KEDELAI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KITA
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Ketika kita masih SD, kita selalu diajari guru kita bahwa negara kita adalah negara agraris. Alasannya, sebagian besar rakyat kita menggantungkan hidup pada pertanian. Kita diajari juga bahwa negara kita adalah negara bahari. Alasannya, sebagian besar wilayah negara kita adalah laut. Luas daratan lebih kecil dibanding luas lautnya. Hanya itu saja pelajaran yang kita terima. Kita tidak didorong untuk berpikir lebih jauh: Bagaimana kita harus meningkatkan produksi pertanian dan kelautan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya yang sejak kecil menjadi anak hutan dan anak laut, bukan hanya berteori tentang kemiskinan petani dan nelayan. Saya mempunyai pengalaman empiris hidup dalam kemiskinan, di tengah-tengah kehidupan petani dan nelayan.
Tentu tidak ada satupun pemerintah di negara kita yang tidak memperhatikan pembangunan pertanian dan kelautan. Berbagai instutusi perguruan tinggi yang mengembangkan pendidikan dan penelitian di kedua bidang ini, telah lama kita miliki. Hasilnya belum seberapa. Sebagian besar petani kita masih bertani menggunakan cara-cara tradisional, yang kini justru mengancam kelestarian alam. Perkebunan besar dibuka, namun hanya menghasilkan buruh tani, suatu bidang pekerjaan yang merupakan bagian rakyat kita yang paling miskin. Perusahaan perikanan besar didirikan, namun juga hanya menghasilkan buruh nelayan, yang juga hidup tak kalah miskin. Petani dan nelayan yang merupakan komponen terbesar bangsa kita, belum mampu kita sejahterakan. Ketidakberhasilan kita meningkatkan taraf kesejahteraan petani dan nelayan, adalah kegagalan kita meningkatkan kesejahteraan bagian terbesar rakyat kita.
Saya tidak ingin berpanjang kalam membahas masalah di atas pada kesempatan ini. Ilmu saya juga tak dalam membahas masalah itu dengan berbagai aspeknya. Saya ingin fokus pada krisis kedelai, bahan dasar utama pembuatan tahu dan tempe, yang telah menjadi makanan utama sebagian besar rakyat di negeri kita. Meskipun kedelai sangat penting, namun produksi kedelai dalam negeri, tak pernah mampu memenuhi kebutuhan. Kita harus megimpor kedelai dari luar negeri, terutama dari Amerika Serikat. Kita bukannya tidak mampu meningkatkan produksi kedelai untuk memenuhi kebutuhan. Persoalannya terletak pada harga. Ketika harga kedelai di luar negeri lebih murah, maka kecenderungan pedagang untuk mengimpor cukup besar. Untuk mengurangi impor ini, Pemerintah menerapkan biaya masuk. Karena harga menjadi seimbang, bahkan lebih murah, maka petani dalam negeri tak terdorong untuk meningkatkan produksi. Dalam keadaan seperti ini, tanpa kita sadari kita mulai tergantung pada impor.
Ketika harga kedelai di luar negeri meningkat tajam, ditambah lagi dengan biaya masuk, maka harga kedelai impor di dalam negeri langsung melonjak. Ketika itu terjadi, kita tidak mungkin menghentikan impor, karena produksi dalam negeri tak mencukupi. Bahkan harga kedelaiproduk domestik juga akan naik. Kini, Pemerintah menghapus biaya masuk untuk sementara. Namun langkah itu takkan efektif, sebab harga pembelian impor sebelum dikenakan bea masuk sudah naik hampir dua kali lipat. Harga kedelai produk dalam negeri juga sudah terlanjur naik. Perlu waktu relatif lama untuk menstabilkan harga. Harga yang wajar hanya akan tercipta kembali kalau harga kedelai impor turun atau produksi kedelai dalam negeri meningkat. Hal yang sama, sebenarnya juga terjadi pada produk pertanian yang lain, seperti jagung, lada, cengkeh, bawang putih.
Masalah utama pertanian kita, bukanlah terletak pada mampu atau tidaknya kita meningkatkan produksi, tetapi lebih kepada stabilitas harga. Negara industri besar seperti Amerika Serikat tak pernah perduli nasib negara agraris yang miskin. Ketika saya di kabinet di bawah Presiden Megawati, kita ribut terus dengan Amerika Serikat karena memaksa agar Pemerintah mengizinkan peternak dan pedagang Amerika Serikat, untuk mengekspor sayap ayam potong ke negara kita. Kita tak mau mengizinkan, karena sayap ayam tak banyak dimakan orang di negeri itu, sementara di negeri kita banyak orang mengonsumsinya karena murah. Kalau sayap ayam dijual besar-besaran di negeri kita, produksi ayam dalam negeri akan terpukul. Rakyat sudah merasa cukup makan sayap ayam murah, daripada beli dagingnya yang lebih mahal. Amerika selalu berdalih perdagangan bebas. Dari dulu saya sangat hati-hati dengan konsep perdagangan bebas itu, termasuk lamanya saya menelaah RUU Penanaman Modal, yang membuat anggota kabinet yang lain agak jengkel dengan sikap saya. Kalau penanam modal dalam negeri dan luar negeri diberi status sama dalam segala hal, dan tidak dibatasi berapa besarnya modal yang ditanam, saya katakan bisa-bisa tukang cukur atau tukang martabak dari Bangladesh memohon izin penanaman modal untuk membuka sebuah kios cukur dan kios martabak. Ini masalah besar bagi bangsa kita.
Untuk membantu petani dan nelayan kita, saya pernah melontarkan gagasan dalam sidang kabinet, agar Pemerintah memberikan subsidi pembelian produk pertanian dan perikanan, tentu dengan konsekuensi pengurangan subsidi BBM dan listrik. Harga dasar gabah dan kedelai misalnya ditetapkan bisa lebih tinggi dari harga pasaran. Dengan demikian harga akan stabil dan gairah petani untuk menanam juga besar. Bulog membeli gabah dan kedelai dengan harga yang lebih tinggi. Pemerintah melempar ke pasar dengan selisih harga setelah dikurangi subsidi. Dengan cara itu tukang ijon juga akan berhenti beroperasi memeras petani dan nelayan. Gagasan saya itu, menurut Wapres Yusuf Kalla, sulit dilaksanakan di lapangan. Saya mengerti, gagasan ini baru ditataran permukaan. Namun kita harus menelaahnya secara rinci agar dapat dilaksanakan di lapangan. Mungkin kita uji coba pada produksi padi dan kedelai lebih dahulu, untuk kita lihat hasilnya dan melakukan evaluasi.
Saya berpendapat bahwa dampak berganda dalam pembangunan ekonomi harus dimulai dari pertanian dan kelautan. Kalau petani dan nelayan sejahtera, daya beli mereka meningkat, maka mereka akan berpikir untuk memperbaiki rumah, membeli peralatan rumah yang lebih modern, membeli kendaraan dan seterusnya. Tetapi kalau petani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar rakyat kita, tak mampu menjadi penggerak dampat berganda, maka pertumbuhan ekonomi kita, hanya akan menggantungkan pada investasi, belanja Pemerintah dan konsumsi masyarakat perkotaan. Padahal, Investasi belum berjalan sebagaimana kita harapkan, karena faktor-faktor non ekonomi, seperti kepastian hukum, pelayanan birokrasi yang berbelit, pungli dan situasi keamanan serta kenyamanan berusaha yang belum mendukung.
Belanja Pemerintah banyak pula yang tertunda dan tertahan karena kekhawatiran birokrasi kalau-kalau mereka dicurigai melakukan korupsi. Memberantas korupsi memang telah menjadi tekad kita bersama dan tentu harus terus digalakkan. Namun ketakutan yang berlebihan akan digunjingkan dan diperiksa kejaksaan dan KPK karena dugaan korupsi, dapat berdampak negatif pula pada penggunaan anggaran. Para pejabat ragu-ragu mengambil keputusan karena khawatir dan takut salah. Dana APBD yang cukup besar yang tak digunakan itu disimpan di bank-bank milik Pemda. Uang itu kemudian didepositokan lagi di Bank Indonesia. BI harus membayar bunganya.
Kini masalah kedelai mencuat ke permukaan. Harganya melonjak tajam. Sementara produsen tahu dan tempe, tidak mungkin serta merta menaikkan harga jual produknya. Daya beli masyarakat makin lemah. Harga bahan makanan yang lain seperti minyak goreng dan telur juga mengalami kenaikan. Akibatnya, produsen tahu tempe bukan saja mengurangi produksi, bahkan terancam bangkrut. Kebangkrutan ini serta merta berdampak pada meningkatnya pengangguran. Tahu tempe yang selama ini dianggap sebagai produk makanan murah namun bergizi, berubah menjadi barang yang mahal. Kalau rakyat tak mampu lagi membeli tahu tempe sebagai lauk pauk sehar-hari, maka apa lagi yang akan dimakan?
Langkah sungguh-sungguh untuk membenahi ekonomi kita untuk mengangkat harkat dan martabat petani dan nelayan, sungguh merupakan pekerjaan besar, berat dan sulit. Namun kita tidak mungkin mengabaikan hal ini. Kasus melonjaknya harga kedelai, kiranya menjadi pelajaran sangat berharga untuk kita lebih bersungguh-sungguh membenahi pembangunan pertanian dan perdagangan kita.***
Wallahu’alam bissawwab
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=84
Subsidi atau tidak subsidi, adalah masalah yang kompleks memang.
Amerika sendiri, ketika mengalami depresi ekonomi 1930an justru menerapkan subsidi sebagai safety net untuk ketahanan pangan (food security) rakyatnya. Kebijakan tersebut terus menerus diperbaharui hingga sekarang. Artinya secara ironis, tempe yang dimakan rakyat indonesia itu disubsidi pemerintah amerika serikat.
Jika kemudian diputuskan akan disubsidi, patut dipertimbangkan hal-hal ini:
1. Bagaimana keluar dari subsidi (exit strategy) kelak?
ataukah kebijakan subsidi hanya merupakan eksploitasi demi popularitas politik, yang kemudian mewariskan masalah ke pemerintahan berikutnya?(ingat2lah soal subsidi minyak zaman Pak Harto)
dilemanya, harus memilih antara popularitas politik jangka pendek(kepastian pemenangan pemilu) dengan kepentingan bangsa di jangka yang lebih panjang
2.Seberapa sanggup mensubsidi?
RUU ketahanan pangan dan energi 2007 amerika serikat mengalokasikan dana sebesar hampir 300 milyar dollar untuk subsidi pertanian. Itu lebih besar dari total GDP(!) nominal Indonesia!!.
Itu baru amerika, seekor sapi di skotlandia disubsidi sebesar 12ribu pound pertahun, belum lagi negara-negara lain.
Apa iya, mensubsidi merupakan kebijakan yang masuk akal?
Kecuali jika kita memiliki kekuatan mensubsidi dengan besar yang sama, sulit untuk membuat pertanian kita menjadi kompetitif. Alternatifnya, pertanian menjadi sektor yang dikuasai oleh negara (mencontoh vietnam). Tapi ada orang bijak yang bilang, pemerintah adalah sumber masalah.
3. Seberapa adil subsidi ?
Jika petani/nelayan miskin disubsidi, maka sudah sepantasnya jika pegawai miskin, pedagang miskin, pengusaha miskin lainya juga disubsidi. Kenapa mensubsidi sektor usaha yang minim inovasi? kenapa mensubsidi sektor usaha yang kemungkinan tidak mampu mensustain keberlangsungannya dimasa depan?
Anak pedagang dan pengusaha, aspirasinya adalah menjadi sarjana, lalu berdagang dan membuat usaha, akibatnya terjadi efek multiplikasi. Anak petani dan nelayan, aspirasinya adalah menjadi sarjana, lalu menjadi pegawai, pedagang dan pengusaha. Jika begitu apa bukannya makin memberatkan subsidi di masa depan?
Jika kemudian diputuskan untuk tidak mensubsidi, harus dipertimbangkan hal-hal berikut ini:
1. Siapa yang kasi makan rakyat?
Realitanya, tanpa subsidi, petani kecil sulit bertahan.
pada jangka panjang, ketahanan pangan jadi amat sangat tergantung pada seberapa besar amerika atau negara-negara lain mensubsidi pertaniannya. Jika tiba-tiba amerika memutuskan untuk tidak mensubsidi, kita sudah tidak memiliki basis petani yang kuat.
2 Bagaimana lagi menangani pengangguran?
Ketika pertanian lokal gagal bertahan karena harga impor begitu murah, para ex-petani memilih untuk menjadi gelandangan dan pengemis ke kota, atau duduk-duduk saja menunggu hutang, bantuan pemerintah, bencana, dan hujan uang dari langit.
Eksesnya adalah menurunnya produktifitas, menurunnya GDP, dan munculnya ekonomi sampah (wasteful economy), investor tidak tertarik dengan hal-hal ini. Ekonomi secara garis besar akan tertekan.
Liberalisme ekonomi pertanian tidak dapat dilakukan sendiri oleh indonesia jika negara-negara kaya(yang mengaku) liberal tidak meliberalisasikan pertanian mereka, belum lagi tantangan kompetisi dari negara2 yang sudah sosialis dari awalnya.
Jikalaupun sudah diputuskan apa yang harus dipilih, dengan atau tanpa kondisi-kondisi idealnya, kita masih harus menghadapi unintended consequences yang merupakan inheren dari setiap kebijakan.
Ada pepatah, kemerdekaan adalah efek samping dari surplus ekonomi. Jika benar begitu, secara defacto indonesia masih belum merdeka. Benar-benar dibutuhkan pemimpin dengan inovasi besar dan pemahaman akut dibidang ekonomi, dan berani tidak populer untuk memerdekakan Indonesia.
200% setuju dengan Bonar!
Yth, YIM…
Mohon maaf lagi nih…numpang lewat. Mudah2an tidak mengganggu ketentraman anda, di Blog anda ini.
@Novel… Tinggal di Lampung, waaah saya suka kopi Lampung.
Setelah kuliah di Yogya. Saya ke Rusia, lalu ke London, dan tinggal beberapa tahun disana. Kemudiannya, diundang ke Bern (Universitaet Bern), Switzerland. Sampai dapat pekerjaan, dan jodoh disini. Istri saya, orang Swiss…he…he…
Anak saya satu, laki2. 11 tahun, alkhamdulillah kami semua sehat.
Dan Email saya adalah, iwanint@yahoo.com…
Tentang nomor telp, akan saya kasih setelah nanti kamu hubungi lewat email saya itu.
YIM, usul Novel itu bagus juga… Bagaimana kalau anda (atau kita sekalian) mengadakan, Seminar Akbar dari penghuni Blog anda ini. Saya mau datang, kendati tinggal di Swiss… Asal ada undangannya, tiket tak perlu. Karena, saya mampu bayar sendiri…he…he…
Salaaam hormat saya…
Tidak apa-apa silahkan saja. Bagus juga kalau blog ini dapat menjadi jembatan antar teman. Tentang seminar akbar para blogger, suatu idea yang bagus juga. Saya sendiri tidak tahu bagaimana mengadakannya.
Yth, YIM…
Ini hanya usul, maaf di luar tofik…
Terima kasih atas, kerendahan dan kemurahan hati anda… Apalagi dengan tambahan, anda sendiri tidak tahu bagaimana mengadakannya? Saya tersanjung juga, “mudah2an saya tidak sedang anda ayun”.
Idea saya begini, Seminar anda kan “layak jual”. Layak jual itu tentu tidak saja pada tataran material (uang), tapi dia juga diharafkan untuk memulai “koalisi”menuju RI 1 dan RI 2.
Seperti anda katakan sendiri PBB (Partai Bintang Bulan) itu kecil, jadi mestinya ada koalisi antar partai. Nah, kenapa tidak dimulai dengan seminar2 (kecil ataupun besar)… tujuannya, ya koalisi itu.
Kemudian Thema seminar, tentu anda lebih tau. Apalagi anda tinggal dan hidup di Indonesia, artinya mengerti betul perkembangan politik di Indonesia. Tapi bagi saya, thema tentang, “pemerintahan Sipil dan atau Militer” dalam kancah ketatanegaraan di Indonesia, masih sangat menarik untuk dikupas menjelang Pemilu 2009. Apalagi dikaitkan dengan keberpihakan terhadap “Petani dan “Nelayan”…
Saya kira, kalau ada kawan2 (teman2, atau rekan2, konco2) bersepakat… Thema, nilai jual (uang) menjadi tidak penting disini. Soalnya adalah pembicara seminar! Kalau pembicara hanya pada kalangan anda sendiri (PBB). Waaah, akan menjadi tidak menarik… Karena, ya hanya satu arus saja… Arusnya, ya okay Boss…he…he…
Tapi, ide saya adalah bagaimana misalnya mempertemukan anda dengan Mahfud MD, atau Sultan Hameng Kubuwono X, atau bahkan Buyung Nasution dan Arief Budiman dulu di Salatiga (saya haraf mereka mau). Terlepas dari kentalnya perbedaan pendapat antara kalian (anda dan Bang Buyung atau yang lain), paling tidak publik akan tau. Dimana sih letak perbedaan pendapat itu, termasuk misalnya orang2 dari Majalah Tempo, sekalian si Surya Paloh dari Media Indonesia.
Karena asumsi saya adalah, “mereka juga mencintai Negara ini”.
Kalau itu benar, maka mengapa tidak mau ikut berpikir mencari jalan keluar?
Salaaam hormat dari saya…
semakin lama semakin miris aja dunia indonesia… udah kacau kebijakan2nya.mungkin banyak hal yang harus dikaji ulang sebelum mengeluarkan kebijakan baru terutama yang menyangkut politik pangan kita… entah bertahan sampai kapan jika terus menerus mencari solusi masalah… dengan menghasilkan masalah lainnya.
banyak hak kita yang tertindas.. hanya dengan memandang persoalan dengan kacamata sebelah..
ass.wr wb
Pak Yusril mhn ijin tuk tanggapi komentarnya bu dyah
bu dyah..
saya sependapat dengan anda, bahwa cara berpikir pars pro toto (berpikir sebagian untuk keseluruhan)
banyak dia anut oleh sebagian besar pejabat di negara kita dalam membuat kebijakan, sehingga kebijakan
yang dihasilkan, justru hanya menimbulkan masalah baru…
namun saya , anda dan banyak orang pun menyadari, bahwa tidak ada satu solusi/kebijakan yang dapat menyelesaikan semua masalah,atau memuaskan seluruh kalangan..
jadi menurut pendapat saya pribadi (subjektif),”keberpihakan” adalah salah satu dasar pemimpin/pejabat dalam mengeluarkan dan melakukan kajian ulang kebijakan.
sehingga, baiknya kalo kita sudah jadi pejabat,atau bu dyah jadi pejabat (mungkin sekarang adalah pejabat,sori kalo salah), tinggal mikir dan nanya, “mau memihak ke siapa”
Saya sangat menyayangkan sikap Pemda Kabupaten Bireuen, yang hingga saat ini masih belum mengoperasikan pabrik susu kedelai yang telah dibangun di kawasan kantor BPP Penudada Kab. Bireuen, Prop. NAD.
Pdahal, tahun ini saja, 12.000 Ha. lahan kedelai telah dipanen, sehingga sangat memungkinan menurunnya harga jual kedelai milik petani. hal ini akan berdampak pada pendapatan dan keberlangsungan penanam kedelai oleh petani..
mohon, kepada pihak yang berkompeten dalam persoaalan ini agar segera dapat melakukan langkah-langkah stategis guna pengembangan tanaman kedelai dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Saya sependapat (YIM)
pak YIM, cuma ingin mengomentari photo anda yang di atas….
kenapa dgn photo itu???
dan kenapa dgn kostum itu?
Kalau itu adegan film, saya tetap bertanya kenapa memilih setting etnis tionghoa/ apapun (maaf bila ada yang tersinggung…)
Dan juga…Apa Indonesia bisa keluar dari perjanjian GATT yang dahulu disepakati???
Sebenarnya kebijakan pertanian Indonesia itu apa saja???
Maaf, banyak bertanya…saya tunggu balasannya…
Mahasiswa di Jogjakarta.
Salam
Permasalahan pertanian di Indonesia, selain yang sudah sangat jelas dijabarkan oleh Bang Yusril seperti kebijakan, dan efek persaingan global menurut saya juga diperparah oleh pembangunan fisik yang lebih bersifat “stimulative structural reform”. Yang mana Indonesia di era modern ini, pembangunan fisik justru lebih berpihak terhadap kemajuan industrialisasi aplikatif (sebagai andalan penggerak ekonomi nasional), justru pada saat pundi-pundi utama pendukung industrialisasi tersebut belum sepenuhnya mantap. Mulai dari penerapan teknologi yang masih lambat, sumber daya manusia yang belum berdaya saing tinggi, faktor kebijakan dan perlindungan peraturan pemerintah yang masih belajar utk membaik, hingga iklim keamanan sosial dan kestabilan ekonomi yang masih rentan oleh pengaruh dalam maupun luar negeri. Sedangkan di sisi lain, pembangunan fisik yang tendensius tersebut justru mengancam eksistensi perkembangan pertanian. Pembangunan fisik yang bersifat stimulative structural reform, mencakup jalan tol, saluran drainase pabrik, tempat pengolahan sampah, sarana berbelanja modern (hypermarket, mall), hingga perumahan kota baru.
Satu contoh kasus yang menyoroti perhatian saya adalah, demi kepentingan ekonomi dan industri, digulirkan wacana Tol 1000 km Trans-Jawa (Anyer hingga Banyuwangi). Siapa berkepentingan dan siapa menuai keuntungan di sini? Jika melihat dari efeknya terhadap petani. Saya justru pesimis. Khawatir akan transformasi struktural semakin menjadi-jadi di Pulau Jawa. Belumkah disadari bahwa pembangunan tol Cikampek sudah mengorbankan lahan pertanian di karawang? fakta tercatat sejak tahun 1962 hingga 1991 Karawang adalah produsen beras terbesar di Indonesia. Berdasarkan data BPS, 20% produksi nasional adalah berasal dari Karawang. Akan tetapi ditahun yang sama, semenjak tol cikampek dibangun, industri berkembang di sepanjang jalur strategis tol tersebut. Migrasi tenaga kerja industri dari daerah lain berdatangan dan membuat permukiman baru, sementara penduduk setempat mulai berurbanisasi menjadi masyarakat industri. Lahan sawah berkurang 139 Ha setiap tahun sejak 1991-kini, produksi gabah kering berkurang 450.360 ton hampir setiap tahun. Belakangan bahkan fenomena seperti ini mulai merambah ke Purwakarta, Subang, Bekasi dan bahkan Tasikmalaya. Tol versus petani. Karena tol sangat stimulan terhadap transformasi struktural dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri).
Bayangkan jika kemudian tol 1000 km jadi terbangun. Jalan tol tersebut melalui hampir 12 titik strategis pertanian di Jawa Barat (padahal Jawa Barat merupakan produsen pertanian terbesar di Indonesia). Adalah Indramayu, Sukabumi, Cirebon, Subang, Probolinggo, Pemalang, Pekalongan, Kudus, Pati hingga Grobogan akan mengalami fenomena yang sama dengan karawang. Kurang lebih sekitar 600 Ha lahan pertanian irigasi teknis terkonversi (belum lagi multiplier efeknya berupa pertumbuhan permukiman pekerja industri dan pusat perbelanjaan yang mungkin akan mengkonversi lahan tani lebih besar lagi). Siapa lantas yang akan mendukung produksi pertanian Jawa Barat?
Alih-alih berdebat, saya justru hendak meningatkan, laju pertumbuhan penduduk tahun 2005-2010 indonesia akan mencapai 1,3% yang mana penduduk Indonesia akan bertambah mencapai 243 juta jiwa. Yang berarti (asumsi beras dikonsumsi 139 kg pertahun) maka dibutuhkan beras sebanyak 33,78 juta ton. dan kebutuhan pangan (beras) pada tahun 2030 bahkan akan lebih ekstrim mencapai 59 juta ton. Jumlah beras yang sangat tinggi dan perlu dukungan dari produksi nasional.
Pemerintah berdalih bahwa pertanian akan ditukar untuk dikembangkan di daerah lain. Namun dimana? sudah banyak diketahui adalah Pulau Jawa sebagai lahan tani paling subur. Bahkan tingkat kesuburannya 1 berbanding 9 dengan di pulau-pulau lain di Indonesia. Jika di Pulau Jawa saja lahan tani terus terkonversi secara akumulatif sebesar 1.002.055 Ha atau 61%, bagaimana nasib masa depan produksi pertanian kita? siapa yang dapat memenuhi kebutuhan pangan anak cucu kita?
Mari sama-sama membina dan mengingatkan. Bang Yusril, apabila kemudian menjadi presiden (alhamdulilah dan amin…saya justru sangat mendoakan), hendaklah menerbitkan kebijakan-kebijakan yang pro poor. Melindungi kaum tani, ditengah upaya menggenjot perekonomian melalui industri. Banyak cara, mulai dari pengembangan agro-industri, kebijakan daerah strategis nasional, hingga peraturan-peraturan lainnya yang saya yakin abang lebih mumpuni soal ini. Yang terpenting adalah, lindungi petani kita dengan pembangunan yang lebih adil bagi mereka, atau jikalaupun pembangunan modern dan industrialisasi tidak dapat terelakan, mohon sekiranya petani-petani kita dapat dilindungi eksistensinya melalui peran peraturan dan kebijakan. Karena melindungi petani, berarti kita melindungi perut anak cucu kita di masa yang akan datang.
Salam Hormat,
Chrisna Permana
Pengamat Ekonomi Regional – Urban Regional Development Institute
Oiya, satu lagi untuk Bang YIM, ca-presiden andalan kita (ehehe…),
Kalau saya tidak salah, masalah harga kedelai kita (cukup besar juga pengaruhnya) dimainkan oleh para importir yang nakal. Konon importir kedelai kita sedikit jumlahnya, sehingga terbuka kemungkinan untuk bermain sepakbola “kartel”. Penimbunan merupakan salah satu bentuk politik importir yang bisa menggoyang kestabilan harga kedelai. Nah berarti di sini ada kebocoran peraturan pemerintah, yang harus dievaluasi di masa yang akan datang, bagaimana untuk kita mengurangi kemungkinan bertumbuhnya kartel.
Informasi tambahan, bahwa kartel kedelai akhirnya berdampak juga terhadap harga tahu tempe. Saya jg smpat berdiskusi dengan Bapak Dickdick Suhada, salah satu pejabat asisten deputi di Kementerian Negara Koperasi dan UKM, usai beliau menghadiri rapat kabinet terbatas mengenai kedelai dengan Pak Fahmi Idris, Bu Marie Elka, dan Pak Boediono beserta jajaran kedeputiannya. bahwa menurut beliau, proses alur distribusi kedelai juga menjadi kunci sulitnya mengontrol harga kedelai. Urutan prosesnya adalah dari importir ke distributir kemudian diteruskan ke Koperasi Kedelai untuk selanjutnya di distribusikan langsung ke pengusaha tahu tempe. Pada setiap titiknya, masing-masing meminta persen kenaikan harga, akibatnya begitu sampai di titik terakhir harga kedelai menjadi mahal… Jadilah pengusaha tahu tempe mau tak mau menaikkan harga krn biaya produksinya yang mahal. Benar-benar negara yang sangat rumit prosedural.
Terima Kasih,
Salam …
Negara kita negara KAYA…
Sangking kayanya lupa mengelola kekayaannya itu, contoh untuk jadi PNS harga SK-nya bisa jual lahan pertanianya.
Sementara kita makan beli bahan dari luar negri….. Gaya khan ?? orang Indonesia Kaya..
sekarang pertanyaanya KENAPA KITA KAYA?????????
Tapi KAYA kok sering dibantu kiriman bahan pangan dari LUAR NEGRI…
KATANYA SUBUR KOK GAK BISA KIRIM PANGAN KELUAR NEGRI..
AYOOOOOO….BAHU MEMBAHU KITA TANAM, KITA PERBAIKI, KITA MAWAS DIRI… MULAI DARI MANA YA??????
SEKIAN …….
bang kebetulan saya sedikit ngerti di akar rumput tentang Pertanian ini…(kebetulan saya salah seorang Dosen di Politeknik Negeri di Lampung yang dulu namanya Politeknik Pertanian negeri … di lampung ini, tapi semakin hari dengan nama pertanian ini…mahasiswa sulit terjaring al: rupanya calon mhs tidak tertarik lagi masuk pertanian; lebih banyak tertarik komputer, ekonomi, akuntasi, teknik…; oleh karena itu Nama Politeknik Pertanian pun di UBAH jadi POLITEKNIK THO….TANPA PERTANIAN , karena untuk menjaring lebih banyak lagi mahsiswa. DAN ALHAMDULILLAH MAHASISWA PUN EMANG MEMBLUDAK TERUTAMA TEKNIK KOMPUTER/mANAJEMEN INFORMATIKA, DAN AKUNTANSI MENJADI PILIHAN PAVOURIT.
dAN.. BELAKANG kETIKA kABINET SBY JILID 1 (ABANG JUGA TERMASUK SALAH SATU MENTERINYA SEPERTI KITA TAHU BERSAMA) DAN ADA pROGRAM mENGANGKAT KEMBALI PENYULUH-PENYULUH PERTANIAN…HASILNYA mhs yang memilih Pertanian pun relatif banyak terlebih-lebih DI dAERAH kAMI lAMPUNG( TELAH 4 TAHUN BELAKANGAN INI ADA PROGRAM BEASISWA MAHASISWA PEMDA YANG DIBIAYAI OLEH PEMDA GRATIS..DAN TELAH LULUS aNGKATAN 1 (wISUDA oKTOBER INI: 40 ORANG, DAN SELANJUTNYA DIPANTAU TERUS OLEH PEMDA/KAB/KOTA YANG MENGIRIMNYA……
pAPARAN INI… RINGKASNYA… SEBENARNYA KALAU ADA KEIINGINAN pEMERINTAH BENAR2 MEMAJUKAN PERTANIAN, MUNGKIN PERLU DIGARAP DAN DIJADIKAN pERTANIAN(BAGI DAERAH TERTENTU lAMPUNG, DAN SENTRA2 PERTANIAN LAINNYA)SEBAGAI SALAH SATU MOTOR PENGGERAK PEREKONOMIAN DENGAN CARA….
pENINGKATAN pRODUKSI DAN KESEJAHTERAAN PETANINYA BUKAN… MAKELAR PEDAGANG, DAN INDUSTRI HILIRNYA SEMA-MATA.JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN PETANINYA…
DAN UNTUK MENGGERAKKAN PERTANIAN PROGRAM BANTUAN (SELAIN TEKNIK MISAL: MENYEKOLAHKAN ANAK2 PETANI DI SEKTOR PENDIDIKAN PERTANIAN TERAPAN: SEKOLAH KEJURUAN/POLITEKNIK YANG BERBASIS PERTANIAN AGRO….., JUGA SRANA PRASARANA PENDUKUNG DAN PERMODALAN/PERBANK KAN YANG KHAS…. MISAL HARUS ADA BANK KHUSUS PERTANIAN,
MAKA TETAP SUBSIDI MASIH DIPERLUKAN BUAT PETANI TAPI BUKAN SUBSIDI PUPUK YANG KENYATAANNYA JATUHNYA KE PEMODALBESAR DAN PEDAGANG SPEKULAN YANG MENJUAL PUPUK SUBSIDI KE LUAR (BUKAN KE PETANI)… DENGAN HARGA YANG MAHAL…;
SI PETANI SAAT MAU BELI PUPUK TETAP SUSAH DAN SULIT DI PASARAN…. DAN MAHAL JUGA,…
UJUNG-UJUNGNYA SUBSIDI JATUH KE BUKAN SASARAN PETANI…..SALAH LAGI…SASARAN…
SEBAIKNYA SUBSIDI DENGAN CARA PEMERINTAH( BADAN TERTENTU: MISAL BULOG/KOPERASI)MEMBELI LANGSUNG KEPETANI DENGAN HARGA YANG RELATIF TINGGI, JAUH DI ATAS HARGA UMUM DI PASAR. DAN NANTI PEMERINTAH JUAL KE MASYARAKAT DENGAN HARGA WAJAR…
pEMERINTAH MUNGKIN RUGI…TAPI YANG UNTUNG KAN RAKYAT…. BISA BELI MISAL BERAS MURAH.
…KALAU PUN KUALITAS PERTANIAN PRODUK PETANI MASIH RENDAH KUALITASNYA TTIDAK SESUAI STANDAR… YA TUGAS PENYULUH PERTANIAN DAN INSTANSI TERKAIT (pEMDA DAN JUGA lEMBAGA PENDIDIKAN pERTANIAN) YANG MEMBANTU PERBAIKAN KUALITAS TERSEBUT…..
YA… ITU LHO BANG..DAN REKAN-REKAN YANG PEDULI DI SEKTOR PERTANIAN INI,
SEKELUMIT PENGALAMAN SELAMA 20 TAHUN MENGASUH ANAK2 DI BIDANG PERTANIAN SAMBIL MENGAMATI FENOMENA DAN GEJALA-GEJALA DI LAPANGAN ADA KOMENTAR?????
KITA TUNGGU KOMENTARNYA………;
gak ada yang komen lagi ya……