|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Sehabis pulang dari laut sore hari, saya makan dulu dan kemudian ikut anak-anak lain main bola, atau menonton orang bermain volly ball di belakang rumah kami. Di lapangan bola Kampung Sekep juga ada klub bola, yang setiap minggu ada orang latihan atau bertanding sepak bola. Selesai dari semua itu, saya pergi ke sumur tetangga untuk mandi sebelum pulang ke rumah. Tempat kami mandi itu berpindah-pindah dari satu sumur ke sumur lain. Seperti telah saya ceritakan di Bagian V, saya selalu mengambil air pagi hari di sumur-sumur itu sebelum pergi sekolah. Suatu hal yang membuat kami gembira ketika masih kanak-kanak ialah kami selalu menyaksikan orang latihan bermain musik di kampung kami. Orkes musik itu dipimpin oleh seorang bernama Lahat – orang kampung memanggilnya Mak Lahuk– sehingga orkesnya diolok-olok dengan sebutan Orkes Mak Lahuk. Saya tidak tahu apa nama orkes itu sebenarnya, sebagaimana juga saya tidak tahu siapa nama Lahat yang sebenarnya. Dia dipanggil demikian, karena memang berasal dari daerah Lahat, dekat Palembang.

Ada dua tempat mereka berlatih musik, kalau tidak di rumah mertua Lahat, namanya Mat Asim, atau di rumah Saleh Wai di Kampung Sekep. Lahat sendiri mahir memainkan segala jenis alat musik yang digunakan orkesnya. Namun dia paling sering bermain gambus, sambil menyanyikan lagu berirama padang pasir. Orkes itu sering manggung kalau ada kenduri pernikahan di kampung kami, atau acara-cara keramaian yang lain. Pak Sale Wai, pemilik rumah tempat latihan musik itu selalu menyanyi lagu penutup latihan malam itu. Lagu favoritnya adalah keroncong Bengawan Solo. Kalau latihan di rumah Mat Asim, sebelum musik dimulai, kami biasanya duduk-duduk dulu di persimpangan jalan Kampung Bawah, yang dijadikan tempat orang berjualan kue, roti dan singkong goreng.

Mat Asim yang sudah tua sering duduk di perempatan jalan itu sambil berpantun. Beliau sering mengajak anak-anak bersahut pantun. Makin lama pantun Mat Asim makin seru, tetapi juga makin jorok. Bahasa Belitung menyebut pantun jorok Mat Asim itu sebagai pantun mapas-nyarut. Ayah saya sering menasehati saya agar jangan terlalu banyak mendengarkan pantun Mat Asim, karena pantunnya kebanyakan ngerecau atau ngawur. Namun saya senang saja mendengar Mat Asim berpantun aneh-aneh itu. Bagi saya, Mata Asim itu bagai satrawan tua yang tak pernah kehabisan ide dalam menyusun dan mempermainkan kata-kata. Namun setahu saya, Mat Asim tak pandai membaca syair. Selesai mendengar Mat Asim berpantun, kami menonton musik. Kami pulang kira-kira pukul sepuluh malam setelah menyaksikan orang bermain musik. Besoknya kami harus sekolah.

Di sekolah sering saya dan anak-anak laut yang lain diolok-olok karena kulit kami yang terbakar. Ada pula yang tega mengatakan kami mengemis ikan di pantai. Ada rasa ingin marah, tetapi lebih baik diam saja menahan diri. Kami bekerja di pantai membantu para nelayan. Kami tidak rela disebut pengemis. Jika mendengar penghinaan semacam itu, hati saya terasa menjerit. Saya ingin terus sekolah, walau apapun jadinya. Kakek saya, ayah saya dan beberapa orang lain mengatakan, hanya sekolah yang akan mengubah nasib. Saya percaya dengan semua itu. Orang Belitung miskin, begitu juga orang Bugis dan Bawean miskin, karena pendidikan mereka rendah sekali. Mereka hanya jadi nelayan, pegawai negeri rendahan dan pegawai rendahan perusahaan timah.

Kadang-kadang timbul perasaan ingin memukul mereka. Kalau saya mengikuti gaya kakek saya Jama Sandon, mungkin anak-anak itu sudah babak belur saya pukuli. Tetapi saya selalu ingat nasehat kakek saya Haji Zainal agar hidup selalu bersabar. Segala hinaan dan penderitaan hidup harus dihadapi dengan tenang. Tuhan Maha Adil, demikian nasehat beliau. Teman saya sekelas namanya Chudri – biasa dipanggil Ook – paling solider dengan anak-anak laut. Ayah Chudri seorang nelayan Bugis, namanya Sale. Dia marah dengan anak-anak yang mengolok-olok anak nelayan. Minan yang juga sekelas dengan saya, pernah mengancam mereka dengan pisau. Ayah Minan, Ismail Bugis, bukan nelayan. Ayahnya itu pegawai rendahan perusahaan timah. Minan tak suka pergi ke laut. Dia penjelajah hutan yang handal. Kadang-kadang dia suka berkelahi. Saya tidak mau ikut-ikutan berkelahi.

Teman saya yang bernama Chudri itu berpisah dengan saya ketika kami kelas III SD. Ayahnya pindah ke Balikpapan dan ingin menjadi nelayan di sana. Harga ikan di Balikpapan, katanya lebih mahal dibandingkan di Belitung, sehingga hidup keluarganya diharapkan akan lebih baik. Keluarga mereka juga ada di kota itu, setelah hijrah dari Sulawesi Selatan. Saya tak tahu berapa jauh dari Belitung ke Balikpapan. Mereka, akan menuju kota itu naik perahu layar. Saya sedih kehilangan taman yang begitu baik dan setia. Sejak keluarganya pindah ke Balikpapan, saya tak pernah lagi bertemu dengannya sampai sekarang. Ketika telah dewasa, beberapa kali saya ke Balikpapan dan kota lain di Kalimantan Timur. Saya bertanya tentang Chudri, kalau-kalau ada orang Bugis di sana yang mengenalnya. Namun dia tak pernah saya temukan.

Di kala nelayan tidak melaut, saya membantu ibu saya membuat minyak kelapa. Minyak kelapa itu kemudian kami jual di warung-warung terdekat. Kadangkala ada juga tetangga yang datang ke rumah membelinya. Hasil penjualan minyak kelapa itu, digunakan ibu saya untuk mengirimi uang kepada kakak saya yang sekolah PGA di Palembang. Kelapa itu sebagian berasal dari halaman rumah kami sendiri. Kalau sudah tidak cukup, ibu saya menyuruh saya membeli kelapa di rumah-rumah tetangga. Saya pernah membeli kelapa dengan adik kakek saya Yusuf, yang rumahnya di dekat pantai pengempangan. Beliau membantu membuang sabut kelapa itu dan menyisakan sebagian sabutnya agar dapat membuat tali mengikat dua kelapa. Saya tak ingat lagi berapa kelapa yang saya beli dengan beliau. Tetapi saya ingat tak semua kelapa itu harus saya bayar, sebagiannya diberikannya begitu saja.

Ada kalanya susah mencari kelapa di kampung karena kelapa yang sudah tua masih di pohon. Pemilik kelapa itu mengatakan silahkan saja membeli kelapa asal memetik sendiri. Dalam keadaan seperti itu, saya harus memanjat pohon dan memetiknya. Baru saya mengerti bahwa memanjat kelapa itu ada upahnya. Setiap lima IMG_0003kelapa yang dipetik, upahnya satu biji kelapa. Dengan demikian, kelapa yang saya dapatkan, ada yang membeli dan ada yang di dapat sebagai upah. Karena itu, saya senang saja memetik kelapa di pohon-pohon agar dapat mendapat upah dan sekaligus membelinya. Pemilik kelapa juga merasa senang, agar kelapa yang sudah tua itu tidak menimpa orang yang kebetulan melintas di bawah pohon itu. Ketika kecil, saya tak merasa takut memanjat pohon kelapa, walau agak pohonnya agak tinggi. Kadang-kadang senang juga melihat pemandangan dari pelepah pohon kelapa yang tinggi. Di tempat itu saya dapat beristirahat sejenak di atasnya sebelum meluncur turun ke bawah. Memang ada seni tersendiri memanjat dari batang kelapa untuk naik ke sela-sela pelepahnya. Kita harus hati-hati jangan sampai memegang pelepah yang tua. Risikonya, kita bisa jatuh dari pohon. Alhamdulillah, meskipun kadang-kadang saya mampu memanjat sekitar sepuluh pohon kelapa sehari, saya selalu selamat tanpa pernah mengalami celaka. Ketika belakangan saya bertemu rekan dari Malaysia, baru saya tahu kalau di negeri jiran itu, pekerjaan memanjat pohon kelapa itu adalah pekerjaan Beruk, hewan sebangsa monyet. Di Belitung tak ada beruk. Monyet hutan atau kera dan lutung memang banyak. Namun monyet jenis ini tak dapat dilatih memetik kelapa.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply