ACARA “MENCARI PRESIDEN ALTERNATIF” DI SCTV
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Tadi malam pukul 00.30, SCTV menyiarkan rekaman acara “Mencari Presiden Alternatif” (klik di sini bagi yang ingin menyaksikan rekaman acara tersebut) yang menampilkan saya dan Rizal Mallarangeng. Dihadirkan pula beberapa penanya, yakni Dr. Anies Baswedan, Ade Armando, Dr. Indra J Piliang dan seorang pengamat ekonomi, Poltak Hotradero. Bagi saya acara ini cukup menarik, karena dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengemukakan pikiran dan gagasan, seputar pencalonan Presiden tahun 2009 nanti. Sayang acara ini ditayangkan lewat pukul 12 malam WIB, sehingga banyak pemirsa yang malas menonton televisi selarut itu. Apalagi para pemirsa di kawasan Indonesia Bagian Tengah dan Timur, acara ini sudah menjelang subuh baru ditayangkan. Pemirsa di sana mungkin sudah lelah dan tidur lelap. Dalam tulisan ini, saya ingin mengemukakan secara ringkas substansi dialog tersebut, terutama jawaban saya atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemandu acara maupun para pengamat politik dan ekonomi yang dihadirkan dalam acara itu.
Pertanyaan pertama yang diajukan kepada saya dan Rizal ialah, apa yang mendorong kami berdua untuk maju ke pencalonan Presiden 2009. Saya menjawab bahwa saya maju karena panggilan hati nurani saya sendiri untuk ikut memberikan sumbangan yang besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Saya sudah pernah maju ke pencalonan Presiden dan telah disahkan oleh Ketua MPR Amien Rais tahun 1999. Namun karena desakan berbagai pihak, dengan alasan saya masih terlalu muda dan belum berpengalaman, maka saya mundur pada menit-menit terakhir menjelang pemilihan. Hampir sepuluh tahun telah berlalu, saya tidak terlalu muda lagi namun juga belum tergolong tua, maka secara emosional saya merasa telah mencapai kematangan dalam berpikir, berisikap dan bertindak. Selama sepuluh tahun terakhir, saya juga telah menimba pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ikut memecahkan persoalan-persoalan rumit yang dihadapi bangsa dan negara kita. Saya merasa pengalaman itu sudah cukup, dan tiba saatnya bagi saya untuk maju ke pencalonan Presiden 2009.
Seorang pengamat ekonomi yang hadir dalam kesempatan di atas menanyakan apakah pemerintahan yang saya bentuk berukuran besar atau kecil. Saya menjawab, bukan besar kecilnya pemerintahan yang menjadi masalah, melainkan apakah pemerintahan itu akan berjalan efektif atau tidak. Saya berpendapat bahwa pemerintah yang baik, adalah pemerintah yang sesedikit mungkin memerintah. Artinya, Pemerintah bertindak sebagai regulatur dan fasilitator dan memberikan pelayanan serta perlindungan kepada rakyat, dengan memberikan ruang gerak yang leluasa bagi warganegara dan penduduk untuk melakukan aktivitas sosial dan ekonomi mereka. Terhadap saran agar dilakukan rasionalisasi pegawai, saya menegaskan bahwa Pemerintah sekarang telah menerapkan kebijakan zero growth bagi pegawai negeri. Rasionalisasi harus dilakukan jika benar-benar perlu dan hati-hati untuk mencegah terjadinya gejolak. Namun segala sesuatunya dapat diputuskan berdasarkan kajian akademik yang mendalam, misalnya berapa banyak polisi yang kita butuhkan, begitu juga tenaga guru dan tenaga pelayanan medis, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan berjalan efektif dan sesuai kebutuhan.
Saya sepenuhnya menyadari bahwa Pemerintah secara definitif dapat berganti setiap Pemilihan Umum, sesuai mandat rakyat yang diberikan kepada mereka. Pemerintah memang ditopang oleh birokrasi, yang tentunya bekerja berdasarkan jenjang karier, dan tak mudah diganti begitu saja sampai mereka pensiun. Walaupun pemerintah berganti, namun birokrasi tetap birokrasi yang lama. Problema seperti ini tidaklah spesifik Indonesia, tetapi fenomena yang terjadi pada hampir semua negara di dunia ini. Sebab itu saya ingin meneruskan kebijakan yang saya gagas sejak lama, dan sebagiannya telah dilaksanakan sejak zaman reformasi, yakni birokrasi yang bekerja secara profesional, non politis dan bertindak sebagai abdi negara dan masyarakat. Pemerintah yang terdiri dari para pejabat politik, harus mampu memberikan arahan yang jelas kepada para birokrat untuk melaksanakan kebijakan yang diambil Pemerintah. Saya kembali lagi ke teori lama saya, bahwa yang mutlak diperlukan adalah membangun sistem sambil membenahi kualitas sumberdaya manusia. Pemerintah harus mempercepat pelaksanaan program e-government agar pelayanan publik berjalan lebih cepat, sistematis dan efisien.
Kepada saya dan Rizal juga ditanyakan kabinet seperti apa yang akan saya bentuk. Rizal menekankan kabinet yang benar-benar terdiri dari para ahli dan profesional di bidangnya. Saya sependapat dengan beliau, walau saya juga mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh sifat ke-Bhinnekaan bangsa kita. Dalam merekrut anggota kabinet, di samping faktor keahlian dan profesionalisme, saya harus sungguh-sungguh mempertimbangkan komposisi masyarakat kita. Sebab itu, faktor agama, suku, geografis penduduk akan menjadi bahan pertimbangan yang sangat penting. Saya mengambil contoh, bahwa orang Minangkabau, Aceh, Papua misalnya, harus ada di kabinet, karena hal itu akan memberikan rasa tenteram, kebanggaan dan keterwakilan bagi masyarakat yang bersangkutan. Ini penting untuk memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa. Faktor agama dan gender harus pula menjadi pertimbangan. Dalam kabinet, harus terdapat menteri-menteri yang beragama Islam, Kristen, Katolik serta Hindu, Buddha atau Kong Hu Cu.
Hal yang sudah berulangkali ditanyakan kepada saya, berkaitan dengan hubungan antara Pemerintah dengan DPR, kembali saya jelaskan bahwa sistem yang kita anut adalah Presidensial. DPR tidak dapat memberhentikan Presiden, dan Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Keduanya dipilih langsung oleh rakyat, dan karenanya kedua-duanya mendapat legitimasi politik yang sama. Bahwa ada kemungkinan saya terpilih sebagai Presiden, sementara anggota DPR tidaklah dalam posisi mayritas mendukung saya, saya menganggap hal itu adalah praktek yang sesuai sistem yang kita bangun. Presiden harus mampu meyakinkan DPR dengan argumentasi dan diplomasi. Saya mencontohkan pengalaman saya bertindak mewakili Presiden dalam berhadapan dengan DPR. Selama dua kali menjadi Menteri Kehakiman dan HAM dengan dua Presiden yang berbeda, saya telah membahas lebih dari 400 Rancangan Undang-Undang dengan DPR, yang kadang-kadang harus berdebat panjang untuk beradu argumentasi dan melakukan lobby. Pada akhirnya tidak ada satu masalahpun yang tak dapat diselesaikan. Ketika telah menjadi Mensesnegpun saya lagi-lagi harus mewakili Presiden membahas RUU yang rumit, seperti RUU tentang Pemerintahan Aceh sesudah Kesepakatan Helsinki dan RUU tentang Dewan Penasehat Presiden dan RUU tentang Kementerian Negara. Ada puluhan kali rapat kerja dan konslutasi dengan DPR yang saya hadiri, termasuk pula ketika saya harus mewakili Presiden SBY menjawab interplasi DPR tentang busung lapar.
Saya berpendapat bahwa Presiden tidaklah perlu panik menghadapi kritik para anggota DPR, karena lembaga itu mempunyai hak untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Sekali lagi saya tegaskan bahwa dikotomi antara “partai pemerintah” dengan “partai oposisi” seperti di negara-negara lain tidaklah dapat diterapkan untuk memahami praktik politik di negara kita. Ada kalanya suatu partai mempunyai kursi di kabinet, tetapi di DPR mereka bersikap seperti oposisi dan sebaliknya. Saya berkeyakinan bahwa para anggota DPR adalah politisi yang sama-sama mempunyai rasa tanggung-jawab untuk memajukan bangsa dan negara. Karena itu, jika kita mampu meyakinkan sesuatu kepada mereka secara argumentatif, dan mampu menarik simpati mereka dengan cara mengetuk hati-nurani mereka, saya percaya, semua politisi di negara kita ingin akan menyadari bahwa ada suatu langkah bersama yang harus dilakukan untuk mengatasi suatu masalah. Sebab itu, saya katakan, bahwa jika saya terpilih menjadi Presiden, saya akan memberikan briefing kepada para menteri tentang bagaimana mereka harus berhadapan dengan DPR. Presiden SBY dan Wapres JK sebenarnya pernah meminta saya untuk memberikan briefing itu kepada semua anggota kabinet, yang juga akan dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden. Namun sayang pelaksanaan acara itu tertunda-tunda karena kesibukan jadual Presiden, sehingga sampai saya keluar dari kabinet, acara itu tidak sempat diselenggarakan.
