|

PRAKTIK KETATANEGARAAN KITA KE DEPAN

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Kemarin, DPP KNPI mengundang saya untuk menyampaikan uraian dengan topik Roadmap Sistem Ketatanegaraan Indonesia: Kemanakah Arah Praktik Bernegara Kita? Topik ini mengingatkan saya ke masa awal reformasi ketika saya mengemukakan gagasan Istana Merdeka jakarta“Tidak Ada Reformasi Tanpa Amandemen Konstitusi”. Pergantian sebuah rezim tanpa perubahan sistem, sesungguhnya takkan banyak menghasilkan sesuatu yang ideal sebagaimana kita harapkan. Rezim baru yang penuh idealisme, lama kelamaan akan mengulangi pola-pola rezim sebelumnya dalam menjalankan kekuasaan negara. Kekuasaan itu menggoda. Ada kecenderungan umum dalam sejarah politik, sebuah rezim akan terus berupaya dengan berbagai cara — baik sah maupun tidak sah — untuk mempertahankan kekuasaannya. Dalam rangka itulah, maka penyelenggaraan kekuasaan negara harus diatur oleh norma-norma hukum, yang akan membentuk sistem bernegara itu. Sistem itu harus memberi jaminan agar semua pihak yang terlibat di dalam negara, baik lembaga-lembaga negara, maupun kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat, dapat melakukan kontrol atas jalannya sistem penyelenggaraan negara itu. Kontrol yang kuat, dan memberikan keseimbangan itu, kita harapkan akan memberi jaminan bahwa sistem akan berjalan sebagaimana kita inginkan.

Uraian singkat di atas itu menggambarkan kepada kita betapa pentingnya konstitusi bagi sebuah negara. Konstitusi itulah yang memberikan kerangka bernegara yang dianggap ideal bagi sebuah bangsa. Konstitusi itu meletakkan dasar-dasar sistem bernegara dan sekaligus mengatur mekanisme penyelenggaraannya. Tentu saja, konstitusi tidak mungkin akan mengatur segala-galanya. Rincian dari dasar-dasar itu dapat diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah seperti undang-undang atau konvensi ketatenegaraan yang tumbuh, diterima dan dipelahara dalam praktek penyelenggaraan negara. Konstitusi sebuah negara pada hakikatnya memuat gagasan-gagasan pokok bernegara bagi sebuah bangsa, yang di dalamnya dirumuskan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negaranya.

Sehari setelah kita menyatakan kemerdekaan, kita telah mengesahkan sebuah konstitusi, yang kemudian kita namakan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Filosofi bernegaranya telah dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu. Pemikiran filosofis itu kemudian dituangkanke dalam pasal-pasal konstitusi yang merumuskan sistem bernegara dan mekanisme penyelenggaraannya. Namun seperti telah kita maklumi, konstitusi itu hanya bersifat sementara, yang dimaksudkan hanya berlaku untuk setahun saja, sampai dirumuskannya konstitusi yang bersifat permanen oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum. Namun, karena pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan, konstitusi itu berlaku dengan berbagai konvensinya, dan kemudian diganti dengan konstitusi yang lain, sampai dinyatakan berlaku kembali melalui dekrit Presiden pada tahun 1959.

Ketika Pemerintah – dalam hal ini Perdana Menteri Djuanda Kartawinata — mengusulkan kepada Konstituante agar kembali ke UUD 1945, telah timbul suara-suara yang mengkhawatirkan konstitusi itu akan menciptakan kediktatoran di negeri ini, karena kekuasaan Presiden yang begitu besar. Buya Hamka misalnya mengatakan di Konstituante bahwa kembali ke UUD 1945 itu bukanlah “shirat al-mustaqim” atau “jalan yang lurus” seperti dikatakan para pendukungnya, melainkan “shirat al-jahim”, yakni “jalan menuju ke neraka” karena akan membuka peluang kepada Presiden untuk menjadi diktator terselubung. Setelah UUD 1945 diberlakukan kembali, keadaan berkembang ke arah seperti dibayangkan oleh Buya Hamka itu. Walaupun UUD 1945 menyebutkan kedaulatan rakyat, namun tak sepatah katapun UUD 1945 itu menyebutkan adanya pemilihan umum. Professor Muhammad Yamin mengatakan bahwa pemilihan umum itu hanya alat saja untuk menegakkan demokrasi. Karena itu pemilihan umum bisa diselenggarakan bisa tidak, asal yang penting demokrasi bisa berjalan. Namun bagaimana demokrasi bisa berjalan, kalau seluruh anggota badan-badan perwakilan ditunjuk saja oleh Presiden?

Setelah Pemerintahan Presiden Soekarno digantikan oleh Pejabat dan kemudian Presiden Soeharto, rezim baru ini bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara “murni dan Gedung DPRkonsekuen”. Orde Baru yang diciptakannya bertekad untuk melakukan koreksi total terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Namun seperti saya katakan di awal tulisan ini, rezim baru yang penuh idealisme lama kelamaan cenderung akan mengulangi prilaku rezim lama yang digantikannya. Tentu banyak perubahan yang terjadi selama Orde Baru terutama pada pembangunan sosial dan ekonomi, namun satu hal nampak berkesinambungan, yakni kecenderungan rezim untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, dengan menggunakan pola-pola yang hampir sama. Media massa diberangus, tokoh-tokoh oposisi ditangkapi tanpa proses hukum dan partai politik yang berseberangan dipaksa membubarkan diri, dilakukan baik oleh Orde Lama maupun Orde Baru.

Pancasila dan UUD 1945 yang ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen, dalam kenyataannya ialah Pancasila dan UUD 1945 yang ditafsirkan menurut pandangan rezim yang memerintah. Di masa Orde Lama, tafsiran itu disosialisasikan melalui “indoktrinasi” dan masuk kurikulum pendidikan. Di zaman Orde Baru, sejak tahun 1978, tafsiran itu disosialisasikan melalui penataran-penataran dan masuk pula ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Baik indoktrinasi maupun penataran hakikatnya tetap sama: Rezim yang memerintah ingin agar rakyat memahami hakikat bernegara, sistem dan mekanismenya seperti yang mereka anut. Mereka yang menolak tafsiran itu bisa dianggap sebagai musuh bangsa dan negara. Di sini kembali lagi nampak adanya kesinambungan di tengah perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedua rezim sama-sama memanfaatkan kelemahan-kelemahan UUD 1945 yang sejak awal dimaksudkan hanya sebagai konstitusi sementara itu. Kelemahan itu sengaja disembunyikan, namun ditutupi dengan berbagai cara, mulai dari konsep pseudo-akademis sampai ke hal-hal yang berbau mistik. Presiden Soekarno menyebut Pancasila dan UUD 1945 “Azimat Revolusi”. Presiden Soeharto menyebut Pancasila itu “sakti”. UUD 1945 adalah warisan luhur bangsa yang “dikeramatkan”.

Berkaca dari pengalaman sejarah seperti secara singkat saya uraikan di atas itulah, maka seperti telah saya katakan, di awal reformasi saya menegaskan pendirian “tidak ada reformasi tanpa amandemen konstitusi itu”. Di zaman Orde Baru, saya telah lama melontarkan gagasan amandemen konstitusi itu, baik dalam kuliah maupun dalam berbagai tulisan yang saya buat. Pendapat saya ketika itu dianggap sebagai pendapat “ekstrim kanan”. Saya menolak Eka Prasetya Pancakarsa dan tidak pernah mau mengikuti penataran P4 sampai kegiatan itu dihentikan oleh Presiden BJ Habibie. Kalau hanya rezim berganti, sementara konstitusi tidak diperbaiki dan disempurnakan, maka rezim baru yang dihasilkan oleh gerakan reformasi itu akan kembali mengulangi pola-pola yang dilakukan oleh rezim lama. Untuk merubah pandangan rakyat yang sudah cukup lama ditatar bahwa UUD 1945 tidak dapat dirubah kecuali melalui referendum, bukanlah pekerjaan mudah dan sederhana. Namun akhirnya kesadaran muncul juga. Beberapa partai politik dalam Pemilu 1999 tegas-tegas menyuarakan perlunya amandemen konstitusi. Akhirnya perubahan konstitusi terjadi juga dalam empat tahapan perubahan, yang disebut dengan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.

Dengan empat tahapan amandemen konstitusi itu, niat yang sesungguhnya dari para penggagas adalah untuk memperbaiki dan sekaligus menyempurnakan sistem dan mekanisme penyelenggaraan negara kita, dengan bercermin pada pengalaman-pengalaman pelaksanaannya di masa yang lalu. Hal yang paling inti mengenai pembatasan masa jabatan Presiden, yakni selama lima tahun, namun hanya untuk dua periode saja, telah dilakukan. Hal ini mencegah diangkatnya Presiden seumur hidup seperti di masa Orde Lama, atau Presiden yang dipilih setiap lima tahun tanpa batasan periode seperti di zaman Orde Baru. Amandemen terhadap pasal tentang masa jabatan Presiden ini patut kita hargai. Di masa depan, kita harapkan tidak akan ada lagi Presiden seumur hidup atau dipilih berkali-kali tanpa batasan periode. Sistem ini akan mencegah terulangnya kekuasaan Presiden yang cenderung menyalahgunakan kekuasaannya karena memerintah terlalu lama.

Kita menyaksikan pula amandemen terhadap beberapa pasal yang membatasi kewenangan Presiden yang dinilai terlalu besar di dalam UUD 1945. Ketentuan yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dibalik menjadi kewenangan DPR. Namun Presiden tetap berhak mengajukan rancangan undang-undang untuk mendapat persetujuan DPR. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan penguatan kepada DPR, walau tidak mengubah hakikat bahwa badan legislatif tidaklah hanya monopoli DPR. Badan ini memang memegang kekuasaan legislasi, namun tidak menyebabkan DPR menjadi badan legislatif, karena sebagian kewenangan legislasi tetap berada di tangan Presiden. Presiden tetap memegang kekuasaan legislatif bersama-sama dengan DPR dan untuk beberapa hal sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 bersama-sama juga dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Keberadaan DPD memang baru samasekali di dalam UUD 1945. Saya termasuk salah seorang penggagas keberadaan lembaga ini, untuk menengahi polemik tentang negara kesatuan dan negara federal di masa awal reformasi. Saya tetap berpendirian bahwa negara kita adalah negara kesatuan, namun dapat mengadopsi keberadaan Dewan Perwakilan Daerah, sebagaimana pernah dibahas di Majelis Konstituante. Keberadaan DPD atau senat pada umumnya hanya ada di negara federal atau quasi-federal. Negara kesatuan yang memiliki lembaga seperti ini, pada umumnya mempertimbangkan kepentingan daerah yang multi etnik dan juga problema alamiah, yakni ketidakseimbangan penduduk yang mendiami berbagai daerah. Di Malaysia, misalnya antara Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Serawak. Di Philipina antara Pulau Luzon dengan pulau-pulau lain di wilayah selatan, dan di negara kita antara Pulau Jawa dengan pulau-pulau di luarnya. DPR yang dipilih melalui pemilihan umum, praktis akan didominasi oleh daerah yang padat penduduknya. Keberadaan DPD yang anggota-anggotanya sama pada setiap provinsi akan menjadi penyeimbang ketimpangan perwakilan akibat ketidakmerataan penduduk itu.

Pada saat yang sama, utusan daerah dan utusan golongan-golongan yang dulu dimaksud untuk menambah anggota DPR untuk membentuk MPR, digantikan dengan anggota DPD. Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum menggunakan sistem proporsional, sementara anggota DPD dipilih dengan menggunakan sistem distrik. Tidak ada lagi anggota DPR maupun MPR yang diangkat. Ketidakjelasan jumlah anggota MPR dan pengertian “ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan” yang dapat dijadikan Presiden sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan, dapat dihindari, sebab jumlah maksimum anggota DPD adalah sepertiga anggota DPR seperti diatur dalam Pasal 22C ayat (2) UUD 1945. Pada awalnya, saya menggagas bahwa dalam pembahasan RUU tentang APBN, otonomi daerah dan hubungan luar negeri, harus dibahas dalam sidang gabungan DPR dan DPD.

