KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN III)
Ismail, saudara nenek saya yang saya yang paling bungsu tinggal tidak seberapa jauh dari rumah Sudin. Rumahnya terbuat dari kulit kayu di dekat kebun nipah. Saya tidak ingat apa pekerjaan Ismail itu. Kehidupan beliau nampak sangat miskin. Dua anaknya saya kenal bernama Wahid dan Hanan. Hanan ini sering sakit-sakitan, nampaknya menderita asma. Isteri Ismail itu orang Bangka. Saya ingat logat bicaranya yang terdengar aneh di telinga saya. Bahasa Belitung dengan bahasa Bangka memang berbeda, walau kedua pulau itu berdekatan. Beliau sering mampir ke rumah nenek saya sehabis membawa Hanan pergi ke rumah sakit. Ismail meninggal ketika saya masih kecil sekali. Mungkin saya baru berumur lima tahun. Saya ingat ketika Ismail meninggal, jenazahnya dimakamkan di pekuburan Kampung Lalang, di dekat rumah nenek saya.Saudara-saudara nenek saya yang lain, tidak ada yang saya kenal. Mustafa dan Musa sudah meninggal di zaman Belanda. Satu-satunya anak Musa yang saya kenal, namanya Gudud. Dia bekerja menjadi Satpam. Saya mendengar, sebagian sanak-saudara nekek saya ada di Kampung Aik Selumar di dekat Sijuk. Namun saya belum pernah berjumpa dengan mereka.
Sifat nenek saya nampak berbeda jauh dengan kakek saya. Nenek saya itu sungguh sabar, sangat ramah dan tutur katanya perlahan dan selalu memberikan nasehat. Beliau nampak sebagai orang tua yang bijaksana, walau seumur hidupnya nenek saya itu tidak pernah bersekolah formal. Beliau membaca dan menulis huruf Arab. Beliau itu termasuk orang yang murah hati, karena tidak pernah henti-hentinya bersedekah membantu orang lain. Beliau mengatakan rejeki itu datang dari Tuhan dan Tuhan itu Maha Kaya. Makin banyak rejeki yang dibagi-bagikan kepada orang lain, maka akan makin banyak pula rejeki yang datang. Kami cucu-cucunya selalu diberi uang oleh beliau. Nenek juga selalu menasehati kami agar sabar saja, karena kakek kami Jama Sandon, orangnya agak bringasan. Namun kakek, kata nenek saya, sesungguhnya adalah orang yang baik hati. Saya kira nenek saya benar. Kakek saya itu pekerja keras dan wataknyapun keras pula. Beliaupun juga sering membantu orang lain yang susah, walau tidak sebanyak nenek saya.
Betapa kerasnya watak kakek saya itu dapat saya critakan sebagai berikut. Pernah suatu ketika saya menyaksikan ada seorang nelayan namanya Batjo, datang memesan pancing ikan tenggiri kepada kakek saya dalam jumlah yang besar. Kakek saya dengan senang hati membuatkan pancing itu. Beberapa hari kemudian Batjo datang ingin mengambil pesanannya. Mungkin pesanannya itu tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Batjo marah dan kakek saya pun marah. Mereka adu mulut. Tiba-tiba Batjo mencabut sebilah pisau dari pinggangnya. Kakek saya yang sedang duduk, dengan sigap menarik parang panjang di bawah meja tempat beliau mengikir pancing itu. Maka dengan cepat parang itu ditebaskan ke leher Batjo. Untung Batjo cepat merunduk. Kalau tidak, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Saya tahu parang panjang yang sangat tajam itu buatan kakek saya sendiri. Batjo kemudian lari tunggang langgang. Saya yang masih kecil dan menyaksikan peristiwa kakek saya menebas leher Batjo itu, sungguh ketakutan luar biasa. Dalam hati saya hanya mengatakan, ganas benar kakek saya itu. Kakak saya yang perempuan pernah mengatakan bahwa kakek kami itu “orangnya sadis”. Saya hanya tertawa saja. Saya hanya bilang, tidak heran karena beliau itu keturunan jin. Tapi kakak saya bilang, kalau begitu kita juga keturunan jin.
Sejak kejadian itu Batjo tidak berani lagi datang ke rumah kakek saya. Di kalangan nelayan Bugis, Batjo memang dikenal sebagai jagoan. Rambutnya gondrong dan sorot matanya tajam. Ketika kecil kira-kira umur enam tahun, saya pernah melihat Batjo berkelahi dengan nelayan lain asal Bawean, namanya Meka. Mereka berkelahi di tepi laut sehabis mereka pergi memancing. Tindak ada yang berani melerai. Untung datang Daeng Semaong, Lurah Kampung Lalang, yang sangat disegani semua orang Bugis di kampung kami. Saya mendengar Daeng Semaong memarahi Batjo. Tetapi saya tidak mengerti apa yang dikatakannya, sebab Daeng Semaong menggunakan bahasa Bugis. Hanya empat kata yang diucapkan Daeng Semaong yang saya mengerti, katanya “bikin malu orang Bugis”.Batjo duduk bersimpuh di atas pasir laut seperti pesakitan dimarahi Daeng Semaon. Kalau saya membayangkan wajah Daeng Semaong itu, hati saya terasa lucu. Beliau itu perawakannya tinggi besar. Beliau selalu memakai stelen baju dan celana warna putih dan memakai topi putih model topi Kontroluer Belanda.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=48
Pak… saya cuma mau tanya satu hal…. apa benar Bapak punya kakak kandung yang bernama Hasnani? dan Ibu Hasnani ini memiliki anak bernama zakaria? Sdr. zakaria ini selalu mengatakan bahwa Bapak adalah adik kandung ibunya (Bu Hasnani)