- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

AKHIRNYA SEMUA KITA AKAN PERGI (II)

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Tanggal 9 Desember yang lalu, saya mendapat khabar, salah satu saudara sepupu saya, A. Helmy bin Haji Arba’ie, telah berpulang ke Rahmatullah. Setiap kali saya mendengar berita kematian, batin saya selalu tertegun sambil mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi IMGraji”un. Sesungguhnya kita ini adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali lagi kepadaNya. Peristiwa kematian terasa datang begitu cepat dan sering tidak terduga. Saudara saya itu, masih tergolong muda. Usianya 54 tahun. Saya ingat waktu sekolah di SMP, dia sekelas dengan kakak saya yang perempuan, Yusniar. Mereka kelas III, saya kelas I. Setelah tamat SMP dia berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Lama saya tak bertemu dengannya. Setelah saya pindah ke Jakarta, suatu hari dia datang ke rumah saya di Jalan Perikani, Rawamangun, sekitar tahun 1982. Ternyata dia tinggal di Rawamangun juga, tidak jauh dari rumah saya. Sejak itu, beberapa kali dia datang lagi ke rumah saya, lebih-lebih di kala Hari Raya Idul Fitri. Saya pernah berkunjung ke rumahnya di Bekasi setelah dia pindah ke sana. Terakhir, dua tahun lalu, dia mengatakan telah pindah ke rumah yang baru di Desa Mangunjaya, di Bekasi juga.

Mendengar kabar kepergiannya, saya segera bergegas menyetir mobil sendiri bersama isteri saya pergi ke rumah duka. Saya melintasi jalan tol dan keluar di daerah Cibitung. Agak susah payah saya mencari rumahnya, sehingga harus berkali-kali bertanya kepada supir angkot dan tukang ojek. Akhirnya, sampai juga saya di Desa Mangunjaya dan langsung menuju ke rumah duka. Ketika saya tiba di sana, jenazahanya sudah dimandikan dan dikafankan. Kami segera bergegas membawa jenazah untuk disembahyangkan di sebuah musholla tak jauh dari rumahnya. Selepas itu, kami beramai-ramai menuju Pemakaman Umum Desa Mangunjaya, yang nampak masih baru.

Di pemakaman itu saya menyaksikan paman saya Haji Arba’ie bin Haji Zainal, menabur bunga di atas pemakaman. Tabur bunga disusul oleh isteri almarhum Helmy, isteri dan anak-anaknya. Juga kakak dan adik-adiknya, baru kemudian saya dan isteri saya, dan disusul oleh pelayat yang lain. Atas permintaan keluarga, saya menyampaikan sambutan duka cita dan ucapan terima kasih kepada seluruh pelayat yang telah membantu upacara pemakaman. Adik Helmy, Iskandar yang sehari-hari menjadi ustadz, membacakan doa. Upacara pemakaman berlangsung singkat namun penuh khidmad. Akhirnya, kami semua meninggalkan pemakaman dengan perasaan masing-masing. Saya mengantar paman saya dan anak-anaknya kembali ke rumah duka. Dalam mobil saya bertanya, apakah Helmy sakit sebelum meninggal. Mereka mengatakan tidak. Kepergiannya tiba-tiba. Mereka mengatakan mungkin dia terlalu berduka dengan kematian putrinya dua minggu sebelumnya. Saya tidak mendapat kabar ketika putrinya meninggal, sehingga saya tak datang untuk melayat.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, saya merenungkan kepergian saudara sepupu saya itu yang tiba-tiba itu. Saudara sepupu saya itu baru berusia 54 tahun. Usia yang masih relatif muda untuk ukuran rata-rata orang Indonesia. Namun ajal akan datang kapan saja. Tidak ada yang tahu, kecuali Allah Ta’ala. Dalam hati saya berkata, kalau Allah Ta’ala menghendaki, barangkali hari inipun saya akan mati juga. Kalau belum, baiklah saya harus berbuat kebajikan lebih banyak lagi, agar hidup ini semakin bermakna. Kebajikan itu hanya akan saya tujukan kepada Allah semata, walau manfaatnya tentu akan dirasakan oleh sesama manusia. Kalau kebajikan ditujukan kepada manusia, kita akan mudah frustrasi dan putus asa. Sebab, kita akan selalu berharap agar manusia menghargai apa yang kita kerjakan. Namun, kalau kebajikan kita tujukan dengan niat untuk mengabdikan diri kepada Allah, kita tidak perlu perduli apakah manusia akan menghargainya atau tidak. Bahkan mungkin pula kebajikan yang kita lakukan, akan mendapat penilaian sebaliknya. Manusia selalu diliputi oleh rasa curiga dan syak wasangka.

Empat hari setelah kepergian Helmy, saya mengundang paman saya, Haji Arba’ie bin Haji Zainal (lihat gambar), datang ke rumah saya beserta anak-anaknya. Kalau saya menatap wajah paman saya itu, saya teringat dengan wajah ayah saya yang telah berpulang lebih 20 tahun yang lalu. Beliau adalah satu-satunya saudara kandung ayah IMG_0006saya yang masih hidup. Usianya kini sudah 84 tahun. Namun beliau nampak sehat dan kuat. Di Belitung, beliau masih mampu mengayuh sepeda atau mengendarai sepeda motor. Bahkan kadang-kadang berangkat sendiri naik pesawat terbang ke Jakarta mengunjungi anak-anaknya. Ingatan beliau luar biasa. Saya bertanya tentang silsilah keluarga. Saya juga bertanya tentang grup musik dan grup sandiwara ayah saya. Beliau menjawabnya dengan rinci, karena beliau ikut berlakon. Beliau hanya mengatakan, tidak ikut latihan militer di zaman Jepang. Beliau disuruh oleh Sekretaris Demang, Abdul Madjid, untuk mengikuti pendidikan di sekolah Jepang di Tanjung Karang, Lampung. Beliau kembali ke Belitung setelah proklamasi kemerdekaan.

Walaupun anaknya baru meninggal, namun tak nampak wajah kesedihan pada paman saya itu. Beliau hanya mengatakan, segalanya adalah kehendak Tuhan.Ayah beliau, yakni kakek saya Haji Zainal bin Haji Ahmad, meninggal dalam usia 108 tahun. Beliau sendiri, masih segar bugar di usia 84 tahun. Anaknya wafat dalam usia 54 tahun. Umur manusia, dari zaman ke zaman nampak semakin pendek saja. Mungkin zaman sekarang, tantangan hidup lebih besar dibandingkan dengan zaman dahulu. Dunia makin sesak dengan aneka ragam persoalannya. Kita harus menjawab semua tantangan itu. Selesai menjawab suatu tantangan, akan muncul lagi tantangan baru. Demikianlah hidup, perjuangan seakan tanpa akhir. Namun satu hal telah pasti, hidup akan berakhir. Suatu ketika, kita juga akan meninggalkan dunia yang fana ini, dengan harapan kehidupan di akhirat kelak, akan jauh lebih baik dibandingkan dengan kehidupan di dunia fana ini.

Wallahu ‘alam bisawwab.