Namun diskusi terus berkembang dalam Badan Pekerja MPR, sehingga kewenangan DPD membahas RUU adalah seperti dirumuskan dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen. DPD juga dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuanganpusat dan daerah. Pasal 22D ayat (2) itu juga mengatur kewajiban DPD untuk memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama. Saya berpendapat memberikan pertimbangan itu tidak perlu, karena akan menempatkan ketidakjelasan posisi DPD sebagai sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan legislasi.

Saya berpendapat kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU sebagaimana di atas terlalu luas. Sebaiknya dibatasi hanya dalam membahas APBN, otonomi daerah dengan berbagai aspeknya, serta hubungan luar negeri saja. Namun keterlibatan lembaga ini dalam membahas ketiga hal itu benar-benar intensif, sehingga aspirasi daerah dapat terserap secara optimal. Dalam UU tentang Susunan Kedudukan DPR sekarang ini, keterlibatan itu tidaklah menonjol. DPD ditempatkan mirip sebuah fraksi dalam membahas RUU yang disebutkan Pasal 22D ayat (2) itu. Saya berpendapat akan lebih baik keterlibatan DPD membahas RUU dibatasi, namun keterlibatannya dilakukan secara penuh, dalam bentuk sidang gabungan DPR dan DPD. Berkaitan dengan hal itu, saya berpendapat bahwa DPD dapat mengusulkan – bukan mengajukan — RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah – yang kesemuanya dapat diringkaskan dengan istilah hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah –kepada DPR untuk dibahas bersama terlebih dahulu, sebelum DPR mengajukannya kepada Presiden. Mengenai kewenangan DPD melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 masih memerlukan mekanisme yang lebih tepat untuk mencegah tumpang-tindih pengawasan dengan DPR. Bagi Pemerintah, juga menambah beban pekerjaan.

Dalam konvensi ketatanegaraan kita, Presiden selalu menyampaikan Pidato Kenegaraan di hadapan rapat paripurna DPR pada setiap tanggal 15 Agustus. Setelah ada DPD, saya menyarankan agar Pidato Kenegaraan itu disampaikan di hadapan rapat gabungan DPR dengan DPD. Tidak perlu ada dua kali pidato kenegaraan seperti dikehendaki oleh Pimpinan DPD sekarang ini. Langkah kompromi mengatasi keinginan Pimpinan DPD itu sebagaimana saya usulkan ialah Presiden menyampaikan pidato di hadapan DPD, tetapi bukan pidato kenegaraan, melainkan menyampaikan Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah. Namun, Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita tetap saja menyebutnya sebagai pidato kenegaraan. Langkah kompromi ini saya anggap bersifat sementara saja. Langkah paling baik yang harus dilakukan ialah memisahkan Pidato Kenegaraan tanggal 15 Agustus dengan Pidato Kenegaraan Dalam mengawali Pembahasan RUU APBN dan Nota Keuangan, yang kedua pidato kenegaraan itu disampaikan dalam rapat paripurna gabungan DPR dan DPD. Sebagaimana kita maklum, tahun anggaran kita berlaku mulai 1 Januari setiap tahunnya. Pidato Kenegaraan mengawali pembahasan RUU APBN dapat dilakukan pada akhir Juli atau tanggal 1 Agustus setiap tahunnya.

Amandemen Konstitusi juga telah menciptakan lembaga baru, yakni Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh dua lembaga, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan MK adalah suatu gagasan yang baik, untuk memeriksa perkara-perkara yang terkait langsung dengan konstitusi. Kekuasaan Kehakiman sebagai cabang kekuasaan yang merdeka, memang harus terpisah secara ketat dengan cabang-cabang kekuasaan negara lainnya. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.

Mahkamah Agung berwenang memeriksa perkara pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali, memberikan pertimbangan kepada Presiden, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Amandemen UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselesihan tentang hasil pemilihan umum. UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah lahir. Saya mempersiapkan RUU ini dalam waktu singkat karena mengejar waktu pelantikan hakim-hakim MK pada tanggal 15 Agustus 2003, sesuai amanat MPR. Saya merasa bersyukur, tugas berat itu dapat dilaksanakan tepat pada waktunya.

Dalam hal kewenangan MK melakukan uji materil undang-undang terhadap UUD yang telah dilaksanakan dalam praktek, pada hemat saya masih diperlukan telaah mendalam, terutama pihak yang memiliki “legal standing” untuk mengajukan permohonan uji materil itu. Rumusan yang kini termaktub di dalam UU MK memberikan hak yang terlalu luas, termasuk kepada perorangan yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar dengan berlakunya sebuah undang-undang. Dengan minimal lima hakim, MK dapat menerima atau menolak permohonan itu. Pertanyaan filosofis bernegara yang belum terpecahkan sampai selesainya pembahasan RUU MK ialah apakah cukup kukuh landasan pemikirannya, jika seorang warganegara dan minimal lima hakim MK dapat membatalkan sebagian atau seluruh materi undang-undang. Padahal undang-undang itu dibuat oleh Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum, dan seluruh anggota DPR – bahkan mungkin juga melibatkan DPD – yang seluruhnya juga dipilih melalui pemilihan umum? Jawaban sementara atas pertanyaan ini ialah, semua warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. MK adalah penjaga konstitusi. MK memeriksa dan memutus permohonan uji materil secara murni normatif dan akademis, demi menjaga agar konstitusi tidak dilanggar oleh kepentingan politik atau kesalahan konsepsi normatif ketika lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan legislasi membuat undang-undang itu.Hal yang menyangkut sengketa kewenangan, pada hemat saya haruslah dibatasi hanya pada lembaga-lembaga negara di tingkat pusat saja. MK tidak perlu menangani sengketa kewenangan lembaga-lembaga pemerintahan pada tingkat daerah.

Hal yang krusial mengenai kewenangan MK ialah ketika terjadi proses impeachment terhadap Presiden dan/ atau Wakil Presiden.Keberadaan impeachment adalah konsekuensi dari Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan perubahan kewenangan MPR setelah amandemen UUD 1945. Mekanisme impeachment telah jelas dirumuskan dalam UUD 1945. Hal krusial ialah mengenai alasan-alasan untuk melakukan impeacment sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yakni jika DPR berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden “telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Ketika saya menyiapkan RUU Mahkamah Konstitusi dan membahasnya bersama DPR, kami menyepakati untuk mengembalikan segala sesuatu yang dirumuskan di dalam Pasal 7B ayat (1) ini kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian MK mempunyai pedoman untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR itu dengan merujuk kepada bukti-bukti yang sah, agar ketentuan Pasal 7B itu tidak disalahgunakan secara politik untuk menjatuhkan Presiden. Masalah yang masih tersisa sehubungan dengan penjabaran ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 ini ialah, apakah setelah MK katakanlah memutuskan bahwa pendapat DPR adalah benar, apakah Presiden dan/atau wakil Presiden masih dapat diadili di peradilan umum untuk dijatuhi sanksi pidana atas kesalahannya. Walaupun MK telah memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan kesalahan, namun secara politik belum tentu MPR akan memutuskan untuk memberhentikan Presiden. Segalanya tergantung pada keputusan MPR sebagaimana diatur di dalam Pasal 7B ayat (3), (7) dan (8) UUD 1945.

Dengan amandemen UUD 1945, kedudukan DPR telah diperkuat, bukan saja dalam kewenangan legislasi, namun juga dalam hal anggaran dan pengawasan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR. Inilah sesungguhnya inti dari sistem pemerintahan Presidensial yang kita anut. Para menteri adalah pembantu Presiden, yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan karena itu bertanggungjawab kepada Presiden. DPR memang memiliki wewenang melakukan pengawasan, namun tidak dapat “memanggil” para menteri yang dapat menimbulkan kesan bahwa yang satu adalah bawahan dari yang lain, apalagi meminta pertanggungjawabannya. Pertanggungjawaban akhir penyelenggaraan pemerintahan negara, sesungguhnya terletak di tangan Presiden. DPR juga tidak dapat mendesak Presiden untuk memberhentikan menteri, karena pengangkatan dan pemberhentiannya adalah kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampuri oleh lembaga negara yang lain.

Suatu hal yang memerlukan kehati-hatian yang tinggi ialah mengenai pemerintahan di daerah. Seperti telah saya katakan, Indonesia adalah sebuah negara kesatuan, namun sentralisme yang berlebihan sebagaimana dipraktekkan di masa lalu, telah dikurangi dengan otonomi daerah. Setelah amandemen, pengaturan tentang pemerintahan daerah, jauh lebih jelas dibandingkan ketentuan sebelumnya. Namun UU tentang Pemerintahan Daerah kiranya perlu dievaluasi untuk mencegah semangat kedaerahan yang berlebihan. Ketentuan mengenai pemilihan kepala daerah ada baiknya juga dikaji ulang untuk mencegah politik biaya tinggi, yang dapat membawa implikasi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di daerah. Seringnya Pilkada, baik gubernur, bupati/Walikota, bahkan sampai pada pemilihan kepala desa dan kepala dusun, disamping berpotensi menimbulkan instabilitas politik di daerah, juga dapat memalingkan perhatian rakyat dari pembangunan sosial ekonomi ke bidang politik. Telaah tentang hal ini pada akhirnya akan membawa kita kepada perdebatan yang muncul di awal reformasi, yakni apakah otonomi daerah itu diberikan kepada kabupaten/kota atau kepada provinsi. Setelah sepuluh tahun reformasi, ada baiknya kita merenungkan kembali hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam suasana yang lebih jernih.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini sampai di sini. Masih banyak hal yang belum disinggung dan dibahas dengan lebih mendalam. Insya Allah, saya akan menuliskannya lagi pada kesempatan-kesempatan yang akan datang, untuk menjadi bahan diskusi bagi siapa saja yang berminat membahas ketatanegaraan kita. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kejernihan berpikir dan kebesaran jiwa kepada kita semua dalam membahas masalah yang sangat penting bagi kemajuan bangsa dan negara kita di masa depan.

Wallahu’alam bissawwab.

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=95

Posted by on Jan 24 2008. Filed under Hukum. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

47 Comments for “PRAKTIK KETATANEGARAAN KITA KE DEPAN”

  1. Alhamdulillah Profesor telah kembali ke jalur yang sebenarnya. Sangat tepat waktunya kita memeriksa kembali secara menyeluruh segala hal terkait aturan dasar kita bernegara. Saya berharap Profesor terus menulislannya di blog ini –sebagaimana janjinya, agar menjadi pelajran bagi anak bangsa ke depan, khususnya para politikus yang seringkali tak begitu bersinambung dengan sesuatu yang harus dilakukannya.
    Namun Profesor, maaf agak sedikit melurukan. Sekurang-kurangnya ada 18 Hal yang kurang teliti ditulis, yaitu:
    (1) konvensi ketatenegaraan seharusnya ketatanegaraan
    (2) dipelahara seharusnya dipelihara
    (3) dituangkanke seharusnya dituangkan ke
    (4) di Konstituane bahwa seharusnya di Konstituante bahwa
    (5) “shirat al-mustaqim”atau seharusnya “shirat al-mustaqim” atau
    (6) dan konsekuen”.Orde seharusnya dan konsekuen”. Orde
    (7) Revolusi”.Presiden seharusnya Revolusi”. Presiden
    (8) merubah seharusnya merobah atau mengubah
    (9) dirubah seharusnya dirobah atau diubah
    (10) bercermin seharusnya becermin
    (11) dua peiode saja seharusnya dua periode saja
    (12) berhak mengajukanrancangan seharusnya berhak mengajukan rancangan
    (13) yakni ketidak seimbangan seharusnya yakni ketidakseimbangan
    (14) dan golongan-golongan”yang seharusnya dan golongan-golongan” yang
    (15) kewenangan adiminstrasi seharusnya kewenangan adiministrasi
    (16) memutus perselesihan seharusnya memutus perselisihan
    (17) melakukan impeacment seharusnya melakukan impeachment
    (18) menteriyang dapat seharusnya menteri yang dapat

    Sekali lagi maaf Profesor, agar hidangan yang enak ini tak terusik oleh kehadiran lalat pengganggu.
    Wassalam

    Terima kasih atas koreksinya. Sudah saya perbaiki (YIM)

  2. Ikutan menanggapi kawan Arie, mungkin sebaiknya Pak Yusril memasang pemeriksa ejaan (spellchecker) pada program tempat Pak Yusril menulis tulisan blog ini. Entah apakah MS Word menyediakan fitur pengecek ejaan Bahasa Indonesia. Setahu saya openoffice.org menyediakan fitur ini. Atau jika menggunakan Firefox 2, Pak Yusril bisa memasang Bahasa Indonesia language pack untuk Firefox 2, http://moz-langpack-id.googlecode.com (TTI=Tiba-Tiba Iklan :D ). Pengecek ejaan Bahasa Indonesia saya sertakan juga di sana. Bisa dilihat kata-kata salah ejaannya atau tidak dikenali ditandai dengan garis bawah titik-titik merah jika ejaannya salah. Lumayan untuk menghindari saalh keitk.

    Wassalam,

  3. Salam hangat Bung Yusril

    Terima Kasih atas posting pencerahannya.

    Jangan begitulah…..,
    lalat itu datang karena ada aroma yang menyengat,
    ada hidangan ada lalat, ada gula ada semut, ada kusir belum tentu ada lembu, hehe……
    yakinlah semua yang mengganggu itu akan ada hikmah positifnya kok…….

    Aduuuhh Bung, saya pingin banget ntuk diskusi panjang lebar tentang topik ini, tapi sawah saya lagi sangat butuh penanaman tanaman, jadi saya hanya baru bisa nyeletuk nyelutuk aja dulu…
    kapan kapan semoga Bung Yusril punya waktu dan mau melayani diskusi kita lagi…

    NB : sebelum lupa saya masih ingat Bung Yusril saat awal penggodokan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemda, pernah memberi wacana tentang otonomi daerah sebaiknya diletakkan di tingkat PROVINSI (tolong koreksi kalau salah/artikel Bung Yusril ini masih saya simpan), menurut saya itu juga ide menarik untuk didiskusikan, apalagi ada pula wacana yang dilemparkan oleh Prof. Muladi baru bau ini (apakah ide ini dlm kapasitas pribadi atau kelembagaan/Lemhanas saya belum tahu) yang menghembiskan supaya Gubernur diangkat oleh Presiden.
    Thanks

    Salam

    JEBEE
    Indonesia

    Saran saya, berdiskusilah dengan jernih, menggunakan bahasa yang baik, dan menggunakan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan akademis. Bebaskan diri dari prasangka suka atau tidak suka dan jauhkan diri dari kecenderungan menuduh orang lain. Kalau pendapat kita tidak didukung oleh argumen yang kukuh, kita harus bersedia meninggalkannya, dan mengikuti pendapat lain yang lebih kukuh landasannya. Kalau terdapat perbedaan pendapat, maka hormatilah perbedaan itu, tanpa terus-menerus mendesak agar orang lain agar setuju dengan pendapat kita, atau menyerang terus pendapat orang lain yang tetap dengan pendiriannya. Dalam berdiskusi kita dapat saja mengatakan bahwa pada akhirnya “kita sepakat untuk tidak sepakat”. Jadi tidak perlu mendesakkan sesuatu kalau memang berbeda. Itu saja saran saya sebagai “shohibul bait” di blog ini. Terima kasih atas perhatiannya. (YIM)

  4. Salam’alaykum, Prof.

    Terimakasih banyak, dan yaah ‘puji-tuhan’ karena artikel yang semacam inilah yang lebih saya tunggu-tunggu. Namun seperti halnya saat menyimak khutbah Jum’at: tema yang semenarik apapun akan kurang menggugah kalo tidak mengaitkannya dengan konflik kekinian, terlebih lagi yang bersinggungan langsung dengan hajat hidup (saya) rakyat banyak. Artikel tentang tempe yang kemarin, itu pas!! Mungkin sebenarnya (konflik itu) ada namun saya tidak merasakan, dan Prof sendiri tidak mengutarakanya. Bisa saja kan dengan satu alinea pengantar menceritakan bahwa sedang berlansung kondisi rentan yang akan mengusik keingintahuan.

    Di luar beberapa kesalahan pengetikan saya sampaikan salut buat Anda, Prof. Tak heran beberapa teman saya memangil dengan sebutan’ Abang’. Sudah sepantasnya: dari usia, dan dalamnya pengetahuan. Salam!

  5. DARMADI ARIES WIBOWO

    Wah cukup banyak yang harus disempurnakan ya pak. Dengan kata lain harus ada amendemen terhadap UUD kita. Kenapa tidak dikomentari juga pasal 31 ayat 4 tentang memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Sebab kalau tidak salah sudah dua kali masalah ini dibawa ke MK. Saya ingin tau pendapatn bapak tentang ini … siapa tau nanti yang ke tiga kali, bapak yang ketua MK-nya ha ha.
    Pendapat bapak bagaimana tentang:
    a) kata memprioritaskan …. apa artinya ? kata harus atau tapi masih bisa tergantung hasil pembahasan dengan DPR/DPRD?
    b) apa maksud anggaran pendidikan … karena dalam pengertian keuangan negara/daerah itu ada urusan, fungsi, ada sektor … mosok UUD jadi penuh tafsir karena penyusunannya tidak tau perbedaan tentang itu.
    c) terus dari APBN/APBD …. apa maksudnya ? 20% khan kali angka, nah dari angka mana itu pak? Total pendapatan, total belanja, dan jangan lupa ada pembiayaan. Biar diintip di undang-undang nya juga tidak ada tuh. Kalau bapak punya pendapat siapa tau bisa kami pakai sebagai dasar dalam menyusun APBD kami.

    Wah kalau otonomi daerah menurut penyelenggaraan urusan pemerintah dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan maka untuk otonomi di tingkat provinsi atau kabupaten/kota menjadi tidak relevan. Ya menurut kriteria tadilah, gimana pak YIM.

    wassalam

  6. Pak Yus saya ada pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan
    Apakah MA juga dapat memutuskan suatu ajaran itu sesat atau tidak ? apakah didalam MA terdapat orang yang lebih mengerti tentang islam dibandingkan dengan MUI ?

  7. ingat omongan seorang teman beberapa waktu yang lalu
    politik pada dasarnya bicara soal menang dan kalah
    bisnis pada dasarnya bicara soal untung dan rugi
    agama pada prinsipnya bicara soal benar dan salah, baik dan jelek

    sometimes, saya berfikir, perbaikan akan terjadi jika Indonesia punya pemimpin *yang oleh Hermawan Kertajaya dalam acara talk shownya di jaktv dinyatakan seperti Rasulullah* harus memenuhi minimal 4 kategori secara seimbang : seorang politikus, seorang negarawan, seorang spiritualis dan seorang economist. plus seorang kepala keluarga yang baik di rumahnya tentunya. saya baru saja membahas disini :

    http://www.edo.web.id/wp/2008/01/23/dicari-seorang-pemimpin-masa-depan/

    bang yusril, mohon pandangan dari bang Yusril. Salahkan saya berfikir, bahwa di negara kita, masih sangat sulit untuk membangun system dan ke-tata-annya (tata kelola, tata kenegaraan, tata pemerintahan etc). sehingga dibutuhkan pemimpin yang strong, dan sang pemimpinlah yang lebih penting untuk dicari ketimbang membentuk system? tipikal figuritas yang masih kental dan sudah terlalu mendarah daging pergeseran ideologi kita

    mohon pandangannya bang…

  8. Ikutan nimbrung!!
    Bang Yus, ini road map ketatanegaraan yang terkini atau yang seharusnya?
    Barangkali saya salah, namun mengapa tarik menarik antara satu badan dengan yang lain begitu kuat seolah saling merontokkan? Yang seharusnya jalin kelindan menghasilkan power solidnya bernegara namun kenyataannya justru sebaliknya?

    wassalam
    sbach

  9. Bang Yusril, saya lihat saat ini bangsa kita tidak berdemokrasi dengan efisien sehingga biaya ekonomi maupun sosialnya menjadi tinggi.

    Misalnya, kita menyelenggarakan pilkada pada waktu yang berbeda di tempat yang berbeda. Selain itu pemilihan parlemen dan Presiden juga diselenggarakan pada waktu yang berbeda. Berarti rakyat di sebuah kota dalam kurun waktu 5 tahun akan melakukan pencoblosan minimal 4 kali (untuk memilih bupati/walikota, gubernur, anggota parlemen dan Presiden). Semua ini menyebabkan ongkos politik menjadi tinggi. Alangkah efisiennya jika segala pemilihan ini bisa diselenggarakan pada waktu yang bersamaan.

    Hal tersebut dapat diselenggarakan di Philippines (tempat saya tinggal saat ini). Di negeri ini pilkada untuk memilih governor dan mayor diselenggarakan pada saat yang bersamaan dengan pemilihan Presiden, congressman dan senator. Ini berdampak bahwa masa kampanye dan segala akibat dari adanya kampanye hanya terjadi pada satu waktu tertentu. Oleh karenanya kegiatan sosial yang terhenti ataupun potensi konflik masyarakat akibat adanya kampanye hanya terjadi satu kali pada suatu kurun waktu tertentu. Biaya yang harus dikeluarkan oleh berbagai partai maupun para politisi juga sekali demikian pula dengan anggaran negara untuk penyelenggaraan pemilu juga hanya keluar sekali untuk kurun waktu tertentu.

    Alternatif lain adalah seperti Pakistan. Di negeri ini, pilkada untuk seantero negeri, yaitu untuk memilih “nazim” (pemimpin) pada tingkat distrik dan “taluka” (sub-district) diadakan sekaligus. Sedangkan pemilihan MNA (member of national assembly) ataupun MPA (member of provincial assembly) diselenggarakan pada waktu yang berbeda. Untuk saat ini, pemilihan MNA dan MPA akan diselenggarakan pada pertengahan Februari tahun ini. Sedangkan Presiden maupun PM mereka dipilih oleh MNA sedangkan Gubernur dipilih oleh Presiden dan Chief Minister dipilih oleh MPA.

    Mungkin Bang Yusril sebagai salah satu pemimpin bangsa kita saat ini dapat mempertimbangkan hal tersebut diatas. Salaam.

    Terima kasih banyak atas saran dan masukannya. Saya memang telah lama risau dengan keadaan ini. Insya Allah, suatu ketika saya akan menulis hal ini untuk menjadi bahan pemikiran dan pemecahan kita bersama. Nanti setelah saya posting, tentu akan menjadi bahan diskusi kita bersama. (YIM)

  10. Salam Bung Yusril

    # YIM
    ” Saran saya, berdiskusilah dengan jernih, menggunakan bahasa yang baik, dan menggunakan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual dan akademis. Bebaskan diri dari prasangka suka atau tidak suka dan jauhkan diri dari kecenderungan menuduh orang lain. Kalau pendapat kita tidak didukung oleh argumen yang kukuh, kita harus bersedia meninggalkannya, dan mengikuti pendapat lain yang lebih kukuh landasannya. Kalau terdapat perbedaan pendapat, maka hormatilah perbedaan itu, tanpa terus-menerus mendesak agar orang lain agar setuju dengan pendapat kita, atau menyerang terus pendapat orang lain yang tetap dengan pendiriannya. Dalam berdiskusi kita dapat saja mengatakan bahwa pada akhirnya “kita sepakat untuk tidak sepakat”. Jadi tidak perlu mendesakkan sesuatu kalau memang berbeda. Itu saja saran saya sebagai “shohibul bait” di blog ini. Terima kasih atas perhatiannya. (YIM)”

    ===========

    Bung Yusril terima kasih atas saran, pandangan dan apresiasinya yang konstruktif dan menyentuh terhadap komentar saya diatas.

    Saya kebetulan sedang istirahat nanam padi, jadi ada kesempatan ngintip rumah Bung Yusril dulu.

    Bung, saya nggak tahu mau ngomong apa lagi, menurut saya itu adalah kata kata yang saya susun dengan apa adanya dan sepenuh hati untuk mengapresiasi postingan Bung Yusril yang mencerahkan, tidak ada maksud lain bagi saya untuk berprasangka, suka atau tidak suka atau menuduh orang lain, dsb.
    Biarlah yang tahu semua itu YANG DIATAS.
    THANKS.

    Saya tidak menyalahkan mengapa Bung Yusril mungkin menyarankan saya seperti itu, ini tentunya tidak terlepas dari perjalanan panjang diskusi kita yang melelahkan dan penuh gelora perasaan. Tapi berkali kali saya katakan itulah baru perjalanan ilmu bahasa, ilmu diskusi dan ilmu karakter yang saya miliki. Mungkin berkali kali pula Bung Yusril mengatakan “silahkan diambil hikmahnya saja, apa yang baik diambil kalau ada yang kurang baik dibuang saja”.

    Bung Yusril, dengan sepenuh hati, saya menerima koreksian Bung Yusril, dari postingan komentar saya diatas (jebee komentar # 2) , mana dan bagaimana komentar saya yang menjurus kearah miskomunikasi diantara kita. Supaya bisa pula saya berusaha membuat gaya bahasa yang sejuk untuk dibaca.

    Terima kasih
    Salam

    JEBEE

    Saya sepenuhnya dapat memahami. Semua ini adalah proses yang harus dilalui dalam perjalanan hidup seseorang menuju kematangan dan kedewasaan. Saran saya, saya tujukan untuk kita semua. Mudah-mudahan kita semua, secara bertahap akan mampu mendewasakan diri menatap perbedaan-perbedaan antara kita. Untuk itu kita harus berjiwa besar untuk saling belajar. Saya sendiripun sedang menjalani proses itu dan juga terus menerus belajar dari kesalahan dan belajar pula untuk mendengarkan pendapat dan saran dari orang lain. Sekali lagi,saya berterima kasih atas responsnya (YIM)

  11. Dari posting ‘PRAKTIK KETATANEGARAAN KITA KE DEPAN’ kalau saya bisa simpulkan bahwa dari tiap orde selalu memanfaatkan celah-celah UUD1945 dengan masing-masing versi persepsi ketika orde itu berlangsung.
    Saya setuju dengan pernyataan Pak YIM bahwa kita harus memperbaiki sistem sehingga memperkecil penyalahgunaan yg dilakukan orde pd waktu itu.
    Cuma Pak YIM kalau kita mau mengamandemen pasal-pasal yg ada dalam UUD 1945 yang dalam implementasinya sangat multi persepsi harus dimulai dari mana? karena…,baik anggota DPR atau DPD orang2nya sarat dengan kepentingan masing-masing/kelompoknya.
    Kira-kira menurut Pak YIM bagaimana pemecahannya?
    Mohon pencerahannya Pak.

    Apa yang anda kemukakan itu menjadi kegalauan saya juga. Saya masih ingat di tengah berlangsungnya sidang MPR, saya dimintai masukan oleh beberapa fraksi, bahkan oleh Panitia Ad Hoc Badan Pekerja MPR tentang rancangan amandemen konstitusi. Mereka semua tahu kalau saya Ketua Umum PBB. Namun di hadapan fraksi-fraksi yang mengundang itu, saya benar-benar berpikir sebagai akademisi yang memikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara, bukan lagi membicarakan kepentingan politik suatu kelompok. Apa yang anda katakan itu benar, kepentingan politik dalam membahas amandemen kadang-kadang terasa begitu besar. Namun semua ini adalah proses yang harus dilalui. Para politisi, termasuk saya juga, harus pandai menempatkan diri di mana mereka harus bertindak sebagai politisi dan di mana harus berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Kalau kita membahas konstitusi, sifat kenegarawananlah yang harus di kedepankan. Kita harus meninggalkan kepentingan politik sesaat. Tentu semua ini memerlukan proses dialog dan diskusi mendalam, agar semua pihak dapat saling meyakinkan betapa luhurnya kepentingan bangsa dan negara yang harus dikedepankan. (YIM)

  12. alhamdulillah, akhirnya si abang menuliskan juga ide-ide politiknya..

    benar adanya, pertanyaan saya: adakah lembaga khusus buat perenungan itu bang?
    soalnya bangsa kita lebih disibukkan dengan urusan perut.. dan pemerintah kita repot urusan untung dagang.. tanpa melihat isi perut yang keroncongan di rakyatnya..

    terkadang butuh momentum juga bang, ato mungkin tidak bila tanpa momentum kita merenung? rasa-rasanya hanya i’tiad baik dari seluuh komponen bangsa inilah jawabannya.

    salamhangat,
    -WargaNegaraIndonesia-

    Semua itu sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semuanya harus dikerjakan secara simultan. Soal perut, bahkan soal tahu tempe harus diselesaikan, begitu juga soal-soal fundamental yang menyangku kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak dapat menunda yang satu karena mengerjakan yang lain. Urusan bangsa dan negara harus dipecahkan oleh setiap pemimpin. Tentu segala sesuatunya harus proporsional, dan dikerjakan oleh mereka yang benar-benar ahli dan kompeten di bidangnya. (YIM)

  13. salam buat pak yusril

    setelah membaca dan mencermati tulisan bapak mengenai ketatanegaraan, saya sangat tertarik untuk sedikit berdiskusi lagi. menarik sekali perjalanan sistem kenegaraan kita yang sedang mencari bentuk yang pas dan menjiwai karakter bangsa ini. kita telah berapa kali melakukan perubahan atas konstitusi, namun itu belum juga cukup untuk menjabab persoalan yang ada.

    saya tentu tidak ingin menyikapi semua sisi dari apa yang bapak sampaikan. karena menurut bapak seorang pemimpin itu bukan hanya tau masalah umum saja , akan tetapi pemimpin mesti harus tau bagaimana detailnya sebuah persoalan. ketika kita tau masalah detailnya, maka kita baru tau tingkat kesulitan dalam memimpin sebuah negara. jadi dalam hal ini saya ingin mengetahui lebih dalam tentang kondisi politik lokal hingga soal pemekaran daerah

    sejak reformasi, istilah otonomi daerah sangat populer di berbagai forum dan media. sebuah angin segar bagi pemerintahan daerah untuk berbenah diri, mengingat sebelumnya sistem pemerintahan kita berjalan sentralistik. daerah dengan berbagai kewenangannya telah mencoba untuk mengali berbagai masalah dan potensi lokal untuk menjadi prioritas daerah dalam membangun. alhasil setiap daerah mengalami persoalan yang beragam, dari konflik elit hingga ke akar rumput (grassroot). uu otonomi daerah seakan tidak mampu untuk menjawab bagaimana solusi konflik-konflik tersebut. konflik SDA misalanya yang menjadi tren bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam.

    ambil contoh di daerah bapak, di bangka belitung misalnya. konflik SDA samapai hari ini masih terus terjadi, mungkin bapak juga telah mendengar. konflik Pemerintah daerah dengan perusahaan pertambangan, konflik perusahaan pertambangan dengan masyarakat hingga konflik pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat menyangkut pengelolaan SDA mineral gol C. sepertinya manajerial yang baik menyangkut masalah ini belum dapat diselesaikan. setiap kelompok yang bertikai tadi, masing-masing mengklaim bahwa dirinyalah yang memiliki otoritas dalam mengelolah SDA tersebut. sulit memang membedakan mana yang menjadi kuasa perusahaan dan mana yang menjadi kuasa pemerintah dan mana yang menjadi kuasa masyarakt atas SDA tersebut. terutama yang menyangkut soal pengeloaan biji timah. hal ini trjadi karena memang tak ada sosialisasi dimana batas-batas wilayah kuasa pertambangan (KP) Tadi.

    dalam penanganan konflik pun, sepertinya telah mengalami distorsi, dalam UUD 1945 dengan jelas peran DPD sebagai wakil dari pemerintahan daerah yang ada di pusat untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan pengelolaan SDA di daerah. namun sepertinya ini belum menjadi bagian pekerjaan DPD. kami memang pernah mendiskusikan masalah ini ke kawan-kawan di DPD, namun mereka mengatakan bahwa kasus-kasus semacam ini sering menjadi santapan wakil rakyat yang di DPR dan bukan yang di DPD. sikap ini dibenarkan oleh bapak La Ode Ida sebagai wakil ketua DPD RI. ia mengatakan maslah konflik kedaerahan sering masuk ke meja DPR. sehingga sangat jelas bila peran DPD sekarang ibarat iklan mobil panter “nyaris tak terdengar”.

    lemahnya peran DPD pada dasarnya karenakonstitusi memang membatasi ruang gerak DPD. amandemen yang diusulkan beberapa waktu lalu menyangkut pasal 22D UUD 1945 kandas ditengah jalan. hal ini tentunya kita sangat paham karena DPR tidak mau sepenuh hati untuk memberikan kekuatan bagi DPD. DPD haya sebagai sayap DPR, dan sayap itu sudah hampir patah karena tidak jelas lagi akarnya. sebagai wakil daerah yang dipilih melalui sistim distrik tentunya mereka memiliki legitimasi yang lebih besar dari anggota DPR. namun tetap saya tidak mampu berbuat banyak padahal akhir-akhir ini kita direpotkan oleh persoalan kedaerahan. namun tidak banyak yang bicara kedaerahan. semua elit repot untuk unjuk gigi menjelang Pemilihan Presiden 2009. maslah pemekaran yang hari ini turus diinginkan oleh bayak daerah, semua daerah merasa layak untuk dimekarkan walaupun tidak memiliki kemampuan. tak ada yang berbicara bagaimana idealnya jumlah provinsi, kabupaten, kota dan lain sebagainya. grand policy untuk pemekaran mestinya sudah ada sebelum banyaknya daerah yang sudah dimekarkan. masalah pilkada juga banyak yang bermasalah, setiap daerah memiliki masalah tersendiri dalam soal ini. kasus sulawesi selatan akhir-akhirr ini telah banyak mengundang konflik yang menjadikan rakyat sebagai korbannya. semoga kedepan manajemen pemerintahan daerah akan lebih baik tentunya revisi yang masih dilakukan oleh depdagri dan DPR serta DPD sekarang ini harus menjaring sekaligus menyelesaikan masalah kedaerahan dan menjiwai semua karakter daerah kita. inilah konsekuaensinya karena kita adalah negara kesatuan dengan berbagai macam karakter sosial dan budaya daerah. moga bisa menjadi diskusi kita. wassalam

    Terima kasih. Saya mohon maaf belum dapat menjawab berbagai masalah yang ada kemukakan dalam komentar ini. Ada baiknya saya menulis masalah itu topik-pertopik, mulai dari DPR dan DPD, hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah dan kemudian membahas demokrasi kita dalam kaitannya dengan pemilihan umum, pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan Pilkada. Insya Allah, saya akan menuliskan masalah ini sebagai pengantar diskusi kita nanti (YIM)

  14. Assalamualaikum..

    Numpang saran pak Yusril, gimana kalo kapan2 bapak posting opini bapak tentang idealnya NKRI dari ketatanegaraannya.. plus kalau ada, kasih data2 ilmiah juga pak..

    trim’s

  15. […] Bila ditelaah lebih lanjut didasari dengan agenda reformasi, otonomi daerah merupakan sesuatu yang harus. Dengan adanya amandemen UUD 1945, UU tentang pemerintah daerah semakin lengkap. Tapi, sadarkah kita akan adanya perpecahan dan tajamnya pertikaian di kalangan masyarakat bawah? Jika Yusril Ihza Mahendra (YIM) mengatakan dalam tulisannya Praktik Ketatanegaraan Kita ke Depan, […]

  16. Assalamualaikum Bang Yusril,

    Berhubung postingan artikel kali ini menyinggung sedikit banyak tentang Konstitusi, maka saya ada beberapa pertanyaan yang hingga saat ini belum memperoleh jawaban yang pasti, meskipun saya sudah sempat berdiskusi kepada beberapa 2nd Founding Parents dan ahli hukum ketatanegaraan lainnya. Semoga respons atas diskusi ini bisa lebih memberikan pencerahan bagi saya khususnya dan warga negara Indonesia pada umumnya.

    Pertama, sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Indonesia menganut gagasan supremasi Konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of parliament, i.e. UK). Oleh karena itu, dengan mengikuti pola pemikiran dari Kelsen’s Grundnorm theory, segala peraturan yang berada di bawah UUD tidaklah boleh bertentangan dengan Konstitusi (UUD 1945 -red). Menjadi pertanyaan saat ini, saya menemukan bahwa terdapat celah kekosongan mekanisme pengujian konstitutional (constitutional review) dari seluruh peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap UUD 1945, sehingga mekanisme constitutional review kita masih dianggap sangat lemah. Untuk saat ini (sebelum kemungkinan terjadinya amandemen UUD atau UU MK/MA) adakah jalan lain untuk melakukan uji konstitusionalitas terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dianggap bertentangan dengan UUD? Sebab, UUMK dan UUMA belum mengatur hal demikian.

    Kedua, terkait dengan legal standing perorangan warga negara untuk memperjuangkan hak konstitusinya (constitutional rights of citizen), hemat saya memang sudah sepatutnya diberikan. Sebab, dengan menggunakan teori yang sama, segala sesuatu yang bertentangan dengan UUD haruslah dinyatakan inkonstitusional, sekalipun ia melanggar pihak-pihak yang berada pada kelompok kecil atau minoritas tertentu. Terkait dengan hal tersebut, bagaimana pendapat Abang mengenai mekanisme constitutional complaint („Verfassungsbeschwerde“) yang dipraktikan di Jerman, Korea dan beberapa negara lainnya, apabila mekanisme yang sama diterapkan pula di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?

    Di lain sisi, ketika kita masih memperdebatkan apakah legal standing perorangan sebaiknya diperbolehkan atau tidak, maka di dalam praktik ketatanegaraan lain, seperti misalnya India, legal standing perorangan pun dapat diberikan walaupun permohonan diajukan oleh pihak ketiga tanpa harus adanya persetujuan dari pemohon yang sesungguhnya. Dalam hal ini kita mengenal mekanisme Public Interest Litigation, hal mana juga mempunyai batasan dan beberapa persyaratan yang cukup ketat, seperti misalnya hanya untuk lingkup perlindungan terkait dengan fundamental rights warga negara bukan untuk motif ekonomis, politis dan lain sebagainya. Kiranya di masa mendatang, dalam koridor akademis, konsep ini dapat dikaji lebih mendalam lagi semata-mata guna melindungi hak konstitusional warga negara, khususnya bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai “jangkauan” untuk menggapai sistem hukum modern ini, terlebih untuk mereka yang tinggal di berbagai pelosok tanah air.

    Ketiga, menambahkan pertanyaan terkait dengan apa yang telah disampaikan oleh Sdr. Darmadi Aries Wibowo, menurut Abang siapakah pemegang tafsir resmi UUD 1945 saat ini? Apakah diberikan kepada MK selaku pengadilan Ketatanegaraan RI, MPR selaku lembaga yang berwenang untuk mengubah UUD 1945, atau lembaga negara lainnya. Jika saya boleh meminjam konsep “Politik Hukum” dari Gus Mahfud MD, artinya saat ini penafsiran yang diputuskan oleh Mahkamah adalah penafsiran yang harus kita ikuti terlepas apapun hasil penafsiran yang dikeluarkannya. Namun demikian, ketika saya berdiskusi dengan Bpk. Patrialis Akbar, beliau menyampaikan bahwa penafsiran Konstitusi di Indonesia harus berada di tengah-tengah, artinya tidak ada lembaga tunggal yang bisa menafsirkan Konstitusi secara sepihak. Benarkah kita tidak mengenal pola “penafsir tunggal” UUD 1945 dalam sistem Ketatanegaraan RI? Mohon pencerahannya.

    Saya kira tiga pertanyaan ini dahulu yang dapat saya sampaikan guna memulai diskusi dalam artikel kali ini. Sebab, saya juga tidak ingin menyita banyak waktu dari Abang untuk dapat melakukan aktivitas lainnya yang tidak kalah pentingnya.

    Kirainya Allah SWT selalu memberikan cahaya jalan kebenaran bagi kita semua. Amien.

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Hormat Saya,

    Blawgger Indonesia
    New Delhi

    Tanggapan saya:

    Kalau kita mengikuti teori Hans Kelsen memang demikianlah adanya. Semua peraturan perundang-undangan harus mengacu kepada grundnorm. Apa saja yang bertentangan dengannya harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam teori maupun praktik di negara kita, kita mengakui adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang. Pengakuan terhadap hirarki itu dimulai pada saat kita menyusun draf rancangan peraturan perundang-undangan. Undang-undang disusun mengacu kepada UUD. Peraturan Pemerintah mengacu kepada UU. Sebab itulah uji materil terhadap UU dilakukan terhadap UUD dan kewenangan itu ada pada
    Mahkamah Kosntitusi. Oleh karena Peraturan Pemerintah disusun untuk melaksanakan UU — jadi tidak mengacu langsung kepada UUD — maka pengujian terhadap PP dilakukan terhadap UU, yang kewenangannya ada pada Mahkamah Agung. Pengakuan terhadap hirarki inilah yang tidak memungkinkan adanya uji materil terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU, langsung kepada UUD. Pengakuan terhadap hirarki bukannya tidak menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan Peraturan Presiden. Secara hirarkis, menurut UU No 10 Tahun 2004, Peraturan Presiden berada di bawah Peraturan Pemerintah. Namun mengingat ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”, maka dalam praktiknya Peraturan Presiden dapat merujuk langsung baik Peraturan Pemerintah, Undang-Undang maupun UUD. Sementara pengujian materi Peraturan Presiden — karena hirarkinya berada di bawah UU — menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Sementara MA tidak dapat menguji peraturan yang berada di bawah UU dengan UUD. Problema ini membawa implikasi bahwa tafsiran terhadap Pasal 4 UUD 1945 harfuslah dipersempit pada penetapan Keputusan Presiden yang bersifat “beschikking” dan berlaku “einmalig”, bukan pada Peraturan Presiden yang bersifat regulatif. Dalam hal ini, Pasal 11 UU No 10 Tahun 2004 telah benar, yang menegaskan bahwa materi Peraturan Presiden dikeluarkan untuk melaksanakan materi yang diperintahkan UU atau melaksanakan Peraturan Pemerintah.

    Mengenai lembaga penafsir UUD 1945, saya berpendapat tidak ada lembaga tunggal yang memiliki kewenangan penuh untuk itu. MK hanya melakukan uji materil berdasarkan permohonan pihak yang mengajukannya. Jadi sifat MK dalam uji materil adalah pasif. MA dapat memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga negara yang memohonnya. Proses menafsiran UUD sebenarnya telah dimulai pada saat menyusun sebuah RUU. UU hakikatnya bukan hanya memerinci ketentuan UUD, tetapi sekaligus “menafsirkan” apa yang dimaksud UUD ketika mereka tuangkan ke dalam draf RUU. Kalau dilihat dari sudut ini, maka Presiden dan DPR yang sama-sama memegang kekuasaan legislatif, adalah juga lembaga-lembaga yang menafsirkan UUD. Apakah tafsiran mereka itu benar sebagaimana mereka tuangkan dalam UU, MK dapat mengujinya. MPR yang kini tidak berwenang lagi mengeluarkan Ketetapan seperti zaman dahulu, tidak berada dalam posisi untuk menafsirkan undang-undang. Oleh MPR, Pimpinannya kini diberi tugas untuk melakukan sosialisasi UUD 1945 pasca amandemen. Tentu dalam rangka sosialisasi itu, mereka juga akan “menafsirkan” UUD sebagaimana mereka pahami. Namun tafsiran itu haruslah dianggap sebagai suatu pemahaman saja, yang tidak mempunyai kekuatan tafsir yang mengikat.

    Mengenai legal standing perseorangan dalam mengajukan permohonan uji materi terhadap UU ke MK, pada prinsipnya saya sependapat. Saya sendiri ikut mendraf UU MK seperti saya katakan, dan mewakili Presiden membahas RUU tsb di DPR hingga selesai. Demikian pula UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perturan Perundang-Undangan.

    Sementara ini, demikianlah penjelasan saya. Terima kasih atas pertanyaannya, yang sekaligus juga merupakan masukan amat berharga bagi saya (YIM)

  17. @Pan Mohamad Faiz #15:

    Bravo. Best Comment So Far! I think.

    Terasa sekali nuansanya bahwa negeri ini masih bayi.
    Saya merasa perlu membacanya ulang, hingga setidaknya 5 kali lagi.

    Bonar.

    Terima kasih. Saya sungguh berbahagia dengan komentar Pan Mohamad Faiz. Seperti inilah kita berdikusi. Jernih dan bernuansa intelektual. Saya berharap blog ini benar-benar akan memberi pencerahan bagi kita semua. Mohon maaf jika saya mengatakan sudah terlalu banyak blog yang “centang perenang”, bahkan yang “sumpah serapah”. Saya menghormati keberadaan semua itu. Saya hanya ingin mencoba dan berusaha, membuat blog yang memancing diskusi intelektual yang simpatik untuk mencari pencerahan bagi kita semuanya (YIM)

  18. Buat bang arie
    saya salut pada anda yang mampu mengoreksi tulisan sang profesor terdapat setidaknya 18 kesalahan menurut anda, namun namanya manusia ya hanya dapat melihat kesalahan di orang lain karena tulisan anda juga ada salahnya (kurang teliti) diantaranya
    1. menulislannya semestinya menulis lainnya
    2. pelajran semestinya pelajaran
    3. tak begitu semestinya tidak begitu
    4. melurukan semestinya meluruskan

    salah ketik adalah hal yang wajar karena jari tidak mampu mengimbangi pemikiran, selama tidak merubah arti dan meknanya cincai ajalah pinting kita mengerti maksudnya
    viva bang arie “mari gunakan bahasa indonesia yang baik danbenar”

  19. Assalamu’alaikum, wr,wb,

    Semoga tidak berlebihan jika saya coba mengkaitkan masalah ketatanegaraan ini dengan model yang pernah ada dalam sejarah kejayaan Islam. Sejarah mencatat bahwa sistem pemerintahan Islam yang ‘khas’, yaitu Khilafah, memang pernah ada dan eksis selama kurun waktu kurang lebih 1400 tahun sampai saat keruntuhannya di Turki. Kurun waktu sepanjang ini jelas melampaui eksitensi ideologi komunisme ataupun kapitalisme yang saat ini telah limbung.

    Mengamati tulisan pak YIM tentang pembatasan masa jabatan misalnya, maka sepanjang pengetahuan saya, Kepala Negara dalam Islam apapun sebutannya tidak memiliki aturan pembatasan masa jabatan itu, dan kebetulan juga mereka meninggal karena usia atau dibunuh, artinya lamanya masa menjabat bagi seorang kepala negara sebetulnya tidak masalah jika ditopang oleh sistem yang kuat.

    Saya sebetulnya hanya mencoba mencari persesuaian antara praktik yang pernah ada dalam sistem pemerintahan Islam dengan praktik ketatanegaraan saat ini. UUD 1945 yang dimaksud, mungkin yang di dalamnya termaktub’ Piagam Jakarta’, jelas bukan suatu yang sakral dan memang harus disempurnakan. Istilah ‘murni dan konsekuen’ menurut saya berbeda dengan kata ‘konsisten’ atau ‘istiqomah’. Saya sebutkan demikian karena dalam ketidaksempurnaan UUD, keadaan diperparah oleh ketidak-konsisten-an pemerintah dalam praktiknya. Contoh yang paling nyata adalah ketika UUD kurang lebihnya menyebutkan ‘bumi, laut dan segala isinya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’, yang terjadi justru sebaliknya, BUMN diprivatisasi : pihak asing jadi penguasanya, produk kekayaan alam seperti minyak : posisi pemerintah dengan rakyatnya seperti penjual dan pembeli, seharusnya rakyat dimakmurkan dengan kekayaan alam malah sebaliknya rakyat jadi dibebani untuk menikmatinya.

    Memang yang saya sampaikan ini masih terlalu singkat, tapi sekali lagi mudah-mudahan saya tidak dianggap berlebihan, Pak YIM adalah pentolan Partai Islam, Partai Bulan Bintang yang bercita-cita membangun Indonesia dengan Syariah untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat. Pak YIM sendiri harus saya akui memiliki modal yang cukup komplit, selain menguasai ketatanegaraan, pengetahuan ke-Islam-an pun mumpuni. Idealnya Pak YIM adalah tokoh ummat yang Politikus sekaligus Ulama.

    Terima kasih atas ruang diskusinya dan terima kasih juga jika Bapak berkenan menagggapi. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan,

    Wassalamu’alaikum, wr, wb.

    Abu Ghifari (Putra Langkat)

    Sdr. Abu Ghifari,

    Terima kasih atas tanggapannya. Pada awalnya istilah “kalifah” yang kita temukan di dalam al-Qur’an — dalam konteks penciptaan Adam a.s — tidaklah mengandung makna politik. Setelah Rasulullah s.a.w wafat, posisi beliau sebagai Rasul tentu tak dapat digantikan oleh siapapun. Namun posisi beliau sebagai pemimpin masyarakat Madinah,memerlukan adanya penerus kepemimpinan. Sebab itulah berdasarkan analogi penunjukan Abubakar r.a menjadi imam shalat ketika Rasulullah s.a.w sakit, maka beliau disepakati menjadi “kalifah” (pengganti) Nabi. Dari sinilah berkembang pemikiran politik yang membahas konsep “khilafat” itu. Dalam sejarah memang tidak ada batasan periode bagi seorang khalifah, apalagi khalifah setelah Khulafa al-Rasyidin pada umumnya dijabat secara turun temurun. Meskipun tetap disebut khilafat — kadangkala juga disebut sebagai “daulah” — namun konsepnya sudah mirip konsep kerajaan. Oleh karena semua ini adalah tradisi yang berkembang dalam sejarah, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang Presiden di masa kini dibatasi periode jabatannya, dengan mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Pada prinsipnya, segala sesuatu yang tidak secara qat’i disebutkan di dalam nash al-Qur’an dan Sunnah, masih terbuka ruang untuk berijtihad dengan memperhatikan pula perkembangan zaman. Untuk membanding masalah ini, kita dapat pula menelaah berbagai konstitusi negara-negara Islam di masa kini, seperti Konstitusi Pakistan, Iran, Mauritania dan Jibouti — untuk menyebut beberapa negara yang tegas-tegas menyebut diri mereka sebagai “Republik Islam”.

    Demikian tanggapan saya. Terima kasih.

  20. Terima-kasih atas replynya pada komentar saya #10.
    Terus-terang saya tidak menguasai ilmu-ilmu ketatanegaraan tapi dari jawaban YIM ternyata apa yg saya ungkapkan menjadi kegalauan YIM juga.
    Menurut saya Indonesia ini mempunyai model ketatanegaraan yang khas,karena bukan Presidensial murni bukan juga parlementer,jadi usul sy buatlah model/sistem Ketatanegaraan yang khas indonesia dengan bench mark teori-teori yang ada dan atau model ketatanegaraan negara lain,dan ini dirumuskan oleh ahli-ahli ketatanegaraan di indonesia,jadi Pak YIM buatlah semacam kelompok diskusi untuk merumuskan hal ini.
    Mohon tanggapannya,terima-kasih.

  21. Assalamu alaikum wr. wb.
    Saya belajar banyak dengan membaca blog ini; Gaya tulisan bang YIM, cara menyampaikan ide terasa mengalir dalam pikiran saya, topik2nya hangat, cara bang YIM menanggapi komentar. Saya yakin, ini tidak bisa didaptkan selama bang YIM menjadi menteri, saya juga tertarik orasi bang YIM di kampus saya IAIN Antasari Banjarmasin, awal reformasi dulu. Auditorium kampus kami dipenuhi banyak mahasiswa menghadiri orasi bang YIM, rasanya waktu itu awal PBB bersinar. Dan salah satu orasi bang YIM kalau tidak salah setelah reformasi banyak yang mengaku-ngaku jadi pakar HTN, padahal di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari :-))
    Saya mengamati topik di blog bang YIM: Gossip orang ttg Bang YIM, cerita bang YIM waktu kecil, hingga masalah ketatanegaraan. Saya tidak tahu apakah terlewatkan dalam perhatian saya, mengapa bang YIM tidak menceritakan pengalaman bermain film, padahal ketika orang buka blog ini foto bang YIM itu sedang shotting film kan?

    Insya Allah, saya akan ceritakan nanti pengalaman membuat film Cheng Ho. Film kini sudah rampung 80 persen. Mudah-mudahan dalam waktu dekat seluruh episode film ini (sekitar 30 episode) akan selesai bulan depan. (YIM)

  22. Assalamualaikum Wr. Wb

    Melihat posting Pak Yusril kali ini, saya terpancing untuk membaca keseluruhan dan melihat bagaimana komentar-komentar yang muncul. Sungguh Pak Yusril banyak menginspirasi mahasiswa Fakultas Hukum (khususnya hukum tatanegara) beberapa tahun awal reformasi bergulir. Misalkan ada orang di kampung yang menanyakan kepada mahasiswa Fak Hukum: Kamu jurusan apa di Fak Hukum? Bila si mahasiswa itu menjawab dia mengambil kekhususan/jurusan Hukum Tata Negara, maka orang kampung yang bertanya tadi akan berkomentar: Jadi kamu akan menjadi pengganti Yursil kemudian hari ya? Setidaknya hal demikian banyak muncul di awal-awal reformasi dan sebelum Mahkamah Konstitusi terbentuk. Tentu juga sebelum Pak Yusril tidak lagi menjadi menteri.

    Semasa kuliah saya tidak pernah melihat dan membaca buku yang Pak Yusril tulis, sehingga saya tidak tahu persis bagaimana pemikiran ketatanegaraan Pak Yusril. Barangkali baru kali ini rasanya saya bisa membaca tulisan yang agak panjang dari Pak Yusril soal tatanegara. Setelah saya baca, ternyata tidak jauh beda dengan yang ada di buku tatanegara pada umumnya yang ditulis oleh penulis Indonesia abad 21. Barangkali ini tulisan awal Pak Yusril saja.

    Saya pikir salah satu bagian yang tidak disebutkan dalam posting di atas adalah soal pola “berhukum” di masa transisi (Saya menggunakan istilah “berhukum” untuk menghindari istilah pembangunan hukum atau pembaruan hukum yang memiliki konsekuensi konsepsional). Bila diamati, pola berhukum kita pasca Orde Baru adalah pola yang terfragmentasi. Yang saya maksud terfragmentasi adalah pola yang mengurai satu kekuasaan/lembaga (sentralized) menjadi tercabang-cabang dalam beberapa unit. Unit-unit baru itu dibangun supaya terspesifikasi urusannya dan dapat berkontestasi dalam praktik ketatanegaraan dan bermasyarakat. Misalkan, dalam pengembangan kelembagaan negara, munculnya KPK untuk melakukan penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, padalah sebelumnya sudah ada polisi dan jaksa yang mengurus itu. Kemunculan KPK dalam kewenangan tertentu dapat berkontestasi dengan polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi. Demikian pula halnya dengan kemunculan KY untuk mengawasi martabat dan perilaku hakim, padahal sebelumnya sudah ada Hakim Agung bidang pengawasan di MA yang mengurusi apa yang menjadi kewenangan pengawasan KY sekarang. Secara sederhana saya juga mau mencontohkan, ketika berkurangnya kewenangan MPR, maka DPD dibangun untuk berkontestasi dengan DPR.

    Itu hanya beberapa contoh dari dinamika kelembagaan. Pada mekanisme demokrasi juga terjadi fragmentasi. Dari yang dulunya hanya ada tiga partai yang didominasi Golkar, kemudian difragmentasi menjadi banyak Parpol. Tujuan awalnya biar lebih banyak pilihan, biar ada kesempatan yang luas berparpol dan biar lebih demokratis. Tetapi dalam kontestasi itu kita dapat menilai (sementara) bahwa perubahan itu tidak berpengaruh banyak bagi aspek di luar politik, seperti kesejahteraan/kemakmuran masyarakat, misalkan dalam hal ekonomi. Belum lagi banyaknya UU yang dibentuk, diikuti oleh banyak kelembagaan negara baru. Sepertinya Indonesia sedang dijadikan satu “kelinci percobaan” untuk mencoba resep-resep atau asumsi yang diundang dari luar soal demokrasi, bahkan juga soal bernegara hukum.

    Negara hukum saya pikir adalah satu tema sentral dalam reformasi di bidang ketatanegaraan. Amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2001 sudah meneguhkan penambahan Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Tetapi Negara Berdasarkan Hukum (NBH) bagaimana yang ingin dibentuk? Masih menjadi PR bagi kita untuk berkonsensus ide dan perilaku mengisi konsep itu. NBH bagi Indonesia tentu tidak serta merta bisa disamakan atau dibangun untuk menuju kepada Rule of Law atau Rechtsstaat yang lahir dari latar sosial Eropa Daratan dan Inggris-Amerika. Beberapa tahun terakhir banyak sekali ahli hukum (khususnya hukum tatanegara) yang berbicara Negara Berdasarkan Hukum bagi Indonesia tetapi dengan teori, referensi dan asumsi yang diambil dari negara luar. Apalagi terkesan ada pemaksaan agar ketatanegaraan Indonesia menjadi seperti format ketatanegaraan negara lain. Seolah-olah, misalnya, kalau tidak Rule of Law maka tidak modern, tidak menghargai hak asasi (individu) dll asumsi luar yang dipinjam dari luar. Padalah perbandingan hukum melalui pendekatan aturan dan kelembagaan yang demikian sangat mensimplifikasi struktur sosial masyarakat. Kalau mau jujur, struktur sosial masyarakat Indonesia tiada bandingannya dengan struktur sosial negara lain. Misalkan soal beragamnya ras, etnik, agama, suku, teritori yang berpulau-pulau dll.

    Kalau dibawa kepada pertanyaan merespons judul blog ini: Bagaimana Praktik Ketatanegaraan Kita Kedepan? Mestinya kita bahas dulu bagaimana praktik atau pola ketatanegaraan kita saat ini. Menurut saya yang lagi belajar. Saat ini perubahan ketatanegaraan masih dilakukan dengan pola fragmentasi untuk membangun kontestasi (Kontestasi dalam beberapa literatur yang saya baca berasal dari semangat mempertahankan hidup dalam masyarakat Eropa yang individualistik). Masih terkesan hukum atau perubahan sosial, juga perubahan politik kita kini sedang berlangsung dengan asumsi-asumsi yang tidak berasal dari masyarakat Indonesia (anggapan ini saya dapatkan dari pendapat Daniel Dhakidae). Barangkali sudah saatnya sama-sama menyelami hukum dari masyarakat Indonesia, termasuk oleh ahli HTN juga.

    Kemudian masih banyak kajian tentang negara hukum seolah milik orang HTN saja. Kalau anggapan demikian masih dipertahankan, maka selamanya kita akan terjebak pada kungkungan mekanika hukum. Barangkali ada baiknya ahli HTN menyelami diri dalam studi sosiologi hukum, antropologi hukum, hukum lingkungan, dll untuk bersama-sama membangun konsepsi tentang NEGARA BERDASARKAN HUKUM yang bisa memayungi semua cabang-cabang ilmu hukum yang sudah terlanjur terfragmentasi.

    Satu pertanyaan saya soal stufen bau des rechts dari Hans Kelsen yang membangun hubungan antara aturan hukum memiliki struktur berjenjang. Tidak lain tujuan Kelsen adalah guna menciptakan aturan yang tertib dari pendayagunaan asas-asas penyelesaian konflik norma (lex spesialis derogat …. atau lex superiori derogat …. atau lex posteriori derogat ….). Namun pertanyaannya: Bagaimana tertib aturan yang dibangun dari ajaran Kelsen bisa berkontribusi bagi tertib sosial di masyarakat?? Apalagi pada unit-unit sosial yang masih menggunakan norma-norma adat dalam penyelesaian konflik di masyarakat.

    Sekian dulu Prof. Maaf kelihatannya cukup panjang komentar dan pertanyaan saya. Tapi semoga berkenan membaca dan memahaminya.

    Wasalam

    Yance Arizona
    Pasar Minggu.

    Sdr. Yance Arizona,

    Ada benarnya apa yang anda katakan, kalau saya membahas hukum tatanegara dengan bertitik tolak dari hukum tatanegara positif, maka pembahasannya menjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang dibahas oleh para pakar di bidang hukum tatanegara. Lain halnya kalau saya menulis sesuatu yang murni teoritis dan membahas “ius constituendum” di bidang hukum tatanegara dengan bertolak dari akar histroris dan sosiologis masyarakat kita, mungkin apa yang saya tulis akan jadi berbeda. Saya memang pernah mencurahkan perhatian untuk menelaah literatur klasik para pemikir di negeri kita di masa yang lalu, mulai dari Mpu Tontular sampai kepada para pemikir Islam seperti Raja Ali Haji bin Raja Ahmad. Konsep-konsep pemikiran mereka juga dipengaruhi oleh literatur-literatur yang hidup pada zamannya. Saya kira demikianlah dunia pemikiran dan ilmu-pengetahuan, pengaruh-mempengaruhi, bahkan ambil-mengambil akan selalu terjadi sepanjang sejarah. Sebab itu, saya bertitik tolak dari hukum tatanegara positif, dan terkadang merujuk kepada berbagai perdebatan tentang konsepsi bernegara di masa lalu untuk memahami apa yang terjadi di masa kini dalam rangka meumuskan pilihan-pilihan ke depan, dengan memperhatikan realitas masyarakat Indonesia.

    Dalam menelaah hukum tatanegara, saya mungkin menempuh jalan yang agak berbeda dari para pendahulu maupun rekan-rekan seangkatan saya. Prof. Djokosutono, Prof. Ismail Suny dan Prof.Harun Alrasid misalnya betul-betul menggunakan kerangka berpikir hukum, sementara saya tidak semata-mata menganalisisnya dari sudut normatif, tetapi juga menelaah latar belakang pergolakan sosial-politik yang melatarbelakanginya, serta implikasi-implikasi sosial politiknya ke depan. Saya studi hukum, kemudian belajar filsafat dan studi Islam, lantas kemudian memperoleh gelar Doctor of Philosophy dalam Ilmu Politik sebelum diangkat sebagai gurubesar hukum tatanegara. Prof. Harun tidak sepaham dengan pendekatan saya, karena dianggap tidak lagi murni hukum.

    Untuk memahami mengapa ada KPK dan Komisi Yudisial, tentu pendekatan hukum saja takkan membuat kita mengerti mengapa lembaga-lembaga itu diciptakan. Khusus KPK, sejak awal keberadaannya memang dimaksudkan sementara saja, bukan institusi permanen.

    Tentang teori Kelsen, saya sependapat dengan apa yang anda katakan. Pendekatannya memang normatif, seolah terlepas dari konteks sosial. Saya sependapat saja, disamping pendekatan murni normatif-filosofis, hukum harus pula dianalisis konteks sejarah dan sosioolgisnya. Tulisan singkat saya mengenai Hukum Islam di blog ini, tidaklah membahas normatif dari sudut syaria’ dan fiqih, tetapi justru menganalisis akar historis dan sosiologisnya.

    Ini dulu yang dapat saya kemukakan. Tentu jauh dari lengkap untuk menjelaskan semua hal yang anda kemukakan. Untuk itu saya mohon maaf. Terima kasih atas perhatiannya.(YIM)

  23. terimakasih atas tangapan bapak di komentar sy sebelumnya.

    simultan iya Pak, itu memang idealnya. Hanya saat ini saya kira pemerintah kurang serius, contoh kasus: Lumpur Lapindo, berapa krugian negara, ditambah rakyat yang makin sengsara?? apakah menko kesra yang sekaligus pengusaha terkait bersikap simultan? atau setidaknya memberikan perhatian yang memadai buat mereka??

    besar harapan masyarakat Indonesia saat ini pada pemerintaha SBY-JK, meski memang terlihat kurang kompak. Ini hanya analisis “orang buta” Pak.

    Salamhangat,
    -rijalulghad-

  24. Alhamdulillah, Saudara Faiz ikutan juga akhirnya.
    Maaf nih, Anda beruntung bukan hanya dapat bersahabat dengan anaknya tetapi berdiskusi dengan Bapaknya.
    Perlu jugalah Anda sebutkan hubungan ini kepada Profesor kita.
    Sekali lagi mohon maaf. Saya yakin, insya Allah ke depan akan banyak lahir ahli tatanegara di negeri ini yang mau menggunakan kecerdasan dan kejernihan berfikir untuk kebaikan bangsa.
    Salam buat teman-teman di India.

  25. Assalamualaikum Wr. Wb.

    Terima kasih sebelumnya atas tanggapan yang disampaikan begitu cepat. Saya sangat memberikan apresiasi tinggi terhadap perkembangan diskusi yang demikian. Berikut tanggapan akhir saya atas jawaban yang telah diberikan:

    @ Komentar #15

    Mengenai jawaban atas pertanyaan pertama dan kedua telah memberikan pengetahuan baru dan perspektif tambahan bagi saya. Namun untuk pertanyaan pertama, saya sepertinya masih perlu diberikan pencerahan. Secara das sein memang sistem judicial review kita seperti yang telah Abang jelaskan, namun saya berpandangan bahwa secara das sollen sebaiknya seluruh peraturan perundang-undangan, mulai dari UU hingga Peraturan Daerah, dapat diuji konstitusionalitasnya terhadap UUD secara langsung. Sebab dalam suatu perundang-undangan bisa saja kondisi tidak terjadinya penyimpangan substansi terhadap peraturan di atasnya, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara.

    Walaupun kita menganut sistem Civil Law, ada baiknya juga kita melakukan analisa perbandingan hukum pada negara-negara Commonlaw, di mana Supreme Court mereka sangat memberikan perlindungan bagi hak konstitusional warga negara terhadap apapun itu bentuk peraturan perundangan-undangan dan kebijakan negaranya. Dan hal tersebut kini mulai dipraktikan di negara-negara Eropa Barat yang sebagian besar juga menganut sistem hukum yang sama dengan kita. Namun demikian, bisa saja cara berpikir saya yang kurang tepat, oleh karena itu mohon pencerahan dari Abang dan rekan-rekan lainya.

    Izinkahlah saya memberikan tanggapan balik terhadap rekan-rekan yang ikut menyentuh bahasan kita:

    @ Komentar #16

    Terima kasih Sdr. Bonar untuk komentarnya. Mohon maaf apabila bahasan saya terlalu berat atau lebih bersifat ke arah akademik. Karena sayang rasanya apabila waktu yang telah diluangkan oleh Bang Yusril tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kita semua. Salam silaturahmi dari saya.

    @ Komentar #23

    Terima kasih atas masukannya Bang, tetapi hal ini hemat saya berada di luar konteks bahasan. Insya Allah sama-sama kita bangun negara ini dengan kecerdasan dan kejernihan berfikir disertai dengan sikap yang santun dan bermartabat. Mohon maaf karena saya belum sempat mengirimkan tulisan saya pada Media yang sedang Abang pimpin. Insya Allah jika tugas-tugas akademik saya sedang kosong akan saya tunaikan hal tersebut. Salam akan saya sampaikan kepada rekan-rekan di sini esok hari, ketika kita menggelar diskusi bersama dengan tema dasar “Nasionalisme”.

    Demikian tanggapan saya kali ini. Semoga diskusi ini dapat memberikan pewacanaan terhadap sistem ketatanegaraan kita di masa yang akan datang. Jika terdapat hal yang kurang berkenan mohon dibukakan pintu maaf. Sukses selalu untuk Abang dan rekan-rekan semua. Jayalah Indonesia!

    Wassalamualaikum Wr. Wb.

    Salam Hangat,

    Pan Mohamad Faiz
    New Delhi

  26. @Pan Muhammad Faiz #24 atas komentarnya #23
    “Insya Allah sama-sama kita bangun negara ini dengan kecerdasan dan kejernihan berfikir disertai dengan sikap yang santun dan bermartabat”, kiranya memang perlu Bang. bahkan HARUS.

    Mohon maaf jika komentar saya kurang menggunakan delik hukum (atau apapun namanya), sehubungan latar belakang pendidikan formal saya di bidang teknik. Namun, bukan berarti tidak peduli, atau tak mau peduli.

    Pembangunan negara tentu tidak sekedar hukum, meski negara kita berlandaskan hukum. Sekaligus pandangan penutup saya di tulisan Bang Yusril (mohon ijin saya memanggil begitu) kali ini .

    Apapun peran saudara saat ini, di belahan dunia manapun saudara saat ini, saudara-saudara adalah PENERUS keberadaan Indonesia. Mungkin tidak dalam setahun dua tahun, tapi perubahan itu kepastian. Dan akan ada saatnya saudara-saudara (termasuk saya), mengambil peran utama di Episode Indonesia Masa Depan.

    salamhangat,

    -dari Belanda yang dingin

  27. Pada masa saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM saya telah menuntaskan sebuah pekerjaan cukup berat yakni memisahkan kewenangan adiminstrasi, personil dan keuangan peradilan dari Pemerintah. Kini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi secara administrasi, personil dan keuangan benar-benar independen, apalagi dalam menangani perkara. Jadi, meskipun dalam hal legislasi ada pembagian kekuasaan antara Presiden, DPR dan DPD, namun dalam hal kekuasaan kehakiman, maka kekuasaan ini adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur-tangan lembaga manapun juga.

    Pertanyaannya bang ;
    inikah dasarnya sehingga MA menolak untuk diaudit BPK? Terima kasih.

    Kandar,

    Semua lembaga negara dan instansi yang menggunakan dana APBN maupun tidak harus diaudit oleh BPK. Seingat saya, MA dulu menolak menyetorkan biaya perkara ke kas negara. BPK juga tidak dapat mengaudit biaya perkara itu, sehingga timbul polemik.

    Pertanyaan yang lebih menarik ialah lembaga apa yang mengaudit BPK? Selama ini pernahkah BPK mengaudit dirinya sendiri dan hasilnya dilaporkan ke DPR? Saya juga ingin tanya Pak Anwar Nasution untuk menjawab pertanyaan ini. (YIM)

  28. assalamu’alaikum wr. wb. Sebenarnya saya ingin sekali memberikan tanggapan yang benar benar “tanggapan”. Tapi karena bermacam “keterbatasan”, saya hanya bisa berterima kasih atas ilmu yang bapak bagikan. Its very useful sir. Berkaitan dengan DPR, ngomong ngomong Pak Agung Laksono sekarang sedang berada di Cairo untuk mengikuti konferensi OKI. Dan kayaknya bakal borong buku di Book Fair yang sedang berlangsung di Cairo. Konon book fair (ma’radh kitab) ini adalah yang terbesar kedua di dunia. Ngak nyusul pak? Wassalam.

    Waahh, pengen juga sih.. Tapi kagak ada duitnya pergi ke sono.. (YIM)

  29. Pak yusril yth, mohon bantuannya nih, ada persoaln yang membuat kami pusing banget. Kami adalah guru guru yang menurut atauran kepegawaiannya kami akan ditugaskan sampai usia pensiun 56thn. Namun sekarang ini ada peraturan yang mengubahnya dalam bentuk kontrak dan kami dibatasi hanya sekali masa kontrak, kemudian gaji juga diturunkan. Kalau diperlukan kami bisa mengirim detailnya. pertanyaannya gimana kami mesti bersikap? lantas bagaimana dengan uang pesangon dapatkah kami menuntut uang pesangon? usulan mendapat uang pesangon ditolak juga. padahal kami diangkat berdasarkan SK dan aturan pegawai yang ada.
    mohon penjelasannya, terima kasih.

    Kirim saja ke saya. Saya akan mencoba mempelajarinya, walau saya awam tentang masalah ini. Tidak ada salahnya mencoba. (YIM)

  30. […] on February 2, 2008. Diskusi menarik antara Pan Mohamad Faiz dan Yusril Ihza Mahendra tentang Konstitusi Republik Indonesia, terutama masalah judicial […]

  31. […] ini merupakan petikan diskusi antara Penulis dengan Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam salah satu artikelnya. Pembuka Diskusi dari Penulis Assalamualaikum Bang Yusril, Berhubung postingan artikel kali ini […]

  32. Pak YIM yth,
    Karna suatu negara mungkin akan mengalami kaeadaan yang tidak normal.

    Saya mau tanya apa yang di maksud dengan Hukum Tatanegara Darurat ? atau dalam hukum internasional di sebut “State of Emergency” ?
    Apa pula dampaknya terhadap perlindungan atau pemulihan hak asasi manusia akibat dari State of Emergency tsb.
    apakah ada kaitannya dengan posting bapak kali ini…
    Sekian dan terimakasih banyak atas tanggapannya…

  33. Assalamu’alaikum Wr. Wb.
    Bang Yusril yang kami hormati,
    Apa rencana abang bersama dengan PBB menghadapi pemilu dan pilpres.
    Saya mengikuti perkembangan PBB terus tapi selama ini kelihatannya koq adem-adem saja.
    terus terang kami menginginkan bang Yusril maju dalam pilpres yang akan datang dan jadi insyaallah
    makasih dan mohon tanggapannya.
    Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

  34. Salam buat pak yusril sekeluarga

    Beberapa hari ini terutama kemarin, di DPR ada pembahasan yang sangat alot menyangkut soal parliamentary threshold and electoral threshold. Dalam soal ini, panja RUU Pemilu belum bersepakat. Untuk pencerahan kita bersama, saya ingin minta penjelasan dari bapak mengenai hal tersebut. karena kita juga sedang mengkaji apakah ini mekanisme untuk menyederhanakan partai untuk sebuah stabilitas politik ataukah untuk kepentingan parpol besar saja yang ingin membajak demokrasi kita. Terimah kasih sebelumnya.WASSALAM

  35. anak sekolahan 70

    nggg,bukannya MPR yang mengamandemen konstitusi kita itu banyak ditekan sama LSM-LSM dalam negeri yang didanai oleh LSM asing. Kalo menurut saya, kita ini secara tidak sadar telah disetir oleh pengaruh asing (Pak Ahmad Yani menyebutnya nekolim). Mungkin kita tidak sadar dengan adanya revisi Undang-Undang Dasar ini kita perlahan dipecahbelah, baik antara pemerintah dengan rakyat, antar rakyat, maupun antar pemerintahan. Sebagaimana kita lihat setelah reformasi, LSM-LSM asing yang bergerak dalam bidang politik banyak memberikan perhatiannya ke bangsa kita,tak hanya politik, LSM asing bidang HAM pun iku-ikutan menghiasi permainan dunia politik bangsa kita.

    Arah UUD 1945 yang semula bernafaskan kekeluargaan, gotong royong, dan kebersamaan kini telah menjurus ke arah individualisme, matrealisme, dan pragmatisme dengan membangun negara atas dasar paham politik neoliberalisme sehingga terbentuk Indonesia yang berbentuk negara kapitalisme yang bergantung kepada kapitalisme intermasional. Berbeda dengan gagasan “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan” yang dilontarkan Pak Karno.

    Selain itu yang lebih aneh lagi kini di Indonesia terjadi dualisme konstitusi:
    -UUD1945 yang sah secara de facto tetapi tidak secara de jure, dan
    -UUD2002 yang sah secara de jure tetapi tidak secara de facto.

    Semakin kompleks UUD,semakin tidak ambigu suatu konstitusi dasar, semakin mudah pengaruh asing dalam melenggangkan kakinya di Indonesia, apalagi dalam era globalisasi ini segalanya kita anggap transparan, jadi kita mudah terkena doktrin pemikiran tentang kebaikan untuk kita yang menyelimuti kepentingan asing. Kita ambil contoh yaitu Undang-Undang Dasar pasal 33 sekarang.

    Demokrasi terpimpin tak selamanya buruk. Pada masa Presiden Soekarno, Demokrasi Terpimpin, yang di dalam negeri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).

    Marilah kita semua sadar sebagai rakyat dan bangsa Indonesia.
    “jiwa Indonesia adalah djiwa gotong-royong, jiwa persaudaraan, jiwa kekeluargaan”(Ir. Soekarno)

  36. Salam
    Berbaimacam penghargaan dan pujian ditujukan kepada bang YIM karna adanya forum ini, saya sepakat dan sangat setuju dengan semua itu. ada beberapa pertanyaan yang ingn saya utarakan:
    berdasarkan teori Kelsen, suatu norma hukum dikonstruksikan berjenjang, aturan yang lebih rendah mengacu pada aturan yang lebih tinggi. Pasal 24 A UUD’45 memberikan kewenangan kepada MA untuk menguji/membatalakan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang, selanjutnya pasal 145 UU Pemda memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menguji peraruran daerah, mencermati ketentuan dua peraturan tertulis di atas maka akan nampak tumpang tindih antara uu dengan UUD, beberapa ahli menyatakan hal tersebut merupakan pengecualian dari Pasal 24 A UUD ’45, Pertanyaan saya apakah UUD bisa dikesampingkan/dikecualikan oleh aturan yang lebih rendah (dalam hal ini oleh uu)?
    dalam prakteknya samapi saat ini hal tersebut masih terjadi.
    terimaksih banyak atas tanggapanya.
    ilmu yang anda berikan akan sangat berarti bagi saya.

  37. membaca artikel bapak tentang ketatanegaraan negara kita,saya sangat ingin berdiskusi dengan bapak tentang praktek penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi di negara kita,maupun di daerah-daerah pemekaran.seperti daerah saya,yang penyelenggaraan pemerintahannya masih terselubung,bahkan sangat terbungkus rapi sistem penyelenggaraan pemerintahannya.

  38. dalam artikel bapak ,bapak katakan bahwa konstitusi harus diganti agar rezim baru tidak mengikuti pola – pola dari rezim lama.tapi sebenarnya para bapak-bapak legislatif maupun eksekutife adalah mereka – mereka yang mengerti betul apakah konstitusi dari negara kita yang lama itu masih sesuai untuk tetap digunakan atau tidak?kalau tidak yah…..,perlu dan harus di ganti.masalah ikut atau tidaknya?itu kembali kepada pribadi maing-masing.kita tidak bisa hanya berpatokan pada sebuah konstitusi yang harus di ubah dan ubah setiap lahirnya sebuah pemerintahan baru oleh pemilu.setiap bapak ataupun ibu yang terpilih atau di lahirkan oleh ajang pemilu,harus memiliki hati nurani agar bisa menjalankan konstitusi negara kita dengan benar dan adil.jangan karena konstitusi negara kita itu menguntungkan bapak-bapak terus di mempertahankannya.saya sangat senang membaca artikel bapak tentang ketatanegaraan kita.trima kasih atas artikel bapak,semoga sukses untuk karirnya.

  39. Moh. Dain Werfete,S.Sos

    Assalamu alaikum, Bang Yusril.

    adinda sangat menyesal ketika ada pergantian di Kabinet, suatu negara yang besar dan sedang berkembang itu membutuhkan orang yang enerjig dan sistim yang baik, bukan hanya menggantikan orang di kabinet tetapi sistim yang harus di rubah, penguatan kapasitan pelayanan harus mengiblat kepada hati nurani bukan nurani hati. kemudian saya melihat bahwa pemerintahan kita kurang solit sehingga sehingga kita sering di goncangkan berbagai persoalan-persoalan yang semestinya tidak harus berlarut -larut dalam penentuaan sikap yang akan menyebabkan penderitaan karena kekurangan makan, tidak bisa maka karena tidak cukup makanan, mau masak minyak tanah naik harga dan langkah ( sulid) di dapat. fenomena ini di perlukan suatu pimpinan yang mempunyai jiwa merakyat dan mempunyai hati nurani. pendekatannya adalah pendekatan antropologi, bukan pendekatan sistim yang ingin perperkaya negara namun masyarakatnya miskin. Negara ini hadir bukan untuk siapa-siapa hanyalah untuk Rakyat Indonesia. bukan untuk sekelompok orang. sehingga kedepan yang menjadi Presiden Kita adalah orang Sipil yaitu Bang Yusril Izha Mahendra,

    Wassalam .
    Yakin Usaha Sampai

  40. sebutkan penyimpangan-penyimpangan pda msa pemerintahan orde lama

  41. Warsito, SH., M.Kn.

    Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

    Pak Yusril, saya pengagum bapak dalam soal ketatanegaraan. Tetapi saya pernah sedikit luntur pada diri pak Yusril tatkala pada tahun 1998 era reformasi pak Yusril mengatakan bahwa Berhentinya Soeharto dari jabatan presiden dan digantikan Bj. Habibie di istana negara itu konstitusional. Bukankah presiden yang memilih MPR pengangkatan dan pemberhentiannya harus dilakukan di hadapan sidang majelis?.
    Terima kasih pak Yusril.

  42. wah para pakar hukum berkumpul disini ikut menyimak biar tambah ilmu

  43. makasih pak yusril,,,,,
    tulisan bapak saya jadikan sebuah inspirasi buat skripsi saya. ^_^

  44. ini lah yg di nanti dari seorang YIM. wawasan keilmuannya, mudah mudahan menjadi pencerah bagi para pembaca, semoga dapat merubah maind set kita sebagai rakyat.

  45. Prof. Yusril,

    Maaf Pak, Saya ingin bertanya, mungkin pertanyaan ini agak simple tapi saya butuh sekali jawaban yang tepat. Apakah perbedaan antara Inpres dan Keppres? dimohonkan kepada Bapak untuk menjabarkannya supaya saya mendapatkan kejelasan. Terima kasih sekali Pak.

    Dengan berlakunya UU No 10 Tahun 2004 sebagaimana telah dicabut dan diganti dengan UU No 12 Tahun 2011, Inpres atau Instruksi Presiden di masa sekarang hanyalah perintah Presiden saja, bukan suatu bentuk peraturan perundang-undangan ataupun suatu keputusan. Sedangkan Keppres atau Keputusan Presiden adalah surat keputusan yang berisi penetapan dan sekali selesai (eimalig), seperti keputusan pengangkatan Menteri, Duta Besar dsb. (YIM)

Leave a Reply