|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Beliau selalu mengingatkan saya agar saya mendalami agama. Deris, katanya menyebut nama ayah saya, ilmu agamanya sangat dalam. Deris membaca buku huruf Latin di samping buku huruf Arab. Karena itu, ilmu Deris lebih dalam dari beliau, katanya kepada saya. Kakek saya juga menyebut ayah saya, adalah satu-satunya anak beliau yang banyak belajar agama dan mengikuti jejak generasi di atasnya, karena itu beliau disegani. Saya menanyakan tentang Adam, paman saya yang berkelakuan agak ekstentrik namun sehari-hari menjadi penghulu. Kakek saya mengatakan, Adam itu sangat taat beragama. Tetapi sikapnya tidak serius dan terlalu banyak bercanda. Orang yang terlalu banyak bergurau, kata kakek saya, kurang disegani. Kakek saya mungkin benar. Ayah saya memang nampak serius. Walau di masa muda hidupnya bagai seniman, namun beliau termasuk orang yang kurang suka bercanda. Adam, paman saya, terlalu banyak bercanda dan melucu.

Pernah pula sekali dua saya menemani kakek saya menangguk ikan di sero beliau yang menjorok ke arah alur jauh dari pantai. Kami menunggu hingga petang, ketika air benar-benar surut, sehingga hanya kepala sero tempat ikan terperangkap saja yang masih digenangi air. Sero beliau itu terletak persis di depan rumah adik beliau Pak Yakub. Kakek saya selalu ditemani istri beliau– ibu tiri ayah saya – seorang wanita asal Pulau Bawean, namanya Salma. Tetapi kami memanggil beliau Nek Buyan. Suatu hari, ketika musim angin kencang, sero kakek saya itu dimasuki banyak ikan, sehingga tak semua ikan dapat kami bawa. Ikan-ikan selebihnya dibiarkan saja terperangkap di dalam kepala sero, karena ikan itu praktis tak dapat keluar lagi. Jadi ikan itu dapat ditanggok pada hari yang lain. Kakek saya kadang-kadang menyuruh adiknya Pak Yakub dan anak-anaknya untuk menangkap ikan di sero itu dan sekaligus menjualnya. Dalam usia yang sudah sangat tua, kakek saya tak kuat lagi membawa ikan yang banyak.

Saya masih ingat suatu ketika di sero itu ada seekor ikan yang besar sekali. Beratnya mungkin sekitar delapan kilo. Saya bertanya kepada kakek saya, ikan apa itu namanya. Kakek saya mengatakan ikan itu Ikan Mamong. Kakek saya membelah-belak ikan yang besar itu, agar dapat dijual istrinya dengan para tetangga. Ketika angin kencang bertiup, ikan di Manggar menjadi langka. Ikan dari sero dapat dijual dengan mudah karena banyak orang membutuhkannya untuk lauk-pauk. Ada pula beberapa ikan berduri yang kami sebut ikan gagok, sejenis ikan jambal roti. Kakek saya mengingatkan saya agar hati-hati, sebab duri ikan gagok sangat berbisa. Pada musim-musim tertentu, ikan gagok merapat ke pantai dengan jumlah yang besar. Di sekitar Karang Mirang atau di sekitar Pelabuhan Olifier, jumlah ikan gagok banyak sekali yang berhasil dipancing orang. Namun ikan gagok termasuk jenis ikan yang murah harganya. Ikan sejenis gagok, yang ukurannya lebih besar, disebut ikan mayong. Ikan mayong lebih mahal harganya. Ikan ini sering dijadikan bahan membuat kerupuk atau membuat abon ikan khas Belitung, yang disebut sambal lingkong. Sambal lingkong ini biasanya dimakan dengan ketupat, untuk hidangan di hari lebaran.

Pantai Pengempangan – seperti terlihat dalam foto — sebenarnya nampak indah, walau tak seindah Pantai Tanjung Kelayang atau Pantai Burung Mandi. Kalau kita naik ke Bukit Samak dan memandang ke arah laut, keindahan pantai ini makin terasa. Dari atas bukit itu, kita dapat melihat pulau-pulau kecil di bagian timur Pulau Belitung. Sebab itu di hari minggu atau di hari menjelang liburan sekolah, banyak orang dewasa dan anak-anak bertamasya ke pantai ini. Kalau mereka bertamasya, mereka membawa makanan di dalam rantang. Mereka juga datang satu keluarga, sambil membakar ikan tenggiri di tepi laut. Melihat semua itu kadang-kadang hati saya sedih. Saya tak pernah pergi tamasya, walau laut dan pantai telah menjadi bagian hidup saya di masa kecil. Ayah saya sibuk, dan hampir tak pernah pergi ke pantai. Ibu saya juga tak pernah. Kami keluarga miskin. Saya memang tak pernah melihat orang miskin di kampung kami pergi piknik. Saya melihat anak-anak yang bertamasya itu, bajunya bagus-bagus. Makanan yang mereka bawa juga nampak sangat enak. Kami yang berada di pantai itu hanya ngiler saja. Kami belum makan nasi, kecuali makan ikan panggang saja sampai hari telah sore.

Pakaian yang kami pakai juga berbeda jauh. Saya yang setiap hari berada di pantai itu berpakaian kumal dan selalu basah tanpa ada gantinya. Saya hanya lebih banyak memakai celana tanpa baju dan alas kaki berjalan di atas pasir yang panas. Juga tanpa topi. Kulit kami bagai terbakar dan rambut menguning terpanggang sinar matahari. Tampang saya beda sekali dengan tampang anak-anak yang bertamasya itu. Apalagi tampang anak-anak pegawai staf perusahaan timah yang selalu berpakaian rapi dan rambut disisir rapi pula. Badan mereka juga jauh lebih gemuk dibanding kami yang nampak kurus. Sebagian anak nelayan yang masih kecil, perutnya nampak buncit, walau badannya kurus. Orang kampung bilang, mereka cacingan karena terlalu banyak makan ikan. Benar tidaknya saya tidak tahu.

Saya anak kampung yang sering mengembara di hutan dan bermain di laut sambil mencari ikan, kadang-kadang merasa rendah diri berhadapan dengan mereka. Ketika saya telah bersekolah, saya hanya pulang sebentar ke rumah menaruh buku, dan terus pergi ke laut tanpa makan siang lebih dahulu. Kalau saya menaruh buku di rumah kakek saya Jama Sandon, nenek saya sering memberi saya uang sebelum saya ke laut. Nenek bilang, uang itu dapat membeli es kalau haus di laut nanti. Tapi uang itu tak pernah saya belikan es. Saya pilih membeli kue lupis, yang terbuat dari beras ketan ditaburi parutan kelapa dan cairan gula merah. Rasanya enak sekali dan mengenyangkan.
Kalau haus saya bisa minta air minum pada penjual kue lupis itu. Atau cukup menimba air dalam sumur kakek saya dan langsung meminumnya tanpa dimasak. Saking seringnya kami makan kue IMG_0019lupis, sehingga ada teman saya yang juga selalu bermain di laut, namanya Sudirman, yang kami panggil Lupis. Ayah Sudirman juga seorang nelayan. Kalau tidak salah namanya Asri. Kakeknya bernama Syahbandar – tetapi bukan syahbandar kepala pelabuhan – pekerjaannya membuat sero. Saya sering bermain di halaman rumah kakeknya itu. Rumahnya tertutup rindangnya pohon kelapa, tak jauh dari rumah kami di Kampung Sekep. Di belakang rumah itu ada rawa-rawa yang banyak ditumbuhi pohon nipah, sehingga membuat udara di halaman rumah itu terasa sejuk. Dua anak Pak Syahbandar menjadi guru, seingat saya namany Arba’i. Satu lagi namanya Kucot. Nama ini agak aneh, karena kucot dalam Bahasa Belitung berarti siput.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply