- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN II)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Sebelum saya melanjutkan kenang-kenangan hidup saya di masa kecil, saya ingin menjelaskan serba sedikit tentang asal-usul keluarga saya. Latar belakang asal-usul keluarga itu sangat penting untuk memahami perjalanan hidup saya selanjutnya, baik ketika masih kecil hingga remaja, maupun ketika saya mulai masuk ke alam dewasa. Menjelaskan asal usul keluarga, bagi orang Belitung haruslah menjelaskan kedua keluarga orang tua, ayah dan ibu. Orang Belitung menganut sistem kekeluargaan bilateral, artinya anak akan menarik garis keturunan kepada keluarga ayah dan sekaligus kepada keluarga ibu. Oleh sebab itu Hukum Adat Belitung membolehkan dua saudara sepupu untuk menikah. Laki-laki boleh melamar perempuan menjadi isterinya. Sebaliknya juga perempuan boleh melamar laki-laki menjadi suaminya. Jadi berbeda dengan orang Batak yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan ke garis ayah, tidak ke garis ibu. Laki-laki Batak harus melamar perempuan yang akan jadi istrinya. Mustahil ada perempuan Batak melamar seorang laki-laki menjadi suaminya. Hukum Adat Batak melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ayah mereka bersaudara kandung. Berbeda pula dengan orang Minangkabau yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, yakni hanya menarik garis keturunan kepada garis ibu, tetapi tidak ke garis ayah. Hukum Adat Minangkabau melarang dua saudara sepupu untuk menikah, jika kedua ibu mereka bersaudara kandung.  Perempuan Minangkabau, menurut adat, akan melamar laki-laki jadi bakal suaminya. Mustahil laki-laki Minang melamar perempuan jadi istrinya. Menurut Professor Hazairin, sistem kekeluargaan bilateral lebih sesuai dengan Hukum Islam, walau orang Arab menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Baiklah, tanpa berpanjang kalam soal sistem kekerabatan ini, saya akan memulakan kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah lebih dahulu.

Ayah saya bernama Idris. Nama ini diambil dari nama seorang nabi setelah Nabi Adam a.s, sebagaimana dikisahkan di dalam Kitab Taurat dan al-Qur’an. Beliau anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad (lihat foto) dengan Aminah, yang setelah tua dipanggil Nek Kuset. Saudara-saudara kandung ayah saya yang lainnya bernama Baziek, Baharum, Baksin, Abdul Kadir, Adam, Zauna dan Arba’ie. Saya IMGmengenal seluruh saudara kandung ayah saya itu, kecuali Baziek yang sudah meninggal di Pontianak, Kalimantan Barat, sebelum saya lahir. Ketika saya lahir nenek saya juga sudah meninggal dunia, sehingga saya tidak pernah bertemu dengan beliau. Namun ayah saya menyimpan selembar foto nenek saya itu yang dibuat sekitar tahun 1938, sehingga saya dapat melihat wajahnya. Haji Zainal, kakek saya itu adalah anak satu-satunya dari perkawinan antara Haji Ahmad bin Haji Taib dengan Raisah alias Nek Penyok. Setelah berpisah dengan Raisah, Haji Ahmad menikah lagi dengan seorang wanita bernama Nek Rambai dan mendapat seorang putra bernama Hamzah. Setelah Nek Rambai wafat, Haji Ahmad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan setempat, namanya Nyi Ayu Mastura. Dari perkawinan kedua ini beliau mempunyai beberapa anak, masing-masing bernama Moestar, Jusuf, Abdullah, Hawa, Aisyah dan Ya’kub. Haji Ahmad adalah putra dari Haji Taib. Daftar silsilah yang tertulis pada lembaran kertas yang sangat panjang yang dimiliki ayah dan paman saya, berhenti sampai Haji Taib. Keluarga di atasnya tidak tercatat dalam urutan silsilah mereka. Kalau saya bertanya, di mana catatan silsilah di atas Haji Taib, mereka selalu mengatakan “ada di Johor”. Saya tidak tahu dengan siapa saya akan mendapatkan silsilah itu di Negeri Johor.
Haji Taib bukan orang asli Pulau Belitung. Ayah dan paman-paman saya mengatakan Haji Taib sebenarnya adalah seorang bangsawan bergelar tengku yang berasal dari Negeri Johor. Ibu kota Kesultanan Johor di masa itu mungkin masih berada di Pulau Lingga, Kepulauan Riau sekarang, sebelum ada Johor Bahru di Semenanjung Malaya. Mungkin karena sebab-sebab keluarga dan politik, beliau beserta keluarganya hijrah ke Belitung pada awal abad ke 19. Beliau menanggalkan gelar kebangsawanannya dan hidup sebagai layaknya orang kebanyakan serta menjadi ulama. Kecintaannya kepada agama itu mendorongnya untuk berlayar ke Mekkah dengan perahu yang dibuatnya sendiri. Anaknya Haji Ahmad juga mengikuti beliau berlayar menunaikan ibadah haji. Menurut kebiasaan masyarakat di awal abad ke 19, ketika perahu akan berlayar meninggalkan dermaga, orang sekampung berduyun-duyun mengantarkan perahu yang akan berlayar ke Jeddah, sambi membaca doa dan melantunkan shalawat. Ketika layar perahu menghilang dari pandangan, orang di kampung membaca talqin dan bersedekah setiap habis magrib sampai hari ke tujuh. Tradisi seperti itu lazimnya dilakukan ketika ada keluarga yang meninggal.

Mereka menganggap orang yang berlayar naik perahu ke Jeddah itu sama dengan orang mati. Betapa tidak. Di zaman itu, perahu tidak bermesin, hanya berlayar dan berdayung belaka. Tidak ada alat telekomunikasi seperti zaman sekarang untuk berhubungan. Kalau ingin menulis suratpun seandainya telah sampai ke Jeddah, siapa pula gerangan tukang pos yang akan mengantarkan surat itu ke kampung halaman. Dalam perahu yang tak seberapa besar itu, Haji Taib dan Haji Ahmad – tentu saja mereka belum haji ketika itu — berbekal beras, jagung, ikan asin, terasi dan daging kering sebagai bekal makanan. Mereka juga membawa emas dan perak sebagai bekal belanja. Pelayaran mereka menyusuri Selat Melaka dan menyusun pantai Asia Selatan untuk sampai ke negeri Jeddah. Merekapun singgah di negeri-negeri yang tak mereka kenal, sekedar untuk mengambil air dan menambal layar yang koyak tertiup angin. Konon lebih tiga tahun kemudian baru mereka pulang ke Belitung. Dapat dibayangkan betapa bersykur dan sukacitanya sanak keluarga dan orang sekampung menyambut kedatangan mereka. Orang pulang haji dengan naik perahu layar bisa pulang kembali dengan selamat adalah suatu peristiwa yang menakjubkan. Konon tidak sedikit mereka yang pergi haji dengan cara yang sama, tak pernah kembali lagi ke kampung halaman. Mungkin perahu mereka telah ditenggelamkan ombak dan badai yang ganas di Lautan Hindia.

Saya tidak dapat membayangkan generasi di atas saya pergi haji naik perahu layar itu. Suatu ketika saya membaca Hikayat Pelayaran Abdullah dari Kelantan ke Negeri Jeddah, yang ditulis oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, seorang pujangga besar dunia Melayu. Hikayat itu mengisahkan secara rinci semua peristiwa yang terjadi dan dialami, ketika Abdullah berangkat menunaikan ibadah haji menggunakan perahu layar, bertolak dari pelabuhan Kelantan di Malaysia sekarang ini. Abdullah mengisahkan secara rinci pula setiap peristiwa di negeri Arabia sampai dia selesai menunaikan ibadah haji. Abdullah rencananya ingin kuliah kesusasteraan di Universitas Istambul di Turki, usai menunaikan ibadah haji itu. Namun Allah Ta’ala ternyata menghendaki lain. Abdullahwafat di Jeddah karena terserang penyakit kolera. Hikayat yang ditulis Abdullah dititipkannya kepada seorang teman ketika dia sakit parah. Naskah itu kemudian diterbitkan di Singapura tahun 1852. Buku ini adalah catatan dokumenter yang sangat berharga, untuk mengetahui betapa sukarnya orang pergi haji dari Asia Tenggara pada pertengahan abad 19. Haji Taib dan Haji Ahmad, empat generasi di atas saya, pergi haji sekitar dua atau dekade sebelum Abdullah.

Mendengar kisah Haji Taib dan Haji Ahmad, serta membaca Hikayat Abdullah, saya mengerti mengapa Inggris dan Belanda sangat khawatir dengan setiap orang yang sudah bergelar haji. Mereka pulang ke kampung dan menjadi orang yang sangat berwibawa dan disegani. Mereka bukan saja memiliki pengetahuan agama yang lebih dalam, namun keberanian mereka berlayar menunaikan haji, juga menunjukkan mereka bukan orang sembarangan. Dalam posisi sedemikian itu, para haji itu di mata Inggris dan Belanda, potensial untuk menghimpunan kekuatan dalam menentang kekuasaan mereka. Demikian pula dengan Haji Taib dan Haji Ahmad, generasi di atas saya itu. Mereka menjadi orang-orang yang disegani oleh masyarakatnya.

Hanya itu saja riwayat yang saya ketahui mengenai Haji Taib. Nampaknya beliau juga tidak tinggal di Manggar, tempat sebagian besar keluarga ayah saya menetap. Salah seorang paman saya mengatakan Haji Taib menetap di Badau. Namun ada salah seorang paman saya yang mengatakan bahwa makam beliau ada di Kampung Gunung di kota Manggar. Saya tidak terlalu yakin dengan keberadaan makam itu. Paman saya Adam dan ayah saya, yang sering berziarah ke makam Haji Ahmad, tidak pernah menziarahi makam Haji Taib, andaikata makamnya terletak di lokasi yang sama. Di Badau memang pernah ada sebuah kerajaan kecil pada abad ke 18-19. Mungkin kedatangannya ke Belitung dari Negeri Johor, mendapat sambutan yang baik dari keluarga Kerajaan Badau. Kampung Badau merupakan salah satu kampung tertua di Pulau Belitung, di samping Sijuk dan Buding. Konon makam Diah Balitung, seorang putri dari Jawa (mungkin dari Kerajaan Kediri di Jawa Timur) juga ada di Badau. Apakah nama putri itu yang kemudian dipakai untuk menamai pulau ini Pulau Belitung, saya belum pernah menyelidikinya.

Riwayat Haji Ahmad, kakek ayah saya, dapat saya telusuri. Beliau mula-mula menetap di Manggar Lama, sebuah desa kecil di atas bukit, di sisi Jalan Gajah Mada sekarang ini. Di kawasan itu, juga ada pemukiman orang Belanda yang menambang timah. Bekas-bekas rumah kono Belanda masih dapat saya saksikan sampai awal tahun 1970, ketika saya sering pergi ke bukit itu dan berziarah ke makam tua di atas bukit itu. Di atas bukit itu juga ada pemakaman tua orang Belanda dari abad 18. Saya dapat memastikan hal itu karena saya membaca prasasti terbuat dari batu marmer dan menyebutkan nama-nama orang Belanda yang dimakamkan di situ. Salah satu makam yang menarik perhatian saya ialah makam serorang gadis. Saya masih ingat namanya tertulis Amelia Paulina, wafat dalam usia 17 tahun. Dia lahir di Amsterdam dan wafat di Manggar pada tahun 1862. Saya tertarik dengan makam itu, karena nampak lebih bagus bentuknya dibanding makam yang lain. Saya membayangkan gadis itu mungkin sangat cantik dan orang tuanya nampaknya sangat menyayanginya.

Ketika suatu hari saya datang lagi ke pemakaman tua orang Belanda itu, saya bersama paman saya, Adam. Saya katakan kepada beliau saya tertarik dengan makam ini, karena nama gadis yang meninggal itu bagus sekali, dan mungkin di sangat cantik. Paman saya bilang, memang dia sangat cantik. Saya agak heran, bagaimana paman saya saya bisa tahu. Sambil ketawa beliau mengatakan bahwa di masa beliau muda, juga sering bermain di kuburan itu. Suatu malam beliau dan teman-temannya masih berada di sana. Apa yang terjadi, menurut beliau, di atas makam Amelia Paulina itu ada asap tebal. Tiba-tiba terlihat seorang gadis Belanda yang amat canti memakai baju putih. Mendengar cerita paman saya itu, bulu tengkuk saya agak begidik. Walau saya tak begitu percaya pada hantu, namun ceritanya menakutkan juga. Saya tidak tahu apakah paman saya itu bercerita sungguh-sungguh, atau hanya bergurau saja. Prilaku beliau itu memang nampak eksentrik. Bicaranya kadang-kadang ngelantur tidak karuan.

Saya tidak tahu persis bagaimana ceritanya Haji Ahmad sampai tinggal di Manggar Lama dan berdekatan dengan pemukiman orang Belanda. Namun di kampung orang pribumi di Manggar Lama itu, nampaknya beliau menjadi ulama dan pemuka masyarakat. Beliau menjadi imam masjid dan menangani urusan-urusan keagamaan. Masjid di Manggar Lama itu konon terbuat dari kayu. Tetapi suatu ketika di awal abad 20, Belanda ingin menggali lahan di Manggar Lama karena menurut mereka banyak timahnya. Rupanya terjadi negosiasi antara Belanda dengan beliau. Orang Belanda itu adalah seorang arsitek, namanya Ir. van Basten. Beliau ini jugalah yang menjadi arsitek pembangunan pemukiman Belanda yang baru di atas bukit Samak dan menghadap ke laut. Rumah-rumah di situ sangat bagus dan tertata rapi.

Jauh di kemudian hari, saya mendapatkan sebuah buku di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, yang di dalamnya menceritakan kota baru di Bukit Samak itu, disertai dengan foto pemandangan dan bangunan-bangunan yang telah berdiri. Ir. Van Basten rupanya membangun kawasan itu mengcopy pembangunan kota Wasenaar, yang terletak antara Amsterdam dengan Den Haag. Beberapa kali saya datang ke Wasenaar, dan saya merasakan ada kesamaan antara Wasenaar dengan Samak. Rumah-rumah di bangun dikitari oleh taman-taman yang luas. Rumah-rumah itu terbuka dan tidak diberi pagar pemisah antara satu dengan lainnya. Di bukit Samak itu terdapat sebuah bangunan tempat rekreasi, yang dinamakan Societeit Manggar. Di tempat itu ada teater, bioskop, tempat dansa dan meja-meja bilyard serta tempat bermain kehel (bowling). Tidak jauh dari societet itu juga terdapat lapangan tenis. Tidak jauh dari soieteit itu ada sekolah ELS, yakni sekolah khusus untuk anak Belanda. Satu-satunya anak pribumi yang sekolah di situ ialah Ibu Herawati Diah, isteri BM Diah, karena beliau anak seorang dokter yang bekerja di perusahaan timah Belanda.

Di awal tahun 2000 saya mengunjungi orang Belanda yang tinggal di Wasenaar, dan lahir di Manggar sekitar tahun 1930. Orang itu selalu bilang kepada staf KBRI, dia ingin sekali bertemu dengan orang asal Pulau Belitung, karena dia lahir di sana, tetapi tidak pernah lagi kembali ke pulau itu. Dia meninggalkan Belitung menjelang pecahnya Perang Dunia II. Saya mengunjungi orang itu, yang nampak sudah agak tua. Dia senang sekali saya datang. Dia bilang, dia tidak menyangka akan ada orang Manggar menjadi Minister van Justitie (Menteri Kehakiman) ketika Indonesia sudah merdeka. Sebelum saya datang rupanya beliau menonton TV Belanda yang mewawancarai saya, dan juga membaca berita kedatangan saya ke Belanda di koran De Telegraaf. Orang Belanda itu memberi saya sebuah foto yang dibuat ayahnya di tahun 1932. Di balik foto itu ada tulisan tangan bapaknya “Festivaal van Billitonieren op de Samak”. Foto itu berisi gambar orang-orangsedang berpawai mengusung aneka hasil bumi. Ketika saya tanya ibu saya gambar apa itu. Ibu saya mengatakan itu adalah “Pesta Maras Taun”, yakni perayaan tahunan sesudah masyarakat serentak memanen padi di ladang.

masjidKita kembali lagi ke kisah Haji Ahmad bernegosiasi dengan van Basten. Haji Ahmad rupanya setuju Manggar Lama dibongkar, asal penduduknya dibantu untuk pindah ke pemukiman baru. Haji Ahmad juga meminta mesjid yang beliau menjadi imamnya diganti dengan mesjid yang lebih bagus di pemukiman baru. Kawasan yang baru itu ternyata bersebelahan juga dengan kawasan orang Belanda di Bukit Samak. Pemukiman baru itu dikenal dengan nama Kampung Lalang. Di perempatan sebuah jalan di Kampung Lalang, dibangun mesjid jamik dari beton yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Haji Ahmad. Ir. Van Basten menggambar mesjid itu dan menggunakan kompas untuk memastikan arah kiblat. Iseng-iseng saya pernah mengajak seorang teman untuk menguji kembali posisi kiblat yang dibuat van Basten dengan peralatan yang lebih canggih. Ternyata arah kiblat yang diukur van Basten itu memang tepat. Masjid itu didirikan tahun 1916 dan masih ada sampai sekarang dalam bentuk aslinya. Bentuk mesjid itu bergaya mideteranian dan mirip-mirip bangunan gereja di desa-desa Negeri Belanda.

Orang Belanda juga membangun sebuah gereja Protestan di kaki Bukit Samak, tidak jauh dari rumah sakit mengarah ke sebuah kampung yang namanya Ban Motor. Berbeda dengan mesjid yang mereka bikin dari beton, gereja itu terbuat dari kayu. Ukurannya tidak seberapa besar. Maklum di zaman itu, hanya orang Belanda yang beragama Kristen di Pulau Belitung. Saya masih menyaksikan gereja itu di awal tahun 1970. Tetapi kini gereja itu sudah hancur. Mungkin tidak ada jemaah Kristen yang menggunakan gereja itu lagi. Saya mengenal orang Belanda yang sudah lama sekali menetap di Belitung, namanya Huijsman, yang sering memimpin upacara keagamaan di gereja itu. Dia mengatakan dia sendiri bukan pendeta. Karena itu, katanya sambil tertawa, apa boleh buat, dia yang memimpin upacara keagamaan sejumlah kecil orang Kristen di kota Manggar.

Meskipun Mesjid Kampung Lalang sudah berdiri kokoh di tahun 1916 itu dan Haji Ahmad yang tetap menjadi imam masjid, beliau memilih tidak tinggal berdekatan dengan mesjid. Rumah beliau terletak di pinggir pantai di kaki Bukit Samak. Pantai itu bernama Pantai Pengempangan yang pemandangannya lumayan bagus. Beliau tinggal di tepi pantai rupanya berkaitan dengan mata pencariannya. Pekerjaan beliau itu berkebun kelapa dan menangkap ikan.Kebun kelapanya cukup luas di sepanjang pantai. Beliau juga membuat kebun kelapa di sebuah pulau kecil, ke arah selat Karimata. Beliau mengunjungi pulau itu ketika pergi memancng ikan menggunakan perahu layar yang kecil ukurannya. Orang Belitung menyebutnya Kater, yakni sejenis sampan, tetapi ada tangannya di sisi kiri dan kanan yang biasanya dibuat dari bambu panjang berukuran besar. Maksudnya supaya sampan itu tidak oleh ketika terkena ombak. Di zaman dahulu, menurut hukum adat, siapa yang membuka kebun kelapa di sebuah pulau, maka pulau itu otomatis menjadi “miliknya”. Pulau itu bernama Pulau Siadong, dan sampai sekarang “dimiliki” secara turun-temurun.

Selain memancing menggunakan perahu, Haji Ahmad juga menangkap ikan menggunakan “sero”. Sero itu dibuat dari anyaman bambu atau sejenis pepohonan hutan yang dalam Bahasa Belitung disebut “Resaman”. Anyaman bambu itu dipancangkan ke tanah ke arah laut dan berhenti pada sebuah alur, yang tetap ada airnya ketika air laut surut. Di alur itu anyaman bambu atau resaman di buat dalam bentuk segi tiga yang ada pintunya. Ketika air pasang, ikan masuk ke ruang segi tiga itu. Ketika air surut ikan tidak bisa keluar lagi. Itulah saat Haji Ahmad dan anak-anaknya berjalan kaki ke arah alur dan menangkapi ikan yang terperangkap di sana, menggunakan peralatan yang disebut “tanggok”, atau “serok”. Sebagaimana orang Belitung lainnya, selain bersero, Haji Ahmad juga menangkap udang menggunakan sungkor, yakni sejenis jala yang diberi tangan dari bambu. Alat itu didorong di dalam air dan digunakan ketika air surut.

Dengan berkebun kelapa dan menangkap ikan itu, Haji Ahmad sudah hidup berkecukupan. Rumah beliau yang terbuat dari kayu bulian, dengan bentuk khas Melayu yang ukurannya cukup besar, masih berdiri sampai sekarang di dekat Pantai Pengempangan itu. Semua anak-anak beliau nampaknya menempuh pendidikan formal. Moestar dan Abdullah, kedua anak Haji Ahmad, bekerja di perusaan timah sejak zaman Belanda, dan nampaknya mendapat kedudukan yang lumayan tinggi. Kehidupan mereka nampak berkecukupan, walau tidak dapat dikatakan kaya. Tetapi anak beliau yang paling tua, yang menjadi kakek saya, Haji Zainal Abidin, nampaknya tidak pernah menempuh pendidikan formal. Ketika Haji Ahmad wafat di tahun 1936, rumah itu diberikan kepada anaknya yang paling bungsu bernama Yakub. Kebun kelapa beliau yang cukup luas itu juga dibagikan kepada semua anak-anaknya. Sampai sekarang, keturanan Haji Ahmad masih ada yang menempati lahan itu. Antara lain Muhammad, anak dari Jusuf, Hamdani Halil, anak dari Aisyah, Rusli anak dari Yakub, dan Murad, cucu dari Haji Zainal Abidin dari anaknya yang bernama Adam, paman saya. Sampai sekarang saya masih sering datang ke tempat itu sambil menikmati pemandangan laut yang indah.

Kakek saya dari pihak ayah, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad, diperkirakan lahir tahun 1865 dan wafat pada tahun 1971 dalam usia 106 tahun. Usia itu cukup panjang menurut ukuran manusia zaman sekarang. Beliau mengatakan telah berusia belasan tahun ketika Gunung Krakatau meletus (1883). Beliau ikut menyaksikan gelombang besar dan awan hitam yang membawa abu letusan Krakatau. Jarak dari Pulau Belitung ke Selat Sunda tempat Gunung Krakatau berada memang tidak terlampau jauh. Kita mengetahui dari catatan sejarah, bahwa abu letusan Krakatau sampai ke daratan Eropa. Belitung nampaknya jelas terkena dampak letusan gunung itu. Sayang saya tak sempat bertanya kepada kakek saya, adakah korban yang meninggal di Belitung ketika gelombang pasang tiba dan abu letusan berjatuhan di pulau itu.

Saya hanya membayangkan saja dampak letusan Krakataudi Belitung. Ketika saya masih SMP, saya masih menyaksikan sebuah batu sebesar kerbau yang tersangkut di dahan pohon yang menjulang tinggi di sisi jalan. Batu itu mungkin terbawa gelombang pasang akibat letusan Krakatau. Sebab, bagaimana mungkin batu sebesar itu akan ada di dahan pohon beringin karet yang begitu tinggi. Di dekat pohon itu tidak ada bukit yang membuat orang dapat berspekulasi, bahwa batu itu meluncur ketika tergelincir dari lereng bukit. Sebagian orang mengkait-kaitkan batu itu dengan mistik. Namun ketika saya SMP, saya mulai berpikir secara rasional. Saya tidak mudah menerima penjelasan yang bersifat mistik. Namun demikian, saya tetap toleran dengan mereka yang mempercayai penjelasan seperti itu. Saya belajar dari ayah saya yang tetap toleran dengan hal-hal yang dipercayai orang lain, meskipun beliau sendiri tidak percaya.

Seperti telah saya katakan, kakek saya itu nampaknya tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah formal. Ini berbeda dengan adik-adiknya seperti Moestar dan Abdullah. Saya dapat menyimpulkan hal ini, karena kakek saya itu tidak dapat membaca dan menulis dengan huruf Latin. Beliau menulis dengan huruf Arab dan tulisannya sangat bagus. Saya membaca beberapa tulisannya, yang nampak menggunakan tinta dan penanya adalah lidi dari pohon kabung (atau pohon aren). Menurut ayah saya, kakek saya hanya belajar di rumah di bawah bimbingan ayahnya Haji Ahmad. Beliau juga berguru dengan orang-orang lain tentang agama, bahasa Arab dan kesusasteraan Melayu. Beliau nampaknya tidak mau belajar huruf Latin. Sebab apa susahnya mempelajari huruf itu jika beliau mau, sebab beliau menulis dengan huruf Arab dengan tulisan yang demikian rapi dan kata-katanya tersusun dengan baik. Ketika kecil saya tidak berani menanyakan hal ini kepada kakek saya. Tetapi ayah saya membenarkan bahwa beliau memang tidak mau belajar huruf Latin, karena pandangan keagamaannya yang konservatif dan sikapnya yang agak keras anti Belanda.

Kakek saya itu pergi menunaikan ibadah haji sekitar tahun 1912. Namun beliau berangkat ke Jeddah naik kapal api dari Singapura. Jadi tidak naik perahu layar yang dibuat sendiri seperti kakek dan ayahnya Haji Taib dan Haji Ahmad. Beliau bermukim di Mekkah selama dua tahun sebelum pulang ke tanah air. Ketika kecil, kakek saya bercerita pengalamannya naik haji dan bermukim di negeri Arab. Menurut beliau, sebagian besar jemaah haji berjalan kaki dari Jeddah ke Mekkah dan terus ke Madinah. Hanya sedikit yang mampu menyewa onta. Menurut beliau, di tahun 1900 itu belum ada mobil di negeri Arab, seperti dilihatnya di Singapura. Jalan-jalan pun belum ada. Apa yang nampak hanya padang pasir belaka. Saya tidak tahu apa yang beliau pelajari di Mekkah dan kepada siapa beliau berguru. Beliau hanya mengatakan belajar agama saja kepada beberapa ulama. Ada ulama orang Arab, tetapi ada juga ulama orang Melayu. Beliau pernah menyebut sejumlah nama ulama itu, tetapi sekarang saya sudah lupa.

Kakek saya membangun rumahnya sendiri, tidak jauh dari Mesjid Kampung Lalang. Saya sering bermain-main ke rumah itu. Rumahnya berbentuk panggung, terbuat dari kayu bulian yang kokoh, tetapi alas rumah itu terbuat dari bahan semen setinggi kira-kira satu setengah meter. Saya memperkirakan ukuran itu, karena ketika saya masih sekolah dasar, saya dapat berdiri di bawah rumah itu tanpa kepala saya terantuk lantainya. Rumah itu khas arsitektur Melayu, namun tidak banyak ukirannya, seperti halnya rumah Melayu klasik. Rumah itu memiliki ruang tamu dengan kursi-kursi antik terbuat dari kayu dengan daun meja yang terbuat dari marmer berwarna putih. Ada sepasang kursi goyang yang terbuat dari kayu jati dan diukir. Nampaknya kursi itu berasal dari Jawa. Ketika kecil, saya suka sekali duduk di kursi goyang itu, yang diletakkan di beranda rumah di bagian samping.

Di samping kursi-kursi yang nampak antik, di rumah kakek saya itu juga terdapat tiga lampu gantung yang terbuat dari besi cor. Tempat minyaknya serta kap lampu itu terbuat dari batu juga marmer berwarna putih. Di masa sekarang orang menamakan lampu minyak itu “lampu Betawi”. Di samping lampu gantung, juga terdapat lampu-lampu minyak untuk diletakkan di atas meja, yang dibuat dari kuningan. Semprong lampunya terbuat dari kaca bentuknya bulat dan panjang. Kakek saya mengisi lampu minyak itu denganminyak kelapa yang dibuatnya sendiri. Beliau tidak mau menggunakan minyak tanah karena menimbulkan asap, lagi pula mudah terbakar. Satu hal yang agak aneh dalam pemandangan saya di waktu kecil ialah, di rumah kakek saya itu tidak tersedia sambungan listrik. Padahal listrik di kota Manggar di zaman itu boleh dibilang melimpah ruah. Belanda telah membangun pembangkit listrik tenaga diesel di Manggar pada tahun 1912, dan ketika dibangun PLTD itu konon adalah pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara.

Belanda sengaja membangun PLTD itu untuk penambangan timah, dan industri serta perbengkelan yang mereka bangun secara integratif. Rumah-rumah orang Belanda, masjid dan rumah-rumah orang di kampung Lalang, diberi listrik gratis sama Belanda. Tetapi kakek saya tidak mau. Kata beberapa orang, kakek saya berpendapat listrik itu haram dan bid’ah. Saya tidak berani bertanya kepada kakek saya, apa betul beliau berpandangan demikian. Sebab di mesjid Kampung Lalang, yang beliau menjadi imamnya, telah ada penerangan listrik sejak tahun 1916. Ayah saya hanya mengatakan bahwa hal itu adalah bagian dari sikap non-kooperatifnya dengan Belanda. Namun anehnya, ketika Indonesia sudah merdeka, di rumah itu tetap saja tidak ada lampu listriknya. Saya hanya berpikir, mungkin kakek saya ingin suasana rumahnya tradisional. Lampu minyak kelapa yang dinyalakan di malam hari, memang menciptakan aroma tersendiri di dalam rumah itu.

Di rumah kakek saya itu tidak banyak hiasan dinding. Hanya ada gambar bouraq yang dilukis di atas kaca dan diberi bingkai kayu. Oleh masyarakat tradisional, bouraq dengan gambar seperti itu dipercayasebagai kendaraan yang digunakan Nabi Muhammad s.a.w ketika melakukan perjalanan Isra’ dan Mi’raj. Dalam lukisan itu, bouraq digambarkan sebagai sejenis binatang mirip kuda namun berwajah seorang wanita dan mempunyai dua sayap sehingga bisa terbang di angkasa. Di bawah bouraq itu tergambar masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha di Jerusalem. Sebuah gambar berwarna hitam putih yang juga ditempelkan di dinding, adalah gambar orang asing yang berkumis dan memakai topi tarbus yang ukurannya panjang. Saya bertanya kepada paman saya gambar siapa gerangan orang itu. Paman menjelaskan, itu adalah gambar Sultan Turki. Kakek saya menegaskan pendiriannya bahwa Sultan Turki itulah “khalifah ikutan kita”. Beliau mengatakan haram hukumnya memasang gambar Ratu Wihelmina, Ratu Belanda di zaman kolonial dahulu. Sampai zaman sudah merdeka, kakek saya tetap tidak mau mengganti gambar Sultan Turki itu dengan foto Presiden Sukarno. Padahal, Sultan Turki pun sudah lama pula dikudeta Kemal Attaturk tahun 1924.

Di halaman samping rumah kakek saya itu, ada pula bangunan rumah panggung yang ukurannya lebih kecil. Rumah kecil itu berfungsi untuk menyimpan barang-barang, yang tersusun dengan rapi. Ada seperangkat gong khas Melayu dan beberapa meriam kuno dari kuningan, serta berbagai jenis pedang kuno dan tombak. Juga tersimpan rebana berbagai ukuran serta gendang yang terbuat dari pohon kelapa dan kulit sapi. Di salah satu ruangan rumah kecil itu saya menyaksikan banyak buku-buku tua menggunakan huruf Arab. Saya pernah membuka gulungan-gulungan kertas berisi hikayat dan syair Melayu yang ditulis dengan tulisan tangan. Saya tidak tahu siapa penulisnya. Mungkin sebagian ditulis oleh kakek saya sendiri. Sebagian konon berasal dari Johor, Lingga dan Riau. Saya masih ingat ada Hikayat Hang Tuah yang juga ditulis dengan huruf Arab Melayu. Ketika kecil, beberapa kali saya membaca hikayat Hang Tuah itu. Ceritanya bagi saya, sangatlah menarik. Di ruang itu, tersimpan pula buku-buku pelajaran dan bahkan buku tulis anak-anak kakek saya ketika mereka bersekolah di zaman Belanda.

Suatu hal yang juga menarik perhatian saya di bagian belakang rumah kecil itu ialah berbagai peralatan yang dalam pandangan saya terlihat aneh. Dua peralatan yang saya anggap aneh itu, pertama ialah perangkap tikus yang terbuat dari bambu yang nampak sangat keras. Dalam tabung bambu itu ada lobang kecil yang dipasang kawat baja untuk meletakkan umpan. Di depan tabung itu ada bambu yang di sayat tipis berbentuk melengkung dan lentur. Apabila tikus masuk memakan umpan di dalam tabung itu, maka bambu tipis yang melengkung itu akan serta-merta menutup tabung itu, sehingga tikus terperangkap di dalamnya. Peralatan lain yang juga terlihat aneh ialah yang dinamakan pulut, yakni peralatan untuk menangkap burung. Ada ratusan lidi kabung yang dimasukkan ke dalam tabung bambu yang di dalamnya ada lem yang sangat kental. Lem itu dibuat dari getah pohon Teruntum, sejenis pohon bakau yang tumbuh di pinggir sungai. Peralatan yang lain, seperti jala untuk menangkap ikan, cangkul, parang dan alat untuk menebas rumput, bagi saya terlihat biasa saja.

Di bagian gudang rumah kecil itu kakek saya masih menyimpan berbagai mainan anak-anak beliau di waktu kecil. Ada papan catur yang dibuat sendiri dari kayu. Ada juga kuda-kudaan yang tempat duduknya dilapisi bahan sejenis terpal dan di dalamnya ada kapuk, bahan orang Belitung membuat kasur dan bantal di zaman dahulu. Juga ada mobil-mobilan dan gerobak kecil yang semua dibuat dari kayu, termasuk rodanya. Kakek saya itu mempunyai sebuah sepeda antik, yang ada giginya. Beliau menyebut gigi sepeda itu persneling. Ketika beliau sudah tua, beliau tak sanggup lagi naik sepeda. Maka sepeda itu digantungdi dalam rumah dan diberi kelambu berwarna putih. Sepeda itu beliau rawat dengan baik dan selalu diberi minyak pada rantai dan onderdilnya yang lain. Ketika saya sudah mahasiswa dan pulang ke kampung, saya bertanya kepada saya sepeda kakek saya yang antik itu. Ayah saya mengatakan sepeda itu ada di rumah kami, beliau simpan di dalam gudang. Tetapi tidak pakai kelambu lagi, seperti dilakukan kakek saya. Saya lantas memperhatikan sepeda antik itu. Pada sadel atau tempat duduknya, masih terbaca dengan jelas sepeda itu mereknya Robinson. “Made in England” dan tertera tahun pembuatannya tahun 1892. Sampai sekarang sepeda antik itu kami simpan baik-baik di rumah ibu saya di Manggar.

Saya banyak bertanya kepada ayah saya riwayat sepeda yang dibeli kakek saya di Singapura. Konon menurut ayah saya, di awal abad ke 20, kakek saya itu adalah manusia satu-satunya yang punya sepeda di kota Manggar. Orang lain berjalan kaki belaka. Di Belitung tidak ada kuda. Orang tempatan juga tidak tahu bagaimana cara mengajari sapi dan kerbau agar pandai menarik gerobak seperti di Jawa dan Madura. Satu-satunya kuda yang pernah ada, konon dimiliki oleh Tuan Dekker — orang Belanda yang memeluk agama Islam di Belitung dan menikah dengan wanita setempat. Beliau adalah pioner membuka pertambangan timah dalam arti modern. Saya memperoleh banyak informasi tentang beliau ini, yang namanya lengkapnya Cornelies Frederijk den Dekker. Nama beliau itu dipahat di prasasti batu pualam di depan Hoofdkantoor NV GMB di Tanjung Pandan. Sayang prasasti dibongkar dan mungkin sudah dihancurkan.

Saya memang sering jengkel dengan orang Belitung, termasuk Pemerintah Daerahnya dan pejabat PT Tambang Timah, yang hoby membongkari situs-situs dan bangunan bersejarah yang ada di pulau itu. Kebanyakan mereka itu bergelat insinyur, namun di mata saya nampak dungu karena tidak mempunyai kesadaran historis, apalagi arkeologis. Namun mereka sering mengatakan bahwa sayalah yang aneh dan eksentrik karena memperhatikan hal-hal seperti itu. Sudahlan.Saya masih memiliki foto prasasti ituyang saya buat copynya di Universitas Leiden. Begitu terkesannya orang Belitung dengan kuda den Dekker,sampai ada pantun orang Belitung yang saya masih ingat sampai sekarang:

Tuan Dekker menunggang kuda,

Dari Sijuk ke Tanjung Pandan,

Pikir-pikir bermain muda,

Buah mabuk jangan dimakan.

Berbeda dengan adik-adiknya seperti Moestar dan Abdullah, kakek saya tidak pernah mau bekerja di perusahaan timah Belanda. Beliau mengikuti jejak ayahnya. Karena beliau haji dan mendalami agama, maka beliau dianggap sebagai ulama dan ditokohkan oleh masyarakat serta sangat disegani. Beliaulah yang meneruskan tugas Haji Ahmad menjadi imam Masjid Kampung Lalang. Beliau tidak pernah mau membaca khutbah Jum’at menggunakan Bahasa Melayu. Khutbahnya selalu dibacakan dalam Bahasa Arab, walaupun tentu hanya sedikit jamaahnya yang mengerti. Namun pengajian yang beliau berikan, menggunakan bahasa Melayu. Konon di masa muda beliau memberikan khutbah dan pengajian sampai ke kampung-kampung yang jauh letaknya. Tidak jarang beliau menginap di kampung-kampung itu mengendarai sepeda melintasi hutan dan jalan setapak. Konon baru di tahun 1916 membangun jalan yang menghubungkan antar kota di Belitung. Baru sedikit yang diaspal, sisanya jalan tanah merah belaka. Saya juga melihat foto-foto mobil dan truk Belanda di Belitung, yang dibuat tahun 1916 itu.

Mata pencarian kakek saya itu sama saja dengan ayahnya Haji Ahmad. Beliau memiliki kebun kelapa di dekat muara Sungai Mirang. Beliau juga memiliki perahu untuk pergi memancing ikan di laut. Sama seperti Haji Ahmad, beliau juga membuat sero di pantai pengempangan. Ketika saya kecil, saya pernah ikut menangkap ikan di dalam sero itu. Pernah pula beberapa kali berjalan kaki dengan beliau pergi ke kebun nanas miliknya. Di kebun nanas yang luas itu, ada sebuah rumah kecil yang dibangunnya di atas air. Saya sering bermain di rumah itu sambil memasang pancing yang dikasi umpan cacing. Pancing umpan cacing itu digunakan untuk mendapatkan ikan Kemuring, untuk umpan memancing ikan yang lebih besar. Kadang-kadang pancing itu dimakan ikan gabus, yang membuat saya sangat gembira. Saya juga belajar membuat bubu untuk menangkap ikan, dan meletakkan bubu itu di antara pematang kolam tempat menanam kangkung dan genjer. Sering saya mendapat ikan yang terperangkap di dalam bubu itu. Namun pernah pula saya kaget setengah mati karena di dalam bubu itu ada ular piton (orang Belitung menyebutnya ular Saba) sepanjang kira-kira satu meter. Seperti saya ceritakan di bagian I, saya sangat sensitif dengan ular. Rasa sensitif itu tetap saya miliki sampai sekarang, kalau sesekali saya masuk hutan atau mendaki gunung.

nipahDi samping kebun nanas itu, kakek saya mempunyai pohon nipah yang banyak sekali jumlahnya. Nipah itu tumbuh di dalam air. Saya sering memetik buah nipah, yang rasanya manis mirip buah siwalan. Ada banyak pohon hutan, orang menyebutnya Daun Iding-Iding, yang pucuknya dapat dimasak, tumbuh disela-sela pohon nipah. Kakek saya memetik daun nipah itu dan menjalinnya menjadi atap untuk rumah. Saya tahu bagaimana caranya membuat atap dari daun nipah, karena saya belajar dengan kakek saya. Di kebun kakek saya juga, saya sering membantu beliau meraut lidi daun kelapa. Meraut lidi itu menggunakan pisau khusus, yang gagangnya panjang dan melengkung, terbuat dari kayu. Kami menyebut pisau itu “pisau raut”. Saya juga belajar membuat simpai, yakni anyaman rotan untuk mengikat lidi itu hingga menjadi kuat ketika dijadikan sapu lidi.Ada sapu lidi yang diberi gagang kayu untuk menyapu halaman. Ada pula yang tidak memakai gagang, ukurannya lebih kecil, untuk membersihkan rumah, termasuk untuk memukul-mukul kasur kapuk ketika dijemur di halaman rumah.

Tetapi kakek saya juga membuat sapu dari bahan sabut kelapa yang direndam di dalam air beberapa hari, kemudian dipukul-pukul sehingga yang tersisa adalah serat sabut kelapa itu. Serat itu kemudian dijemur sampai kering. Sabut kelapa yang kering itu kemudian diajalin dengan rotan dan diberi gagang kayu kir-kira satu meter panjangnya. Bentuk sapu itu sangat bagus dan enak digunakan untuk menyapu lantai rumah, baik lantai papan maupun lantai semen dan ubin. Saya suka menggunakan sapu sabut khas Belitung itu sampai sekarang. Ketika pulang ke Belitung, saya masih bisa membuat simpai dan menjalin sabut kelapa dengan rotan untuk dijadikan sapu itu. Demikianlah serba sedikit latar belakang kehidupan kakek saya dari pihak ayah. Dalam penglihatan saya kakek saya dari pihak ayah itu tidaklah miskin. Beliau hidup lumayan menurut ukuran orang kampung di zaman itu. Ada pula jenis sapu yang dibuat kakek saya menggunakan dahan pohon yang banyak ranggasnya dan daunnya kecil-kecil. Pohon itu dinamakan pohon sapu padang.

Walaupun kakek saya menganut paham keagaman yang cenderung kobservatif dan bersikap non-kooperatif dengan Belanda, namun beliau membiarkan anak-anaknya menempuh pendidikan formal. Kedua anaknya, Baharum dan Baksin IMG_0001misalnya, setelah menamatkan sekolah dasar, meneruskan pendidikan kursus di bidang teknik pada lembaga pendidikan yang didirikan oleh Belanda. Mereka menamatkannya dengan baik, dan menjadi teknisi kelistrikan di perusahaan tambang timah Belanda. Ayah saya, Idris (lihat foto bersama ibu saya dan anak yang masih kecil) tak berminat pada dunia teknik. Setelah menamatkan sekolah dasar, beliau meneruskan pendidikan ke sebuah institut milik swasta selama empat tahun lagi. Sekolah itu diakui setaraf dengan HBS, kira-kira SMA di zaman sekarang. Sekolah itu menggunakan bahasa Belanda, Arab dan Melayu. Ayah saya nampaknya mendalami kesusasteraan di sekolah itu. Di raportnya yang masih disimpan ibu saya, saya terlihat banyak subyek kesususteraan, agama dan budaya sebagai mata pelajarannya.

Ayah saya sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke Jakarta, menyesuaikan ijazahnya untuk kemudian meneruskan pendidikan ke Rechts Hoogeschool, atau fakultas hukum sekarang ini. Beliau sudah pergi ke Jakarta, namun kembali lagi ke Belitung. Saya tidak tahu apa sebabnya. Nampaknya terkendala soal keuangan. Namun dengan ijazah yang dimiliknya, beliau sebenarnya dapat bekerja dengan gaji yang lumayan, baik bekerja di pemerintahan kolonial, maupun bekerja di perusahaan timah Belanda. Pernah sebentar, kata beliau, bekerja sebagai klerk (pegawai administrasi), tetapi tidak betah dan akhirnya berhenti. Hidupnya kemudian laksana seniman. Kerjanya setiap hari bermain biola, menulis naskah drama dan sekaligus menjadi pemainnya. Sambil bermain musik dan main drama, beliau mengatakan berjualan minyak wangi. Minyak wangi itu dibuatnya sendiri, dengan cara menyuling berbagai jenis bunga dan tumbuh-tumbuhan. Saya tidak dapat membayangkan jenis minyak wangi macam apa yang dibuat beliau itu. Ketika kami kecil, kami hanya mengolok-olok beliau, jangan-jangan minyak wangi itu semacam minyak sinyong-nyong, yang konon dapat memikat hati seorang gadis.

