|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Ambo Saka tak pernah melaut di hari Jum’at. Dia selalu berada di saf depan sembahyang Jum’at di Mesjid Kampung Lalang. Satu lagi ada nelayan asal Bima, saya sudah lupa namanya. Beliau ini sangat taat beragama. Saya sering melihatnya sembahyang zuhur dan sembahyang asar di bawah pohon. Saya pun sering sembahyang di pondokan yang dibuat kakek saya yang menjorok di tebing sebuah batu. Kakek saya Haji Zainal bin Haji Ahmad sering memuji Ambo Saka ketika beliau ngobrol berdua dengan saya. Ambo Saka, kata beliau mendapat berkat dari Allah Ta’ala. Dia selalu mendapat ikan yang banyak kalau melaut dibanding nelayan lain. Dia tidak melaut di hari Jum’at. Ambo Saka selalu berzikir dan membaca doa lebih panjang dari jemaah yang lain sehabis sembahyang. Ambo Saka nampak suka dengan saya. Beliau selalu memberi ikan yang banyak. Pernah suatu hari beliau memberi saya seekor ikan tongkol yang agak besar, setelah saya membantu membersihkan perahunya. Beliau juga sambil menitip salam untuk ayah saya. Belum pernah ada nelayan lain memberi ikan tongkol. Mereka biasanya memberi ikan kerisi, ikan anjang-anjang, bahkan ikan balo-balo yang sering diolok-olok dengan sebutan ikan Buto Cina.

Ikan balo-balo itu tidak laku dijual di pasar. Sebab itu selalu diberikan kepada anak-anak yang membantu nelayan mengangkat dan membersihkan perahu. Ikan yang pemberian nelayan yang kami kumpulkan untuk dibawa pulang itu, memang beragam jenisnya. Walaupun ikan balo-balo tak laku dijual, namun bagi rakyat yang miskin, ikan itu terasa membantu juga untuk lauk-pauk. Ikan itu – terutama yang berwarna kehijauan – memang terasa amis. Ibu saya memasak ikan itu dengan santan kelapa diberi asam jawa yang agak banyak, agar bau amisnya hilang. Di daerah-daerah lain, ikan balo-balo hanya dibuat ikan asin, setelah diiris tipis-tipis dan dikeringkan sehingga garing. Dengan dibuat ikan asin dan digoreng seperti kerupuk, maka bau amis ikan balo-balo tidak terasa lagi.

Di kebun kelapa kakek saya di tepi pantai itu, saya sering membantu beliau atau sekedar ngobrol berbagai hal, sambil menunggu nelayan pulang melaut. Beliau selalu membersihkan kebun menggunakan parang dan membakar daun-daun kelapa yang kering, setelah lidinya diraut dijadikan sapu lidi. Kelapa-kelapa yang berjatuhan di kumpulkan di pondok beliau. Ada sumur kecil dekat pondok itu yang airnya dapat diminum. Kakek saya selalu mengambil wudhu di sumur itu dan bersembahyang zuhur di pondokannya. Kalau pulang, kakek saya itu membawa kelapa dua biji sambil berjalan kaki pelan-pelan menuju rumahnya. Beliau selalu mengatakan kepada saya, kalau pulang dari mana saja, jangan dibiarkan tangan kosong. Mesti ada sesuatuyang berguna untuk di bawa pulang, setidaknya sepotong dahan kayu yang patah atau pelapah kelapa untuk dijadikan kayu bakar. Kakek saya juga sering menyuruh saya membawa kelapa pulang ke rumah. Saya membawa pulang dua kelapa sambil membawa ikan yang dicucuk dengan akar kayu berebat atau dengan roran. Arah rumah kakek saya dengan rumah kami di Kampung Sekep berbeda. Saya berjalan menyusur pantai ke arah Pangkalan Sadam, Kampung Bakau dan menyusur jalan setepak ke Kampung Sekep.
Pertemuan saya dengan kakek saya di tepi pantai itu memberikan banyak pelajaran dan inspirasi kepada saya yang masih kecil. Kakek saya itu hidup sangat hemat. Beliau hanya membeli sesuatu jika benar-benar perlu. Hidupnya sangat jauh dari gaya konsumtif.IMG_0024 Segalanya tergantung kepada alam. Keharmonian dengan alam, terlihat dari gaya rumah beliau yang antik terbuat dari kayu bulian. Menurut ayah saya, rumah itu arsiteknya adalah kakek saya sendiri dan dikerjakannya sendiri menggunakan alat-alat sederhana. Rumah itu tidak menggunakan paku dari besi. Beliau membuat pasak dari kayu bulian juga untuk menyambung kayu dan memaku papan. Untuk memasang pasak itu, balok kayu dan papan harus dibor dulu menggunakan bor manual dengan tangan atau dipahat dengan pahat baja.

Pohon-pohon kelapa dan berbagai jenis kayu-kayuan hutan dibiarkan tumbuh di kebun kelapa beliau di tepi pantai itu. Beliau hanya mengambil dahan-dahan yang kering dan patah untuk dijadikan kayu bakar. Pelapah kelapa dan mayang kelapa yang kering juga dijadikan kayu bakar. Beliau tidak pernah membeli minyak tanah di warung. Semua minyak yang digunakan di rumahnya, termasuk untuk menyalakan lampu, dibuat dari bahan kelapa. Tikar yang digunakannya terbuat dari pandan. Ada tikar yang dianyam halus dan diberi warna-warna dan lukisan. Kakek saya mengatakan tikar itu dibawa orang dari Pulau Bawean. Alas kaki yang beliau gunakan terbuat dari bekas ban mobil, yang disebut dengan istilah sepatu Cok Hay. Sehari-hari beliau menggunakan bakeak terbuat dari kayu yang diberi guntingan bekas ban dalam mobil juga.

Walaupun anak-anak lain, termasuk cucu-cucu beliau sangat takut dengan kakek saya itu, namun bagi saya beliau adalah orang tua yang menyenangkan. Dari gaya bicaranya, saya tahu kakek saya itu sangat cerdas. Pengetahuan beliau tentang alam sangat luas. Beliau memang pernah belajar ilmu falak, sehingga mengetahui letak bintang-bintang, arah angin, pergantian musim, dan bahkan pandai menghitung peredaran bulan menurut tahun komariah. Kepada saya, kakek saya banyak bercerita pengalamannya di masa kecil hingga dewasa dan perjalananya menunaikan ibadah haji. Paham keagamaannya nampak konservatif, namun saya senang mendengar kalimat-kalimat yang diucapkannya karena mengandung hikmah yang dalam. Beliau sering juga bertanya tentang sekolah saya, yang ketika itu baru SD. Kakek saya mengatakan zaman telah berubah. Anak-anak zaman sekarang harus rajin bersekolah. Di sekolah itulah mereka menuntut ilmu. Di zaman beliau, sekolah belum ada. Beliau harus berguru berpindah-pindah kepada orang berilmu. Kemudian belajar sendiri membaca kitab-kitab bertulisan Arab.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply