|

KEDELAI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KITA

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Ketika kita masih SD, kita selalu diajari guru kita bahwa negara kita adalah negara agraris. Alasannya, sebagian besar rakyat kita menggantungkan hidup pada pertanian. Kita diajari juga bahwa negara kita adalah negara bahari. Alasannya, sebagian besar wilayah negara kita adalah laut. Luas daratan lebih kecil dibanding luas lautnya. Hanya itu saja pelajaran yang kita terima. Kita tidak didorong untuk berpikir lebih jauh: Bagaimana kita harus meningkatkan produksi pertanian dan kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya yang sejak kecil menjadi anak hutan dan anak laut, bukan hanya berteori tentang kemiskinan petani dan nelayan. Saya mempunyai pengalaman empiris hidup dalam kemiskinan, di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan.

Tentu tidak ada satupun pemerintah di negara kita yang tidak memperhatikan pembangunan pertanian dan kelautan. Berbagai instutusi perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan dan penelitian di kedua bidang ini, telah lama kita miliki. Hasilnya belum seberapa. Sebagian besar petani kita masih bertani menggunakan cara-cara tradisional, yang kini justru mengancam kelestarian alam. Perkebunan besar dibuka, namun hanya menghasilkan buruh tani, suatu bidang pekerjaan yang merupakan bagian rakyat kita yang paling miskin. Perusahaan perikanan besar didirikan, namun juga hanya menghasilkan buruh nelayan, yang juga hidup tak kalah miskin. Petani dan nelayan yang merupakan komponen terbesar bangsa kita, belum mampu kita sejahterakan. Ketidakberhasilan kita meningkatkan taraf kesejahteraan petani dan nelayan, adalah kegagalan kita meningkatkan kesejahteraan bagian terbesar rakyat kita.

Saya tidak ingin berpanjang kalam membahas masalah di atas pada kesempatan ini. Ilmu saya juga tak dalam membahas masalah itu dengan berbagai aspeknya. Saya ingin fokus pada krisis kedelai, bahan dasar utama pembuatan tahu dan tempe, yang telah menjadi makanan utama sebagian besar rakyat di negeri kita. Meskipun kedelai sangat penting, namun produksi kedelai dalam negeri, tak pernah mampu memenuhi kebutuhan. Kita harus megimpor kedelai dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Kita bukannya tidak mampu meningkatkan produksi kedelai untuk memenuhi kebutuhan. Persoalannya terletak pada harga. Ketika harga kedelai di luar negeri lebih murah, maka kecenderungan pedagang untuk mengimpor cukup besar. Untuk mengurangi impor ini, Pemerintah menerapkan biaya masuk. Karena harga menjadi seimbang, bahkan lebih murah, maka petani dalam negeri tak terdorong untuk meningkatkan produksi. Dalam keadaan seperti ini, tanpa kita sadari kita mulai tergantung pada impor.

Ketika harga kedelai di luar negeri meningkat tajam, ditambah lagi dengan biaya masuk, maka harga kedelai impor di dalam negeri langsung melonjak. Ketika itu terjadi, kita tidak mungkin menghentikan impor, karena produksi dalam negeri tak mencukupi. Bahkan harga kedelaiproduk domestik juga akan naik. Kini, Pemerintah menghapus biaya masuk untuk sementara. Namun langkah itu takkan efektif, sebab harga pembelian impor sebelum dikenakan bea masuk sudah naik hampir dua kali lipat. Harga kedelai produk dalam negeri juga sudah terlanjur naik. Perlu waktu relatif lama untuk menstabilkan harga. Harga yang wajar hanya akan tercipta kembali kalau harga kedelai impor turun atau produksi kedelai dalam negeri meningkat. Hal yang sama, sebenarnya juga terjadi pada produk pertanian yang lain, seperti jagung, lada, cengkeh, bawang putih.

Masalah utama pertanian kita, bukanlah terletak pada mampu atau tidaknya kita meningkatkan produksi, tetapi lebih kepada stabilitas harga. Negara industri besar seperti Amerika Serikat tak pernah perduli nasib negara agraris yang miskin. Ketika saya di kabinet di bawah Presiden Megawati, kita ribut terus dengan Amerika Serikat karena memaksa agar Pemerintah mengizinkan peternak dan pedagang Amerika Serikat, untuk mengekspor sayap ayam potong ke negara kita. Kita tak mau mengizinkan, karena sayap ayam tak banyak dimakan orang di negeri itu, sementara di negeri kita banyak orang mengonsumsinya karena murah. Kalau sayap ayam dijual besar-besaran di negeri kita, produksi ayam dalam negeri akan terpukul. Rakyat sudah merasa cukup makan sayap ayam murah, daripada beli dagingnya yang lebih mahal. Amerika selalu berdalih perdagangan bebas. Dari dulu saya sangat hati-hati dengan konsep perdagangan bebas itu, termasuk lamanya saya menelaah RUU Penanaman Modal, yang membuat anggota kabinet yang lain agak jengkel dengan sikap saya. Kalau penanam modal dalam negeri dan luar negeri diberi status sama dalam segala hal, dan tidak dibatasi berapa besarnya modal yang ditanam, saya katakan bisa-bisa tukang cukur atau tukang martabak dari Bangladesh memohon izin penanaman modal untuk membuka sebuah kios cukur dan kios martabak. Ini masalah besar bagi bangsa kita.

Untuk membantu petani dan nelayan kita, saya pernah melontarkan gagasan dalam sidang kabinet, agar Pemerintah memberikan subsidi pembelian produk pertanian dan perikanan, tentu dengan konsekuensi pengurangan subsidi BBM dan listrik. Harga dasar gabah dan kedelai misalnya ditetapkan bisa lebih tinggi dari harga pasaran. Dengan demikian harga akan stabil dan gairah petani untuk menanam juga besar. Bulog membeli gabah dan kedelai dengan harga yang lebih tinggi. Pemerintah melempar ke pasar dengan selisih harga setelah dikurangi subsidi. Dengan cara itu tukang ijon juga akan berhenti beroperasi memeras petani dan nelayan. Gagasan saya itu, menurut Wapres Yusuf Kalla, sulit dilaksanakan di lapangan. Saya mengerti, gagasan ini baru ditataran permukaan. Namun kita harus menelaahnya secara rinci agar dapat dilaksanakan di lapangan. Mungkin kita uji coba pada produksi padi dan kedelai lebih dahulu, untuk kita lihat hasilnya dan melakukan evaluasi.

Saya berpendapat bahwa dampak berganda dalam pembangunan ekonomi harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Kalau petani dan nelayan sejahtera, daya beli mereka meningkat, maka mereka akan berpikir untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan rumah yang lebih modern, membeli kendaraan dan seterusnya. Tetapi kalau petani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar rakyat kita, tak mampu menjadi penggerak dampat berganda, maka pertumbuhan ekonomi kita, hanya akan menggantungkan pada investasi, belanja Pemerintah dan konsumsi masyarakat perkotaan. Padahal, Investasi belum berjalan sebagaimana kita harapkan, karena faktor-faktor non ekonomi, seperti kepastian hukum, pelayanan birokrasi yang berbelit, pungli dan situasi keamanan serta kenyamanan berusaha yang belum mendukung.

Belanja Pemerintah banyak pula yang tertunda dan tertahan karena kekhawatiran birokrasi kalau-kalau mereka dicurigai melakukan korupsi. Memberantas korupsi memang telah menjadi tekad kita bersama dan tentu harus terus digalakkan. Namun ketakutan yang berlebihan akan digunjingkan dan diperiksa kejaksaan dan KPK karena dugaan korupsi, dapat berdampak negatif pula pada penggunaan anggaran. Para pejabat ragu-ragu mengambil keputusan karena khawatir dan takut salah. Dana APBD yang cukup besar yang tak digunakan itu disimpan di bank-bank milik Pemda. Uang itu kemudian didepositokan lagi di Bank Indonesia. BI harus membayar bunganya.

Kini masalah kedelai mencuat ke permukaan. Harganya melonjak tajam. Sementara produsen tahu dan tempe, tidak mungkin serta merta menaikkan harga jual produknya. Daya beli masyarakat makin lemah. Harga bahan makanan yang lain seperti minyak goreng dan telur juga mengalami kenaikan. Akibatnya, produsen tahu tempe bukan saja mengurangi produksi, bahkan terancam bangkrut. Kebangkrutan ini serta merta berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tahu tempe yang selama ini dianggap sebagai produk makanan murah namun bergizi, berubah menjadi barang yang mahal. Kalau rakyat tak mampu lagi membeli tahu tempe sebagai lauk pauk sehar-hari, maka apa lagi yang akan dimakan?

Langkah sungguh-sungguh untuk membenahi ekonomi kita untuk mengangkat harkat dan martabat petani dan nelayan, sungguh merupakan pekerjaan besar, berat dan sulit. Namun kita tidak mungkin mengabaikan hal ini. Kasus melonjaknya harga kedelai, kiranya menjadi pelajaran sangat berharga untuk kita lebih bersungguh-sungguh membenahi pembangunan pertanian dan perdagangan kita.***

Wallahu’alam bissawwab

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=84

Posted by on Jan 16 2008. Filed under Personal, Politik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

63 Comments for “KEDELAI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KITA”

  1. Kita adalah negara besar nan luas, namun terlanjur murtad pada sejarah. Pernahkah kita menyilau balik bahwa Negeri Belanda dengan segala kemewahannya itu, pada interval abad 15 hingga abad 19 dibangun dengan keringat petani.
    Walaupun sejarah tanam paksa itu kelam, namun jika kita melihat dari sisi terbalik maka akan menimbulkan kepercayaan bahwa dengan pertanian lah kita akan berjaya.
    Pernahkah kita berkhayal bahwa negeri nusantara yang belum tercemar ini menjadi sentra industri sayur-sayuran tropic organic global. Disaat negara-negara maju sedang tersihir dengan gaya hidup baru yang back to nature, harusnya kita bisa memainkan peran.

    Entahlah, kita lebih senang mengawang ngawang, mengkhayal akan menjadi Korea Selatan, China dan Jepang.
    Benar kata Hatta, “selamanya kita kan jadi kuli”.

  2. dulu waktu masih kecil saya masih menjumpai petani menanam kedelai, jagung, kacang dan lain-lain. sekarang tiap kali tanam pasti padi dan itu pun ternyata belum mencukupi kebutuhan :D

    tapi menarik juga ide bung fadli, gimana kita merombak indonesia jadi negara agraris organik :-?

  3. Assalamualaikum Wr Wr….

    Salam Hormat kepada Bang Yusril….

    Tulisan komentar saya ini adalah yang pertama kali dalam blog Bang Yusril miliki semoga Bog Abang ini menjadi tempat kita saling diskusi dan tempat saya bertanya ketika ada permasalahan Hukum, Filsafat, Agama dan sebagainya….

    Mungkin hampir semua warga negara Indonesia tahu bahwa negara Indonesia adalah negara pertanian dan juga sebagai negara maritim, namun sebagi sebuah bangsa kita hanya dalam tataran tahu tapi tidak paham bagaimana konsep membangun negara agraris tersebut. hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang lebih cenderung berpihak kepada pengusaha importir dari pada kepada warga negara yang hidupnya sehari-hari berada di areal pertanian atau berada di tengah lautan.

    Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah sampai kapan Pemerintah akan menerapkan kebijakan seperti saat ini, menurut saya selama Pemerintah masih berpihak kepada pertumbuhan ekonomi dibanding kepada kesejahteraan rakyat, maka selama itu pula lah kebijakan yang lahir dari penguasa akan selalu mementingkan pihak pengusaha.

    Terkait dengan Komentar bang Yusril tentang Kebijakan Pertanian, maka saya sependapat dengan abang… dimana pemerintah harus memberikan subsidi kepada para Petani, dan juga perlu ditambahkan subdisi kepada Nelayan…. Tapi kebijakan Pemerintah memberikan subsidi kepada Petani dengan membeli gabah atau kedelai dengan harga tinggi ini sangat sulit terjadi, jika pemerintah masih berpikir bagaimana cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi di banding bagamana mensejakterakan rakyat, karena dengan tumbuhnya ekonomi nsional tidak berbanding sejajar dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Apa lagi seorang Wakil Presiden saja sudah sangat pesimis dalam melaksanakan program yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat (hal ini dapat terlihat dari berbagai kegiatan dan dan kebijakan Wakil Presiden yang selalu mementingkan pengusaha atau “karena Wapres pengusaha kali ya” he h3 ..

    Sesuai dengan pendapat Abang, bahwa “Dampak berganda dalam pembangunan ekonomi harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Kalau petani dan nelayan sejahtera, daya beli mereka meningkat, maka mereka akan berpikir untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan rumah yang lebih modern, membeli kendaraan dan seterusnya”, saya melihat dengan terjadinya hal yang seperti Abang deskripsikan maka tentu sektor ekonomi riil masyarakat akan bergerak naik dan tentu saja kemudian juga akan berdampak dalam sektor sumber daya manusianya, karena sudah tentu dengan semakin tingginya tingkat kesejahteraan Petani dan Nelayan, maka sudah tentu masyarakat Petani dan Nelayan juga berpikir bagaimana meningkatkan pendidikan anak-anak mereka tersebut. Tetapi selagi taraf kehidupan Petani dan Nelayan masih dibawah garis kemiskinan sudah tentu mereka tidak akan sempat berpikir bagaimana meningkatkan taraf pendidikan anak-anak mereka tersebut karena mereka disibukan dengan bagaimana cara memenuhi kebutuhan untuk hidup mereka. dan selama itu pula lah para Petani dan Nelayan akan menjadi komoditi bagi para pelaku-pelaku ekonomi (pengusaha).

    Jika kehidupan di ibaratkan sebuah perlombaan, maka para Petani dan Nelayan akan selalu menjadi pihak yang kalah
    karena mereka tidak punya kemampuan berlomba untuk menyaingi pengusaha yang sudah di depan dan selalu di beri fasilitas oleh negara, sedangkan para petani sudah tidak punya uang, tidak punya keahlian dan yang juga sangat tragis adalah pemerintah pun tidak berpihak kepada mereka….

    Saya berharap ke depan ada pemimpin yang benar-benar siap membela Petani dan Nelayan. Atau mungkin Abang terpilih dulu menjadi Presiden baru bisa menjadikan Petani dan Nelayan menjadi masyarakat yang sejahtera… he he ……0

    Demikian dulu celote-celoteh dari saya

    Syafriadi Asri.

  4. Di seantero negeri bertebaran PTPN-PTPN yang dikelola negara dan atau afiliasi swasta. Lihat apa yang mereka tanam …, Pulp, Tebu dan Sawit.
    Ahh, logika darimana ini, kenapa mereka tidak dirikan PTPN Kedelai dan Jarak Pagar.

    Saya si bodoh ini hanya bisa mengagumi pemikiran tuan-tuan pintar nan ahli ekonomi dan perencanaan pembangunan itu. Sama seperti bodohnya saya ketika menjumpai bawang bombay dan buah-buahan impor made in China di supermarket.

  5. Ass.
    yang saya pahami dari kondisi bangsa kita sekarang adalah gejala “Salah Urus”, kemampuan para pemimpin cenderung berkurang seiring dengan melambungnya angan angan mereka.

    Beberapa hal yang merupakan etika dasar hidup bermasyarakat dan bernegara sudah dilupakan dan menjrus sirna, padahal dulu harus dihafal mati oleh para siswa SD yang berupa butir butir P4, hal hal tesebut menurut saya adalah sbb:
    1. Generasi bangsa kita sekarang yang sedang memegang kepemimpinan belum mampu 100 % menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau golongan.
    2. Sudah semakin lupa untuk hidup bertenggang rasa.
    3. Sudah cenderung lupa untuk tidak memaksa kehendak kepada orang lain.

    semoga Pancasila bukan suatu yang berat untuk kita amalkan.

    wassalam,
    sufyan

  6. Saya makin lama makin bingung, beberapa waktu yang lampau tempe sudah dipatenkan di negri orang. Sekarang masa mo makan tempe saja susah? Saya jadi berpikir, kenapa ini bisa terjadi?

    Komentar saya:

    Saya sendiri bingung mendengar tempe sudah “dipatenkan di negara lain”. Sebab, patent adalah hak yang diberikan kepada pemohon yang berhasil menemukan atau melakukan inovasi teknologi. BJ Habibie misalnya menemukan sistem aerodinamis dan sistem pendingin pesawat udara yang berbeda dengan sistem yang telah ada sebelumnya. Karena itu beliau memohon hak patent atas penemuannya itu dan diberikan. Kalau tempe, apa sebenarnya yang mereka patenkan? Kalau cara membuat tempe seperti telah dikenal luas masyarakat hal itu tidak mungkin dipatenkan di negara manapun. Karena cara seperti itu telah menjadi “public domain”, telah menjadi pengetahuan umum, yang tidak mungkin diklaim sebagai penemuan seseorang. Beda halnya, jika ada orang yang menemukan cara baru membuat tempe, yang berbeda dari cara yang sudah dikenal, maka mungkin dia akan memperoleh hak patent. Dia juga mungkin mendapatkan hak rahasia dagang, kalau dia menyembunyikan hal spesifik dalam proses pembuatan tempe cara baru yang ditemukannya. Produksi tempe yang dia buat, mungkin diberi merek tertentu ketika dipasarkan. Untuk itu dia dapat mengajukan merek dagang (trade mark) atas merek tempenya itu. Tetapi kalau dikatakan “tempe dipatenkan” bagi saya tak jelas apa maksudnya. Sama juga orang mengatakan lagu Rasa Sayange “dklaim” Malaysia. Tak jelas apa maksudnya “dklaim”, karena lagu terkait dengan hak cipta. Saya sedikit mengerti masalah “Intellectual Property Rights” (Hak Kekayaan Intelektual) karena keenam undang-undangnya disusun pada waktu saya menjadi Menkeh HAM. Saya juga yang mewakili Presiden membahas RUU itu dengan DPR hingga disahkan menjadi undang-undang. (YIM)

  7. Yup …………. setuju banget dengan pemikiran Bapak.para pemimpin negara kita tampaknya takut sekali mengambil kebijakan, karena kalau kebijakannya salah, mereka takut akan sanksi sosial dan politik.tapi akan jauh lebih parah lagi, jikalau tidak mengambil kebijakan apapun karena takut,malah meneruskan kebijakan lama yang sudah usang.

  8. Pertama saya melihat sekilas judul tulisan blog ini di pembaca feed saya, yang saya tangkap adalah “Keledai dan Kebijakan Pertanian Kita” duh…

    Saya berpikir bahwa kita tidak punya kebijakan yang konsisten itu saja. Ditambah dengan kita tidak punya imajinasi, ke mana seharusnya bangsa ini kita bawa, 5 tahun yang akan datang, 10 tahun, bahkan 50 atau 100 tahun yang akan datang. Kita pernah membuat GBHN atau saya tidak tahu sekarang apa bentuknya, tapi apakah kita meresapi maknanya hingga tindakan kita sejalan dengan apa yang kita omongkan dan sejalan dengan pemikiran para pendahulu kita serta apakah kita memikirkan apa yang diperoleh anak-cucu kita nanti.

    Saya juga sangat miris bahwa industrialisasi terjadi di pulau Jawa, yang menurut saya adalah kesalahan besar namun tak dapat dihindari. Pulau Jawa yang menurut saya tanahnya terlalu subur hanya untuk dijadikan sebagai lahan pabrik dan rumah. Batasan-batasan yang diberikan mungkin sudah pernah dibuat, tata ruang wilayah sudah dibahas oleh ahli planologi, tapi membaca mengenai daerah tempat tinggal saya di Bandung, rasanya tidak mencerminkan hal itu. Kalau membaca tulisan bapak di atas, sangat jelas bahwa bapak dan para punggawa negeri ini sudah pernah memikirkannya. Tapi apakah kita melaksanakannya?

    Saya terkadang tak henti-hentinya heran, bagaimana kota sebesar Bandung akan hidup tanpa air. Bandung yang terletak di pegunungan harus merelakan daerah tingginya untuk dijadikan perumahan. Kenapa harus jadi rumah? Sudah sejak SD kita belajar air ditangkap oleh tumbuhan dan pepohonan di dataran tinggi untuk menjadi air tanah, tapi kalau jadi rumah siapa yang menangkap? Jika tidak ada yang menangkap, tidak akan ada air tanah yang cukup untuk para penghuni dataran Bandung, mungkin bukan sekarang, tapi anak atau cucu-cucu kita yang akan kesulitan. Apakah kita akan memompa air laut naik setinggi 800 meter hanya untuk mendapatkan air? Anak cucu kita yang akan membayar biaya pompa itu.

    Di wilayah Bandung-Sumedang juga berdiri banyak pabrik di antara lahan-lahan sawah. Kenapa kita merelakannya? OK, alasannya untuk memberi lapangan pekerjaan. Tapi kenapa tidak lapangan pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian? Jika membuat pabrik akan mendatangkan banyak pekerja, maka rumah harus dibuat, efeknya lahan yang ada akan dibuat rumah. Lahan pertanian yang akan menjadi korban. Nantinya kita perlu mengimpor beras (-dan tempe-tahu makanan favorit saya) dari daerah lain. Jalan dibutuhkan, perlu dibuat jalan, lahan pertanian menjadi korban. Di sekitar jalan juga akan tumbuh menjadi daerah pemukiman, *another* lahan pertanian. Kapan anak-cucu kita bisa *dapet* beras kalau begini keadaanya? Mungkin sebaiknya kita tetapkan saja Sumatra menjadi lahan penghasil beras untuk semua daerah di Indonesia.

    Kita diajarkan bagaimana bertenggang rasa, tapi walau kita diajarkan untuk berbaris sebelum masuk ke kelas, rasanya hanya di bank kita bisa mengantri dalam beberapa garis. Di stasiun kelas ekonomi seperti Kiara Condong (pengalaman pribadi), jangan heran kalau beli tiket ke ‘Jawa’, orang (calo?) menggerombol di hadapan loket. Pendidikan – bukan Pengajaran, itu yang penting sekarang dan selamanya.

    Ups, komentar yang panjang, sudah waktunya Shubuh.

    He he he. Tapi yang saya tulis benar-benar kedelai dan bukan keledai (YIM)

  9. mentalnya petani jangan lupa diperbaiki juga, jangan hanya dibuai dengan bantuan subsidi yg mengarah pada “selalu mengharap”, bantuan cicilan dari BI saja banyak yg tidak dikembalikan oleh petani (contohnya petani rumput laut yg di NTT tuh..).

    perusahaan-perusahaan besar harus dijawibkan menyalurkan bantuan untuk usaha-usaha kecil yg dalam tahap “development”, hal ini sangat sedikit adanya di Indonesia. Padahal development itu sendiri dibutuhkan untuk masa depan. masa cuma mau langsung untung?

    dan yg pasti, memperbaiki keseluruhan mental dari penduduk indonesia yg hanya ingin berinvestasi dengan keuntungan banyak dan cepat. pantas saja kalau marak penipuan bermodus investasi dengan hasil yg menggiurkan.

    hukum dirubah, ganti setiap kata di KUHP yg semacam misal: “… dengan hukuman selama-lamanya 20 tahun penjara” menjadi =>> “… dengan hukuman seminimal mungkin 20 tahun penjara” jadi orang akan berpikir 1000x untuk melakukan tindakan melawan hukum.
    Tentunya ini akan meminimalkan suap kepada Hakim + Jaksa. Tersangka mana yg mau menyuap kalau sebaik-baiknya menyuap-pun pasti dapat minimal 20 tahun?

    Tanggapan saya:

    Terima kasih. Saya sependapat kalau mentalitas petani harus diperbaiki juga. Kalau sistem baik, dan didukung orang-orang yang bermentalitas baik serta punya dedikasi tinggi, saya yakin peluang keberhasilan akan lebih besar. (YIM)

  10. @hallo Bang YIM, ini saya lagi Iwan…

    Pada paragraf Pertama ada banyak “kesalahan” redaksi… Itu misalnya bahwanegara (bahwa negara), luasdaratan (luas daratan), dibandingluas (dibanding luas), itusajapelajaran (itu saja pelajaran), harusmeningkatkan (harus meningkatkan)…
    Inikan tulisan serius Anda? Kenapa bisa terjadi?

    Salaaam “Redaksi”…he…he… Dari Swiss…

    Terima kasih banyak Boss, atas koreksinya. Kesalahan itu telah saya perbaiki. Ini semua terjadi ketika tulisan yang semula dilakukan dengan MSWords dicopy ke WprdPress, sehinga terjadinya penggabungan kata seperti itu. Mohon maaf, tadi pagi saya tak sempat mengkoreksi kesalahan akibat copy dari satu sistem ke sistem lain itu. (YIM)

  11. Alhamdulillah. Akhirnya Profesor mulai menyentuh ranah-ranah kongkret yang sensitif bagi sebagian penghuni republik. Setuju dengan Fadli ZF #1, bahwa :
    “Pernahkah kita berkhayal bahwa negeri nusantara yang belum tercemar ini menjadi sentra industri sayur-sayuran tropic organic global. Disaat negara-negara maju sedang tersihir dengan gaya hidup baru yang back to nature, harusnya kita bisa memainkan peran.”, dan Fadli ZF #4:
    “Ahh, logika darimana ini, kenapa mereka tidak dirikan PTPN Kedelai dan Jarak Pagar.”
    Tapi Bung Fadli, maaf sebelumnya, PERNAH HIDUP SEBAGAI PETANI-KAH?
    Menjawab pertanyaan hal ini peting, karena mudah menyalahkan kebijakan –apalagi kebijakan Permerintah.
    Apa solusi yang Anda tawarkan, cukupkan dengan, “…Ahh, kenapa mereka tidak dirikan PTPN Kedelai dan Jarak Pagar?” Saya yakin jawabnya TIDAK CUKUP.
    Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga petani, dan beberapa tahun musim tanam palawija, kami pun menanam kedelai di kampung. Ide Anda agar kita “menjadi sentra industri sayur-sayuran tropic organic global” sangat tepat, but HOW?
    Kebetulan beberapa tahun yang lalu, Saya bersama beberap teman melaksanakan sekadar project Pertanian ORGANIK dan hasilnya SUBHANALLAH. Dengan biaya prodeuksi yang lebih rendah, hasil Panen meningkat, dan yang paling penting adalah Kualitas Tanah (dalam hal ini sawah) bertambah baik, karena petani coba diarahkan meninggalkan penggunaan Pestisida yang terbukti bukan saja menjadi pupuk tetapi dalam jangka panjang RACUN BAGI TANAH.
    Kita perlu lebih praktis, tidak sekadar berteori dan mengkritik teori-lah. Saatnya, OPINI KITA DIIKUTI TANGAN-TANGAN KITA KOTOR DENGAN TANAH-TANAH YANG DIOLAH.
    Dari sisi pembangun pertanian, Saya setuju bahwa Visi yang harus dirumuskan adalah, “Pertanian dan pedesaan sebagai pilar utama ketahanan ekonomi bangsa yang kokoh dengan tingkat kesejahteraan petani, produksi yang tinggi dan berkualitas, berkelanjutan serta biaya produksi yang rendah.”
    Hal ini penting karena menurut Saya hal-hal yang crucial saat ini, dan menunut segera diselesaikan adalah :
    1. Kebijakan/Program Pemerintah,
    2. Kondisi Petani,
    3. Kondisi Lahan, dan
    4. Kondisi Produk Pertanian,

  12. Profesor, mungkin ini sedikit hal. Sekadar sumbang saran, langkah-langkah ke arah visi Pembangunan pertanian ke depan yang diperlukan seperti saya sebut sebelumnya, dalam kaitan dengan pengembangan organic farming tentunya. Bila benar analisis beberapa teman bahwa Profesor Yusrl Ihza Mahendra akan mencalonkan diri menjadi Presiden, atau setidaknya Wakil Presiden nanti. Ini murni dari pengalaman dari seorang anak Petani di Tambung, suatu tempat terpencil di Sumatera.
    (1) Membuat kebijakan bersama antar instansi yang terkait dengan dunia pertanian, misalnya; Departemen Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Koperasi, Keuangan/Perbankan. Intinya adalah mensinerjakan departemen-departemen ini dalam upaya menjadikan pertanian sebagai pilar utama pembangunan ekonomi bangsa. Dalam hal ini mendorong peningkatan produksi, pengolahan produksi dan pemasaran produksi pertanian secara internasional fokus utama.
    (2) Membuat atau melengkapi dan menyempurnakan atau memordenisasi data inventaris sumber daya lahan untuk di jadikan pijakan bagi penyusunan Rencana Penggunaan lahan dan tindakan konservasi pada setiap level pemerintahan (nasional, provinsi dan kabupaten). Data ini sangat di perlukan mengingat lahan, yang merupakan sumber daya yang terbatas; Memiliki karakter tertentu (baik kemampuan maupuk kesesuaian), dapat mengalami degradsi, dan selalu mengandung konflik berkaitan dengan peruntukannya. Oleh karena itu, pemanfaatan areal untuk usaha pertanian seharusnya memiliki landasan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan agar dapat memberikan manfaat secara maksimum: ekonomis, efisien, produksi tinggi dan dapat berkelanjutan.
    (3) Menyusun peta kesesuaian lahan untuk berbagai jenis tanaman agar penggunaan lahan dapat memberikan manfaat maksimum: lahan yang tepat untuk tujuan yang tepat, efficiency (produksi tinggi dan memenuhi kebutuhan) dan bahaya kerusakan dapat diminimalisasi.
    (4) Mendorong pengembangan produk-produk unggulan bagi setiap daerah. Berdasarkan prinsip manfaat maksimum dan effisiensi penggunaan lahan serta kesinambungan produksi pertanian, maka setiap daerah di dorong untuk mengusahakan komoditas yang paling sesuai di usahakan di daerahnya masing-masing sebagai produk unggulan. Upaya ini akan memiliki keuntungan lain, misalnya terciptanya hubungan perdagangan komoditas pertanian antar daerah, terjaganya stabilitas harga produk dan berkembangnya berbagai jenis usaha pertanian.
    (5) Pembangunan pedesaan perlu dilakukan dengan pendekatan Watershed Management, yaitu pembangunan dengan pendekatan menyeluruh, multi disipliner dan partisipasi aktif warga untuk tujuan pertanian yang berproduksi tinggi, berkelanjutan dan konservatif.
    (6) Mempermudah permodalan bagi petani. Bila perlu, di tiap kecamatan atau bahkan di tingkat desa, ada bank milik pemerintah yang khusus melayani perkreditan di bidang usaha pertanian.
    (7) Meningkatkan aktivitas penelitian dan pengembangan pertanian,atau membangun pusat-pusat penelitian dan pengamatan, baik penelitian terhadap tanah seperti badan survai dan perencanaan penggunaan lahan dls, maupun penelitian terhadap komoditas-komoditas pertanian dan cara budidayanya serta pengembangan varietas-varietas baru.
    (8) Mendorong penelitian di bidang farmasi yang menggunakan bahan baku tumbuhan, agar tumbuhan sejenis dapat di usahakan petani secara komersil.
    (9) Mendorong pembangunan industri-industri yang berkaitan dengan pertanian, baik industri yang menggunakan bahan baku produk pertanian maupun industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian. Langkah ini dapat menggairahkan aktivitas pertanian serta mendorong pengayaan produk pertanian selain memberikan nilai tambah.
    (10) Mengarahkan pertanian ke pertanian organic. Langkah ini di maksudkan untuk mengurangi atau bahkan menghentikan ketergantungan terhadap pupuk dan pestisida kimia buatan, menghentikan kerusakan lahan, pencemaran lingkungan dan makanan, merehabilitasi tanah yang telah rusak aibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia buatan secara intensif dan terus menerus, agar tanah kembali sehat dan dapat berproduksi tinggi secara berkesinambungan dengan biaya produksi yang rendah.
    (11) Sejalan dengan dorongan terhadap pertanian organic, maka perlu juga di dorong industri sekala kecil, tetapi bertebar di tiap provinsi atau bahkan di tiap kabupaten yang memproduksi pupuk kompos, bokasi, mikroorganisme menguntungkan dan pestisida organik dll.
    (12) Demikian juga sektor peternakan harus di galakkan dengan penataan yang lebih baik sehingga bermanfaat untuk pertanian, misalnya pengelolaan kandang sapi yang tepat agar kotoran padat dan cair dapat diolah menjadi pupuk organic.
    (13) Membangun koperasi-koperasi pertanian di setiap desa atau bahkan di setiap dusun.
    (14) Melakukan kampanye, penyuluhan, pendidikan dan penyiaran tentang pertanian di berbagai media untuk mendukung program pembangunan pertanian.
    (15) Melakukan pembinaan, baik terhadap aparat Dinas Pertanian maupun terhadap petani. Terhadap aparat di tujukan untuk meningkatkan kinerja dan tanggungjawab, efisiensi dan effektivitas kerja serta kreativitas lembaga. Dalam hal ini penegakan disiplin mutlak diperlukan. Para petani dibina untuk lebih bekerja keras, memiliki keterampilan dan sikap mental yang luhur. Pembinaan petani dapat dilakukan melalui media perwiridan yang biasa ada di setiap dusun oleh para ustadz yang dibekali ilmu-ilmu pertanian di setiap kamis malam.

    Arie Ashford,

    Terima kasih atas dua komentar anda ini. Tentu menjadi bahan masukan yang berharga bagi saya untuk memikirkan lebih jauh persoalan ini.

  13. Pak Arie, terimakasih tanggapannya. Anda benar sekali, saya memang tidak pernah melewati episode hidup sebagai petani. Dari kejauhan sebagai pekerja IT, saya hanya bisa mengamati karena tak pernah mengalami.
    Dengan pengetahuan cekak dan sisa-sisa pelajaran kelas 3 SMA tentang revolusi hijau saya beranikan diri mengutarakan isi hati.

    Mudah-mudahan Pak Yusril sedia memikirkan hal ini. Kalaulah terlalu berat rasanya untuk seluruh negri, kenapa kita tidak limpahkan prototypenya ke provinsi.
    Fadel Muhammad sukses dengan Jagung-nya di Gorontalo sana. Petani-petani sayuran organik di Sumatera Barat juga telah menembus pasar Malaysia dan Singapura.

