KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)
Di tahun 1960-an itu belum ada mesin parut kelapa. Tidak ada pilihan lain, kami harus memarut kelapa itu menggunakan tangan. Ketiak rasanya seperti berbuih kalau memarut kelapa secara tradisional itu. Ibu saya dan kakak saya Yusniar, pandai memarut kelapa. Mereka memarut dengan hati-hati. Saya sering juga membantu memarut, walau jari saya sering pula luka terkena paku parutan yang tajam. Kelapa parutan itu kemudian diperas dan santannya ditampung di dalam ember selama semalam. Ampasnya dijadikan makanan ayam. Kalau ampas kelapa itu terlalu banyak, maka ampas itu saya antarkan ke rumah Pak Ahmad, yang biasa disebut Ahmad Ke, yang agak jauh dari rumah kami. Beliau memelihara banyak itik. Saya selalu diberi uang sekedarnya oleh istrinya karena mengantarkan ampas kelapa itu. Karena begitu sering saya mengantar ampas kelapa ke rumah itu, maka lama-lama anak-anak Pak Ahmad Ke yang masih kecil memanggil saya “Ketupang” artinya ampas kelapa.
Baru keesokan harinya santan kelapa yang sudah membeku bagian atasnya itu dimasak dalam kawah dengan api yang besar. Bisa memakan waktu berjam-jam sampai santan itu masak dan menjadi minyak kelapa yang harum baunya. Lima buah kelapa ukuran sedang atau empat kelapa yang besar dan sudah tua, biasanya menghasilkan sebotol bir minyak kelapa. Paling-paling kami hanya mampu membuat antara 5 sampai 10 botol minyak kelapa sehari. Itupun sudah merupakan pekerjaan yang luar biasa beratnya. Untungnya tidak seberapa. Namun bagi ibu saya, ada sedikit penghasilan tambahan untuk membantu kakak saya yang bersekolah di Palembang. Hidup di zaman itu memang luar biasa susahnya. Namun ibu saya tetap menganggap sekolah sangatlah penting bagi anak-anaknya. Anak-anak Kampung Sekep pada umumnya hanya bersekolah sampai tamat SD saja.
Kakak saya yang bersekolah di Palembang itu sering mengirim surat. Di zaman itu surat yang dikirim dari Palembang ke Belitung bisa memakan waktu dua minggu baru sampai. Telepon antar kota belum ada, maka suratlah satu-satunya alat komunikasi. Ibu saya selalu membacakan surat kakak saya itu agar turut didengar oleh adik-adik yang masih kecil. Kadang-kadang beritanya gembira. Kadang-kadang sedih. Kakak saya menceritakan kesusahannya bersekolah jauh dari kampung halaman. Kadang-kadang uang saku sudah habis dan terpaksa numpang makan di rumah teman. Ketika kakak saya itu menamatkan sekolah PGA 6 Tahun, keluarga kami sangat senang. Kami rindu kepadanya. Mendengar dia akan pulang, saya menulis dengan kapur di jembatan besi di depan rumah kakek saya Jama Sandon, berisi ucapan selamat datang kepadanya.
Namun tunggu punya tunggu, dia tak kunjung sampai ke ke rumah. Keluarga kami akhirnya mendapat khabar, kapal kayu yang ditumpangi kakak saya dari Palembang itu karam menabrak karang di dekat Pulau Kelmoa, hanya beberapa mil dari Pelabuhan Tanjung Pandan. Ibu saya yang ketika itu sedang hamil anak yang ke sepuluh, panik bukan kepalang. Banyak korban yang meninggal akibat tenggelamnya kapal itu. Namun kakak saya selamat dibantu oleh sebuah perahu Bugis. Dia berusaha menyelamatkan anak kecil ketika kapal karam, namun jiwa anak kecil itu tak tertolong. Kakak saya sampai ke rumah kakek saya Jama Sandon, yang disambut rasa haru seluruh keluarga dan tetangga. Saya masih ingat, suami saudara sepupu saya Gairu Saridin, datang menjenguk kakak saya dan memberinya sehelai celana jeans. Waktu itu saya heran melihat celana jeans yang katanya masih baru, namun nampak telah kumal dan lusuh. Maklum di Kampung Sekep belum ada orang yang pakai celana jeans.Saya sendiri masih pakai celana pendek. Kakak saya tak punya pakaian lagi karena semuanya hanyut terbawa arus. Sejak peristiwa kapal karam itu, saya sering menyaksikan kakak saya itu menangis mengenangkan peristiwa sedih itu. Cukup lama dia trauma berlayar di laut. Kakak saya itu agak beda dengan Yusfi dan saya, yang sering diolok-olok sebagai “hantu laut”. Setahu saya, Yuslim itu tak pandai berenang.
Rasanya telah terlalu panjang saya mengisahkan kenang-kenangan di masa kecil bagian VI ini. Kalau ada kesempatan dan umur panjang, saya akan meneruskan kisah ini, melanjutkan kisah perjalanan hidup di masa kecil dengan segala suka-dukanya. Kalau ada salah kata dan mungkin menyinggung perasaan orang lain, saya mohon maaf dan mohon pula dikoreksi kalau-kalau saya salah dalam mengisahkan suatu peristiwa yang terjadi di masa lalu. Akhirnya hanya kepada Allah Ta’ala jua saya mengembalikan segala persoalan.***
Wallahu ‘alam bissawwab.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76
Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.
Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.