, semuanya mengikuti praktik yang berlaku di departemen itu.
Setelah saya mengirimkan pendapat hukum ke Paribas tanggal 4 Juni 2004, saya tidak mengikuti lagi perkembangan selanjutnya. Sebab hanya permintaan pendapat hukum itu saja yang diminta kepada saya. Dengan demikian, tugas saya telah saya anggap selesai sampai di situ. Ketika masalah Paribas ini mulai menghangat di media massa, saya bertanya kepada Hidayat Achyar, apakah benar Ihza&Ihza menangani uang Motorbike di Bank Paribas sampai cair. Hidayat menunjukkan kepada saya surat kuasa dari direksi Motorbike: kuasa berlaku sejak tanggal 12 Pebruari 2004 sampai dengan tanggal 12 November 2004. Karena sampai tanggal kuasa berakhir, uang tak kunjung cair, maka kuasa Motorbike kepada Ihza&Ihza berakhir. Motorbike menganggap Ihza&Ihza tidak mampu melaksanakan kuasa yang mereka berikan, karena itu mereka tidak ingin memperpanjangnya. Saya tidak tahu apa masalah itu mereka tangani sendiri, atau menunjuk pengacara yang lain. Saya sendiri berhenti menjadi Menteri Kehakiman dan HAM tanggal 20 Oktober 2004.
Seperti kita baca dari berbagai pemberitaan media, uang Motor Bike di Bank Paribas itu baru cair pada bulan Mei 2005, hampir setahun setelah saya memberikan pendapat hukum, dan 7 bulan setelah saya berhenti menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Hamid Awaludin. Saya bukan ingin mengelak dari tanggungjawab, tetapi sejujurnya saya katakan saya tidak mengetahui lagi bagaimana cerita selanjutnya sampai uang itu cair. Hamid Awaludin tidak pernah berkomunikasi dengan saya tentang masalah itu. Saya membaca dari berbagai media bahwa uang itu dicairkan melalui rekening Departemen Kehakiman dan HAM. Disebut-sebut pula bahwa saya dan Ihza&Ihza yang mencairkan uang itu. Semua berita ini jauh dari kebenaran.
Berbagai pendapat dan komentar dari politisi dan pengamat kembali muncul ke permukaan. Ada yang mengatakan saya membantu mencairkan uang Tomy, dan mengkaitkan saya pernah bekerja di Sekneg menulis pidato Presiden Suharto, sehingga mempunyai hubungan dekat dengan keluarga Cendana. Padahal, bertemu atau berbicara melalui telepon saja dengan Tomy, seumur hidup saya belum pernah. Ada yang mengatakan saya terlibat “money laundering” dan menuding saya sebagai “koruptor”. Ada pula yang mendesak agar saya mundur. Ada juga beberapa aksi unjuk rasa yang meminta agar Presiden SBY memecat saya, dengan membawa berbagai spanduk mengatas namakan berbagai komite. Walaupun belum dapat dikonfirmasikan, saya mendengar pula beberapa anggota Dewan Pertimbangan Presiden — yang belum sebulan dilantik — juga mendesak Presiden agar saya diberhentikan. Kalau tidak, mereka akan mengundurkan diri dari dewan itu.
Setelah berbagai pemberitaan ini muncul ke permukaan, saya menghubungi Hamid Awaludin untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hamid membenarkan bahwa Bank Paribas pernah menghubunginya dan berniat akan mencairkan simpanan Motorbike. Keinginan Paribas itu juga disampaikan melalui korespondensi kepada Wakil Dubes RI di London, Eddy Pratomo. Ketika Eddy di Jakarta, beliau juga menemui Hamid menginformasikan perkembangan terakhir masalah Motorbile dengan Paribas, didampingi Dirjen AHU Zulkarnain Yunus. Tetapi Bank Paribas mau menyerahkan uang tersebut melalui Pemerintah Indonesia, hal ini mereka kemukakan dalam korespondensi. Menghadapi hal itu, Hamid berkonsultasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres mengatakan silahkan saja. Pemerintah berkewajiban membantu warganegaranya. Lebih baik uang warganegara Indonesia yang ada di luar negeri, dibawa pulang untuk investasi di tanah air untuk membuka lapangan kerja, daripada ditahan-tahan bank asing di luar negeri, dan diputar untuk keuntungan mereka sendiri. Wapres mengatakan bahwa beliau akan melaporkan masalah itu kepada Presiden.
Dalam satu kesempatan, Hamid rupanya melaporkan secara langsung kepada Prsiden SBY tentang keinginan Bank Paribas itu. Pendapat Presiden ternyata lebih kurang sama dengan pendapat Wakil Presiden. Presiden minta Hamid untuk lebih dulu memberitahu Bank Indonesia. Sebab itulah Hamid menulis surat kepada Gubernur BI bernomor M.UM.01.06-90 tanggal 4 April 2005. Isinya antara lain mengatakan “kami informasikan bahwa BNP Paribas meminta kami untuk menampung dana rekening milik Motorbike International Ltd pada BNP Paribas ke rekening Departemen Hukum dan HAM RI sebagai dana titipan yang untuk selanjutnya diserahkan kepada pengurus Motorbike International Ltd”. Menurut Hamid, surat dengan nada yang sama juga disampaikan kepada Menteri Keuangan, untuk meminta pendapat. Tetapi seorang kepala biro di Departemen Keuangan menyangkal pernah menerima surat tersebut.
Akhirnya, menurut Hamid, Departemen Hukum dan HAM memang membuka rekening khusus untuk menampung uang titipan Bank Paribas itu. Begitu uang diterima, uang tersebut kemudian diserahkan kepada kuasa direksi Motorbike. Setelah diserahkan, rekening khusus tersebut ditutup. Setelah semua ini selesai, Hamid sekali lagi menyampaikan laporan tertulis kepada Presiden, disertai dengan copy dokumen-dokumen yang terkait dengan masalah itu. Saya ikut membaca laporan Hamid itu, karena disampaikan melalui Sekretariat Negara.
Di berbagai media cetak dan elektronik saya membaca berbagai komentar dari para pakar dan pengamat serta politisi, dengan aneka ragam pendapat. Pada umumnya mengatakan bahwa adalah suatu tindakan yang salah, rekening pemerintah digunakan untuk menampung uang swasta. Ada pula yang mengatakan uang itu dimasukkan ke dalam rekening Departemen Kehakiman dan HAM sehingga bercampur dengan dana APBN. Salah satu pendapat yang ingin saya ketengahkan di sini berasal dari Prof. Dr. Arifin Soeriaatmadja, yang mengatakan bahwa pembukaan rekening pemerintah harus dengan persetujuan Menteri Keuangan. Saya dengan Hamid, lagi-lagi dituding melakukan money laundering, dan seperti biasa dituntut mundur dari jabatan.
Dalam satu kesempatan saya bertemu Prof. Arifin dan bertanya kepada beliau pasal mana dari UU Keuangan Negara yang dijadikan landasan pendapatnya. Beliau merujuk pada Pasal 29 jo Pasal 31 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara. Saya dan beliau, akhirnya sama-sama membaca UU dimaksud. Defenisi tentang perbendaharaan negara, keuangan negara, penerimaan dan pengeluaran negara yang dimaksud dalam UU ini jelas dirumuskan dalam undang-undang. Pasal 29 dan 31 mengatur tentang pembukaan rekening untuk menampung penerimaan dan pengeluaran uang negara terkait dengan dana APBN di lingkungan instansi tertentu, yang pembukaannya dilakukan setelah “mendapat persetujuan” dari Bendahara Umum Negara (Menteri Keuangan). Rekening yang dibuka staf Hamid, seperti saya jelaskan di atas, adalah uang titipan Bank Paribas untuk diserahkan kepada direksi Motorbike.
Saya mengatakan kepada Prof. Arifin, pada suatu ketika, ada kapal berbendera Jepang yang ditembaki bajak laut sampai tenggelam di pantai Somalia. Beberapa awak kapal yang selamat ternyata warganegara Indonesia. Pemilik kapal, ingin membantu awak kapal yang selamat agar bisa pulang. Maka mereka mentransfer uang ke rekening KBRI di Somalia untuk diserahkan kepada awak kapal tersebut. Saya tanya Prof. Arifin apakah itu salah. Beliau mengatakan, itu keadaan darurat. Baiklah. Saya tanya lagi, bagaimana dengan uang saku jamaah haji yang dibayarkan sebagai bagian dari ONH dan diberikan kembali kepada mereka ketika jamaah tiba di Saudi Arabia. Uang itu disetorkan ke rekening Departemen Agama. Apakah itu tidak menyalahi undang-undang? Setahu saya, swasta yang melakukan tender atas proyek Pemerintah juga harus menyetorkan sejumlah uang jaminan. Uang jaminan milik swasta itu juga disetorkan ke rekening Pemerintah. Kalau kalah tender, uang itu dikembalikan. Apa ini juga tidak menyalahi undang-undang? Prof. Arifin tidak menjawab. Saya hanya ingin menguji pendapat beliau, karena pendapat itu berulang-kali diberitakan Kompas. Pendapat saya yang menyanggah pendapatnya, tidak mendapat tempat pemberitaan yang proporsional.
Ketika masalah Paribas ini makin menghangat di media massa, saya juga menjelaskan secara lisan kepada Presiden latar belakang masalah itu. Presiden kemudian memerintahkan Menko Polhukam Widodo untuk menyelenggarakan rapat terbatas untuk membahasnya. Saya, Menhuk dan Ham Hamid, Kapolri Sutanto, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh dan Kepala BIN Syamsir Siregar hadir. Saya dan Hamid menjelaskan segala sesuatu apa adanya, seperti saya ceritakan di atas. Beberapa hari kemudian, Widodo mengatakan kepada saya bahwa summary rapat Polhukam itu telah dilaporkannya kepada Presiden. Menurut Widodo, Presiden telah mengerti duduk masalah kasus Bank Paribas itu. Saya juga mendengar Presiden telah meminta Ketua Timtas Tipikor Hendarman Supandji, untuk menelaah kasus ini dan melaporkannya kepada beliau.
Hamid juga rupanya membuat laporan sekali lagi kepada Presiden, sesudah laporannya yang pertama. Kali ini lebih lengkap disertai dengan copy dokumen-dokumen tambahan. Laporan itu disampaikannya melalui ajudan Presiden, dua hari sebelum pertemuan bilateral dengan Pemerintah Singapura di Bali. Saya tidak membaca laporan Hamid yang terakhir ini, karena tidak disampaikan melalui Sekretariat Negara. Namun Hamid masih menyimpan copy laporan itu. Suatu ketika, tatkala Hamid telah diberhentikan, dalam pertemuan dengan Presiden SBY, Hamid menanyakan apakah Presiden telah membaca laporan mengenai Paribas yang diserahkan melalui ajudan. Presiden mengatakan, beliau sudah memahami hal-hal yang terkait dengan masalah Bank Paribas. Hamid tidak bertanya lebih lanjut.
Ketika saya telah berhenti dari kabinet, Kepala BIN Syamsir Siregar diperintahkan Presiden untuk menemui saya untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal. Saya katakan pada Syamsir, saya menerima pemberhentian saya dari kabinet dan tidak ingin mempersoalkannya lagi. Secara konstitusional, Presiden berhak memberhentikan para menteri, kapan saja Presiden mau. Namun di masyarakat ada anggapan, pemberhentian saya itu terkait dengan masalah Bank Paribas. Untuk itu saya minta agar saya diperiksa. Kalau ada bukti-bukti yang cukup, silahkan dituntut. Kalau tidak ada, saya ingin diklarifikasi, agar masalah ini tidak menjadi beban saya seumur hidup sampai ke anak-cucu. Waktu itu Syamsir menelpon Presiden di depan saya. Menurut Syamsir, Presiden setuju memenuhi permintaan saya. Presiden akan menyerahkan hal itu kepada Jaksa Agung. Saya mengerti, kejaksaan memang berwenang menangani tindak pidana khusus yang dipersangkakan kepada saya itu.
Setelah beberapa lama menunggu, saya membaca statemen Jaksa Agung Handarman Supandji. Kejaksaan Agung telah menelaah dengan seksama kasus itu, dan tidak menemukan alasan hukum untuk melakukan penuntutan terhadap saya. Suatu ketika saya mendengar bahwa Hendarman mengatakan, Kejaksaan Agung telah melakukan analisa hukum atas kasus itu, sejak dia menjadi Jampidsus. Kasus ini lebih banyak nuansa politiknya. Mereka tidak menemukan adanya masalah hukum untuk meningkatkan kasus itu ke tingkat penyidikan. Hendarman mengatakan kejaksaan harus bertindak berdasarkan hukum, bukan atas dasar tekanan politik dan opini publik yang dibentuk media massa. Secara pribadi saya tidak begitu kenal dengan Hendarman. Bagi saya sosoknya agak “misterius”. Saya menghargai keberaniannya, walau ucapannya itu seperti melawan arus opini yang telah dibentuk oleh politisi, aktivis dan media massa.
Berita klarifikasi Hendarman itu tentu saja tidak segemuruh berita yang menuduh saya terkait dengan kasus Paribas. Beberapa koran, bahkan, memberi tajuk berita itu “Jaksa Agung Bela Yusril”, walau isi beritanya sama saja seperti saya uraikan tadi. Saya tidak memerlukan pembelaan. Saya hanya memerlukan kebenaran menurut hukum diungkapkan. Setelah statemen Hendarman, saya masih membaca berbagai komentar, juga di dalam blog, yang intinya mengatakan, Yusril mungkin benar dari sudut hukum. Tetapi dia melanggar “asas kepatutan” karena membantu keluarga Suharto. Mereka lupa, kalau saya melaksanakan tugas melayani warganegara Indonesia, siapapun orangnya. Mereka tidak menyebut Sujaswin Lubis dan Abdurrahman yang juga pemilik Motorbike. Mungkin mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu itu “uang Tomy” seperti berita media massa. Tanggapan saya atas komentar itu singkat saja. Asas kepatutan memang dikenal dalam dunia hukum, namun ukuran kepatutan itu sendiri bisa sangat subyektif. Kalau norma-norma hukum telah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi, maka hukum harus dijalankan. Norma hukum tertulis yang tegas, tidak dapat dikesampingkan dengan “asas kepatutan” yang masih dapat diperdebatkan. Inilah kepastian hukum, yang selama ini selalu dipersoalan banyak orang ada tidaknya di negeri ini.
Akhirnya, apa yang saya tulis di blog ini, mungkin juga tidak akan banyak pengaruhnya untuk menjernihkan masalah. Namun lebih baik saya tulis, biar kalau ada yang bertanya lagi, saya tidak capek menjelaskannya. Kalau sekiranya besok Allah Ta’ala memanggil saya untuk menghadapNya, maka anak-cucu saya di kemudian hari, akan dapat membaca apa yang saya tuliskan ini, agar tidak menjadi beban bagi mereka. Begitu juga jika ada rekan yang membaca berita atau analisa kasus ini di berbagai blog, antara lain Indonesia Matters, Asiasentinel atau Website Indonesian Corruption Watch (ICW), ada baiknya untuk membaca tulisan ini sebagai bahan pembanding. Setelah itu silahkanlah mengambil kesimpulan sendiri-sendiri.
Demikianlah tulisan saya mengenai kasus Bank Paribas ini. Hanya kepada Allah jua saya mohon berlindung dan hanya kepadaNya jua, saya menyerahkan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawab.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=40
Ok Pak Bonar,saya juga minta maaf kalu ada salah kata,saya hanya mencoba membangun sikap kritis terhadap pemimpin atau calon pemimpin masa depan.
Kita sudah mengalami berbagai tipe Presiden dan rata2 mereka manis memberi janji tp pada kenyataan masyarakat banyak selalu jadi korban,baik dengan harga sembako yg melambung,harga bensin yg naik terus dan seakan-akan pemimpin kita selalu mencari jalan pintas dengan menaikan BBM dlm rangka menghemat Subsidi,apakah tdk ada jalan lain?
Jadi kualitas seorang pemimpin atau calon pemimpin harus diuji dulu.
Begitu Pak,mohon maaf dan terima-kasih.
ehmmmmmm………..
sory moryy toryyyy…….. sadayanak……….
hihihihii.. dapat tanggapan juga gueee… makasih makasih
ehhh… udeh pade tahu dan nonton kasusnye menteri kesehatan malaysia yang berselingkuh itu kaaannn ?
bagaimanapun yeee walaupun kite kite pada anti ame malay… tapi gue cukup salut tuhh ama menterinye itu, walau die direkam dengan disadap orang pake CCTV die langsung ngaku tuhhh… ngak ade berkelat berkelitnya… jantan meennn, langsung mundur….
hehehehe jangan marah atuhhh cuma sama sama belajar aje… biar kite kite pada lebih baik lagi.. juga gue terutame
Pak Yusril… jangan tersungging yeee… lanjutkan aje ceritanye…..
Ha ha ha….
rani orang mana nih kok pake bhs sunda terus…jangan2 orang jelekong anak buahnya Asep Sunandar Soenarya…
atau Usep Sunandar ya….ha ha ha….
Setelah membaca sampai selesai.. ada kesimpulan baru dan sudut pandang baru. setuju sekali dengan komentar2 sebelumnya yang menyarankan agar di kirimkan ke media lain.
Di tunggu artikel selanjutnya pak..
Oya, bagaimana dengan filmnya? kapan Lounching ? atau sudah ya ? :D .. kapan2 di ulas lebih banyak ya di blog ini. di tunggu…
[…] menjadi aktor film sebagai Laksamana Cheng Ho, kenangan masa kecil, hingga opininya terhadap kasus Bank Paribas yang sempat mengikutsertakan namanya.Hasilnya, dalam berbagai artikel tersebut selalu muncul puluhan […]
Assalmualaikum Bang Yusril,
Salam kenal dari saya yang cukup mengagumi Bang Yusril. Sudah cukup lama saya mencari tahu tentang latar belakang abang dan kemudian saya temukan juga melalui Blog yang Abang punya ini setelah di beritahu oleh salah seorang teman saya ketika kami menghadiri Acara Tatap muka dengan Bapak Prof.BJ.Habibie di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC bulan yang lalu. Kebetulan saat itu sambil menunggu acara dimulai, kami sempat ngobrol tentang masalah wafatnya mantan Presiden Soeharto sampai masalah calon presiden Indonesia ke depan. dalam diskusi alias sambil ngobrol itu , sempat muncul beberapa nama yang disebutkan oleh kawan-kawan yang di dalamnya termasuk di sebut nama abang sebagai salah satu bakal calon Presiden RI. Namun ada juga nada sinis dari salah seorang kawan diskusi saya saat itu yang kebetulan orang Jawa ( maaf tidak bermaksud rasis neh..) menyatakan bahwa cukup sulit buat seorang Yusril tuk bisa maju menjadi calon presiden karna di anggap tidak punya basis massa yang mumpuni dan hanya berasal dari ” Partai gurem “. belum lagi Baru-baru ini dalam drama reshuffle kabinet, bang Yusril adalah salah satu korban dari skenario politik yang dimainkan oleh elit partai politik untuk bisa mendepak abang agar tersingkir dari panggung politik yang makin kacau ini.
Di ” Depak ” nya Abang dari kabinet tak urung menimbulkan berbagai spekulasi yang cukup membunuh karakter abang sebagai salah satu putra terbaik negri ini yang di antaranya adalah dengan menyebut-nyebut nama abang yang tersangkut dalam berbagai kasus dugaan korupsi. Namun diskusi menjadi kian hangat ketika salah seorang kawan diskusi saya yang kebetulan berasal dari Padang yang menyatakan bahwa semua dugaan korupsi dan berbagai penyimpangan yang di alamatkan kepada bang Yusril adalah sebuah Character Assasination yang diciptakan oleh para elit dan Media untuk melahirkan opini publik agar masyarakat tidak lagi menerima bang Yusril dalam bursa tokoh politik Nasional karena dianggap tidak bersih. Kawan saya itu juga mengarahkan kawan-kawan yang lain untuk membuka blog abang agar bisa lebih mengenal sosok Yusril ihza Mahendra lebih jauh. Singkatnya sepulang dari acara dialog dengan Bapak BJ.Habibie di KBRI, saya bergegas mengambil laptop dan membuka Blog abang yang…..Wow !! its Wonderfull. Dengan seksama dan teliti saya coba menelaah dari setiap alur persoalan yang abang utarakan dan sesekali saya menarik napas panjang seolah sulit percaya dengan apa yang sesungguhnya terjadi di balik ini semua. Saya termasuk salah satu dari sekian ribu orang Indonesia yang berada di Washington DC area ( Maryland dan Virginia ) yang cukup intens mengikuti perkembangan berita tanah air lewat berbagai Website terutama masalah politik. Untuk sementara saya berkesimpulan bahwa Media telah berlaku tidak fair terhadap abang dengan pemberitaan yang tidak Proporsional dan ada peran elit politik yang memiliki kepentingan yang cukup besar dalam upaya pembunuhan karakter abang sebagai salah satu lawan kuat dalam bursa calon presiden mendatang. tidak salah kalau banyak orang beranggapan bahwa politik itu kotor dan kejam. its real proganda dan ini cukup tidak baik buat pendidikan politik kita dan generasi yang akan datang.
Semoga demokrasi yang sedang kita bangun saat ini dapat berjalan secara alamiah tanpa harus dikotori dengan pola pikir yang picik dan licik dan rakus kekuasaan dengan menghalalkan segala cara dan semoga Allah SWT tetap memberikan kesabaran,ketabahan dan kekuatan kepada Abang dalam menghadapi semua ujian hidup ini amiin. Saya juga berdoa semoga Niat abang untuk ikut bakal calon presiden bisa terwujud dan kalau abang sudah resmi menjadi calon presiden maka saya siap ikut memperjuangkan abang nanti ketika saya sudah balik ke kampung.
Oh iya bang, sebagai sedikit perkenalan bahwa saya adalah Putra Kempo- Dompu ( NTB ) dan sebelum ke Amrik, saya sempat terjun ke panggung politik kampung ( he,,,he,,, ) saya juga kenal dengan Almarhum Bpk. H. Yakub MT
dan Bapak A.Majid MT dua bersaudara pentolan PBB di kabupaten Dompu ( walaupun beliau berdua gak kenal saya ,kasihan Deh.. ) dan saya juga cukup dekat dengan saudara Ridwan Usman, ketua kecamatan Partai Bintang Bulan (Sekarang ) beliau adalah senior saya dalam masalah strategi pendekatan masyarakat dan hal itu cukup terbukti dengan kemampuan beliau mengarahkan masyarakat Bali dan Lombok sebagai warga Transmigran di kecamatan Kempo dalam berbagai persoalan.
Wa ‘alaikum salam. Terima kasih atas tanggapan dan simpatinya. Memang demikianlah dunia perpolitikan kita, seperti yang anda kemukakan. Saya berasal dari pulau kecil dan dari suku yang kecil pula. Partai saya juga kecil. Namun kami dapat memainkan kartu politik secara maksimal. Hal ini tentu menimbulkan kecemburuan dan ketidaksenangan. Saya mengerti tentang semua rekayasa politik sebagaimana anda kemukakan itu. Dalam kasus alat sidik jari (AFIS) di Departemen Kehakiman dan HAM misalnya, lihatlah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta dua minggu lalu. Putusan itu membebaskan Zulkarnain Yunus, Direjen Administrasi Hukum ketika saya jadi menteri dari dakwaan korupsi. Putusan itu antara lain juga mengatakan bahwa persetujuan saya selaku menteri untuk melakukan penunjukan langsung terhadap pengadaan alat tersebut telah sesuai dengan norma-norma hukum. Zulkarnain yang melaksanakan pengadaan barang tsb ketika saya tidak lagi menjadi menteri, memang terbukti melakukan tindakan yang merugikan negara, tetapi motif melakukan korupsi tidak terbukti. Kesalahan Zulkarnain ialah berkaitan dengan pajak dan bea cukai.
Namun tidak ada berita di media massa tentang putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memutuskan perkara ini, sebagaimana gegap gempitanya berita yang menuduh saya terlibat kasus korupsi dalam kasus pengadaan alat AFIS ini.
Demikian tanggapan saya. Terima kasih dan sampaikan salam saya dengan teman-teman di Amerika Serikat.
[…] Cetak artikel Oleh Yusril Ihza Mahendra — November 30th, 2007 […]
SAYANGNYA sekarang sudah ada penjegalan KEBEBASAN BERAGUMENTASI DAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT MURNI di Indonesia (BUMI NUSANTARA YANG MENANGIS yang tak pernah luput dari HUJAN GERIMIS) dengan adanya UU ITE. Siap menjerat dan menstop kebebasan Sang Yusril beragumentasi.
waduh hujan gerimis lagi , Hayo Sang Blogger !! siapkan payungnya !!
emang pake dasar apa sih itu Pakar IT kok nuduh blogger sebagai hacker ??
pake dasar kain blacu kali ya untuk kain kafannya si Pakar IT
Wah kalau begitu mudahnya Indonesia mengeluarkan UU
Saya mau juga buat UU sendiri Ah……
Undang-Undang di Balik Udang “Siapa yang makan nasi dia harus menanam Padi” “Siapa yang makan daging sapi dia harus jadi Sapinya” “Siapa yang makan ikan dia harus jadi ikannya”, DAN SETERUSNYA he.. he.. he.. ah jadi gila dah….