    Namun masih banyak cerita sedih. Petani-petani Jawa Barat harus menanggung penyusutan untung 10% ketika membawa hasil pertaniannya ke Jakarta. Begitu juga petani-petani pisang di Sumatra Selatan. Hasil usahanya kebanyakan habis dijalan.

    Bicara pertanian memang tidak semudah membalik telapak tangan. Karena itulah kata saktinya hanyalah “kebijakan”

  14. Mana donk tanggapannya orang2 dari dept pertanian dan dept perdagangan, ikutan sharing ngapa jangan pada tidur mulu, apa lagi ada kekenyangan menikmati fasilitas2 pemerintah yang ada.

  15. @YIM:
    Saya tidak percaya subsidi langsung adalah solusi yang terbaik. Pengalaman empiris disubsidi pada jaman Soeharto mempimpin telah membuat sebagian besar dari kita (termasuk saya sendiri) menjadi pemalas. Ketika subsidi tidak lagi mampu disupport, kita merasa kehilangan hak, dan turun kejalan.

    Mental kita jadi mental menadahkan tangan. Ternyata fondasi ekonomi kita waktu itu rapuh, apalagi untuk menahan subsidi selamanya.

    Inovasi muncul karena terjepit. Tergelincir kembali menuju welfare state( http://en.wikipedia.org/wiki/Welfare_state ) tidak akan membangkitkan semangat gigit lidah dan mengencangkan ikat pinggang.

    Tapi seandainya memang subsidi tidak dapat dihindari, bagaimana exit strategy Anda, ketika subsidi tidak lagi menjadi solusi yang viable?

    Tanggapan saya:

    Anda benar Bonar, subsidi memang dapat berdampak pada tumbuhnya sikap malas. Sejauh menyangkut subsidi BBM dan listrik — yang menyita hampir sepertiga APBN kita — saya sependapat dengan anda. Dengan alokasi subsidi sebesar itu, maka Indonesia praktis dapat dikatakan menjadi negara sosialis terbesar di dunia. Orang tidur saja tanpa berbuat apa-apa otomatis mendapat subsidi BBM dan listrik. Subsidi itu juga tak dinikmati oleh bagian terbesar rakyat. Mereka yang tak pernah beli bensin dan minyak tanah, serta jarang-jarang menggunakan transportasi umum, apalagi di rumahnya tidak ada listrik, tidak merasakan secara langsung manfaat subsidi BBM. Subsidi memang tidak boleh menjadi kebijakan permanen.

    Saya berpikir, alangkah baiknya jika subsidi BBM dan lsitrik secara bertahap dikurangi, dan dikompensasi dengan subsidi produk pertanian tertentu seperti saya uraikan. Petani tidak tidur saja lantas mendapat subsidi seperti subsidi BBM dan listrik. Mereka harus bekerja menghasilkan produk dengan standar mutu tertentu. Makin banyak produk dihasilkan, makin banyak subsidi didapat. Makin malas, makin sedkiikit pula. Mereka yang beli beras — sampai kualitas tertentu — tentu dengan tidur saja menikmati subsidi beras. Namun mengingat bagian terbesar rakyat kita adalah petani, maka yang menikmati subsidi itu adalah rakyat kita yang justru paling lemah posisi ekonominya. Kita harus mensupport kelompok masyarakat yang paling lemah melalui suatu kebijakan. Tentu ini tidak bisa dipermenenkan, sampai suatu saat petani dan nelayan kita benar-benar kuat dan tidak memerlukan support seperti itu lagi.

    Saya tidak ahli ekonomi, Bonar. Ini lontaran pemikiran saya. Kalau pendapat saya tidak didukung argumen yang kuat, saya rela meninggalkan pendapat saya dan mengikuti pendapat lain yang lebih kokoh (YIM).

  16. Samasekali belum terlambat.. mumpung ‘baru’ kedelai belum yang lain. Saya membayangkan saat Indonesia bisa menyaingi produk-produk pertanian Thailand yang dalam hal kualitas tentu kita tidak kalah, dimana produk pertanian Thailand bisa tersebar ke seluruh dunia dalam berbagai wujud..

  17. @YIM, mungkin saya panggil begitu biar setara (“egalite”)…

    Saya kira ini persoalan keterpihakan pada orang yang “kalah” (baca: miskin), atau orang yang terlanjur “dikalahkan” (baca: yang miskin turun-temurun). Saya tak akan mendebat Bonar (di #109, tanggapan terhadap Editorial Koran Tempo dan Media Indonesia), karena saya anggap itu hanya PIF (Pengantar Ilmu Filosofi) di Indonesia. “Excuse me”…

    Kemudian saya lanjutkan, keterpihakan terhadap petani (kebanyakan rakyat kita) tentu suatu formula yang sangat rasional. Dibanyak Negara, yang pernah saya kunjungi khususnya Benua Erofa dan termasuk pada Negara Skandinavia (Pengalaman Empiris), bukan data INTERNET. Petani, masihlah ditaruh pada tempat yang sangat “mulia”. Artinya sangat dihormati, itu paling tidak bisa dilihat pada acara “Karnaval”. Kalau “Kelompok Petani Gandum” lewat akan ditepuki tangan semeriah-meriahnya, ini sebuah penghormatan!

    Lalu, melihat kondisi Indonesia, mungkin agak melompat (karena saya coba seringkasnya). Saya kira masih rasional (“fair”), kalau saya katakan bahwa “Petani” tidak malas. Alasannya, saya kecil dan besar dalam kehidupan petani. Dan memang, mereka (baca: Kakek dan Nenek saya) dan saya harus bangun pagi sekali (sebelum Sholat Subuh). Karena mereka harus berjalan kaki ke Ladang (Kebun Karet)dan ke Sawah, katakanlah dalam hitungan waktu menempuh jarak dua jam.
    Pertanyaannya, lalu apa “imbuhannya” ada orang mengatakan atau paling tidak sudah mengatakan bahwa adanya “subsidi”, akan membuat “petani” malas? Saya kira itu kecurigaan “Orang Kota” (baca: yang terlanjur jadi Birokrat). Kalau begitu, mungkin kita harus membaca “bukunya Artijo Alkostar, Kemiskinan di Perkotaan”, pengalaman Empiris menjadi orang miskin. Yang bahwa sebenarnya Kota hanya menawarkan mimpi pada orang “nDeso”, tentang kemakmuran dan kehidupan semu. Karena kehidupan tak maju-maju (tak berubah).Dan kemudian mereka meninggalkan Desa dan lahan pertaniannya demi kemajuan dan perubahan yang ternyata semu itu. Lalu tentu, kemudian tumbuh subur “Patologi Sosial” (Prostitusi, Premanisme, dan drug) dimana-mana di Perkotaan. Karena memang mereka tak siap hidup diperkotaan.

    Hal lainnya, pada acuan “Welfare State”. Pada teori, memang sepertinya sangat “Sosialis”. Prakteknya sebenarnya tidak. Katakanlah Denmark (saya pernah disana), yang menduduki tempat pertama pada Negara Welfare State di Dunia. Sebenarnya Negara yang sangat Kapitalistis, artinya Negara yang sangat bergantung pada pertumbuhan dan keuntungan Ekonomi yang sebesar-besarnya. Rakyat disitu, dianggap pada mesin perekonomian. Antara lain misalnya, produktif atau tidak produktif untuk bekerja. Di Denmark rakyat haruslah bekerja, karena kalau rakyat bekerja akan membayar 40 persen dari penghasilannya pada Negara. Dan Negara, tentu saja akan membuat lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pajak tersebut.
    Pertanyaannya, kemanakah hasil pajak tersebut? Ya, ke Pendidikan, rumah sakit, angkutan, dan semua yang bersinggungan pada hak-hak publik, semuanya gratis. Termasuk kalau tak mampu bayar pengacara! Swiss, juga begitu. Tapi di Swiss bayar pajak 7,6 persen pada “Permanen Recident”, dan 11 persen untuk Orang Asing.
    Tapi memang jangan terlalu ekstrim, kalau kita akan mencoba hidup seperti di Cuba yang gaji seorang Professeror disana hanya 20 Dollar sebulan, semua bersih. Bagaimana mau bayar ongkos pesawat Pulang pergi? He..he…

    Kembali pada tawaran anda, saya kira ini masih relevan. Terlepas ketakutan pada “Hantu Soeharto”, wong orangnya saja masih hidup kok, walaupun “megap-megap”. Saya kira ini, persoalan keterpihakan. Jadi bukan persoalan Ekonomi semata, atau Matematika… Dan kemudiannya adalah, lalu siapa yang harus dibela, dan siapa yang harus dibiarkan? Mudah-mudahan kedelai akan kembali menjadi makanan rakyat, supaya Indoensia tak tampak seperti di Pimpin orang yang berotak “Keledai”.

    Salaaam dari saya:

    Iwan Asnawi, Swiss

  18. Maaf tuan redaksi, he…he…pada Professeror, maksud saya Profesor (Prof.)

  19. […] : yusril.ihzamahendra.com Tags: KEBIJAKAN PERTANIAN KITA, KEDELAI, Yusril Ihza Mahendra Filed under Pertanian by […]

  20. @Iwan Asnawi #17:

    Saya tak akan mendebat Bonar (di #109, tanggapan terhadap Editorial Koran Tempo dan Media Indonesia), karena saya anggap itu hanya PIF (Pengantar Ilmu Filosofi) di Indonesia. “Excuse me”…

    Hahahaha. Baik Bung Iwan, cukup menohok. Tapi, tak mengapa.

    Tentang Argumen keberpihakan, nanti malam mungkin akan saya argue, kalau boleh?

  21. Pak Yusril,

    Saya sangat menghargai usaha Bapak dalam membuka pikiran serta membuka diri di dunia internet dengan membuat blog seperti ini. Saya telah membaca hampir seluruh isi dari blog ini termasuk isi komentar-komentar yang terdapat pada situs Indonesia Matter. Saya mendapat kesan bahwa terciptanya blog ini dilatar belakangi oleh perdebatan yang terjadi pada situs Indonesia Matter sehingga timbul keinginan dari diri Bapak untuk memiliki suatu blog sendiri dan memberikan contoh yang benar secara konkrit cara berdiskusi, berdebat atau mengemukakan pendapat.

    Saya juga membaca pemaparan Bapak terhadap kasus-kasus yang ramai dibicarakan di koran terkait dengan Bapak. Terlepas dari tanggapan, opini, atau komentar orang-orang, saya menilai tindakan Bapak sangatlah berani, penuh resiko, dan patut dipuji sebesar-besarnya. Saya pernah bertemu langsung dengan Bapak beberapa kali terkait dengan pekerjaan saya. Setelah saya membaca tulisan-tulisan Bapak di blog ini, saya melihat sisi yang lain dari seorang Menteri. Selama ini menteri terkesan sangat jauh dengan orang biasa, apalagi sampai bisa diskusi bahkan berdebat.

    Sayang sekali hanya orang-orang yang menggunakan internet saja yang dapat mengakses blog ini. Seandainya saja para politikus, pejabat, bahkan Bapak Presiden mau meluangkan waktu untuk membaca blog ini, saya rasa akan ada banyak dari mereka yang tertarik untuk meniru walaupun tentunya tidak semudah seperti yang terlihat dan sangat mengkonsumsi waktu. Namun menurut saya efeknya setimpal dengan usaha yang dikerahkan…Sungguh usaha yang luar biasa….

    O iya pak, film laksamana Cheng Ho-nya kapan akan mulai ditayangkan ? Kalau boleh saya tahu, apakah akan dijual langsung versi DVD-nya ?

  22. YIM: “… Kalau rakyat tak mampu lagi membeli tahu tempe sebagai lauk pauk sehari-hari, maka apa lagi yang akan dimakan?…”

    Saya, meski tak pernah nyantri, juga sama-sekali asing dengan pertanian dan perikanan, minta izin untuk nimbrung dengan agak terlalu ngawur, hanya dengan harapan sekedar coba-coba melontarkan inspirasi.

    “Boleh saja” tempe-tahu menghilang-lang dari khazanah kuliner kita. Boleh saja seluruh ikan-udang dan segenap sumberdaya kelautan hilang dari marine nusantara. Boleh saja setiap batang kayu dari setiap jengkal hutan indonesia hilang digondol pembalak; asalkan saja…

    Berbarengan dengan industrialisasi dunia, orang Arab tiba-tiba menjadi kaya-raya karena industri memerlukan minyak dan minyak ternyata berada di
    Arab. AS juga punya minyak sebetulnya Tapi mereka lebih suka membeli dari Arab: Agar sumber minyak mereka bisa digunakan kelak kalau semua minyak di belahan bumi lainnya sudah kering.

    Di satu sisi, Arab tiba-tiba menjadi kaya, nyaris tanpa usaha yang berarti dari fihak mereka sendiri. Saya tidak berpendapat bahwa orang Arab itu beriman, bertakwa, atau soleh. Yang saya ingin katakan adalah bahwa Allah seringkali mengkaruniai siapa yang dikehendakinya dari arah yang tidak disangka – sangka.

    Mungkin kalau bangsa yang mayoritas muslim ini bertakwa maka Allah berkenan menganugerahi kita kekayarayaan yang melimpah-ruah “dari arah yang tidak disangka-sangka.”

    Mohon komentar.

    Tanggapan saya:

    Memang demikianlah adanya. Allah SWT telah memberikan karunia yang sangat besar kepada bangsa dan negara kita dengan kekayaan alam yang melimpah, iklim tropis yang memungkinkan petani dapat menanam sepanjang tahun, dan sumberdaya manusia yang banyak. Namun, karena kita belum mampu mendayagunakan karunia itu, maka bangsa kita hidup miskin dan terbelakang. Bangsa kita ini mirip apa yang diulang-ulang di dalam al-Qur’an surah ar-Rahman “fabiayyiala i rabbikuma tukazziban?” (maka nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang ingin kalian dustakan?) Insya Allah suatu ketika saya akan menulis masalah ini. Terimakasih atas perhatian anda. Saya menyarankan agar banyak belajar dan membaca, agar suatu saat menjadi orang yang bijak. Semoga Allah SWT akan memberkati anda.
    (YIM).

  23. Pak Yusril, menurut hasil obrolan saya dan teman saya yng seorang ahli pertanian, meskipun kedelai baik utk kultur tanah, namun secara ekonomis kurang menguntungkan karena produksi per hektar nya yng lebih rendah dibanding padi. 1 hektar kedelai hanya bisa menghasilkan 1 hingga 1,6 ton saja. Di negara maju pun keadaan ini relatif sama. Bandingkan dng padi yng bisa diproduksi 4-5 ton per hektar (gabah kering). Setelah itu harga kedelai pun masih lebih rendah daripada harga padi (gabah kering) sehingga para petani relatif lebih suka bertanam padi krn lebih menguntungkan. Karena itu saya setuju pemerintah memberikan insentif yng *tepat* kepada para petani. demikian pendapat saya yng awam ini. wassalamualaikum.

    Terima kasih atas pendapatnya (YIM)

  24. saya selalu sangat setuju, dengan pendapat bahwa “petani” dan “nelayan” kita harus mendapat perhatian dan dukungan lebih untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka, baik itu dengan bentuk subsidi , bantuan teknologi dlsb.

    karena sejak kita melek dulu, yang ditiupkan ke otak kita, dan memang secara fakta kita yakini, adalah pemahaman bahwa Indonesia adalah negara agraris. jadi ya di sektor pertanian dan kelautan itulah inti kekuatan negara kita sesungguhnya.

    di jaman “pak harto ” dulu, suka tidak suka, kita cukup melihat keberfihakan pemerintah terhadap kemajuan para petani itu. kita kenal program dan istilah “bimas”, intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan lain sebagainya. bahkan pak harto sendiri memberikan contoh langsung dalam bertani, beternak dan “memancing” di laut:)

    saat ini gaung kelanjutan dari program2 itu nyaris tidak terdengar…yang banyak kita dengar, pembukaan lahan untuk “perkebunan” yang faktanya membuat banyak petani kita justru hanya menjadi ” buruh ” di perkebunan2 itu. berkurangnya daerah hijau untuk pabrik dan perumahan… hh cape deh.

    benar,
    kalau tidak sekarang kita ( pemerintah dan masyarakat ) memutar balik paradigma keberfihakan itu, maka nampaknya akan terlambat kita menyelamatkan ” negara agraris ” ini.

    banyak efek positif lanjutan yang akan terjadi dari kebijakan memihak petani dan nelayan tersebut. sederhana saja misalnya, dulu waktu di SD kita pernah belajar, bahwa urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. karena di kota lebih banyak lapangan pekerjaan. kalau di desa cukup pekerjaan? ngapain jauh2 ke kota.

    saya setuju subsidi bbm di kurangi, karena tidak terlalu menyentuh kepentingan orang-orang kecil. tetapi pelan-pelan saja. soalnya kalo tidak, ya petani dan nelayan ( orang-orang miskin ) juga yang kena. karena harga-harga makin tidak terjangkau. kurangi seiring penguatan daya beli masyarakat terhadap peningkatan harga sebagai akibat pengurangan subsidi bbm. sampai pada satu ketika bbm subsidi nol. kemampuan daya beli masyarakat kecil melampaui kenaikan harga akibat tidak adanya subsidi.

    saya kira, dengan semangat yang sama, semangat akan tercapainya kesejahteraan semua fihak dengan memperhatikan kepentingan semua fihak ( karena di negara ini bukan cuma petani dan nelayan saja isinya) juga, hal ini bukan sesuatu yang mustahil kita lakukan.

    sekedar kata hati.. jangan tanyakan dalil dan validitas datanya ya, hehehe.
    sekedar kata hati.
    nuhun ah mister YIM.
    makin menyentuh blog nya.

    +

  25. Negara ini potensinya ada di laut, pertanian dan pertambangan (duh…bangsa mana yang tak iri?). Sayang, kok malah yang berkembang itu potensi berhutang. Kalo “cuma” seperti ini hasil pembangunan, rasanya tak perlu dengan berhutang.

    Maaf, bukan maksud membela pak harto, tapi dialah satu2nya pemimpin yang punya visi jangka panjang dan membaginya menjadi beberapa tahapan pembangunan (“ROSTOW” sekali…). Terlepas dari sisi gelap ORDE BARU, itulah kelebihan beliau.

    Ok..menyambung kedelai…mungkin naiknya kedelai ini blessing in disguise, bayangkanlah, kedelai dari Amerika itu, sebagian besar adalah kedelai transgenik, yang belum tentu aman untuk dimakan manusia. Di negara asalnya, produk transgenik biasanya diperuntukan bagi makanan ternak. SEmentara di Indonesia, dijadikan makanan manusia. Tak ada pula lembaga sertifikasi di Indonesia yang menangani bahan makanan yang layak untuk dikonsumsi, mungkin tak ada yang ngurusi malah….

    Tak hanya soal keamanan pangan dari produk hasil rekayasa genetik, masalah formalin, pewarna tekstil yang jadi pewarna pangan, boraks, itu pun tak ada tindakan nyata bagi pelanggarnya. Padahal aturannya sudah jelas. BPOM bergerak, tapi setelah itu apa? toh tetap masih ada juga yang beredar.

    Mungkin sekarang saatnya para pemgambil keputusan di negara ini kembali melirik lagi sektor pertanian, padi, palawija termasuk kedelai, buah2an, sayur mayur…tapi itu bisa dilakukan kalau para politisi tidak hanya sibuk mengurus fasilitas bagi dirinya sendiri dan saling cakar satu sama lain. Masalah2 di negara ini timbul, karena mereka sibuk saling menjatuhkan lawan politik, akhirnya kebutuhan rakyat tak diperhatikan.

    Maaf ya bang, kalo saya nulisnya sambil geregetan…bayangkan saja, dinegara dengan banyak keberuntungan yang diberikan Allah lewat kekayaan alamnya, kok kita bisa sengsara….salahnya dimana…??

    Saya pernah membaca sebuah anekdot tentang Tuhan yang sedang menciptakan negara2 didunia ini dengan keseimbangan antara potensi baik dan buruknya (sumbernya saya lupa):

    Ketika eropa utara diciptakan, Dia menciptakan bangsa yang makmur, maju teknologinya, namun kondisi cuacanya kurang bersahabat karena dingin dan sering berkabut….

    Ketika Eropa selatan diciptakan, Dia menciptakan bangsa yang kemakmurannya dibawah bangsa2 eropa utara, tapi pemandangan alamnya sangat indah dan cuacanya hangat…

    Kemudian Tuhan tersenyum ketika dia sedang menciptakan sebuah negara di kawasan khatulistiwa, dengan hutan yang hijau, tanah yang subur, laut yang ikannya banyak, bahan tambangnya berlimpah, cuacanya hangat sehingga pertanian bisa menghasilkan sepanjang tahun, bangsanya ramah pula….
    Malaikat kemudian bertanya, “wahai Tuhanku, mengapa kau ciptakan semua kelebihan di negara ini? dimanakah letak keseimbangannya?”
    Tuhan Menjawab, “Tunggulah, sampai Aku menciptakan orang2 bodoh yang akan kutempatkan sebagai pemimpin negara ini”

    ====
    Saran ya bang, agar tak ada kekacauan saat abang memindahkan tulisan dari MSWord ke Blog, lebih baik abang mengetiknya dalam aplikasi notepad.

  26. @hai, resti… Kamu baca Geografi tamat kagak sih? Memangnya Erofa cuma ada Erofa Utara dan Erofa Selatan, terus Erofa Timur, Erota bagian Tengahnya (Central of Eurofe) mana? Swiss adalah Negara terbersih di Dunia Bu Resti, dan biar anda tau, terindah pula. Kalau bikin komentar baca buku ‘dong’…

    Dan saya kira, menilai sesuatu “Bangsa” perlu juga referensi yang jelas. Bahkan juga membutuhkan “pengalaman perjalanan” (to travel around) yang panjang, bukan sehari dua hari. Seperti ceritanya Abunawas…

    Salaaam…

  27. @Iwan Asnawi..
    Maaf…kalo salah…karena seperti saya sebutkan diatas –saya pernah membaca–, sumbernya saya lupa. esensinya justru di baris terakhir. terimakasih untuk koreksinya.

  28. hm, dengan hormat nih, suwer, saya ingin mengomentari ngomongannya resti dan iwan asnawi from suisse…
    bagi saya, postingnya resti mengandung konten (atau tepatnya substansi kali yah) yang sangat menyentuh : “Kemudian Tuhan tersenyum ketika dia sedang menciptakan sebuah negara di kawasan khatulistiwa, dengan hutan yang hijau, tanah yang subur, laut yang ikannya banyak, bahan tambangnya berlimpah, cuacanya hangat sehingga pertanian bisa menghasilkan sepanjang tahun, bangsanya ramah pula….
    Malaikat kemudian bertanya, “wahai Tuhanku, mengapa kau ciptakan semua kelebihan di negara ini? dimanakah letak keseimbangannya?”
    Tuhan Menjawab, “Tunggulah, sampai Aku menciptakan orang2 bodoh yang akan kutempatkan sebagai pemimpin negara ini”

    menjadi nggak relevan ketika orang suisse itu malah mempersoalkan detail yang nggak substansial.

  29. Pak YIM numpang lewat yaa ? ngopi baaeeng bentarr…

    Hai Resti, Ded, Iwan anak Swiss, asyik neeh cakapannya, substansi bangeet..
    dah belajar agama dan filosofi bloonn…????

    tuuhh yang BODOH BODOH adalah orang yang bikin anekdot ituuuu, kok Tuhan di anekdotin… mikir lou yeee !!!!

    sory Pak YIM gabung ama “mak-emak”

  30. @Hai, ded… Saya mengerti latar belakang pembuatan sebuah “anekdot”, dan mengapa sebuah atau lebih anekdot haruslah ada dalam penulisan panjang. Karena pada penulisan pendek, anekdot tidaklah diperlukan. Karena kan anekdot mestinya “menarik”, dan kadang boleh juga “lucu”… Dengan demikian, tulisan panjang akan mempunyai “nyawa” atau “ruh”, juga biasanya diperlukan sebagai penyambung dalam tulisan… Dan tentu sebuah tulisan akan menjadi “hidup”, dengan mempergunakan anekdot secara tepat… Ini teori penulisan bung!…

    Sanggahan Anda menjadi tidak relevan… Kalau menganggap saya orang Suisse (S, mesti huruf besar karena menunjukkan Bangsa, anda salah disini…he…he…). Justru, dengan saya menunjukkan “kesalahan anda” dan atau Resti yang sudah diakuinya itu, itulah kecintaan saya terhadap bangsa saya Indonesia ( anda salah lagi, karena saya orang Indonesia yang bermukim di Swiss. Dan saya bukan orang Swiss…he…he…).

    Substansinya? Bagi saya, memang tidak ada! Itukan, bukan anekdot… Latar belakangnya apa? Lucunya apa? Dan memang bagi saya, itu tidak menarik!…he…he…

    Nah, kemudian saya kira, saya sepakat pada tambahan si H1RO… Kok, Tuhan dianekdotin (kalau anda mau ngotot, itu adalah anekdot)? Gus Dur, kawan saya itu saja, he…he… (mudah-mudahan dia mau saya anggap kawan) tak mau dianekdotin, apalagi Tuhan? MasyaAllah?…

    Salaaammm…

  31. @Tambahan untuk ded, kumpulan anekdot yang cukup menarik misalnya pada, “Mati Ketawa ala Rusia” (alih bahasa, pertengahan 80-an di Indonesia). Latar belakang, kejatuhan Partai Komunis di Rusia…
    Atau kumpulan Don Quisot. Latar belakang, Pahlawan “Kesiangan”… (edisi Inggris, biasanya buku pegangan mahasiswa Sastra Inggris, dulu. Mungkin kurikulumnya berubah saya tidak tau)…
    Ada juga, buku anekdot untuk anak-anak… “Marx und Morris”, edisi Jerman. Buku tentang betapa “jahilnya” mereka… Di beberapa wilayah Negara di Erofa yang berbahasa Jerman, (Jerman, Austria, sebagian Swiss), “Marx dan Morris”, dijadikan “roti kering” (cake). Untuk makanan anak-anak, supaya mereka tidak nakal (jahil) seperti mereka.

    @Dalam tulisan YIM, misalnya… Waktu Bapaknya Bang YIM memimpin do’a minta hujan yang diikuti oleh semua umat, yang berbeda Agama (baca: KKMK). Ini juga sebenarnya salah satu contoh anekdot yang menarik, dan punya latar belakang yang sangat kuat…
    Dan pengikat alur ceritanya pas… Disitulah kekuatan anekdot bung!

  32. YIM….kembali saya akan ungkapkan apa yang saya rasakan sekarang ini, saya miris ngebayangin saudara2 kita yang jauh dipelosok pedesaaan sana pada pake lauk apa sekarang ya… karena di Jakarta ini saja setiap pagi saya selalu liat pemandangan bapak2 bersepeda dengan kerupuk penuh di sepeda bagian belakangnya…krupuk2 tersebut dengan warna warni yang mencolok (gak tau pake pewarna apa)….ini Jakarta….. Bagaimana dng daerah2 sono ya…mungkin sebentar lagi akan lebih banyak lagi berita anak2 dan balita2 dan orang2 yang kurang gizi atau gizi buruk untuk yang kesekian kalinya na’udzubillah ya Allah…menurut anda apa yang harus kita lakukan…..berdoa saja ????? mendoakan siapa menurut anda…..orang2 dipelosok-pelosok sana…atau penguasa kita…atau siapa ya YIM…..Saya mohon maaf bila apa yang saya rasakan mungkin bagi sebagian orang terasa mengada-ada dan mungkin terlalu dibesar-besarkan, tapi sungguh saya miris….

  33. Rinie S Y numpang kenal yaa ??? namamu mirip nama orang dirumahku deehh ?? hehe….

    Bahasamu syahdu, humanistis walau agak sedikit melankolis tapi cukup filosofis…..

    Rin… benar juga katamu “…menurut anda apa yang harus kita lakukan…..berdoa saja ????? mendoakan siapa menurut anda…..orang2 dipelosok-pelosok sana…atau penguasa kita…atau siapa ya YIM…..”

    Rin… kalau aku sih menjawabnya “ora et la bora” aja dulu… aku akan berusaha selalu memperhatikan negaraku dengan segala kisah pilu dan cerianya….

    Jika aku diberi waktu dan kesempatan oleh Allah SWT ntuk mengabdi bagi negeriku aku akan berusaha semaksimal mungkin memberikan segala tenaga, pikiran dan waktuku buat dimana aku mengabdi, jika di lingkungan RT yaa aku akan mengabdi sebaik mungkin di RT tsb, cuma aku akan selalu tidak mau terbawa arus juga tidak mau melawan arus, aku harus mampu meniti arus, aku akan mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu adalah salah, walau jabatan ketua RT-ku jadi taruhannya.
    Trus aku akan berusaha untuk tidak kena penyakit “Peng-AKU-an diri” inilah aku, inilah yang aku lakukan, merendahkan orang lain, dsb. Aku hanya berprinsip, jika ada yang baik dan berguna bagi orang lain dari usaha yang aku lakukan itu biarlah cukup dirasakan oleh orang lain itu, aku tak akan meminta uluran asa terima kasihnya apalagi balas budi, namun jika ada kesalahan/kelalaian/kekhilafan yang aku lakukan maka diawal dan diakhir mengabdi aku akan meminta kritisilah aku/marahilah aku/cercalah aku/makilah aku…. dengan itu akan semakin tahu siapa aku.

    Trus… mengenai kawan kawanku di desa ini yang hatimu ter-miris-i memandanginya apakah mereka makan atau tidak… aku hanya bisa menarik nafas panjang ntuk berbagi cerita dengan kamu, aku tanya ama kamu, kamu sendiri sekarang apakah sering melihat, merasakan, dan ikut berbaur dengan irama kehidupan kawan kawanku yang kamu bilang entah makan apa mereka hari ini ?

    Rin… aku mau mebahas ini dengan kamu kapan kapan, tapi berhubung hari dah semakin tinggi, aku mau nyangkul kesawah, hari ini aku berusaha berbuat yang terbaik bagi tanaman di sawahku, semoga jika berbuah dapat dituai dan dimasak oleh kawan kawan se-ndeso ku,
    jadi itu dulu obrolan kita siang ini di warung kopi YIM ini yaaa ??

    terima kasih, salam.

  34. Persoalan kedelai tak pernah lepas dari urusan pertanian. Urusan pertanian ngak pernah lepas dari urusan politik. Sepertinya ngak pernah ada kemauan politik untuk membenahi berbagai persoalan yang berkaitan dengan kebijakan pertanian dan kelautan. Contoh saja untuk urusan kelautan sebenernya khan punya anggaran yang boleh dibilang tidak terlalu kecil, kemana larinya itu dana yang ada,,,banyaknya malah ditilep ama orang-orang khan. Makanya daku kaget banget waktu dana kelautan begitu mudahnya digunakan untuk yang bukan urusan kelautan, nelayan menjadi korban. Saya tidak tahu apa dana pertanian juga sebenernya punya nasib yang sama dengan dana kelautan?

    Pertanian dan perikanan, peternakan bisa jadi merupakan konspirasi global negara2 maju, untuk membiarkan negara seperti Indonesia tak mampu memecahkan persoalan yang berkaitan dengan pertanian, perikanan, dan peternakan. Lantas para birokrat kita menjadi sangat bodoh untuk mengurusinya. Dan petani menjadi sasaran empuk ketidak berhasilan pembangunan pertanian, demikian juga dengan peternak dan nelayan. Makanya jarang banget mereka memikirkan nasib para pegang cangkul, pemegang jaring dan pemedang cemeti. Anggapan pertanian, perikanan, dan peternakan tak menguntungkan terus berlanjut sekedar memberikan subsidi sedikit saja tak berani.

    Subsidi, menurut hemat saya tak pernah membuat petani,peternak dan nelayan menjadi malas mereka bukan tipe manusia malas. Mereka jenis manusia pekerja keras.

    Sekedar mendapatkan pupuk atau bibit bahkan lahan pertanian saja sekarang ini susah banget. Pupuk dan bibit menjadi sulit dan mahal untuk dinikmati para petani, gimana produk pertanian kita bisa bersaing dengan produk import. Dalam kondisi seperti ini malah ada orang yang main-main dengan pupuk dan bibit, tobat.

    Mengapa kita tidak pernah mau mecoba sekedar memberikan kemudahan bagi mereka untuk mendapatkan katakan saja pupuk dan bibit.

    dah dulu …

    salam buat semua,
    yang lagi belajar nulis

  35. Ada ngak yah investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor ini?

  36. sekitar 2 tahun lalu, seorang teman yang mendapat kesempatan untuk mengikuti sebuah workshop di Thailand berhasil memotret kapal-kapan yang bersandar di pelabuhan negeri itu setelah menjarah ikan-ikan di perairan Indonesia. Kapal-kapal itu berbendera Indonesia dan pada lambungya ditulisi kalimat-kalimat dalam bahasa daerah di Indonesia. (ingat tulisan-tulisan di truk di daerah-daerah Jawa antara lain “Gajah Oling”, “Doa Ibu”, atau di daerah Sumatera seperti “Bujang Lapuk”). Seolah kapal-kapal Thailand itu miliki nelayan Indonesia, padahal mereka mengeruk kekayaan laut di Nusantara untuk dibawa pulang ke Thailand. Mereka mencuri.

    Di Indonesia, Nelayan kita meminta supaya ada subsidi untuk nelayan karena untuk mengoperasikan kapal motor penangkap ikan biayanya terlalu berat untuk mereka. Permintaan subsidi itu ditolak pemerintah. Saya lupa persisnya kapan berita itu saya dapati dari sebuah media, yang jelas tahun lalu, Jusuf Kalla mendatangi Thailand dan meminta (tentu saja melalu pemerintah sana) supaya nelayan Thailand mau ikut mengeksplorasi kekayaan laut Indonesia. Luar biasa pemikiran Pemimpin kita saat ini, lebih senang menyejahterakan nelayan negeri tetangga daripada menyejahterakan rakyatnya sendiri.

