|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Ketika tak ada nelayan melaut, kadangkala saya hanya duduk-duduk di bawah pohon sambil membaca komik atau cerita silat. Cerita silat yang saya baca berjilid-jilid tak habis-habisnya adalah karya SH Mintardja, Nagasasra dan Sabuk Inten. Cerita itu sangat menarik mengisahkan perebutan takhta di Kerajaan Pajang. Konon, siapa yang berhasil memiliki dua keris yang sakti mandraguna itu akan menjadi raja di Pajang. Banyak sekali unsur falsafah yang membuat saya berpikir tentang perjuangan, pertarungan antara kebaikan dengan kejahatan, yang semuanya memberi inspirasi kepada saya yang masih kecil. Ketokohan Mahesa Djenar dalam kisah itu, memberi inspirasi tentang keberanian, jiwa kesatria dan keteguhan hati seorang pejuang membela kebenaran, serta pembelaan kepada kaum yang lemah.

Karena tak ada nelayan turun melaut, maka tak ada ikan yang akan saya bawa pulang untuk dimakan di rumah. Dalam situasi seperti itu hati saya sering merasa sedih. Saya tahu tidak ada lauk yang akan dimakan. Hati saya sedikit terhibur, jika di sela-sela duduk atau tiduran di bawah pohon cemara sambil membaca buku, saya memandang ke arah laut dan melihat sebuah layar di tengah ombak yang memutih. Layar itu terlihat samar-samar saja disela-sela ombak dan angin kencang. Saya dapat membedakan layar itu layar katir atau layar perahu walau dari kejauhan, karena bentuknya yang berbeda. Semakin lama, saya melihat layar itu semakin mendekat ke pantai. Benar juga, yang datang itu adalah perahu Bugis yang turun ke darat dari sebuah pulau kecil jauh di lepas pantai. Nelayan Bugis itu memasang mayang untuk menangkap cumi-cumi serta ikan selar dan ikan jui atau ikan japu dalam jumlah yang besar. Setelah ikan-ikan itu ditangkap mereka membuat ikan asin di pulau kecil itu. Mereka menetap di sana untuk sementara. Ada sebuah pulau, namanya Pulau Buku Limau, yang dihuni oleh puluhan keluarga Bugis lengkap dengan sebuah mesjid di tengahnya. Perahu Bugis itu turun ke darat membawa puluhan bahkan ratusan karung ikan asin yang telah disusun rapi di dalam karung sumpit terbuat dari daun pandan.

Karena tak banyak orang di pantai di musim angin kencang, maka saya turut membantu nelayan-nelayan Bugis itu menurunkan ikan asin di sebuah pondok di pantai. Hanya satu dua nelayan itu yang pandai berbahasa Indonesia. Selebihnya berbahasa Bugis belaka. Mereka nampak senang menurunkan ikan ke darat sambil tertawa dan bernyanyi. Lagu-lagunya dalam bahasa Bugis. Ikan asin kemudian itu dibawa dengan truk ke Pasar Lipat Kajang, kemudian dibawa ke Jakarta dengan kapal kayu. Setelah mendapat uang nelayan Bugis kemudian berbelanja membeli keperluan sehari-hari untuk dibawa ke pulau. Mereka biasanya membeli beras, gula, dan peralatan lampu petromaks untuk penerangan dan sekaligus dipasang di bagan di waktu malam, agar ikan dan cumi-cumi datang dan kemudian terjerat di dalam jaring bagan mereka.

Penampilan nelayan Bugis di Pasar Lipat Kajang kala itu sangat khas. Mereka selalu berkelompok memakai kain sarung dan peci hitam. Orang Belitung hanya menggunakan pakaian seperti itu kalau akan pergi ke mesjid. Entah apa sebabnya, seringkali timbul salah paham antara nelayan itu dengan orang lain atau bahkan sesama kelompok orang Bugis itu sendiri. Sekali dua terjadi perkelahian menggunakan pisau dan korban sering jatuh, walau tidak mati. Hanya sekali seorang polisi jadi korban hingga tewas karena melerai dua orang Bugis saling berkelahi di pasar kecil di Kampung Cemara. Polisi itu saya masih ingat, namanya Harun, mungkin berasal dari Palembang. Ketika Harun yang masih berseragam dinas datang melerai, kedua orang yang berkelahi itu berbalik menyerangnya. Harun tertusuk pisau berkali-kali yang menghunjam dada dan perutnya. Dalam keadaan terhuyung dan terjatuh, Harun masih sempat menembak salah seorang Bugis yang berkelahi itu. Dia tewas setelah peluru bersarang di kepalanya. Namun Harun juga menghembuskan nafas terakhir setelah dibawa ke Rumah Sakit. Saya ingat persis peristiwa itu terjadi pada tahun 1964, ketika saya berumur delapan tahun. Saya tak melihat langsung perkelahian itu. Ketika saya datang, saya hanya menyaksikan darah bercucuran di tanah dan jenazah orang Bugis yang tergeletak memakai kain sarung.

