|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Sama seperti Rahili, Pak Jong adalah orang kampung yang mendambakan kebebasan. Hidupnya bagai pengembara tanpa pernah merasa terikat dengan orang lain. Dia merantau ke berbagai negeri seperti tanpa tujuan, dan pulang ke kampung ketika usia IMG_0023mulai senja. Untuk sekedar membiayai hidup, dia melaut seadanya saja. Menjadi nelayan, dia seperti menemukan kebebasan. Dia tidak mau kerja diperintah orang lain. Cerita-cerita Pak Jong diperantauan menarik perhatian saya. Namun jalan pikirannya kadang-kadang sukar dipahami. Dia banyak berpikir tentang sesuatu yang tak lazim bagi orang lain. Dia mengolok-olok laki-laki yang menikah, karena menurutnya hal itu perbuatan bodoh, karena mereka akan kehilangan kebebasan. Anak orang lain malah dipelihara katanya. Padahal untuk memelihara diri sendiri saja sudah susah. Dia ingin hidup bebas. Kebebasan itu rupanya dinikmatinya dalam kesendirian. Dia juga mengolok-olok orang bermain sepak bola sebagai orang tolol. Masak bola hanya sebuah, dikejar-kejar ke sana ke mari bikin capek saja, katanya. Namun anehnya, Pak Jong penggemar vollyball. Dia selalu nongkrong di pinggir lapangan Klub Tunas Muda di depan rumahnya, walau saya tak pernah melihatnya ikut bermain.

Rahili dan Pak Jong adalah dua nelayan yang suka sekali dengan anak-anak yang bersekolah. Mereka selalu mendorong agar anak-anak meneruskan pendidikan agar jadi orang pintar, kata mereka. Nelayan lain, umumnya tidak perduli dengan pendidikan. Dunia mereka hanya laut dan ikan belaka. Pak Jong juga sering ngobrol dengan nelayan-nelayan lain, terutama tentang letak karang-karang tempat memancing di laut. Pak Jong nampak hafal letak karang-karang yang banyak dihuni ikan di sekitar laut Belitung Timur. Di zaman itu belum ada alat GPS yang dengan mudah menentukan koordinat letak sebuah karang di laut. Mereka umumnya berpedoman pada bintang jika berlayar malam. Untuk memastikan letak karang, mereka penggunakan pedoman gunung, pulau atau pohon yang tinggi yang terletak di daratan. Bukit Samak dan Gunung Burung Mandi, yang segera nampak dari kejauhan dari tengah laut adalah patokan pedoman utama dalam berlayar dan memancing ikan.

Nelayan-nelayan pendatang dari Bugis, Bawean, Bima dan Buton, banyak belajar pedoman dengan Pak Jong. Dia tidak merahasiakan letak karang-karang itu, agar semua nelayan dapat menemukannya dan memancing di sana. Pak Jong sendiri tidak perduli. Seperti telah saya katakan, dia pencinta kebebasan sehingga melaut seenaknya saja. Kalau mau kelaut dia pergi. Kalau tidak, berminggu-minggu dia hanya nongkrong saja di tepi pantai hanya ngobrol-ngobrol tak tentu arah. Pak Jong tinggal bersama kakaknya, namanya Pak Angging. Pak Angging agak pendiam. Dia jarang ngobrol dengan nelayan lain. Dua anak Pak Angging, Said dan Suud yang masih muda, juga sering turun ke laut. Pak Jong hidup santai. Walau saya senang mendengar cerita Pak Jong, namun ketika saya masih kecil, saya sudah berpikir bahwa gaya hidup santai seperti Pak Jong itu tak bisa diikuti.

Walaupun Rahili adalah nelayan yang akrab dengan saya, namun usia kami berbeda jauh. Saya sering bertanya kepadanya tentang Jakarta, ketika Rahili sekolah SMP dan SMA. Rahili membayangkan, hidup di kota besar sangatlah sulit. Orang tak mempunyai rasaIMG_0022 gotong royong saling membantu seperti orang di kampung. Setiap orang hanya tahu urusannya sendiri. Dari cerita Rahili, saya tahu dia putus sekolah karena kekurangan biaya. Ayahnya di kampung wafat, sehingga tak ada keluarga lain yang mampu mengirimkan uang padanya. Dari percakapan saya dengan Rahili, saya tahu dia sangat pintar, terutama aljabar, kimia dan ilmu ukur, yang keponakannya selalu minta diajari itu. Sebenarnya Rahili senang bercanda. Namun dia sering menyendiri di perahunya. Jarang-jarang dia bercengkrama dengan nelayan lain. Saya belajar dengan Rahili bagaimana mengikat mata pancing ikan yang besar, termasuk mengikat dawai untuk memancing ikan tenggiri, agar mata pancing itu tidak terlepas ketika di makan ikan.

Beda dengan Rahili, saya sering juga mendengarkan nelayan dan tengkulak ikan saling ngobrol antar sesamanya di pondokan yang agak besar di tepi pantai. Adik kakek saya, Pak Yakub, adalah orang yang paling banyak ilmunya di antara sekian banyak orang yang suka ngobrol di pondokan itu. Pak Yakub adalah tamatan Institut Manggar, sekolah setingkat HBS di zaman belanda, dan beliau seorang guru. Tukang ngobrol yang lain ialah Alexander, putra Kik Amang, yang juga nelayan sambil membuka kedai kelontong di rumahnya. Pak Long Bakar, saudara sepupu ayah saya — beliau juga seorang tengkulak ikan — tidak begitu banyak ngobrol, walau beliau selalu mendengarkan orang-orang yang duduk ngobrol dan kadang-kadang sambil bermain catur. Orang-orang lain yang suka ngobrol itu adalah dari kalangan nelayan dan tengkulak ikan suku Bugis dan Bawean. Salah seorang tengkulak ikan suku Bugis, namanya Pak Jawi. Beliau banyak ngobrol menggunakan Bahasa Melayu dialek Bugis. Mendengar logal bicara nelayan Bugis, Bawean, Bima dan Buton sering terdengar lucu di telinga saya. Ada juga tengkulak ikan orang Cina, namanya Atjoi, yang sering nimbrung ngobrol beramai-ramai.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply