PENYENGAT: PULAU SERIBU KENANGAN
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Ombak laut terasa tinggi dibanding biasanya ketika kami menyeberang dari Batam ke Pulau Penyengat. Namun kami tiba juga dengan selamat. Dari kejauhan saya menatap pulau penuh sejarah itu,dengan menara kuning keemasan Mesjid Sultan Riau peninggalan zaman dahulu. Penyengat hanyalah sebuah pulau kecil di antara gugusan Kepualauan Riau. Namun pulau itu penuh makna bukan saja bagi Nusantara, tetapi juga bagiDunia Melayu pada umumnya. Di zaman keemasan Kesultanan Riau, pulau itu bukan saja menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga pusat kebudayaan dan keagamaan.Di pulau itu pula dimakamkan pahlawan nasional kita yang gagah berani, Raja Haji Fi Sabilillah yang tewas dalam pertempuran melawan Belanda di Melaka pada akhir abad 18. Di pulau itu pula dimakamkan Raja Ali Haji bin Raja Ahmad, pahlawan nasional kita yang amat berjasa mengembangkan bahasa Melayu modern. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan yang mewarisi kita berbagai risalah sejarah, agama, budaya dan bahasa.
Penyengat kini sunyi dan sepi dimakan waktu. Setelah dihancurkan Belanda, pulau ini dibangun kembali pada tahun 1803. Berbagai bangunan masa lampau yang kini tersisa hanyalah Mesjid Sultan dan Istana serta beberapa rumah saja. Benteng pertahanan kesultanan di masa lalu tinggal reruntuhan. Makam berserakan di seluruh pulau, sebagai saksi kepahlawanan dan sekaligus kebiadaban orang-orang Belanda di masa lalu. Hanya kompleks makam Raja Haji Fi Sabilillah dan kompleks makam Engku Putri, yang di sampingnya ada makam Raja Ali Haji bin Raja Ahmad yang nampak terpelihara. Makam-makam lainnya mulai hancur di makan usia. Di dalam kompleks makam Engku Putri yang dibuat bangunan menyerupai sebuah mesjid, terpatri Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji bin Raja Ahmad, di atas batu pualam. Nasihat dalam gurindam itu bernuansa tasawwuf dan terasa mengena bagi semua orang di segala zaman. Walau beliau telah lama meninggalkan kita, namun Raja Ali Haji terasa tetap hidup. Beliaulah Bapak Bahasa Indonesia, bahasa nasional kita.
Bagi saya pribadi, ziarah ke Pulau Penyengat mengandung makna yang amat dalam. Saya tak sekedar seorang yang datang untuk berdarmawisata. Saya tahu, nenek moyang saya berasal dari daerah ini. Haji Muhammad Taib, seorang yang bergelar tengku, datuk saya, adalah anak watan negeri Melayu yang datang dari Johor Riau dan hijrah ke Pulau Belitung, karena sebab-sebab politik dan keluarga di zaman yang lampau. Kami mewarisi semangat keagamaan, intelektual dan dinamika yang tak pernah padam dari semangat Melayu dan Islam. Zaman akan terus berubah dan berganti, generasi demi generasi akan datang dan pergi, namun semangat ini sekali-kali tak boleh lenyap ditelan masa.
Semangat itulah yang saya tekankan ketika saya menyampaikan ceramah singkat ba’da Zuhur di Mesjid Sultan Riau di tengah puluhan jemaah lelaki dan perempuan yang hadir. Islam adalah agama universal yang tak pernah padam menyemangati zaman. Ajarannya laksana lentera menerangi perjalanan peradaban umat manusia agar tetap berada di jalan yang benar. Kemajuan wajib dicapai, namun akhlak wajib ditegakkan. Perdamaian wajib dikedepankan dan pemusuhan dienyahkan. Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dengan keragaman dan perbedaan. Kita disuruh berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan berlomba-lomba berbuat keonaran karena ketamakan, khasad dan dengki. Semangat egeliter Islam itu bertemu dan sekaligus mengukuhkan adat istiadat orang Melayu yang menjunjung tinggi kemajuan, kesetaraan dan sopan santun dalam berbudi bahasa.
Nilai-nilai universalitas Islam dan jiwa semangat Melayu pada hemat saya tetap relevan dengan kemajuan kita sebagai sebuah bangsa. Kebudayaan Melayu mengajari kita berpikir sistematis dan logis dengan tetap mengedepankan nilai-nilai keindahan dan kehidupan yang selaras dengan alam sekitar. Kebudayaan itu juga mengajarkan kita akan penghormatan terhadap keragaman. Kita wajib bersikap terbuka terhadap dunia luar, namun tetaplah kita menjadi diri kita sendiri. Anak watan haruslah menyelesaikan persoalan-persoalannya sendiri. Kita tidak mungkin bergantung kepada belas kasih yang entah ada entah tidak dari bangsa-bangsa lain. Ada berjuta potensi dan masalah di negeri ini, yang tak mungkin kita diamkan, apalagi hanya dengan salah menyalahkan kepada masa lalu. Islam dan kebudayaan Melayu mengajarkan kita memahami masa lalu untuk menyelesaikan masalah masa kini dan melangkah ke hari depan yang gemilang. Kita tak boleh terpenjara oleh masa lalu, yang membuat kita kehilangan vitalitas membangun perubahan besar di masa depan.
Hari mulai senja ketika kami meninggalkan Pulau Penyengat dengan perasaan haru. Kami merapat ke Tanjung Pinang untuk bermalam. Suasana Tahun Baru Cina masih terasa di kota yang kini menjadi ibu kota Provinsi Kepulauan Riau itu. Saya merasa senang di Tanjung Pinang, seperti saya pulang ke kampung saya di Pulau Belitung. Meskipun saya telah berada di Tanjung Pinang, saya selalu saja memandang Pulau Penyengat dari kejauhan. Saya mencoba memotret pulau itu dari Tanjung Pinang, ketika hari mulai senja dan matahari mulai tenggelam. Istri saya juga sangat senang di Tanjung Pinang. Dia memang lebih menyukai kota kecil daripada kota besar. Saya memotretnya dengan latar belakang kota Tanjung Pinang dan Pulau Penyengat dari kejauhan. Hanya semalam kami di Tanjung Pinang. Esok harinya kami menyeberang ke Pulau Batam. Meskipun hanya dua hari di Penyengat dan Tanjung Pinang, hati saya selalu terkenang. Teringatlah saya akan sebuah pantun:
Dari Penyengat
ke Tanjung Pinang,
Siang teringat
malam terkenang…
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=142
Ya Allah! persatukan lah kami malaysia dan indonesia…
Assamuikum Wr Wb
kami dari pelaku Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam
ingin menjalin Kerja sama
Sultan Yusuf Iskandar Muda
Peneliti Kesultanan Aceh Darussalam
macasih yaa??karna gurindam ini qu bisa yeledain tugas bahasa indonesia dari guru thank ya??????
Bang Yusril, kalo baca cerita kejayaan Penyengat dan membandingkan dengan keadaan sekarang betapa sedihnya. Pusat maritim, dengan kekuatan armada, benteng pertahanan, pusat intelektual, ada Rusdiyah Club, percetakan untuk buku-buku, karya-karya menjulang, semua terlahir dari secuil tanah yang diberi nama Pulau Penyengat. Dalam pikiran saya, jahat sekali Belanda, sebab menghanguskan kekuatan berpikir dan berkarya, padahal kekuasaan Inggris di Malaya (yang masih sesaudara dengan Riau) tidak begitu caranya “menjajah”. Kalau dibayangkan, betapa majunya Riau kalau tidak ada Perang Riau dan penguasaan cara belanda yang merusak itu… banyak lagi lah …