Ayah saya memang piawai bermain biola. Beliau mempunyai grup musik sendiri terdiri atas beberapa pemain. Grup musik itu seringkali mengiringi orang Belanda berdansa di Societet Belanda di Bukit Samak. Mereka juga bermain ketika ada perayaan atau pesta kawin. Grup musik itu juga pentas sebelum pertunjukan drama dimulai. Ketika saya SD, saya menyaksikan ayah saya masih mampu menggesek biola, walau kata beliau, sudah lama sekali tidak pernah lagi memainkan alat musik itu. Beliau mengatakan kepada saya, beliau belajar bilola mula-mula di sekolah. Setelah itu beliau berguru kepada salah seorang saudara sepupunya yang usianya lebih tua dari beliau, namanya Badjeri. Orang-orang di kampung memanggil Bedjeri itu Cembelek. Saya tidak tahu mengapa dipanggil demikian. Saya masih bertemu dengan beliau itu, walau ketika saya kecil, beliau nampak sudah tua sekali. Menurut ayah saya, Badjeri itu lebih piawai memainkan biola. Badjeri biasa mengiringi pertuntunjukan tari-tarian tradisional Melayu Belitung, yang disebut Campak. Selain itu, Badjeri juga menggesek biola untuk pertunjukan film di sebuah bioskop milik orang Cina — orang Belitung menyebut bioskop itu Panggung Pasong — yang terletak di Pasar Lipat Kajang. Badjeri juga mahir menabuh hadrah, yakni seperangkat rebana yang biasanya digunakan untuk mengarak pengantin.

Saya agak tercengang mendengar cerita ayah saya tentang Badjeri yang mengiringi pertunjukan film di bioskop. Ayah saya menjelaskan bahwa di tahun belasan sampai awal tahun 1930, bioskop itu hanya memutar film Charlie Chaplin dan sejenis dengan itu. Film itu belum berwarna, hanya hitam putih belaka. Lagi pula film di zaman itu belum ada suaranya, jadi film bisu saja. Agar tontonan di layar bioskop itu terasa hidup, maka harus ada pemain musik yang menyesuaikan irama musiknya dengan adegan di film itu. Ketika ayah saya kecil, beliau rupanya sering menonton bioskop pula. Karena film diputar setiap malam, suatu ketika Badjeri mengantuk. Mungkin dia bosan menggesek biola setiap malam mengiringi film yang sama. Badjeri tertidur ketika adegan Charlie Chaplin sedang berkelahi. Karena suara musik tak terdengar, penontonpun berteriak “musik”!. Badjeri tiba-tiba terbangun kaget. Dia segera menggesek biolanya dengan tempo yang tinggi mengiringi Charlie Chaplin yang sedang berkelahi itu. Saya terbahak-bahak tertawa mendengar cerita ayah sayaitu, karena terdengar lucu untuk anak segenerasi saya. Namun itulah cerita yang sesungguhnya yang pernah terjadi di masa silam.

Ketika masih kecil, saya masih menyaksikan sebuah bangunan yang dijadikan markas grup musik dan sandiwara ayah saya. Tidak jauh dari bangunan itu, ada halaman kosong, yang menurut beliau dahulunya ada panggung untuk bermain sandiwara secara rutin setiap seminggu sekali. Ayah saya rupanya menulis naskah sandiwara modern yang mengisahkan kehidupan sehari-hari. Di panggung yang sama, juga ada pertunjukan tonil dan sejenis opera yang antara lain mementaskan kisah yang diangkat dari syair Melayu, Syair Abdul Muluk. Ayah saya tidak ikut dalam pertunjukan drama klasik, yang umumnya dimainkan oleh generasi yang lebih tua usianya, termasuk kakek saya dari pihak ibu, yang konon sering memainkan peranan sebagai Raja Jin. Kegiatan ayah saya bermain musik dan bermain drama itu berlangsung terus sampai beliau mempunyai anak empat orang. Beliau baru berhenti bermain musik dan drama, ketika orang-orang kampung mengangkat beliau menjadi penghulu, untuk mengurusi masalah-masalah keagamaan. Rupanya, darah keulamaan dari kakek dan ayahnya menurun pada beliau. Namun mengurus kebun kelapa dan menangkap ikan, samasekali tidak menurun kepada beliau. Saya tahu persis ayah saya itu tidak pandai turun ke laut. Kalaupun beliau membuat kebun, semuanya nampak hanya dikerjakan sambil lalu dan tak pernah serius.

Di samping bermain musik dan drama, ayah saya itu juga gemar bermain sepak bola dan badminton. Ketika saya kecil, saya mendengar lutut ayah saya sering berbunyi ketika beliau mengerjakan sembahyang. Saya tanya mengapa sebabnya. Beliau bercerita kakinya pernah mengalami terkilir yang serius ketika bermain bola. Beliau menasehati saya agar hati-hati kalau main sepak bola. Sejak itu, beliau tak main bola lagi, tetapi main badminton jalan terus. Di seberang jalan di depan rumah kakek saya, Haji Zainal Abidin bin Haji Ahmad, ada lapangan badminton yang cukup bagus. Lapangan badminton itu dibuat dari beton, dan ada rumah yang panjang bentuknya, tempat kantor sebuah klub yang namanya BKL (Badminton Kampung Lalang). Ada beberapa ruangan tempat ganti pakaian di bangunan itu. Di bagian depan ada balkon tempat orang menonton. Lapangan badminton itu diterangi lampu listrik yang nampak mewah. Meskipun lapangan badminton itu dibuat tahun 1934 oleh paman saya Baharum — beliau itu seorang arsitek dan sekaligus developer — namun saya masih sering bermain badminton di lapangan itu di sekitar tahun 1970. Ayah saya, sesekali menyaksikan saya bermain badminton.

Kegiatan ayah saya bermain musik dan drama itu berhenti beberapa tahun ketika balantentara Jepang mendarat di Belitung. Menurut beliau, pada awal tahun 1942, beberapa kali Angkatan Udara Jepang menjatuhkan bom di Belitung, yang membuat orang Belanda dan orang pribumi panik bukan kepalang. Konon, Gubernur Jendral Hindia Belanda yang terakhir, Tjarda, sempat melarikan diri ke Manggar dari Batavia. Dari sana rombongan orang Belanda mengungsi ke Australia mengunakan kapal laut. Jepang memang bersemangat untuk menduduki Belitung, karena di pulau ini ada industri permesinan Belanda yang dapat mereka manfaatkan untuk memproduksi senjata. Produksi timah dari Belitung juga sangat penting bagi Jepang untuk membuat mesiu. Tentara Jepang mendarat di Belitung dengan armada laut, dalam jumlah yang cukup besar. Sementara orang Belanda mengungsi ke Australia, orang-orang Belitung juga masuk ke hutan. Mereka membuka hutan dan berladang untuk mempertahankan hidup. Zaman mulai dirasakan susah.

Tentara Jepang merekrut masyarakat melakukan kerja rodi membangun lapangan terbang untuk kepentingan militer. Pekerja rodi juga dikerahkan untuk menggali tanah membuat semacam kolam yang dihubungkan ke laut. Kolam itu masih ada sampai sekarang, dan dinamakan orang Kulong Sukarela. Mungkin kolam itu akan digunakan untuk penderatan tank amphibi Jepang. Lapangan terbang itu dibangun di kampung Buluh Tumbang, kira-kita 16 km dari kota Tanjung Pandan. Di zaman Belanda belum ada lapangan terbang di Belitung. Ayah saya tidak termasuk kelompok yang dipaksa kerja rodi, tetapi entah bagaimana ceritanya, beliau direkrut menjadi pasukan paramiliter untuk membantu pasukan militer Jepang. Saya masih menyimpan buku tulis peninggalan ayah saya, yang menunjukkan beliau belajar bahasa Jepang, dan mencatat berbagai istilah kemiliteran dalam bahasa Jepang. Latihan militer dipusatkan di sekitar Bukit Samak, di tepi pantai dan di daerah Tanjung Mudong.

Di masa pendudukan Jepang itulah ayah saya menikah dengan ibu saya, Nursiha binti Sandon. Kakek saya dari pihak ibu, tergolong orang yang berada. Ibu saya dianggap sebagai anak beliau satu-satunya. Karena khawatir ibu saya akan diambil paksa oleh tentara Jepang, maka kakek saya berpikir praktis saja. Kedua orang tua berpaham, dan kedua anak dijodohkan. Mereka menikah tahun 1944, ketika ayah saya telah berusia 27 tahun, dan ibu saya baru 15 tahun umurnya. Tentu tidak ada pesta perkawinan di zaman perang dan kehidupan sangat sulit di masa itu. Bahkan ayah saya tidak punya surat kawin. Beliau baru membuat surat kawin yang ditandatanganinya sendiri sebagai Kepala Kantor Urusan Agama, jauh di belakang hari, menjelang beliau pensiun. Kami, anak-anak beliau tertawa melihat surat kawin beliau yang dibikin sendiri itu. Sekian lama jadi penghulu dan Kepada KUA, ternyata beliau tak punya surat kawin. Untung Pak Naib (sebutan untuk kepala KUA di Belitung) tidak disangka kumpul kebo, kata kami berolok-olok.

Kakek saya dari pihak ibu, mungkin berpikir anak gadis satu-satunya itu, akan aman jika dinikahkan dengan tentara, agar tidak diganggu orang Jepang. Setelah menikah, ibu saya rupanya ikut latihan militer juga. Beliau bercerita latihan baris-berbaris, memanggul senapang kayu dan menembak dengan senapang karaben. Kadang-kadang mereka juga dilatih melompat dari mobil panser dan mengendarai tank pasukan Jepang. Ibu saya rupanya dipersiapkan untuk menjadi polisi. Namun setelah merdeka, dan beliau telah mempunyai anak pula, kariernya itu tidak berlanjut. Seumur hidupnya beliau tidak pernah bekerja, kecuali mengurus rumah tangga saja, dan sekali-kali berdagang pakaian atau membuat minyak kelapa. Namun kegiatan itu hanya sambilan belaka.

Ayah saya nampaknya menjadi tentara dengan setengah hati. Ketika Indonesia sudah merdeka, beliau nampak tak bersemangat untuk ikut dalam perjuangan bersenjata. Di zaman Revolusi memang tidak terjadi pertempuran besar di Belitung, seperti di daerah-daerah lain. Ada pertempuran melawan tentara sekutu yang membawa NICA di Selat Nasik dan Air Seru. Tetapi di Manggar, tidak terjadi pertempuran. Ayah saya tak berminat meneruskan karier menjadi militer. Ini berbeda dengan teman-temannya yang lain. Muhani salah seorang temannya, meneruskan karier militer sampai akhir revolusi, tapi kemudian berhenti setelah penyerahan kedaulatan dengan pangkat Letnan Dua. Temannya yang lain, Mardjono, yang juga anggota grup musik ayah saya, meneruskan kariernya di militer. Beliau pensiun dengan pangkat Kolonel, dan terakhir bertugas di Kodam Siliwangi. Ketika saya mahasiswa sekitar tahun 1977, saya sempat mengantar ayah saya menemui Mardjono di Bandung.

Temannya yang lain, Saleh Norman namanya, meneruskan karier militernya sampai berpangkat Brigjen, dan pernah menjadi Direktur PT Pindad. Saya pernah bertemu dengan beliau, ketika telah pensiun dan tinggal di Tasikmalaya. Anak beliau, Nanang Setiawan namanya, teman saya kuliah di Fakultas Hukum. Bapaknya menanyakan saya, karena Nanang bercerita kepada beliau ada temannya berasal dari Belitung. Ternyata, Saleh Norman itu teman ayah saya bermain sepak bola di masa muda dan sama-sama latihan militer di zaman Jepang. Ketika saya datang ke rumah beliau di Tasikmalaya, beliau nampak sangat bersuka-cita. Beliau sengaja menangkap ikan mas yang besar ukurannya di kolam belakang rumahnya dan memasaknya. Katanya, itu adalah gangan ikan model Belitung. Namun, di lidah saya, rasanya sudah campur-aduk masakan Sunda. Saya hanya tertawa dan menikmati gulai ikan mas yang besar itu.

Telah puluhan tahun Brigjen (Purn) Saleh Norman tak pernah kembali ke Belitung. Nampak sekali ada kerinduan beliau akan tempat kelahirannya itu ketika beliau bercerita. Beliau berkisah tentang persahabatannya dengan ayah saya, dan juga paman-paman saya. Rupanya beliau tinggal berdekatan dengan rumah keluarga kakek saya di Kampung Lalang. Dengan bangga beliau memperlihatkan kepada saya sebuah dayung (bahasa Belitung menyebutnya pengayo) perahu (katir) tradisional Belitung, disertai sejumlah peralatan memancing, termasuk sebuah tabung bambu tempat menyimpan mata pancing dan kili-kili. Beliau mengatakan, semua peralatan itu pernah dipakainya di masa muda. Benda itu terus dibawanya merantau sebagai kenang-kenangan semasa tinggal di Belitung.

Demikianlah kisah tentang keluarga saya dari pihak ayah. Semua ini saya tulis berdasarkan ingatan saya. Beruntung saya, sebelum tulisan ini saya posting, saya bertemu dengan paman saya, yang sedang berada di Jakarta. Haji Arba’i bin Haji Zainal Abidin namanya. Beliau adalah adik ayah saya yang paling bungsu, dan satu-satunya yang masih hidup di antara saudara-saudara kandung ayah saya. Saya banyak bertanya kepada beliau untuk menyempurnakan tulisan ini, kalau-kalau saya salah dan lupa. Saya juga menelpon saudara sepupu ayah saya, Ir. Haji Mohammad Taib bin Haji Moestar, yang tinggal di Bandung, menanyakan beberapa hal tentang Haji Ahmad dan Haji Taib. Namun tak banyak informasi yang saya peroleh. Setelah tulisan ini saya posting, kalau sekiranya ada sanak-famili atau handai tolan yang mengetahui beberapa hal, dan mungkin saya salah dan keliru, dapat kiranya mengoreksi apa yang saya tuliskan ini.

Demikianlah adanya tulisan saya, hamba Allah yang dhaif ini, pada Bagian II Kenang-Kenangan di Masa Kecil. Semoga ada manfaatnya sebagai bahan pelajaran dan renungan bagi generasi selanjutnya. Kalau ada salah dan keliru, mohonlah saya dimaafkan.

Wallahu’alam bissawwab.