Matur Nuwun, Sang Dewi mau kekayangan dulu Ah….
EEh… jangan-jangan Sang Dewi ini nih yang disebut HACKERNYA .
assalamualikum pak yusril,
terima kasih atas penjelasan bapak tentang masalah bnp paribas yang saya tanyakan,menurut pendapat saya masalah yang bapak alami adalah masalah politis semata,dan saya kecewa dengan SBY karena memberhentikan bapak bukan karena masalah ketidaksanggupan bapak,tetapi masalah politis.
kalau seperti ini,indonesia sampai kapanpun tetap jalan di tempat malah mungkin tambah terpuruk, kalau semua masalah dijadikan alat politik oleh para politi-tikus yang ambisius dan power syndrom yang tidak memikirkan nasib rakyat, yang hanya memikirkan golongannya masing-masing.
Maju terus pak,insyaallah kami di belakang bapak…..
wassalam
Saya berterima kasih juga atas perhatian Anda terhadap masalah BNP Paribas yang sangat tidak menyenangkan ini. Namun saya tetap mengambil hikmah dari semua peristiwa itu. Semoga Allah SWT semakin meneguhkan hati saya dalam menghadapi setiap cobaan. (YIM)
Wah saya kok mendadak cengeng ya baca tulisan Bapak yang ini. gak tau karena gak kedip kali karena panjang hehehe…saya seperti dapat merasakan kegalauan Bapak juga. Wuih untung cita2 saya jd politikus gak nyampe hehe..i think this is not my world ya.kira2 artikel2 Bapak bisa gak ya saya Print???
Penjelasan ini mnrt saya bisa menjernikan “sisi gelap” karir politik Abang di mata publik. Sblm membaca tulisan ini sy juga sempat ‘terpengaruh’ dgn berita2 bhw Abang ikut berkonspirasi dlm pencairan dana Paribas tsb. Sy juga heran kenapa Abang tidak melakukan bantahan secara terbuka dan memilih berdiam diri sehingga berita2 soal tersebut terkesan kurang seimbang dan langsung sepi begitu Abang keluar dr Kabinet. Jika benar bhw klarifikasi ini sdh Abang sampaikan ke Presiden SBY shrsnya beliau tidak melakukan reshuffle thdp Abang dan Hamid. Apalagi Abang dkk punya andil cukup besar menjadikan SBY jd Presiden (termasuk tuduhan ‘miring’ yg sempat beredar soal Bu Ani pada saat pemilu 2004).Tp ternyata SBY tidak kuat juga menghadapi tekanan publik. Mudah2an peristiwa ini ada hikmahnya ya Bang….
Pak Yusril,
Sebagai dosen tentunya anda tahu bahwa pendekatan tunggal tidak dapat lagi dipakai tetapi sudah harus pendekatan jamak atau multiple approach. Hukum dan Politik baru dua approach dan inipun sudah bikin masalah besar. Anda dijatuhkan secara politis, pertanyaannya mengapa MS Kaban dan Paskah Suzetta tidak?
Seperti halnya kasus Ryan maka orang hukum selalu melihat masalahnya dari pendekatan Hukum atau Kriminologi. Orang psikologi melihatnya dari pendekatan Psikologi. Belum lagi dari Psikaitri atau Sosiologi. Bahkan orang Media mendekati persoalan ini dari pendekatan Media sehingga terciptalah Selebriti Kriminal.
Kalau pendekatannya terbatas pada pendekatan Hukum atau Politik, maka kalau menyangkut orang kecil dipakailah pendekatan Hukum tetapi untuk para untouchables dipakailah pendekatan Politik. Dan dalam pendekatan Politik dipakai juga pendekatan Ekonomi yaitu Untung Rugi. Apa ruginya secara Politik kalau bung Yusril dikorbankan atau apa Untungnya kalau dipertahankan. Masalahnya lalu Untung Rugi buat Siapa? Untuk Presiden atau untuk Negara?
Tentunya pertanyaan ini sifatnya retorika karena tidak ada yang mampu memahami kompleksitas pengambilan keputusan seseorang Presiden bila dikaji secara multi-approach. Apakagi kalau cuma analisis masyarakat yang komponennya begitu rancu dengan interesse yang demikian beragam.
Saya mengerti bahwa suatu masalah memang harus didekati dari berbagai sudut pandang. Namun sebagai Menteri Kehakiman dan HAM, maka pendekatan yang harus saya kedepankan ialah hukum. Presiden Gus Dur sebagai contoh menggunakan pendekatan budaya dalam membenarkan separatis OPM untuk mengibarkan bendera Papua Merdeka, karena bendera tsb menurut beliau adalah “bendera budaya”. Sebagai Menteri Kehakiman waktu itu, saya hanya mengingatkan beliau bahwa Presiden memegang kekuasaan menurut UUD. Sumpah Presiden juga menyatakan akan setia kepada UUD dan segala undang-undang, serta akan menjalankannya dengan selurus-lurusnya.
Saya tidak dapat memastikan apakah benar saya diberhentikan karena pembentukan opini yang digalang sehubungan dengan kasus uang Tommy di Paribas atau ada masalah lain. Atau ini hanya salah satu faktor saja di samping faktor-faktor lain yang jauh lebih besar. Saya berharap, andapun tidak akan menggunakan “pendekatan tunggal” tetapi “multiple approach” pula dalam menganalisis dan memahami masalah ini. Kalau “multple approach” yang digunakan, saya yakin masalah ini sesungguhnya sangat kompleks daripada sekedar isyu uang Tomy di Paribas.
Soal Paskah dan Kaban diberhentikan atau tidak, itu semua tergantung pada keinginan Presiden, karena dia berwenang mengangkat dan memberhentikan menteri. Bersamaan dengan saya dan Hamid, juga diberhentikan Saifullah Jusuf dan Abdurrahman Saleh. Sebelum itu, Presiden SBY juga telah memberhentikan Alwi Shihab, Jusuf Anwar, Andung Nitimihardja, tanpa kita tahu apa masalahnya. Namun dalam kasus Sudi Silalahi, yang begitu kuat tekanan publik opini melalui media dalam kasus rekomendasinya kepada PT Sun Hoo yang mengatas-namakan Presiden untuk merelokasi KBRI di Seoul, tidak ada tindakan apapun dari Presiden SBY. Jadi, segala sesuatunya memang terserah kepada keputusan Presiden. Itulah sebabnya saya tidak banyak berkomentar ketika saya diberhentikan dari kabinet. Inipun bukan yang pertama saya diberhentikan. Di masa Presiden Gus Dur saya juga diberhentikan dari Menteri Kehakiman dan HAM, walau semua orang tahu saya mundur dari pencalonan Presiden dan memberikan kesempatan kepada beliau untuk terpilih di Sidang MPR tahun 1999. Saya tidak merasa kecewa, apalagi sakit hati.
Dalam pandangan saya, seorang politisi kadang-kadang ibarat sebatang pohon yang menjulang tinggi. Makin tinggi pohon itu, makin mudah dia diterpa angin. Sayapun juga mungkin seperti itu. Saya berasal dari orang kebanyakan, dari suku yang kecil (Belitung), dan memimpin partai yang kecil pula (PBB). Dalam situasi seperti itu, saya memang mudah diterpa angin. Kadang-kadang pohon itu sanggup menahan angin dan tetap untuk tegak berdiri, namun kadang-kadang dahannya patah, bila badai dan topan datang menerjang. Namun saya berharap, pohon itu tetap tegak berdiri di tempatnya, walau angin, badai dan topan akan selalu datang menerpa.
Mudah-mudahan anda sudi menyimak hal-hal yang tersirat di balik apa yang saya ungkapkan ini.
Demikian tanggapan saya dan saya ucapkan terima kasih. (YIM)
Ass. Wr.Wb.
Bung Yusril, Anda benar! Dalam berbuat baik kita tidak boleh pandang bulu, siapa pun yang datang untuk meminta bantuan wajib kita layani. Tidak ada orang yg bisa merubah prilaku kita atau membohongi kita, jika kita tidak memberi kesempatan padanya. Disinilah pentingnya kita kontemplasi baik dengan diri maupun dengan Sang Maha kasih….karena semua akibat terjadi karena adanya sebab….Jadi berfikirlah selalu tentang “Sebab” bukan “Akibat”, kalau sebab yng anda lahirkan benar, pasti akibatnya juga sama….Sebab yang baik harus seimbang, tidak kaku dan hanya mengedepankan atau ditilik dari satu Aspek saja.
Anda sangat pintar baik dalam berfikir, berbicara dan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Ingat Bung Indonesia sangat membutuhkan Anda… Jika Anda merasa benar, jangan kalah oleh yg batill…jalan kita masih panjang…masih jutaan orang di negeri ini, yg memiliki jiwa yg sama untuk membangun Indonesia Raya…Mari kita satukan frequensi agar kita bertemu dalam gelombang yang Sama…Gelombang yg tidak membangun Badannya saja melainkan juga membangun Jiwanya, sebagaimana lagu Indonesia Raya….”Bangunlah jiwa, bangunlah Badannya untuk Indonesia Raya…” Namun yg membuat Bunda menangis, Anak-anak Negeri, hanya membanun badannya saja, membangun keserakahannya, egonya, nafsunya dan kebenarannya saja..
Wass
Terima kasih banyak. Saya sependapat bahwa jiwa dan raga harus sama-sama dibangun. Saya berpendapat bahwa sudah saatnya sebagai sebuah bangsa, kita bekerja keras membangun bangsa ini, atas dasar iktikad baik bersama. Perasaan saling curiga, bukanlah perasaan yang baik untuk membangun bangsa. Sekarang ini pers kita bebas. Sementara tanggungjawab moral begitu rendahnya. Kalau kebenaran yang diungkapkan, tentu tidak menarik dilihat dari sudut jurnalistik. Namun jika rumors, buntutnya akan panjang. Di zaman Ore Baru dulu, senjata pamungkas untuk memojokkan lawan politik ialah menyebutnya “terindikasi” G 3 S PKI. Benar atau tidak, itu soal lain. Yang penting imej telah dibangun. Di zaman sekarang, G 30 S dan PKI bukan isyu yang menarik lagi. Sebab itu, yang populer untuk memojokkan lawan politik ialah “terindikasi” melakukan korupsi “aliran dana”. Apalagi dikaitkan dengan keluarga mantan Presiden Suharto, dia akan menjadi isyu dan rumors politik yang sangat efektif. Benar atau tidaknya, itu “urusan nomor 16” (yakni nomor puyer Bintang Tujuh), karena yang terpenting ialah lawan politik terpojok dan menjadi isyu yang diharapkan akan membuatnya “terkapar” dari panggung politik. (YIM)
Bung Yusril,
Saya sungguh merasa tersanjung bahwa anda menanggapi pendapat saya demikian spontan dan jelas. Dengan demikian saya menjadi lebih paham [semoga juga semakin arif] memahami kompleksitas dunia perpolitikan di negara kita ini.
FYI saya berasal dari pulau tetangga anda yaitu pulau Bangka. Saya berkecimpung di dunia politik para akhir era 60-an
sebagai wakil ketua Partai Katolik Kabupaten Bangka. Saat itu kami sudah mulai memperjuangkan daerah Bangka Belitung untuk menjadi Propinsi namun rupanya Allah belum berkenan, karena mendapat tentangan keras dari Mendagri waktu itu [yang kita tahu bersama] dan alasan mereka untuk terus mempertahankannya. Setelah santan habis diperas dari parutan kelapa barulah ampasnya diserahkan kepada kita untuk dikelola.
Wassalam
Ass. Wr.Wb.
Bung Yusril, Anda cepet sekali menanggapi komentar saya…pikiran Anda memang jernih…Anda tepat kita harus membangun Negeri ini dengan pikiran & keinginan yang jerniih… Biarlah media bergerak sebagaimana alirannya…Kita tidak boleh anti terhadap sesuatu, Contoh Anti Narkoba – semakin banyak Narkoba, Anti Korupsi – Semakin canggih dan beraninya orang korupsi. Anti soekarno hingga kini cerita soekarno tidak pernah padam, Anti Nikotin – penjualan Rokok makin meningkat dan luar biasa.
Bung Yusril, jika para pelaku politik di tanah air dan media anti Anda, pesan saya jangan anda lawan situasi itu nanti yg anda Antikan malah semakin besar dan anda makin meredup. Tetapi jika anda tersenyum dan menjadikan rasa Anti pada Anda, adalah spirit untuk menata perjuangan Anda. Lihatlah nantinya perasaaan orang yg simpati pada Anda akan bergerak seperti Bola salju, Anda akan diusung oleh khalayak untuk menjadi yg terdepan memimpin Bangsa.
Tentu Bung masih ingat, bagaimana Mega jadi besar karena orde baru anti pada Mega, atau SBY jadi besar karena bung TK anti SBY….Mari kita belajar dari Rasullah yg menjadikan musuh2nya adalah Gurunya yg kian mendekatkan dirinya pada Illahi Robby.
Wassalam
test
Tulisannya bagus sekali pak
http://www.batikihza.com
produsen batik pekalongan
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
Ada pepatah bijak yg mengatakan bahwa “TAK ADA PELAUT ULUNG YANG LAHIR DI LAUT TENANG”.
semoga demikian halnya apa yang Prof. YIM alami.
Semua persoalan, tantangan maupun fitnah keji yg Prof YIM alami, InsyaAllah akan membuat Prof YIM akan semakin kuat dan tegar. Kami berharap Prof. YIM tidak pernah mundur selangkah pun untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.
Semoga rakyat Indonesia tidak dibutakan matanya oleh konspirasi media dan elite politik. dan semoga Allah SWT selalu meridhoi setiap langkah Prof. YIM u/ membangun bangsa tercinta ini.
Amin yaa robbal alamin.
Argumen yg mencerahkan, salute
Tulisan yg bermuatan dalam untuk kemaslahatan umat.
Blogger Nusantara Blogpreneur Indonesia
terima kasih
Indonesia adalah negara hukum, harus ada kepastian hukum, bukan negara politik dan opini. Dukung Yusril Ihza Mahendra untuk RI1 …
Saya suka dg bpk dalam melakukan tindakan disertai dg pengetahuan & wawasan, sistematik dan tidak gegabah. Jadi permasalahan dapat terurai scr jernih. Pertahankan selalu Prof semoga bapak diberi kecemerlangan dalam berfikir dan hati yg jernih selalu.
Krn sulit untuk membangun tanpa dasar sistemik yg jelas, clear dan adil.
Saat kita bertindak scr subyektif tanpa mendasarkan pada sistem maka yg terjadi adalah benturan2 & komplikasi hukum baik kedepan maupun ke belakang. Itulah mengapa perlu sistem yg adil meski kadang tidak populer.
Saat ini jarang pemimpin yg memiliki sikap demikian melainkan hanya sedikit lbh banyak yg ingin populer dari pada mengambil resiko saat bersikap adil & benar.
Prof Bangsa ini membutuhkan anda dan orang2 spt anda meski tidak harus jadi presiden krn sikap2 sistemik ini perlu ditumbuh kembangkan dalam perilaku masyarakat agar bangsa ini memiliki jati diri kembali.