Kepada saya dan Rizal juga ditanyakan bagaimana caranya kami berdua melakukan komunikasi politik agar dapat dipahami rakyat, karena kami berdua dianggap elit dan berpendidikan tinggi yang bahasanya sangat akademik. Saya katakan bahwa jauh sebelum saya terlibat ke dalam kancah politik, saya menjadi ustadz yang terus saya laksanakan sampai sekarang. Saya belajar komunikasi politik, dan memahami bagaimana caranya menyampaikan pesan-pesan kepada rakyat dalam bahasa yang sederhana dan dapat dipahami. Bertahun-tahun saya bekerja menulis naskah pidato Presidendan untuk itu saya berguru kepada Dr. Moerdiono, yang mengatakan kepada saya bahwa kalau Presiden berpidato maka apa yang dia ucapkan harus dimengerti semua orang. Pidato Presiden itu, kata Moerdiono “sama tukang becak harus dapat dimengerti, namun oleh professor tidak ditertawakan”. Sayapun belajar dari pengalaman saya mengajar filsafat kepada mahasiswa non filsafat. Saya harus menerangkan pemikiran filsafat yang super jelimet itu ke dalam bahasa yang dapat dimengerti orang yang tak berlatar-belakang pendidikan filsafat. Belum lama ini, saya mencontohkan, saya menyampaikan ceramah di hadapan sekitar 500 orang warga masyarakat Desa Wabula, di ujung timur Pulau Buton, yang bagian terbesarnya adalah kaum nelayan dan petani. Satu setengah jam saya berceramah, tanpa membuat mereka beranjak dari tempat duduk, dan mendengarkan ceramah itu dengan tekun. Saya berkeyakinan, bahasa komunikasi saya dengan rakyat, Insya Allah, tidak akan sulit dimengerti oleh rakyat.
Saya ditanya juga mengenai pembangunan infrastruktur, terutama ruas jalan tol yang kini tersendat-sendat. Saya katakan, masalah utama pembangunan ruas jalan tol itu terletak pada sulitnya membebaskan tanah, walau sudah ada PP Nomor 36 Tahun 2005. Pemerintah harus menyiapkan sebuah undang-undang tentang penyediaan tanah untuk pembangunan sarana kepentingan umum, kepentingan bangsa dan negara. Masalah pembangunan jalan tol, bukan disebabkan faktor modal. Swasta banyak yang berminat dan bank-bank sedia menyalurkan kredit. Karena itu, yang diperlukan adalah ketegasan Pemerintah dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya du lapangan dengan konsisten, sekalipun harus berhadapan dengan gugatan atau tuntutan hukum. Infrastruktur Summit sudah dua kali diselenggarakan oleh Pemerintah SBY, namun pelaksanaannya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Ada faktor kelambatan mengambil keputusan –- suatu hal yang juga dikeluhkan oleh Wapres JK – dan tidak jelasnya arahan kepada pejabat birokrasi dan BUMN, sehingga program ini berjalan tersendat-sendat. Hal yang sama terjadi pada tenaga listrik, yang sekarang mulai dirasakan menghambat pelayanan publik dan pembangunan industri.
Saya kira itulah inti pembicaraan dalam Acara Mencari Presiden Alternatif. Saya mohon maaf, saya tidak mengemukakan jawaban Rizal Mallarengeng, yang menurut penilaian saya sangat bagus dalam memberikan tanggapan dan penjelasan. Saya khawatir salah menuliskan tanggapan dan jawaban beliau. Mungkin Rizal juga mempublikasikan pembicaraan malam itu, sehingga setiap orang dapat pula mengakses ke berbagai sumber informasi yang beliau miliki.
Semoga anda manfaatnya.
Wallahu ‘alam bissawwab.
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=278
wah..pak yusril lagi…
ayo pak! yang muda – muda harus yang maju…
yang tua – tua turun ajah!
biar bangsa ini bisa “fresh”
Wah anda ketinggalan berita. Ini tulisan tahun 2008, bukan sekarang. Saya gak jadi nyalon tahun 2009 itu. Kalau waktu itu saya jadi maju, ya saya yang paling muda diantara semua calon yang ada. (YIM)