    Bukan saja soal pertanian dan Kelautan, semua lini kehidupan bangsa ini justru sepertinya mau diserahkan kepada orang asing ketimbang memberdayakan bangsa sendiri untuk mengurusnya. Pemimpin macam apakah yang layak kita jadikan teladan kalau seperi ini.

    Sesungguhnya saya sering merasa lelah membicarakan kondisi semacam ini. Syukurlah ada Anda semua, dan Pak Yusril juga, yang masih mau mendiskusikannya.

  37. Ass.Yth.Bang Yusril
    Bang, saya ingin menyampaikan Sedikit Komentar Mengenai Kedelai dan Kebijakan Pertanian.
    Bang YIM, kekuatiran bang YIM mengenai krisis kedelai patut diberikan apresiasi tersendiri..terutama sebagai bentuk keresahan sosial sebagai warga negara, intelektual, dan pengamat. Masalah instabilitas harga kedelai sebenarnya tidak harus ceritanya seperti hari ini kalau pemerintahan BERSAMA KAMI BISA….sedikit saja melek informasi dan melek reaksi. Ketika ribuan pengusaha tahu tempe bereaksi dan mengempung istana, baru ada reaksi dari pemerintah. Pemerintah kita sewajarnya terlebih dahulu menjawab beberapa pertanyaan sebelum menyikapi fenomena kenaikkan harga kedelai dan harga sejumlah bahan makanan kebutuhan pokok dan industri yang lain (terigu, minyak goreng, gula pasir, etc). Pertanyaannya: (1) kenapa petani tidak mau menanam kedelai? (2) kenapa Polri menemukan ribuan ton kedelai yang ditimbun? (3) kenapa importir berteriak minta diturunkan pajak impor dan pengalihan beban PPN-nya ke pemerintah? (4) kenapa harga impor (fob) naik?(5) kenapa harga kedelai tidak stabil, (6) kenapa distribusi tersendat?Biang kerok semuanya itu karena minimnya perencanaan yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi persoalan jangka panjang kerawanan sejumlah kebutuhan pokok.Insentif fiskal yang ditempuh pemerintah tidak lebih hanya sebagai pemadam kebakaran, padahal pemerintah menghadapi tekanan meningkatnya defisit APBN 2008. Telatnya up date data-data produksi pertanian serta perkembangan konsumsinya menyebabkan kalkulasi stok dan produksi kedelai kacau balau. Tidak sempurnanya informasi ini dimanfaatkan distributor pada semua rantai distribusi untuk mendulang profit melalui beragam spekulasi……….hingga jadinya seperti sekarang.Langkah pengamanan APBN yang dilakukan pemerintah pada satu sisi hanya patut dipuji sebagai langkah penyelamatan dini, tetapi pasti persoalan utamanya belum tersentuh. Masalah ini akan terus berulang di tahun-tahun mendatang.YANG MENGHERANKAN…KENAPA PEMERINTAH TIDAK MAU MENDIRIKAN BUMN YANG KHUSUS MENGELOLA PRODUK HULU PERTANIAN STRATEGIS……….BEGITU JUGA DENGAN PENGELOLAAN PRODUK HILIRNYA. Mau melimpah produksi atau tidak tampaknya sama saja, kalau pemerintah tidak terlibat di kedua sisi tersebut (hulu dan hilir). Produksi hulu pertanian TURUN…harga naik (contoh kasus kedelai), akan tetapi produk hulu NAIK…..tetap saja harga produk hilirnya naik (CPO dan minyak goreng). Kenapa kita harus mengekspor CPO ke Belanda, apakah negara ini tidak memiliki kemampuan mengolah CPO menjadi minyak goreng serta beragam produk turunnya yang lain?saya kira tidak.Mengherankan memang kalau Presidennya saja DOKTOR PERTANIAN…..kok bisa-bisanya tidak optimal memperhatikan Sektor pertanian?

  38. Aslm,,
    Ini kali pertama saya komen ke blog pak Yuzril..
    Salam kenal..

    Klo menurut saya,, kebijakan jangka pendek pemerintahan yang tlah lalu yang membuat kita susah gini..
    Ibarat kata,, Pemerintahan sekarang ditinggali berjuta masalah yang harus segera diselesaikan..

  39. salam bung yusril,

    menanggapi tulisan tersebut ada beberapa opini yang bisa saya sampaikan,

    pertama, lemahnya pola pikir bangsa (rakyat), ini tak lebih karena sistematisasi yang ada tidak berhasil dicerna dan menjadi sistem yang patut dikagumi dan menjadi inspirasi setiap elemennya. tengok negara-negara maju lainnya, kenapa kita terkagum, pastinya secara obyektif memang sistem tersebut mengagumkan.

    PTN menjadi BHMN, lalu terpeleset menjadi swasta. efeknya, selamat datang para generasi (mahasiswa) kapital… apa yang bisa kita perbuat jikalau ada 2-3 bahkan lebih generasi yang bertahan demi kapital, dimana setiap generasi jika mensimulasikan sebagai umat muhammad (maximal usia sekitar 60 tahun), maka selamatlah 60 tahun kedepan indonesia dipenuhi dengan hal tersebut.

    kedua, otonomi atau bahkan federasi, mungkin saya tak sepandai bung yusril dalam hal tatanegara, bagaimana mewujudkannya saya serahkan pada ahlinya.
    otonomi, pemecahan kelembagaan menjadi lebih kecil yang saya maksudkan dilakukan bukan hanya kepada lembaga negara, tetapi juga kepada lembaga mikro-nya, seperti bulog, semua departemen.
    tapi saya terkadang terfikir apakah bentuk negara akan berubah karena hal ini? entahlah…

    mungkin ini yang sedikit menggelitik saya… terimakasih bila ditanggapi lagi…

    salamualaikum,

    Apa yang ada sekarang adalah upaya kita bersama untuk memperbaiki keadaan. Saya berpendirian bahwa tugas kita sebagai generasi penerus ialah meneruskan apa yang baik yang telah disumbangkan oleh generasi terdahulu, dan memperbaiki apa yang salah dan keliru. Tentu kita harus menemukan terobosan-terobosan baru terhadap hal-hal yang mungkin belum terpikirkan oleh generasi sebelumnya. Segala sesuatunya tentu harus menimbang-nimbang tantangan, peluang dan momentum yang ada. (YIM)

  40. Assalamualaikum, Wr, Wb. Bang, mungkin saya baru pertama kali ikut bergabung dalam blog abang. Apalagi saat ini yang abang lontarkan masalah pangan. Pak Harto memang sudah tiada, namun kita harus mengkaji kembali apa-apa yang menjadi kebijakan beliau sewaktu menjabat. terlepas kesalahan-kesalahan yang beliau buat, harus kita akui pada era tahun 1980 an, Indonesia sempat mengalami kejayaan khususnya swasembada pangan. berbagai kebijakan yang menyangkut swasembada pangan menjadi prioritas program pembangunan Nasional Pak Harto. kalau kita tilik kembali, mengapa swasembada Pangan Indonesia begitu kuat, dikarenakan pak Harto memancangkan tiang-tiang terhadap pembangunan yang khususnya memihak kepada kebutuhan rakyat. Pangan menjadi program utama, sehingga sewaktu orde baru mulai melaksanakan tugasnya, hal yang pertama dibentuk adalah kelembagaan Pangan yaitu BULOG. namun pada proses perjalanannya di era tahun 1990 an, mulailah BULOG dijadikan lembaga penopang dana baik pribadi maupun lembaga politik. Sehingga pada tahun 2003 Bulog dilepaskan statusnya dari Lembaga non Pemerintah menjadi Perusahaan BUMN berupa PERUM. komoditas-komoditas yang selama ini ditanggani oleh Bulog yaitu sembilan bahan pokok, mulai di lepas. sehingga Perum BULOG saat ini hanya menanggani Beras raskin.
    Ketika sembilan bahan pokok dilepas kepasar bebas, maka disitulah dimulainya kehancuran terhadap sistem pangan Nasional. Rakyat mulai dicekik dengan mahalnya harga pangan. Pasar memberlakukan harga yang diluar batas kemampuan rakyat. Pengusaha Sembako semakin kaya. harga kedele semakin tinggi dikarenakan dari awal Indonesia dikondisikan oleh asing untuk tergantung kepada import kedele. Pada saat itu era 1990 an, pembelian kedele masih disubsidi oleh pemerintah melalui BULOG sebagai lembaga ketahanan pangan. namun setelah Bulog berubah menjadi PERUM otomatis subsidi tidak ada lagi.
    Dari situlah kita mulai merefleksikan diri sebagai anak bangsa, apakah semua kebijakan Pak harto dengan Orde barunya dan repelitanya salah. kita perlu mengambil hal-hal yang baik dari sistem pemerintahan Pak Harto. melalui blog abang ini, saya hanya mengusulkan agar lembaga-lembaga ketahanan Pangan dapat di efektifkan lagi. kita tahu bahwa apa yang menjadi kata pepatah “Dimana ada gula, pasti disitu ada semut”, dengan pembentukan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai pengambil kebijakan masalah pangan, maka insya Allah stabilisasi harga dan kemampuan rakyat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dapat terealisasi. Tentu lembaga ini harus dikontrol dan diawasi dengan aturan-aturan yang ketat, sehingga tidak ada lagi kasus Bulog Gate ataupun wijarnako-wijarnako yang lain.
    Siapapun nantinya yang menjadi Presiden, apabila ingin berhasil dalam pemerintahannya, hanya satu kata kunci yang harus menjadi perhatian yaitu bagaimana mengatasi ketersediaan pangan yang terjangkau oleh rakyat dan memprioritaskan sektor pertanian menjadi program pembangunan utama.
    Akhirul kata, dengan keterbatasan yang ada, saya mohon dapat diberikan masukan yabg lebih luas lagi mengenai pandangan saya. Assalamualaikum, Wr. Wb.

    Saya sependapat bahwa apa yang telah disumbangkan oleh Pemerintah terdahulu, dari siapapun termasuk oleh Pak Harto, kalau memang baik dan bermanfaat, haruslah diteruskan, sambil memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Kita tidak boleh merombak apa yang ada secara total, sementara konsep penggantinya masih belum teruji. Negara tidak boleh dijadikan kelinci percobaan, kalau ternyata akan berakibat fatal. Saya sependapat bahwa komponen bangsa yang perlu diperkuat haruslah bertolak dari pertanian dan kelautan. (YIM)

  41. @Bustanus:

    Mau ngelamar kerja, Pak? :) Atau mau pamer kehebatan/gelar/kenalan?

    Pernah mendengar istilah “comment spamming” dan “Surat berantai”, Pak?

    Membaca tulisan Anda hingga titik koma, merupakan 15 menit tersia-siakan yang tidak akan kembali lagi dalam hidup saya.

    (Mohon Maaf jika agak terlalu keras)

  42. […] subsidi pertanian telah saya jelaskan di dalam tulisan saya mengenai Kedelai. Suatu hal yang tak kalah pentingnya ialah mendudukkan kembali soal otonomi daerah dalam kaitannya […]

  43. Salam Kenal dari saya Bung Yusril

    Permasalahan pertanian kita memang saat ini sedang kacau. mulai dari komoditas padi,jagung,kedelai dll, juga masalah sarana dan pendukung dlm kita berbudidaya sudah kacau.
    padi……… Bulog dan sub bulog membeli gabah petani yang jauh dari harga standart yg ditetapkan
    permainan dlm lingkup bulog ,
    pemerintah tidak tegas dlm hal ini titik.

  44. Bayangkhan saja sekedar membicarakhan satu topik seperti “tempe” kita sepertinya buang energi dengan berlembar-lembar halaman. Dalam tataran diskusi seperti ini sepertinya tak pernah selesai. Semnetara itu akar permaslahan tidak akan pernah bisa diselesaikhan dengan hanya berdebat. Coba kita tengok dalam tataran praktis keseharian di alam para petani atau para nelayan, perbaikan apa yang bisa mereka dapatkhan. Petani diaerah tempat saya tinggal betapa sulitnya mereka mendapatkhan pupuk yang dikehendaki. Infrastrukutr yang mendukung ketersedian kebutuhan akan pupuk sangat lemah.

    Yang bisa saya lihat adalah tidak adanya “kebijakan” yang berpihak kepada para petani. Kalaulah subsidi menjadi sebuah biang kerok dan dituding menjadi penyebab kemalasan. Dinegara manapun didunia ini “subsidi” selalu ada, proteksi terhadap hasil produk pertanian dijalankan.

    Sementara itu sejak jatuhnya HM.Suharto(alm) lembaga seperti bulog dibabat habis. Disikat karena dianggap sebagai biangnya kebocoran anggaran negara. Akibatnya, tidak ada lagi ketahanan pangan dinegara yang konon memiliki tanah yang subur negeri yang agraris.

    Dari lembaran2 halaman di blognya Professor ini saya malah ingin bertanya dalam tataran praktis, apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari persoalan kedelai dan persoalan umum lainnya yang berkaitan dengan pertanian dan kelautan?

    Adakah keberanian dari pihak pemerintah untuk benar2 memperhatikan urusan pertanian dan kelautan?

    Saya sendiri tak tergolong ahli di bidang pertanian dan kelautan, walau saya sangat menaruh perhatian terhadap soal itu.Selama saya aktif di pemerintahan, masalah yang saya tangani terpfokus ke bidang politik dan hukum. Kalau saya jadi Presiden, tentu saya tak hanya ingin berteori tentang masalah ini. Kebijakan harus dirumuskan dan diputuskan, kemudian dilaksanakan dalam kenataan. (YIM)

  45. @Yth, YIM

    @Pada komentar, 35 Mbak Isrona…
    Pertanyaan anda, ada enggak sih investor untuk menanamkan modalnya disini?
    Setau saya dulu, zaman Soeharto, ada JICA (Japan International Corporation Agancy). Yang menggarap project besar2an, sampai sekarang di Muara Enim (Sumatera Selatan). Project pertambangan, eksplorasi Batu Bara, dan pembangkit listrik tenaga Uap. Dan pada hubungannya dengan project pertanian di hulu Ogan Komering Ulu tepatnya di Belitang, project Transmigrasi. Yang juga anda bisa lihat sampai sekarang disana (Belitang, OKU), ada lahan pertanian yang sangat luas. Luar biasa luasnya, Project Bendungan dan Irigasi untuk lahan Pertanian…
    Bahkan, pada rencana pembuatan Jembatan Penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatra. Lewat Pelabuhan Bakauheuni (P. Sumatera) ke Pelabuhan Merak (di P. Jawa)…

    Project ini, mendapat tentangan dari Negara Investornya sendiri, yaitu Jepang. Lembaga penentang itu adalah JATAN (Japan Tropical action Nettwork).
    Karena, menurut mereka (JATAN), project ini tak lebih dari sekedar pembuat penyengsaraan baru bagi rakzat. Memang, kita tau akhirnya, hutan di wilayah itu (Sum Sel) habis tinggal kenangan. Dan yang menikmati hanya segelintis orang saja, yang tinggal di Hulu. Sedang rakyat di belakangnya (di hilir aliran sungai) menderita. Derita itu, misalnya, kalau musim hujan air belimpah dan banjir. Menggenangi semua tanah, dan lahan pertanian. Kalau musim kemarau, rakyat kekurangan air. Karena air, bisa dibuka dan ditutup seenaknya di hulu…Demi kebutuhan oran di Hulu Sungai Komering.

    Project ini Multi National Agancy, kalau dulu tabu diungkap, namanya juga project Keluarga (Friend and Clan) he…he… Kalau sekarang saya tidak tau?
    Sudah Demokrasi barangkali ya?
    Tapi, saya masih korespondens dengan seorang Professor dari Jepang (JATAN)…

    @YIM, mungkin anda lebih tau?
    Maaf kalau kepanjangan…

    Salaam hormat…

  46. novel damopolii

    ass wr wb

    Pak Yusril, mohon pemikirannya untuk kebijakan dalam bidang perkebunan di negara kita..

    karena potensi negara kita bukan cuma pertanian, pertambangan dan kelautan tapi juga perkebunan..

    contohnya : “buah mangga gedong” (hasil panen daerah indramayu dan majalengka) di pasaran timur tengah

    (arab saudi, khususnya) mencapai $ 30 / kg, serta buah manggis di pasaran eropa mencapai $70 / kg.

    Di Arab Saudi, mangga tersebut di buat jus mangga, yang kemudian oleh orang2 indonesia yg pergi haji, di beli

    sebagai oleh2 bagi sanak keluarga.(hehe..gmn ya kalo mereka tau jusnya tuh bahan bakunya berasal dari indonesia).

    Cuma sayangnya petani kebun di negara kita belum disupport, baik dari pemerintah maupun dari pihak perbankan.

    benar kata iwan asnawi (komentar #17) ini adalah masalah “keberpihakan”.

    Jikalau Allah SWT mentakdirkan pak yusril jadi pemimpin negara kita (RI 1 atau RI 2), seberapa besar nanti

    keberpihakan pak yusril ke bidang pertanian, kelautan dan perkebunan ?

  47. @Yth, YIM…

    Maaf menyapa kawan,
    Hi, Novel apa kabar dang? Di Bolaang Mangondo sekarang, atau masih di Yogya, atau sudah ke Jakarta juga? Terima kasih atas kesepakatannya, saya titip salam sama kawan2 semua eks asrama Mahasiswa Bolaang Mongondo di Yogya dulu…

    YIM, saya juga mendukung pertanyaan Novel di atas…
    Dan memang seperti yang sudah anda ungkapkan, kesalahan pada Pemerintah yang terdahulu mestinya kita perbaiki.
    Soalnya adalah, bagaimana kita memperbaikinya? Itukan juga memerlukan Konsep yang jelas? Konsep anda, misalnya tentang Perkebunan, Pertanian, dan Kelautan?
    Mestinya, paling tidak kita disini tau juga…
    Tidak hanya sekedar membuat imbuhan belaka…
    Dan kita kan tidak harus menangisi, atau bahkan mengumpat masa lalu…

    Saya memaklumi betapa sibuknya anda saat ini, tentang pembuatan Film kolosal anda…
    Mudah2an anda selalu dalam keadaan sehat wal afiat.

    Salaam hormat…

  48. YIM:

    Saya berpendapat bahwa dampak berganda dalam pembangunan ekonomi harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Kalau petani dan nelayan sejahtera, daya beli mereka meningkat, maka mereka akan berpikir untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan rumah yang lebih modern, membeli kendaraan dan seterusnya. Tetapi kalau petani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar rakyat kita, tak mampu menjadi penggerak dampat berganda, maka pertumbuhan ekonomi kita, hanya akan menggantungkan pada investasi, belanja Pemerintah dan konsumsi masyarakat perkotaan. Padahal, Investasi belum berjalan sebagaimana kita harapkan, karena faktor-faktor non ekonomi, seperti kepastian hukum, pelayanan birokrasi yang berbelit, pungli dan situasi keamanan serta kenyamanan berusaha yang belum mendukung.

    Saya setuju bahwa kesejahteraan petani dan nelayan layak mendapatkan perhatian. Saya agak hati2 dengan sugesti YIM, dan juga pernyataan dr anda2 yg lain, yg ingin memberikan fasilitas spt kredit peralatan dll. Walaupun ini akan meringankan hidup mereka, ini menurut saya bukan akar dr persoalannya (dr kemiskinan petani dan nelayan kita).

    Sektor pertanian miskin krn sektor tsb tidak produktif; misalnya, spt YIM bilang, petani kedelai kita tidak mampu bersaing produksinya dengan industri yg sama dr amerika. Kok dibandingkannya dengan Amerika, ini apa tidak miring perbandingannya? Sama sekali tidak, krn kenyataannya di pasar domestik petani kedelai kita bersaing dengan impor dr Amerika.

    Untuk semua sektor, apa itu pertanian atau pendidikan atau jasa, berlaku kaidah yg sama. Sektor itu harus sehat dan produktif. Kalau tidak ujung2 nya sektor tsb jadi beban buat sektor lain (spt sugesti YIM untuk membiayai kredit peralatan petani lewat pengurangan subsidi BBM). Kalau cuma sedikit2 tidak apa2, tapi kalau terlalu besar subsidi thd sebuah sektor, itu artinya kita ‘bodoh’ dalam mengelola sektor tsb! Kita harus mencari tahu apakah tidak ada cara lain yg lebih pintar.

    Kembali ke petani dan nelayan, persoalannya kalau strategi pembangunan kita di sektor ini bersandar ke investasi di petani dan nelayan kecil, walaupun ini kedengarannya sangat luhur dan sosial, menurut saya ini tidak efektif. Petani/nelayan kecil tidak punya kecerdasan, kemampuan inovasi, know-how dll yg dibutuhkan untuk mengangkat sektor ini ke tingkat super produktif. Yg mampu untuk melakukan ini adalah eksploitasi sektor dengan industri! Jadi, petani besar. (implikasinya kita mesti mendukung konglomerat! ;)

    Kalau pembaca masih ingat pak Habibie… ternyata beliau benar. Satu2nya kekuatan yg mampu untuk mengangkat Indonesia dengan 200 juta rakyatnya ke kesejahteraan adalah teknologi. Mungkin bukan letterlijk dengan jualan CN235, tapi secara umum kita lebih baik memfokuskan investasi kita di modernisasi dan industrialisasi.

    Suka atau tidak, era petani kecil sebetulnya sudah lewat. Kita hanya akan memberikan janji kosong kalau kita mengatakan sebaliknya. Kita tidak bisa memberikan subsidi untuk mereka selamanya. Untuk menolong, jalan terbaik adalah dengan menyalurkan subsidi ke pendidikan, supaya pendidikan kita sebaik mungkin tapi semurah mungkin. Supaya anak2 dr para petani kecil kita bisa sekolah memadai, dan bisa mendapatkan tempatnya di era yg baru, yaitu era modernisasi.

  49. seperti yang sudah saya duga sebelumnya, blognya orang penting selalu laris, bahkan komentar didalamnya lebih ber-variasi dari pada posting sebenarnya :) mungkin, inilah contoh “pertanian” yang laris, bertanam posting dan menuai komentar :))

    salam.

    Terima kasih dan salam kembali. Saya menulis sebuah risalah untuk menjadi bahan renungan dan diskusi kita bersama. Komentarnya memang beragam, bahkan kadangkala keluar dari topik. Tapi biarkanlah. Bagi saya semua itu positif saja dalam membangun kebersamaan kita untuk mencari pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan negara kita. (YIM)

  50. novel damopolii

    ass wr wb
    pakyusril,mohon maaf tuk numpang nyapa kawan..
    pak iwan…makasih jg atas kesamaan pendapatnya..alhamdulillah ak baik2 aja,skrg lg tugas di lampung,kalau boleh mhn imel dan nmr pak iwan yg bisa novel hubungi..thanks

    pak yusril..usul,gmn kalo kta adakan temu muka utk komunitas bog inil..

    wassalamu alaikum wr wb

Leave a Reply