|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Kami berenang di laut itu kadang-kadang sampai petang. Kalau ada perahu nelayan datang, kami sibuk membantu nelayan mengangkat perahu, membersihkannya dan menaruh ikan dalam keranjang rotan untuk ditimbang di pondokan tepi pantai. Selesai melakukan pekerjaan itu, semua anak-anak yang membantu diberi upah satu atau dua ekor ikan ukuran kecil oleh nelayan. Kalau tangkapan ikan sangat sedikit, kami tidak diberi apa-apa. Ikan-ikan itu kami cucuk dengan akar atau rotan dan digantungkan di pondok itu. Kami berenang lagi, menunggu nelayan lain yang datang. Kami bekerja membantu mereka lagi. Setelah dikasi ikan, kami menambahkannya pada ikan-ikan yang sudah kami gantungkan terlebih dahulu. Kamipun berenang lagi sambil menunggu perahu lain yang datang merapat ke pantai.

Pekerjaan membantu nelayan itu terasa sungguh menyenangkan. Kami bekerja sambil bermain. Kadang-kadang menyusuri pantai mengumpulkan kerang-kerang kecil dan kadang-kadang juga kepiting pantai. Saya belajar membedakan mana kepiting yang boleh dimakan, mana kepiting yang mabuk. Saya juga mengenal nama berbagai jenis ikan. Saya juga belajar membedakan mana ikan yang masih segar, mana ikan yang sudah tidak segar lagi, tanpa harus melihat insang ikan itu. Di zaman itu, nelayan tidak membawa es untuk melaut. Mereka melaut tidak terlalu jauh, maklum hanya menggunakan perahu katir yang kecil tanpa mesin. Mereka berangkat tengah malam dan pulang siang hari. Orang Belitung kurang suka makan ikan yang sudah didinginkan dengan es itu. Mereka bilang rasanya sudah tidak enak lagi.

Kalau air surut jauh ke tengah, maka perahu katir itu harus diangkat atau dipikul beramai-ramai ke pangkalan di tepi pantai. Setelah semua nelayan pulang melaut, kamipun pulang sambil menenteng ikan yang ditusuk dengan rapi pemberian para nelayan. Ikan itu untuk makan keluarga kami masing-masing. Biasanya saya sampai di rumah sekitar pukul 3-4 sore. Kalau saya sampai ke rumah, ibu saya akan menanak nasi sambil memanggangkan ikan. Saya tentu sudah sangat lapar seharian bermain di pantai. Ikan yang dipanggang itu saya makan dengan tumbukan cabe dan garam saja. Rasanya enak sekali. Ibu saya kemudian membersihkan dan memasak ikan-ikan yang lain untuk makan malam kami sekeluarga. Ikan yang saya dapat, kadang-kadang banyak sekali. Cukup untuk dua atau tiga kali makan kami sekeluarga.

Sebelum kami mandi dan berenang, biasanya kami naik lebih dahulu ke atas bukit, untuk melihat layar perahu nelayan. Dengan melihat layar itu, kami dapat memperkirakan berapa lama lagi mereka akan mendarat di pantai. Kami tidak boleh berada di tempat yang jauh ketika perahu datang. Bisa-bisa kami tidak dapat membantu mengangkat perahu dan dengan sendirinya tak dapat upah ikan. Kadang-kadang ikan itu kami bakar juga di tepi laut, kalau perut sudah lapar sehabis berenang sambil menunggu perahu lain datang mendarat. Ikan yang saya bakar tidak pernah ikan yang utuh. Ikan yang utuh harus saya bawa pulang untuk makan keluarga kami. Ikan yang saya panggang itu ialah belahan ikan kerisi atau ikan anjang-anjang, yang sisi lainnya dijadikan umpan untuk memancing ikan tenggiri. Kadang-kadang kami juga memanggang belahan dada ikan tenggiri sisa umpan untuk memancing ikan kerisi. Belahan ikan kerisi bekas umpan itu, kami sebut ikan talep-talepan. Istilah ini mungkin berasal dari Bahasa Bawean. Namun ikan talep-talepan panggang itu enak sekali setelah dicuci dengan air laut lebih dahulu sebelum dipanggang. Kami memanggang ikan itu menggunakan sabut dan pelepah kelapa serta kayu-kayu yang hanyut di tepi pantai.

Saya bermain dengan anak-anak nelayan dan anak-anak kampung yang miskin di tepi laut itu sejak belum masuk SD hingga kelas V. Jadi lebih lima tahun lamanya, hampir setiap hari. Bisa dibayangkan, jika ketika kecil itu kulit saya hitam terbakar matahari. Rambutpun menguning karena dibasahi air laut dan teriknya sinar matahari di tepi pantai. Pakaian compang-camping dan semuanya tidak pakai alas kaki. Namun itulah kehidupan anak-anak pantai yang miskin. Anak-anak kecil sudah harus berpikir membantu meringankan beban keluarga, suatu hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan anak-anak di kota dan keluarga orang kaya. Saya banyak berpikir dan merenung di tepi pantai khususnya kalau musim Selatan sudah tiba. Saya merenung tentang kesusahan hidup, tentang jurang antara orang miskin dan orang kaya, serta berpikir tentang masa depan agar hidup lebih baik. Sering saya merebahkan badan di sela-sela batu, atau di pasir yang dingin bawah pohon kelapa dan pohon cemara. Angin kencang menderu-deru. Gelombang laut memutih. Ombaknya meruntuhkan bibir pantai menimbulkan abrasi. Dalam situasi seperti itu, kadang-kadang empat bulan, kadang-kadang lebih, hanya satu dua nelayan yang berani berjibaku turun ke laut. Mereka mencoba memancing ikan senangin, ikan mayong dan kadang-kadang memancing ikan kincir (sejenis ikan marlin) yang ada tombak di ujung mulutnya.

Saya masih ingat salah seorang rekan kami yang masih muda dan pemberani, pergi melaut di musim Selatan. Namanya Hamdani. Dia anak Pak Said Ja’far, salah seorang imam mesjid di Kampung Lalang. Hamdani sudah dinasehati nelayan lain agar tidak melaut, tapi dia nekad saja. Hamdani melaut sendirian di tengah anginIMG_0002 kencang dan ombak besar. Malang baginya dia hilang di laut. Nelayan lain tak berani mencarinya mengingat angin dan ombak begitu besar. Berhari-hari kami menunggunya pulang, tapi tak pernah kembali. Ayahnya Said Dja’far nampak sangat sedih dan terpukul. Ada kapal besi yang mendarat di Manggar dan melaporkan mereka melihat sebuah perahu katir melaju kencang ke arah Selat Karimata. Said Dja’far menduga Hamdani hanyut ke Ketapang, Kalimantan Barat. Beliau pergi ke sana mencari anaknya, namun nelayan di sana tak juga menemukan Hamdani. Dia hilang di laut. Jenazah maupun perahu katirnya tak pernah ditemukan. Saya sendiri menitikkan air mata mendengar hilangnya Hamdani. Saya selalu terbayang wajahnya yang tampan, ramah dan baik hati. Umurnya ketika itu mungkin sekitar delapan belas tahun. Saya membayangkan, alangkah tragisnya hidup jadi nelayan. Hasil tak seberapa, namun nyawa jadi taruhan.

Meskipun saya tahu di musim Selatan tak banyak bahkan tak ada nelayan turun ke laut, namun seperti telah saya katakan, saya tetap saja pergi ke pantai. Kadang-kadang saya hanya membantu nelayan membetulkan perahu menggunakan dempul dan kulit kayu gelam untuk menambal, atau menjahit layar yang koyak. Sering pula saya belajar sambil membantu saudara sepupu ayah saya, namanya Kik Amang, membuat pukat (jaring ikan) dan membuat jala. Kik Amang adalah saudara kandung Badjeri, sang pemain biola. Kegiatan membuat pukat atau jala itu kami sebut membubul. Pukat dibuat dengan nilon menggunakan jarum besar yang dibuat dari bambu. Jala dibuat dari bahan sejenis benang sutera sintetis. Kik Amang adalah orang tua yang ramah dan suka mengajari kami bagaimana caranya membuat pukat, khususnya pukat tarik. Beliau bukan tengkulak ikan, tetapi pemilik banyak perahu katir yang dikerjasamakan dengan nelayan dengan sistem bagi hasil. Pukat jenis ini panjangnya ratusan meter ditarik empat orang dari laut ke arah pantai ketika air surut. Kalau musim Selatan tiba, pukat tarik banyak membantu nelayan menangkap ikan-ikan kecil. Ikan yang paling banyak ditangkap ialah ikan selangat dan ikan layur.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply