KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN III)
Ketika bayi Muna sudah di dalam rumah, hujan badai bercampur petir masih berlanjut sampai tujuh hari tujuh malam lamanya. Atas nasehat seorang yang memahami seluk-beluk dunia orang halus di pinggir hutan belantara itu, bayi itu harus ditidurkan di atas dulang tembaga dan diberi kelambu tujuh lapis. Semua ini dilakukan untuk menjaga keselamatan Muna agar tidak direbut kembali oleh orang tua asalnya orang Bunian penghuni rimba raya. Tentu berbagai jampi dan berbagai peralatan yang berkaitan dengan dunia mistik disediakan untuk berjaga-jaga, kalau-kalau orang Bunian datang mengamuk. Namun akhirnya semua berlalu dengan selamat. Mungkin berkat jampi-jampi itu, orang Bunian, makhluk halus sebangsa jin itu telah merelakan anak mereka menjelma jadi manusia. Konon Muna mempunyai seorang saudara laki-laki, yang juga menjelma menjadi manusia, namanya Diker (mungkin dari asal kata Dzikir). Saya tidak mendapat banyak informasi, siapa yang mengambil Diker menjadi anak manusia. Kisah selanjutnya tentang Diker tak banyak diketahui masyarakat Gantung. Kisah tentang Muna, kini menjadi semacam legenda dan cerita rakyat di daerah itu.
Muna tumbuh menjadi gadis yang cantik, demikian pula saudaranya Diker. Orang-orang di kampung dan di hutan, konon seringkali bertemu serombongan orang Bunian sedang menyanyi sambil bergantungan di akar-akar yang menjuntai dari pepohonan yang tinggi. Sambil berayun-ayun rombongan jin itu menyanyikan lagu yang menyanjung Muna, sebagai putri sebangsa mereka yang telah menjelma menjadi gadis manusia yang cantik. Mereka juga menyanjung Diker sebagai pemuda tampan, yang asalnya anak jin tetapi telah menjadi manusia. Nyanyian rombongan jin itu rupanya tidak hanya di dalam hutan. Para nelayan yang mendayung perahu di sungai Lenggang, rupanya juga mendengar nyanyian yang sama dari serombongan jin yang bermarkas di terowongan alam di sebuah pulau kecil di tengah sungai. Belakangan pulau kecil itu dijadikan orang Belanda sebagai fondasi untuk menghubungkan dua jembatan yang mengubungkan Manggar dengan daerah-daerah di seberang sungai. Di atas pulau untuk menggantungkan dua jembatan itu dibangun pula rumah besar yang dihuni oleh Tuan van der Hook, Tuan Kongsi Belanda untuk wilayah Gantung. Konon dari pulau itulah lahir nama Gantung, untuk menyebut kota baru yang berdiri di seberang rumah Tuan van der Hook itu.
Mengingat Muna adalah putri jin dan ditemukan di ruas bambu, maka seluruh keluarga kakek saya tidak pernah mau makan rebung, yakni bambu yang masih muda yang sering digulai dengan santan kelapa. Saya masih mendengar perintah kakek saya, Jama Sandon, agar saya dan kakak-kakak saya tidak boleh memakan rebung. Tentu saja kami takut dengan beliau. Keluarga kami juga tidak boleh membakar bambu. Memakan rebung dan menghirup asap bambu akan memberi peluang kepada para jin untuk mengambil kami kembali. Risikonya, bisa-bisa keluarga kami tidak menjadi manusia lagi dan kembali ke asal menjadi keluarga jin. Saya baru berani memakan rebung atas izin ibu saya setelah kakek saya meninggal. Alhamdulillah, sampai sekarang saya tetap jadi manusia, tidak kembali menjadi jin, setelah makan rebung itu. Ayah saya, tidak percaya dengan kisah Muna putri jin itu. Hanya demi menghormati mertua, beliau tak makan rebung dan membakar pohon bambu seperti ibu saya. Seperti saya tuliskan di Bagian I, ayah saya itu selalu berpikir rasional. Paham keagamaannya tergolong kaum modernis yang tidak percaya kepada takhayul dan khurafat. Menurut hipotesis beliau, mungkin saja ada keluarga yang meletakkan bayi di ruas bambu itu. Orang itu tahu kalau kedua suami istri yang tinggal di pinggir hutan itu telah lama mendambakan seorang anak. Tidak mungkin anak jin jadi manusia, demikian kata beliau. Saya sendiri sampai sekarang, belum sepenuhnya dapat memahami riwayat Muna, tuan putri jin yang menjadi ibu kakek saya itu. Ilmu saya, belum sampai ke tingkat itu. Jadi saya, antara percaya dan tidak percaya saja, tanpa perlu bersikap a-priori.
Entah bagaimana ceritanya, setelah dewasa Muna sang putri jin itu menikah dengan Musa, perantau misterius dari Persia itu. Dari perkawinan itu lahirlah kakek saya Jama Sandon sekitar tahun 1884. Saudara-saudaranya yang lain bernama Saad, Taib, Mela, dan Sakyot. Seluruh anggota keluarga ini awalnya menetap di pinggir hutan di daerah Gantung, tetapi ketika telah dewasa anak-anaknya berpindah juga ke tempat lain. Ketika kakek saya masih kecil, beliau ingin sekali bersekolah. Namun di Gantung, pada akhir abad ke 19, belum ada satupun sekolah. Kakek saya dan kakaknya Saad, terpaksa bersekolah di Tanjung Pandan. Jarak dari Gantung ke Tanjung Pandan mungkin sekitar 140 km, setelah ada jalan yang dibuat oleh Belanda. Di zaman kakek saya bersekolah itu belum ada jalan raya. Mereka pergi ke Tanjung Pandan berjalan kaki melewati hutan selama sehari semalam. Jika malam tiba, mereka beristirahat di Bukit Genting Apit, yang dipercaya masyarakat banyak hantu, limpai (sebangsa binatang siluman) dan sebayak (hantu yang bisa berubah jadi manusia dan berkelakuan aneh). Merekapun bersekolah pada sebuah sekolah yang namanya Sekolah Raja atau disebut juga Sekolah Melayu. Kalau liburan tiba, mereka berjalan melintasi hutan lagi untuk pulang ke rumah orang tuanya di Gantung.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=48
Pak… saya cuma mau tanya satu hal…. apa benar Bapak punya kakak kandung yang bernama Hasnani? dan Ibu Hasnani ini memiliki anak bernama zakaria? Sdr. zakaria ini selalu mengatakan bahwa Bapak adalah adik kandung ibunya (Bu Hasnani)