Baiklah kita tinggalkan kisah perkelahian di atas, dan saya akan meneruskan lagi kisah saya membantu nelayan Bugis di Pantai Pengempangan tadi. Selesai membantu perahu Bugis mengangkat ikan itu, maka juragan perahu itu dengan senang hati memberi kami sekarung ikan asin untuk dibagi-bagi kepada orang yang membantu mereka. Nelayan-nelayan Bugis itu baik dan ramah, walau wajah mereka yang telah berminggu-minggu di laut nampak hitam dan sedikit menakutkan bagi saya yang masih kecil. Sebelum pulang ke rumah, saya membakar ikan asin itu menggunakan sabut kelapa, karena perut telah terasa lapar. Saya belum makan hingga hari telah petang. Saya makan ikan asin itu tanpa nasi sambil minum air kelapa. Senang juga hati saya ketika pulang ke rumah. Ikan asin yang banyak itu dapat dimakan berhari-hari tanpa harus membeli atau berutang ikan asin di warung.

Di antara sekian banyak nelayan di Pantai Pengempangan itu, hanya seorang yang sering membaca. Namanya Rahili. Dia masih muda, konon pernah bersekolah sampai kelas II SMA di Jakarta. Entah mengapa dia pulang ke Belitung dan menjadi nelayan. Padahal, dengan ijazah SMP saja di awal tahun 1960, seseorang dengan mudah akan diterima menjadi pegawai rendahan di perusahaan timah. Rahili bilang kepada saya, dia ingin jadi orang bebas. Dia tak ingin kerja makan gaji namun selalu diperintah orang lain. Jadi nelayan, meskipun susah dpat memberikannya kebebasan itu. Dalam pengamatan saya, Rahili sebenarnya tak seberapa pandai memancing jika dibanding nelayan Bugis dan Bawean. Dia melaut semaunya saja, kadang-kadang melaut kadang-kadang tidak. Kalaupun dia melaut, hasilnya hanya sedikit dibanding nelayan lain. Buku yang dibaca Rahili itu, anehnya adalah buku pelajaran sekolah. Dia bilang pada saya, dia harus membaca buku pelajaran itu untuk mengajari keponakannya bikin pekerjaan rumah. Keponakan Rahili, anak-anak Pak Long Bakar– saudara sepupu ayah saya – memang ada yang sekolah di SMP dan SMA. Mereka minta diajari Rahili bikin PR.

Salah seorang nelayan lain orang asli Belitung yang sering ngobrol dengan kami, namanya Majus. Orang dikampung memanggilnya Pak Jong. Sampai tua beliau ini hidup membujang. Pengetahuannya terbilang luas. Di zaman Belanda dia merantau ke Jakarta dan bersekolah di sana, entah sekolah apa. Beliau bercerita kepada saya bahwa beliau bersahabat dengan ayah saya sejak muda, dan pernah sama-sama tinggal di Jakarta. Mereka tinggal di belakang Kantor Pos Cikini, katanya. Saya tidak dapat membayangkan di mana letak Kantor Pos Cikini itu. Saya belum pernah pergi ke Jakarta. Bagi saya, Jakarta itu sangat jauh, tak terbayangkan dalam pikiran saya. Jangankan ke Jakarta, untuk pergi ke ibu kota kabupaten saja di Tanjung Pandan, rasanya jauh sekali. Saya harus naik truk atau baik bis untuk pergi ke sana. Jalan-jalan di Jakarta, kata Pak Jong lebar sekali dan banyak persimpangannya. Pada tiap persimpangan jalan raya ada lampu merah dan hijau untuk mengatur lalu lintas. Di zaman itu beliau berkelana mengelilingi Jakarta sampai ke Bekasi, Tangerang dan kota-kota sekitarnya naik sepeda. Kalau tersesat katanya, sepeda itu dinaikkan di atas beca untuk diantar pulang ke tempat semula. Demikian cerita Pak Jong yang saya simak baik-baik.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply