KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN III)
Sambil bekerja kakek saya juga mengajar di Sekolah Teknik atau Ambach School yang dibuka Belanda tahun 1928 (lihat gambar bagian depan Gedung Ambach School). Letak sekolah itu tidak jauh di belakang rumah kami, dan masih ada sampai sekarang. Beliau bekerja di bengkel bubut itu sampai tua sampai pensiun di awal tahun 1960. Seingat saya, meskipun sudah pensiun, beliau masih terus bekerja di tempat itu. Kepiawaiannya membubut, mungkin belum tergantikan orang lain. Menurut nenek saya, gaji kakek saya di bengkel bubut di zaman Belanda itu 75 gulden setiap bulan, ditambah dengan beras sepikul dan segala macam keperluan makan-minum. Di zaman itu, keluarga biasa cukup makan dengan satu ketip (sepuluh sen) satu hari. Jadi, dilihat dari rata-rata orang di kampung, kakek saya itu sudah tergolong orang berada.
Meskipun sudah kembali ke Belitung, sekitar tahun 1926 kakek saya beserta nenek saya Hadiah sempat ditugaskan di Kampung Siabu, dekat kota Bangkinang, Provinsi Riau sekarang ini. Di sana lagi-lagi kakek saya bertugas memasang mesin-mesin, karena Belanda akan membuka tambang timah yang baru. Nenek saya tentu bahagia tinggal di Siabu, karena di Bangkinang ada sanak familinya yang berasal dari daerah Payakumbuh di Sumatera Barat sekarang ini. Ibu dari nenek saya, namanya Denyap, berasal dari Minangkabau dan menetap di Belitung. Karena itu, kalau ada orang Minangkabau datang ke Belitung, mereka selalu mencari nenek saya itu. Sebagaimana telah saya jelaskan di awal tulisan bagian kedua, masyarakat Minangkabau menganut sistem kekeluargaan matrilineal. Jadi saya, menurut garis matrilinealdari ibu dan nenek, saya adalah orang Minangkabau. Banyak orang yang bertanya tentang hal ini, khususnya ketika saya diangkat menjadi datuk oleh sanak-keluarga Minangkabau. Sebutan Datuk Maharajo Palinduang itu, bukanlah pemberian, melainkan datuk pusako, yang diangkat berdasarkan pertalian darah. Meskipun ada darah Minangkabau, namun secara kultural saya merasa lebih dekat dengan budaya dan adat istiadat Melayu.
Saya kembali ke kisah tentang kakek saya. Di masa muda kakek saya itu gemar sekali bermain sepak bola. Beliau selalu menjadi kapten kesebelasan, yang pemainnya juga kebanyakan orang Belanda. Beliau bangga sekali menunjukkan sebuah medali, yang katanya diperoleh di Betawi dalam kompetisi sepak bola Hindia Belanda, entah tahun berapa. Foto kakek saya berseragam sepak bola masih disimpan ibu saya di Belitung. Foto itu mungkin diambil sebelum tahun 1920. Kakek saya mengatakan, beliau bermain bola itu menggunakan sejenis ilmu gaib. Kakinya digosok dengan minyak yang diberi jampi-jampi. Setelah itu kakinya ditendang-tendangkan ke pohon pinang. Dengan jampi-jampi itu tendangan beliau cukup handal. Sebagai kapten kesebelasan beliau tentu sering mencetak gol.
Suatu hari beliau bercerita kepada saya, beliau menendangkan bola itu dari tengah lapangan dan langsung menuju gawang, tanpa keeper dapat menangkap bola itu, dan gol. Benar tidaknya wallahu’alam. Hobi kakek saya bermain sepak bola itu, dialihkan pada kesukaannya menonton pertandingan sepak bola, ketika beliau berhenti sebagai pemain. Setiap ada pertandingan sepak bola di Padang Uni di kota Manggar, kakek saya selalu datang menonton. Bahkan ketika usianya sudah di atas 90 tahun, beliau masih nongkrong di depan televisi nonton sepak bola. Sebelum itu beliau hanya mendengar siaran radio yang meliput pertandingan sepak bola di Jakarta. Suatu hari beliau bilang kepada saya minta dibelikan televisi berwarna. Televisi milik beliau, berwarna hitam putih menyebabkan beliau susah membedakan kedua kesebelasan yang sedang bertanding. Benar juga. Karena usia beliau sudah sangat tua dan menonton sampai larut malam, tidak jarang beliau tertidur ketika menonton sepak bola di televisi. Rokoknya yang khas, yakni gulungan tembakau shag yang beliau sebut tembakau warning, sudah padam dimulutnya.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=48
Pak… saya cuma mau tanya satu hal…. apa benar Bapak punya kakak kandung yang bernama Hasnani? dan Ibu Hasnani ini memiliki anak bernama zakaria? Sdr. zakaria ini selalu mengatakan bahwa Bapak adalah adik kandung ibunya (Bu Hasnani)