|

PENJELASAN TENTANG SISMINBAKUM

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Kejaksaan Agung meminta saya untuk menjadi saksi dan memberikan keterangan dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemungutan biaya akses fee dan biaya PNBP pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) Direkorat Jendral Adiministrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM atas nama tersangka Zulkarnain Yunus, Samsudin Manan Sinaga dan Romli Atmasasmita. Sebagai warganegara saya tentu akan memenuhi permintaan itu, dan Insya Allah, akan hadir pada hari Selasa 18 November besok.

Saya merasa sedih dan prihatin atas ditahannya ketiga pejabat dan mantan pejabat di Departemen Hukum dan HAM tersebut. Sisminbakum sebenarnya diciptakan dengan niat yang baik dan tujuan yang mulia untuk mengatasi kelambatan pelayanan birokrasi yang berdampak luas ke bidang ekonomi, dan sekaligus sebagai upaya untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari segala bentuk penyelewengan. Ketika saya masuk ke Departemen Hukum dan Perundang-Undangan – yang kemudian berubah menjadi Departemen Kehakiman dan HAM dan kemudian berubah lagi menjadi Departemen Hukum dan HAM sekarang ini – pada akhir tahun 1999, Pemerintah kita sedang berupaya keras memulihkan perekonomian nasional yang hancur akibat krisis moneter tahun 1997. Salah satu upaya pemulihan itu ialah jika iklim berusaha dibangun kembali, perusahaan-perusahaan swasta yang baru harus berdiri, yang ingin merger silahkan merger, termasuk yang ingin melakukan perubahan akta pendirian perusahaan karena perubahan pemegang saham dan susunan pengurusnya.
Kritik keras yang ditujukan kepada Departemen Kehakiman dan HAM ketika itu – termasuk kritik dari IMF dan Bank Dunia — ialah lambatnya departemen ini melayani proses pengesahan perseroan menjadi badan hukum. Di Singapura, Malaysia dan Hong Kong, proses itu hanya berlangsung satu sampai tiga hari. Kita memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan lebih satu tahun baru disahkan. Padahal tanpa pengesahan, perusahaan belumlah menjadi badan hukum, sehingga tidak dapat melakukan ikatan dan transaksi sebagaimana layaknya sebuah perusahaan yang berbadan hukum. Saya menyaksikan sendiri ada belasan ribu permohonan yang tertunda, karena pengerjaannya dilakukan secara manual. Untuk mencek nama perusahaan baru yang akan didirikan saja, notaris dari seluruh Indonesia harus datang ke Departemen Kehakiman. Petugas harus membuka buku-buku tebal arsip nama perusahaan sejak zaman Hindia Belanda sampai sekarang ini. Keadaan seperti ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi, waktu yang panjang, bertele-tele dan membuka peluang terjadinya berbagai praktek percaloan dan pungutan liar. Dalam beberapa kali sidang kabinet, Presiden Abdurrahman Wahid ketika itu, menyampaikan perintah agar Departemen Kehakiman segera membenahi sistem pelayanan pengesahan perseroan itu. Kalau tidak ada anggaran, dapat mengundang pihak swasta dan koperasi, kata Presiden.

Upaya untuk membenahi sistem pelayanan itu saya dengar sudah ada sejak Prof. Muladi menjadi Menteri Kehakiman. Keinginan untuk membangun pelayanan secara elektronis telah dimulai engan berbagai pengkajian, namun belum sempat diputuskan dan dilaksanakan. Di era saya, upaya ini diteruskan sampai akhirnya diputuskan untuk membangun Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum itu. Keputusan itu dituangkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan pada tanggal 4 Oktober 2000. Pelayanan manual dapat diteruskan sebagaimana biasanya, namun kita perlu membangun jaringan teknologi informasi, sehingga proses pengesahan badan hukum itu dapat dilakukan secara elektronis, sehingga sampai ke Direktorat Jendral AHU Departemen Kehakiman dan HAM secara lebih cepat dan sistematis. Sesuai arahan Presiden, kami berusaha untuk mengundang pihak swasta untuk menanam modal membangun jaringan itu. Sementara Koperasi Pengayoman Departemen Kehakiman dan HAM tidak memiliki modal yang cukup, di samping tidak mempunyai tenaga ahli membangunan dan mengoperasikan jaringan itu.

Dalam suasana krisis ekonomi di masa itu, tidak mudah mencari pihak swasta yang mau menanamkan modal di bidang IT. Perusahaan-perusahaan bahkan dijual dengan harga diskon oleh BPPN. Inilah kenyataan yang kita hadapi pada tahun 2000 itu.Hanya ada dua perusahaan yang berminat menanamkan modal dan setelah dilakukan penilaian, maka diputuskan agar koperasi bekerjasama dengan PT SRD untuk membangun jaringan itu. Keputusan menunjuk Koperasi agar bekerjasama dengan PT SRD itu saya tanda-tangani sebaga Menteri Hukum dan Perundang-Undangan selaku Pembina Koperasi, berdasarkan pembahasan dan usulan dari Direktorat Jendral AHU dan Koperasi. Seorang akuntan publik juga dimintai pendapat dan penilaian atas proposal kerjasama itu. Tidak ada proses tender di sini, karena tender berlaku apabila kita menggunakan dana APBN. Dalam proyek ini, justru pihak swasta yang diundang untuk menanamkan modalnya.

Satu hal yang memerlukan pengkajian yang lebih mendalam untuk melaksanakan proyek ini ialah, bagaimanakah caranya kita membayar pihak swasta yang membangun dan mengoperasikan jaringan IT ini. Pada waktu itu belum ada ketentuan yang mengatur kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam membangun jaringan IT. Kepada siapakahbiaya penggunaan jaringan itu akan dibebankan, termasuk pula pertanyaan, apakah biaya itu harus dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak PNBP sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997. Pejabat Direktorat Jendral AHU saya minta untuk berkonsultasi dengan Departemen Keuangan untuk mengklarifikasi masalah ini. Pada akhirnya didapat kesimpulan bahwa biaya akses menggunakan jaringan IT itu bukanlah obyek yang harus dikenakan PNBP.

Jaringan itu adalah ibarat jalan untuk menuju Departemen Kehakiman dan HAM, sementara seluruh proses pengerjaan pengesahan perseroan, mulai dari pengecekan nama seluruhnya dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan HAM. Bagi pelanggan, yakni para notaris yang mau menggunakan jaringan IT itu, mereka membayarnya kepada pihak swasta dan koperasi yang membangun dan mengoperasikan jaringan itu. Para notaris itu adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh Departemen Kehakiman, namun mereka tidak digaji oleh negara. Biaya penggunaan jaringan IT itu dipungut oleh notaris dari klien mereka – yakni para pengusaha yang ingin membentuk perseroan– yang ingin menggunakan Sisminbakum untuk mempercepat proses pengecekan nama perusahaan dan mengesahkannya. Uang itu kemudian dibayarkan langsung kepada koperasi dan PT SRD. Jika klien atau notarisnya tidak mau, mereka dapat mengurus pengesahan itu secara manual, tanpa harus membayar penggunaan jaringan IT kepada koperasi dan PT SRD. Namun, baik melalui jaringan IT ataupun manual, mereka tetap harus membayar biaya pelayanan pengesahan yang disetor sebagai PNBP. Begitu pula biaya mencetak berita negara untuk mengumumkan pengesahan perusahaan itu, dibayarkan kepada PT Percetakan Negara.

Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 1997, yang menegaskan bahwa pengenaan BNBP dilakukan antara lain terhadap hasil dari pengelolaan sumberdaya alam, hasil pengelolaan keuangan negara, hasil pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, termasuk pula pendapatan yang dikenakan karena negara memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kami berpendapat bahwa menggunakan jalur IT dalam proses pengesahan sebuah perseroan, adalah suatu kemudahan menuju kepada pelayanan yang diberikan Pemerintah, namun bukan pelayanan itu sendiri. Karena kemudahan itu dibangun dan dioperasikan oleh koperasi dan swasta, maka pembayaran dilakukan kepada mereka. Kalau tidak mau menggunakannya, dan mereka ingin menggunakan cara manual, para notaris tidak perlu membayar. Sama halnya dengan mencetak berita negara, diserahkan kepada PT Percetakan Negara, yang juga dibayarkan langsung kepada mereka, dan bukan sebagai PNBP. Dalam hal percetakan negara, malah tidak ada alternatif, sepanjang yang saya ketahui Departemen Kehakiman dan HAM selalu menyerahkan kepada PT Percetakan Negara untuk mencetak semua berita negara yang berisi pengumuman Pemerintah. Demikian pula pencetakan setiap lembaran negara yang berisi semua peraturan perundang-undangan.

Setelah proses pembangunan jaringan IT tersebut selesai, saya melaporkan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Beliau menyambut gembira selesainya proyek itu dan kemudian meminta Wakil Presiden Megawati untuk meresmikan beroperasinya Sisminbakum. Sejak itu, para notaris dari seluruh tanah air yang telah dilatih menggunakan sistem ini – yang biaya pelatihannya dibebankan kepada koperasi dan swasta — dan diberi pasword untuk mengakses data nama perusahaan dan mengajukan permohonan pengesahan dapat melakukannya dengan kecepatan yang luar biasa. Notaris dari daerah tidak perlu mondar-mandir ke Departemen Kehakiman di Jakarta untuk mencek nama perusahaan dan mengesahkannya, kalau mereka mau menggunakan jalur IT ini. Untuk mencek nama perusahaan, notaris dapat mencarinya langsung di bank data, setelah semua nama perusahaan yang ada di install ke dalam data base, hanya dalam hitungan menit. Begitu pula proses pengesahan dilakukan secara online. Proses pengesahan perseroan yang dulunya memakan waktu berbulan-bulan, bahkan lebih setahun, telah dapat dilayani hanya dalam waktu tiga hari. Para pengusaha yang mendirikan perusahaan merasa senang karena pelayanan yang begitu cepat dan biaya yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan menggunakan cara manual. Saya mendengar pada tahun 2008 ini, Sisminbakum mendapat penghargaan ISO 9006 sebagai bentuk pelayanan yang baik bagi masyarakat. Dampak dari proses yang begitu cepat dalam pengesahan perseroan ini ke bidang ekonomi, terutama penyerapan tenaga kerja dan pajak, memang belum pernah dihitung. Namun dampak itu secara kualitatif tentu cukup besar.

Saya diberhentikan menjadi Menteri Kehakiman dan HAMdi bawah Presiden Abdurrahman Wahid tidak lama setelah Sisminbakum beroperasi. Saya digantikan oleh Baharuddin Lopa, Marsillam Simanjuntak dan Maffud MD. Saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM lagi di bawah Prsiden Megawati pada bulan Agustus 2001 sampai dengan Oktober 2004. Sejak itu Menteri Kehakiman dan HAM yang telah berubah menjadi Menteri Hukum dan HAM dijabat oleh Hamid Awaludin dan Andi Mattalata. Saya menyadari bahwa pada tahun 2003, BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM yang menyarankan agar biaya akses Sisminbakum dimasukkan ke dalam PNBP dan dikategorikan sebagai pelayanan kepada masyarakat. Saya meminta kepada Dirjen AHU Zulkarnain Yunus pada waktu itu, untuk menanggapi saran BPKP itu dan membahasnya bersama dengan Departemen Keuangan. Semua pihak menyadari bahwa kalau biaya akses itu harus dimasukkan ke dalam PNBP maka negara harus menyediakan dana APBN untuk membangun sistem itu, atau mengambil alih investasi swasta untuk dijadikan sebagai usaha yang dilakukan oleh negara. Jika proses ini selesai maka Presiden, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 1997 mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang menetapkan biaya akses Sisminbakum itu dijadikan obyek PNBP. Langkah menyelesaikan masalah ini telah ditempuh oleh Menteri Kehakiman Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata. Setelah membahas bersama-sama dengan Departemen Keuangan, mereka sepakat untuk menjadikan jaringan IT Sisminbakum itu sebagai Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Departemen Hukum dan HAM, setelah perjanjian kerjasama antara Koperasi Pengayoman dengan PT SRD berakhir tahun 2010 nanti, dan PT SRD sesuai perjanjian BOT akan menyerahkan seluruh aset Sisminbakum kepada Koperasi Pengayoman.

Ketika proses penyelesaian Sisminbakum ini tengah berlangsung, saya membaca pemberitaan media bahwa beberapa pejabat Dirjen AHU Departemen Hukum dan HAM diperiksa Kejaksaan Agung dengan dugaan melakukan korupsi biaya akses Sisminbakum, yang seharusnya menurut kejaksaan harus disetorkan ke kas negara. Saya ingin menegaskan bahwa dikalangan internal Pemerintah sendiri terdapat silang pendapat mengenai biaya akses Sisminbakum itu apakah obyek PNBP atau bukan. Saya berpendirian bahwa biaya akses itu adalah cost yang harus dibayar oleh pelanggan, dalam hal ini notaris, karena mereka menggunakan jalur IT yang dibangun oleh swasta dan koperasi. Sama halnya jika pengguna jalan ingin menggunakan jalan tol, mereka membayar biaya tol kepada perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalan tol itu. Di antara perbedaan pendapat mengenai PNBP itu, baiklah kita kembalikan kepada undang-undang PNBP itu sendiri.

Sesuatu dijadikan obyek PNBP atau tidak, haruslah didasarkan kepada undang-undang atau Peraturan Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Silang pendapat antara Departemen Kehakiman dan HAM dengan BPKP bisa saja terjadi, namun akhirnya Presidenlah yang berwenang memutuskan dan menandatangani Peraturan Pemerintah itu, apakah sesuatu itu menjadi obyek PNBP atau bukan. Kalau Presiden memutuskan hal itu PNBP, maka PNBPLah dia. Kalau Presiden tidak memutuskannya, maka biaya itu bukan PNBP.

Sejak Sisminbakum diberlakukan pada tahun 2001 telah dua kali diterbitkan PP mengenai PNBP di Departemen Kehakiman dan HAM, yakni PP Nomor 75 Tahun 2005, dan PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditanda-tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Pebruari 2007. Dalam kedua PP ini disebutkan biaya pengesahan perseroan sebesar Rp. 200 ribu per pengesahan, sementara biaya akses Sisminbakum tidak dicantumkan sebagai PNBP. Sementara Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam suratnya kepada Menteri Hukum dan HAMtanggal 8 Januari 2007 mengatakan antara lain bahwa biaya Sisminbakum belum ditetapkan sebagai PNBP dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005. Untuk itu, katanya, tarif PNBPnya “perlu segera diusulkan untuk ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”. Kalaupun diusulkan, maka keputusan akhir menyatakan biaya itu PNBP atau bukan adalah ditangan Presiden.Namun PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditandangani Presiden tanggal 15 Pebruari 2007 itu ternyata tidak memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP.

Kalau ingin dijadikan sebagai PNBP, seperti telah saya katakan, perusahaan milik swasta yang bekerjasama dengan koperasi itu diambil alih saja oleh Pemerintah, kemudian diterbitkan PP baru yang menetapkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP. Atau, menempuh solusi yang diajukan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, yakni membentuk Badan Layanan Umum (BLU) dibawah Departemen Hukum dan HAM untuk mengambil alih jaringan IT Sisminbakum yang dibangun dan dioperasikan oleh koperasi dan swasta setelah perjanjian BOT mereka berakhir tahun 2010 nanti. Dengan demikian, persoalan ini dapat diselesaikan menurut mekanisme UU PNBP itu sendiri, bukan melihatnya sebagai masalah pidana. Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan tahun 2000 tentang pemberlakuan Sisminbakum adalah tindakan jabatan yang berisi kebijakan untuk mengatasi kelambatan dan kekecewaan masyarakat atas pelayanan pengesahan perseroan dan sekaligus memangkas ekonomi biaya tinggi. Sebagai kebijakan, tindakan itu bukanlah tindakan pribadi, karena kebijakan itu terus berlanjut sampai sekarang, sementara telah enam kali Menteri Kehakiman dan HAM berganti sampai Menteri Andi Mattalata sekarang ini. Jika di kemudian hari, kebijakan itu dinilai keliru, maka pejabat penerusnya dapat memperbaiki kebijakan itu. Masalah ini, sekali lagi, haruslah dilihat dalam konteks hukum administrasi negara, bukan melihatnya dari sudut hukum pidana.

Terakhir saya ingin menegaskan adanya anggapan bahwa biaya akses Sisminbakum itu bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) Keppres Nomor42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Negara.Pasal tersebut menyatakan “Departemen/lembaga tidak diperkenankan mengadakan pungutan dan atau tambahan pungutan yang tidak tercantum dalam undang-undang atau peraturan pemerintah”. Kalau Kepres ini dijadikan sebagai dasar, maka Kepres itu sendiri tidak berlaku surut karena Sisminbakum telah diberlakukan sejak tahun 2001. Asas nullum dilectum dalam KUHP menegaskan bahwa hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut. Di samping itu, Departemen Kehakiman dan HAM tidaklah memungut biaya akses Sisminbakum. Para pendiri perusahaan dan notaris yang ingin menggunakan jalur IT dalam mencek nama perusahaan dan memproses pengesahannya, membayar biaya akses langsung kepada koperasi dan perusahaan swasta yang membangun dan mengoperasikan jalur IT itu. Kalau mereka tidak mau menggunakan jaringan IT itu, seperti telah saya katakan, mereka tidak perlu membayar. Apa yang dipungut oleh Departemen Kehakiman dan HAM ialah biaya pengesahan yang sudah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah sebagai PNBP.

Demikian penjelasan saya, mudah-mudahan penjelasan ini dapat menjernihkan berbagai persoalan terkait dengan Sisminbakum yang akhir-akhir ini menjadi pemberitaan di berbagai media massa.

Jakarta, 16 November 2008

Yusril Ihza Mahendra

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=291

Posted by on Nov 17 2008. Filed under Hukum. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

474 Comments for “PENJELASAN TENTANG SISMINBAKUM”

  1. Sisminbakum bagus. Tidak ada yang salah dengan kebijakan itu. Kalau sisminbakum salah, dan mau diungkit, harusnya sejak presiden Gus Dur masih ada. Kok baru sekarang setelah Gus Dur wafat Kejaksaan mengungkit-ungkit. Ada apa????? Lawan aja bang Yusril, orang-orang yang sehat akal & nuraninya pasti di belakang Anda, mendukung, dan mendoakan Anda.

  2. Menurut saya siminbakum tdk ada unsur korupsi dan pungutan liarnya, karena pengguna layanan/notaris masih bisa menggunakan cara manual atau cara-cara lama untuk melakukan proses pengesahan perseroan menjadi badan hukum.

    Jadi, Sisminbakum merupakan PILIHAN, bukan PAKSAAN…

    Analogi yg paling mudah dipahami adalah pada penggunaan jalan tol.
    Jika ingin cepat dan bebas hambatan maka harus membayar biaya tol kepada perusahaan swasta, yang membangun dan mengoperasikan jalan tol tsb.

  3. MENYAMBUNG Komentar Saya Terdahulu, Komentar #434 (halaman 9: SEKALI LAGI “komentar #363″ pages 8 & “komentar #415″ pages 9)”.

    YW selaku Dirut PT SRD divonis empat tahun penjara di pengadilan tingkat pertama, lalu mendapat diskon dua tahun penjara di tingkat banding, namun ditolak permohonan kasasinya di tingkat Mahkamah Agung, yg mana bahkan justru menambah hukuman menjadi lima tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsidair enam bulan penjara plus keharusan membayar kerugian negara sebesar Rp 378 miliar lebih.

    Dgn itu, terbukti apa yg saya maksudkan sejak awal mula Sisminbakum itu menjadi ramai sebagai kasus hukum pidana khusus di Kejakgung, bahwa Kejakgung tidak proporsional dengan angka Rp. 410M (sangkaan “Sisminbakum merugikan keuangan negara sebesar Rp. 410M”), bahkan kini tampaknya Mahkamah Agung turut berlebihan pula.

    Apa yg saya maksudkan dgn “kejadiannya dan persoalannya adalah ‘pungli’, atau tindakan pungli dalam tanda kutip, pungli yang agak aneh, yaitu sejak adanya PP 19/2007 tgl 15 Feb 2007 (PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2005 TENTANG JENIS DAN TARIF ATAS JENIS PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERLAKU PADA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA)” dlm komentar saya terdahulu itu, #363 (halaman 8), adalah ‘pungli’ sbb.:
    1. oleh PT SRD (& Koperasi Pengayoman) terhadap masyarakat/Notaris (di mana tampaknya Dirjen AHU juga harus bertanggung-jawab),
    2. (juga..) oleh negara cq Depkeu cq Ditjen Pajak terhadap PT. SRD.
    Argumentasinya, lebih-kurang sbb.:
    Bermula pada tahun 2003 di mana “BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM yang menyarankan agar biaya akses Sisminbakum dimasukkan ke dalam PNBP dan dikategorikan sebagai pelayanan kepada masyarakat”, dan Menkeh&HAM (Yusril Ihza Mahendra) meminta Dirjen AHU (Zulkarnain Yunus) untuk menanggapi saran BPKP itu dan membahasnya bersama dengan Departemen Keuangan.
    Dan kemudian diterbitkan PP mengenai PNBP di Departemen Kehakiman dan HAM, 2 kali, sbb.:
    1. PP Nomor 75 Tahun 2005; disebutkan bahwa biaya pengesahan perseroan sebesar Rp. 200 ribu per pengesahan, sementara biaya akses Sisminbakum tidak dicantumkan sebagai PNBP.
    2. PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditanda-tangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 15 Pebruari 2007, didahului surat Menteri Keuangan kepada Menteri Hukum dan HAM tanggal 8 Januari 2007 yg mengatakan antara lain “tarif PNBPnya perlu segera diusulkan untuk ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.
    Demikianlah, tampaknya Depkum&HAM tidak pernah mengajukan usulan dlm bentuk angka dlsb ttg besar biaya akses Sisminbakum itu menjadi dan sebagai tarif PNBP (terlepas – mestinya – adanya asumsi bahwa kemudian negara harus menyediakan dana APBN untuk membangun sistem pengganti atau mengambil alih investasi swasta untuk dijadikan sebagai usaha yang dilakukan oleh negara). Akhirnya PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditandangani Presiden tanggal 15 Pebruari 2007 itu tidak memasukkan biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP. Dan biaya akses Sisminbakum pun, dlm arti operasional PT SRD dlm Sisminbakum itu, jalan terus. Juga pemungutan pajak (PPN) PT SRD oleh Ditjen Pajak. Itulah yg saya maksudkan dgn ‘pungli’ tadi atau “pungli dlm tanda petik”.

    (bersambung).

    (HI – Jaktim, 10/8/2010).

  4. Orang awan saja paham bahwa abang tidak bersalah dalam persolan ini. akan tetapi mereka-mereka yang telah ditutup hatinya dari kebenaran memang tidak mengerti atau berpura-pura tidak mengerti. Di Indonesia ini kebenaran diukur dari suara terbanyak, bukan dari fakta dan data. teruslah berjuang bang… Allah pasti tahu apa sesungguhnya yang terjadi…

  5. Maju terus Bank YIM doa kami menyertai mu
    wassalam

  6. maju tak gentar membela pemimpin yg beriman…maju terus bang …kami2 siap dibelakang abang.

  7. kalo bela YIM ,maju terus !!! jihad untuk bela pemimpin islam yg di zolimi.

  8. Maju terus bapak Yusril.. Saya yakin bahwa anda benar.. Semoga Allah menguatkan anda..

  9. dimana2 yg membangun n membiayai y yg dpt duit dunk, apa lagi melibatkan pihak swasta. kl pemerintah g bisa membangun n membiayai y jgn memaksa untuk dpt duit. gt aja kok repot…..

  10. Saya dukung apa yang dilakukan Yusril

  11. Ada power apa di balik ini semua.
    Pak Yusril pernah melawan Belanda dengan peraturan2 Visa yang sangat merugikan
    warga Negara Indonesia. Sangat dimungkinkan roh roh penjajahan Belanda itu masih
    kental bergentayangan di Republik ini. Tujuannya : jangan sampai bekas “koeli koeli” yang sebenarnya pandai pandai ini bisa MAJU dan mengalahkan supremasi para Ndoro Ndoro Barat itu.

  12. lha wong sudah melakukan terobosan untuk pelayanan prima tanpa membebai apbn kok ya disalahkan….. kecuali ada laporan dari pemohon/perusahaan bahwa…pungutan tidak sesuai dengan asas kepatutan …. Pemerintah lagi disorientasi…. saking banyak kebobrokan yang di sembunyikan mencoba menutupinya dengan isyu lain…… sadarlah wahai para pemimpin negri ini….. hidup cuma sebentar….apa sih yang kalian cari???….. kalau hanya untuk menjaga citra di dunia agar bopengmu gak kelihatan….. yaqinlah….saatnya kelak….. pembalasan akan sangat pedih!!!!

  13. Saya rasa inti persoalan yang mendera anda adalah adanya pesanan dari luar yang doperatori orang kita di negeri ini, lewat kekuasaan salah satunya. Persoalan berumur lama sejak kita tersebut sebagai berdaulat. Menahan laju muslimin Indonesia, inilah inti segalanya. Bukan soal sisminbakum. Anda tahu ini, sebab sebutan Natsir muda telah melekat pada diri seorang Yusril. Semoga Allah memberi kekuatan dan pertolongan-Nya. Salam.

    Mungkin ada benarnya. Pemainan ini bahkan melibatkan orang-orang anti Islam di luar negeri yang terus-menerus memsuplai data dan ananisisnya ke jalur intelejen di negara kit(YIM)

  14. Insya kebenaran akan menang diakhir kelak Insya Allah bang…!!! hilman tasik

  15. Insya Allah kebenaran akan menang diakhir kelak Insya Allah bang…!!!
    Rapatkan bariskan umat Islam kita…. hilman tasik

  16. Alhamdulillah di MK Abang bisa mencerdaskan bangsa di bidang hukum ini ya…..,
    dan gimana Bapak RI 1 mengangkat pengganti jagung kita tunggu….;
    Apakah sisminbakum gimana?????

  17. Dulu saya pengemar YIS banget2..
    Pembawannya tenang dan down to earth dan perhatian pada kaum menengah kebawah, sempat terfikir bahwa YIS adalah my next presiden.
    Tapi sekarang kok jadi berubah ya? Beliau Terlihat jadi lebih arogan..
    Dan seperti sudah lupa dengan kata-kata yang membuat saya takjub dengan beliau beberapa tahun lalu..
    Terus terang saya kecewa sekali… Saya harap cita2 luhur untuk meng-ABDI-kan diri pada Tanah Air Tercinta dan membantu Khalayak Banyak (Rakyat Kecil bukan anggota2 terdekat dalam ranah politik) tetap menjadi tujuan utama.
    Saya berharap panutan saya tidak salah.. Wasalam

    ‘Alaikum salam. Kalau itu yang dimaksud saya, Insya Allah tidak berubah. Saya mohon maaf, kini begitu banyak kezaliman dan tekanan kepada saya dapat membunuh karakter saya. Dalam kondisi seperti itu saya terlihat garang karena melawan. Saya mohon maaf, bukanlah maksud saya menjadi arogan. Saya hanya melawan dan menyerang balik berbagai fitnah dan tuduhan, sehingga terlihat seperti arogan seperti anda katakan. Saya tidak bermaksud seperti itu. (YIM)

  18. Sampai sekarang saya masih pengagum YIM….
    dengan berita yang “simpang siur” di media massa yang “menghakimi” Bang YIM, saya jadi geram sebenarnya, apa sih sebenarnya yang mereka mau..dan siapa sebenarnya dibalik semua ini dan tujuan akhir dari ini semua apa? kasus SISMINBAKUM ini yang dari penjelasan Bang YIM sudah sangat gamblang menjadi “kabur” dan menyesatkan ketika media massa mengutip informasi dari petinggi kejakgung bahwa mempunyai bukti2 kuat…ada kwitansi, ada transfer dana..ada pengakuan/saksi dari si A dan Si B, ada kesalahan prosedur dan macam2lah..yang menurut saya kalau ini selalu digencarkan di media massa, bukan tidak mungkin jika ini akan dianggap sebagai kebenaran oleh masyarakat..apalagi oleh orang2 yang secara ideologis tdk sependapat dg Bang YIM….Bagaimana ini dapat Bang YIM jelaskan, tmsuk pernyataan2 Kejakgung yang menyesatkan tsb…..Semoga perjuangan ini berhasil Bang dan Yakin Usaha Sampai

  19. Maju terus bang. Jangan pernah menyerah dari sini kami akan mendoakan abang. semoga Allah melindungi kita semua…

  20. memang susah hidup dengan aturan hukum dinegara ini yg dikuasai para koruptor dan mafia hukum yg berkedok malaikat,tapi saya percaya nanti akan ada seorang pemimpin dinegara tercinta ini yang tidak pernah mengatakan ya utk kebohongan,amin.

  21. HUKUM PAJAK DAN BEKERJA DI INSTANSI PAJAK

    Pertanyaan:

    Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh
    Ustadz… Saat ini saya bekerja di Direktorat Jendhaeral Pajak. Pekerjaan ini merupakan buah dari kuliah saya di perguruan tinggi kedinasan, sehingga saya harus menjalani masa ikatan dinas selama 10 tahun.

    Ustadz, yang ingin saya tanyakan adalah:
    Bagaimanakah hukum pajak menurut Islam?
    Bagaimana jugakah hukum penghasilan yang saya terima dari PNS Ditjen Pajak ini?
    Saran Ustadz terkait posisi saya?
    Syukran Ustadz.

    Semoga rahmat Allah SWT senantiasa terlimpahkan kepadamu.

    Maeda D Candra

    Jawaban:

    Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahklan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

    Saudara Maeda D Candra, semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada anda dan keluarga.

    Agama Islam yang anda imani dan cintai ini adalah agama yang benar-benar menghormati hak asasi dan kepemilikan umat manusia. Karenanya Islam tidak membenarkan bagi siapapun untuk mengambil hak seseorang tanpa seizin darinya.

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29)

    Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menegaskan hal ini pada banyak hadits, diantaranya beliau bersabda:

    لاَ يَأْخُذْ أَحَدُكُمْ عَصَا أَخِيهِ، وفي رواية: مَتَاعَ أَخِيهِ لاَعِبًا أَوْ جَادًّا فَمَنْ أَخَذَ عَصَا أَخِيهِ فَلْيَرُدَّهَا إِلَيْهِ. رواه أبو داوج والترمذي وحسنه الألباني

    “Janganlah salah seorang darimu mengambil tongkat saudaranya,-pada riwayat lain: barang saudaranya- baik karena bermain-main atau sungguh-sungguh. Dan barang siapa yang terlanjur mengambil tongkat saudaranya, hendaknya ia segera mengembalikan tongkat itu kepadanya.” (Riwayat Abu Dawud, At Tirmizy dan dinyatakan sebagai hadits hasan oleh Al Albani)

    Demikianlah syari’at agama Islam yang saudara cintai ini.

    Dan barang siapa yang melanggar ketentuan ini, maka diberlakukan padanya hukum-hukum Islam, baik di dunia ataupun di akhirat.

    Di dunia misalnya dikenakan hukum potong tangan bagi pencuri, atau dipancung secara menyilang bagi perampok dan lain sebagainya:

    وَأَيْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ، لَقَطَعْتُ يَدَهَا. متفق عليه

    “Sungguh demi Allah, andai Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

    إِنَّمَا جَزَاء الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا أَن يُقَتَّلُواْ أَوْ يُصَلَّبُواْ أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلافٍ أَوْ يُنفَوْاْ مِنَ الأَرْضِ ذَلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا وَلَهُمْ فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ. المائدة 33

    “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya/diasingkan). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (Qs. Al Maidah: 33)

    Berdasarkan prinsip ini, Islam tidak membenarkan berbagai pungutan yang tidak didasari oleh alasan yang dibenarkan, diantaranya ialah pajak. Pajak atau yang dalam bahasa arab disebut dengan al muksu adalah salah satu pungutan yang diharamkan, dan bahkan pelakunya diancam dengan siksa neraka:

    إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني.

    “Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, dan hadits ini, oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih.)

    Dalam tata keuangan negara Islam, dikenal empat jenis pungutan:

    1. Zakat Mal, dan Zakat Jiwa. Pungutan ini hanya diwajibkan atas umat Islam. Dan saya yakin anda telah mengetahui perincian & penyalurannya dengan baik.

    2. Al Jizyah (Upeti)/pungutan atas jiwa, dikenakan atas ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam.

    3. Al Kharaj (semacam pajak bumi), dikenakan atas ahlul kitab yang menggarap tanah/lahan milik negara Islam. Hasil kedua pungutan dari ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam ini digunakan untuk membiayai jalannya pemerintahan Islam.

    4. Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur, Al ‘Usyur (atau 1/10) adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara Islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful ‘Usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam.

    Itulah pungutan yang dikenal dalam syari’at Islam. Bila anda bandingkan pungutan pajak dengan ketiga jenis pungutan dalam Islam, maka lebih serupa dengan pungutan ke 2, ke 3 & ke 4 (Al Jizyah, Al Kharaj & Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur). Padahal pajak diwajibkan atas semua warga negara, tanpa pandang bulu agamanya. Tentu ini adalah perbuatan yang tidak terpuji alias menyelisihi syari’at Islam.

    Seharusnya, Negara Islam membedakaan penduduknya berdasarkan agamanya, umat Islam dipungut zakat jiwa dan zakat harta kekayaan, termasuk zakat perniagaan, sedangkan non muslim dipungut Al Jizyah, Al Kharaj & Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur.

    Yang terjadi, zakat tidak diurus dan tidak dikelola dengan baik, sedangkan Al Jizyah & Al Kharaj dikenakan atas semua warga negaranya, tidak heran bila anda mau makan saja harus membayar pungutan, anda menjual makananpun juga dikenakan upeti, dan seterusnya.

    Saran saya, saudara Maeda D Candra berusaha untuk minta mutasi ke instansi lain yang tidak ada kaitannya dengan pajak atau perbankan, walaupun resikonya turun golongan. Bila solusi ini tidak dapat ditempuh, maka lebih baik saudara Maeda D Candra berhenti dari pekerjaan ini dan mencari pekerjaan lain yang jelas-jelas halal. Percayalah, bahwa bila saudara meninggalkan pekerjaan yang haram karena Allah, pasti Allah memberi saudara jalan keluar dan pekerjaan yang halal dan lebih baik dari yang pekerjaan sekarang.

    وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا . الطلاق 2-3

    “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Qs. At Talaaq: 2-3)

    Dahulu ulama’ kita menegaskan:

    مَنْ تَرَكَ شَيئاً لله عَوَّضه الله خَيراً منه

    “Barang siapa meninggalkan suatu hal karena Allah, niscaya Allah menggantinya dengan yang lebih baik.”

    Wallahu a’alam bisshawab.

    Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

    ***

    Redaksi:
    Berikut ini kami sertakan penjelasan ustadz mengenai pajak sebagai pelengkap penjelasan di atas. Penjelasan ustadz di bawah ini sangat erat kaitannya dengan Tanya Jawab mengenai Akad Black Market yang sudah pernah diposting sebelumnya. Diskusi lengkap tentang hal ini dapat Anda simak pada milis Pengusaha Muslim (pengusaha-muslim@yahoogroups.com).

    MENGAPA ISLAM MENGHARAMKAN PAJAK?

    Pertanyaan:

    Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh,
    Maaf sebelumnya kalo saya ikut nimbrung lagi atas permasalahan ini, karena saya bekerja di lingkup kepabeanan, jadi ada beban moral untuk menulis sebatas pengetahuan yang saya miliki.

    Di kepabeanan tidak dikenal istilah Black Market, yang dikenal adalah istilah penyelundupan sebagaimana tercantum dalam Psl 102 UU No 17/1996 tentang kepabeanan. Dalam pasal tersebut secara rinci dijelaskan kategori tindakan apa saja yang bisa masuk kategori penyelundupan.

    Dalam UU tersebut, tidak dikenal istilah jalur resmi atau tidak atau setengah resmi. Yang ada hanya jalur merah dan jalur hijau.
    Secara sederhana, siapa saja yang mengimpor atau ekspor yang tidak memberitahukan kepada Bea Cukai (BC) dianggap sebagai penyelundupan. Jadi semua ‘resmi’ melalui satu pintu masuk, yaitu melalui BC.

    Mungkin yg dimaksud setengah resmi oleh Pak Chris adalah impor secara borongan (ini bukan istilah kepabeanan, hanya istilah umumnya). Impor inilah yg diperangi oleh saudara-saudara kita di BC, karena memanipulasi data-data untuk mengurangi pembayaran Bea Masuk (BM).

    Menurut hemat saya sebagai seorang awam dalam ilmu Islam, apakah semua harus dipahami secara kaku bahwa kalo agama tidak mengatur berarti halal dan aturan pemerintah boleh dilanggar, apakah kita tidak sebaiknya membuka diri untuk pemahaman sederhana saya.

    1. Kalo memang segala aturan yang dibuat oleh pemerintah yang tidak ada dalil atau tidak ada dalam Al Qurán dan Hadits, apakah semuanya boleh dilanggar? saya tidak membayangkan kalo semua rambu-rambu lalu lintas (yang tentunya tidak ada dalilnya) diabaikan atau dilanggar oleh semua orang karena agama tidak mengatur lalu lintas. Berapa banyak orang akan terdzolimi akibat ulah ugal-ugalan pengendara lain, berapa banyak orang meninggal atau luka karena kecelakaan.

    2. Saya tidak bisa membayangkan kalo penyelundupan memang dibolehkan oleh agama kita, karena mudharatnya lebih besar. Kita ambil contoh kebijakan pemerintah yang melarang impor pakaian bekas, kalau pakaian bekas dibolehkan masuk, maka selain akan timbul wabah penyakit yg terbawa dalam pakaian bekas itu, industri tekstil kita akan hancur karena kalah bersaing dengan pakaian bekas.

    3. BM dipungut agar industri kita bisa bersaing dengan barang impor. Untuk diketahui bahwa BM dikenai lebih tinggi untuk barang jadi, sedang untuk bahan baku sebagian besar BM-nya 0%. Kalo penyelundupan dibolehkan atau BM tidak dipungut, akibat yg timbul sangat besar, yakni industri kita akan gulung tikar dan akibatnya timbul PHK besar-besaran yang tentunya menimbulkan kerawanan sosial. Daya beli masyarakat akan turun dan inflasi akan tinggi.

    4. BM dipungut untuk membiayai pembangunan yang tentunya akan dirasakan oleh semua umat, termasuk kita, kalau memang penyelundupan boleh dan BM tidak dipungut, darimana pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur yang dinikmati oleh semua umat, termasuk para pengusaha. Dari Zakat? Apakah negara kita yang notabene bukan negara muslim mampu membiayai pembangunan dengan zakat selama masyarakatnya belum sepenuhnya sadar akan pentingnya zakat sebagai pengganti pajak?

    5. Dari dalil-dalil yang sudah disampaikan ustadz dan rekan-rekan lain, saya tidak menemukan ada yang menyampaikan dalil yang langsung menyebutkan bahwa Allah atau Nabi Muhammad melarang secara tegas umatnya memungut pajak. Maksud saya sebagai seorang awam, apakah kita tidak sebaiknya melihat secara komprehensif dari kemaslahatan umat dan mudharat yang ditimbulkan daripada keuntungan yang didapat dengan tidak adanya Bea masuk.

    Itulah sekedar pemahaman sederhana saya dari sudut pandang muslim yang masih awam, tapi sebagai seorang muslim yang msh awam, kalau kita tidak mau menaati pemerintah terus siapa yang mengatur hubungan antar manusia dalam konteks keduniaan yang belum ada di zaman Rasulullah, seperti aturan kepabeanan, lalu lintas, izin usaha, izin tempat tinggal, dll… pasti kacau kalau tidak ada yang mengatur, karena semua akan saling serobot dan saling mendzolimi satu sama lainnya. Wallahualam bisawwab.

    Donny E

    Jawaban:

    Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

    Saudara Donny dan juga saudara-saudaraku lainnya yang telah memberikan komentar seputar masalah hukum perpajakan. Saya ucapkan banyak terimakasih atas masukan dan kritikannya, semoga apa yang saudara sekalian sampaikan menjadi timbangan amal sholeh di sisi Allah.

    Langsung saja, dari sekian komentar yang masuk, saya rasa komentar saudara Donny cukup mewakili semua komentar yang ada. Kerenanya, saya cukupkan untuk memberikan tanggapan padanya saja.

    Saudara-saudaraku! Sebelum saya memberikan tanggapan lebih jauh, saya harap saudara kembali membaca jawaban saya.

    Pada jawaban itu telah saya sebutkan macam-macam pungutan yang dibenarkan dalam Islam.

    Sekedar mengingatkan, kembali saya sebutkan disini:

    1. Zakat mal, dan zakat jiwa (zakat fitrah). Pungutan ini hanya diwajibkan atas umat Islam. Dan saya yakin anda telah mengetahui perincian & penyalurannya dengan baik.

    2. Al Jizyah (Upeti)/pungutan atas jiwa, dikenakan atas ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam.

    3. Al Kharaj (semacam pajak bumi) dikenakan atas ahlul kitab yang menggarap tanah/lahan milik negara Islam. Hasil kedua pungutan dari ahlul kitab yang berdomisili di negeri Islam ini digunakan untuk membiayai jalannya pemerintahan Islam.

    4. Al ‘Usyur atau Nisful ‘Usyur, Al ‘Usyur (atau 1/10) adalah pungutan atas pedagang ahlul harb (orang kafir yang berdomisili di negeri kafir dan tidak terjalin perjanjian damai dengan negara islam atau bahkan negara kafir yang memerangi negara Islam), dipungut dari mereka seper sepuluh dari total perniagaannya di negeri Islam. Sedangkan Nisful ‘Usyur (1/20) adalah pungutan atas para pedagang ahlul zimmah, orang kafir yang menghuni negeri Islam.

    Bila saudara-saudaraku sekalian merenungkan baik-baik keempat jenis pungutan ini, saya yakin semua yang saudara permasalahkan akan sirna dengan sendirinya atau minimal jauh berkurang.

    Mengapa demikian? Karena jizyah adalah semakna dengan pajak penghasilan yang sekarang dipungut oleh pemerintah, hanya saja jizyah hanya dibebankan kepada non muslim yang tinggal di negara islam. Dengan demikian warga negara yang beragama Islam tidak dipungut pajak penghasilan/jizyah.

    Al Kharaj adalah semacam pajak bumi yang sekarang diberlakukan oleh pemerintah, hanya saja bedanya, al kharaj hanya dikenakan pada bumi yang produktif. Dengan demikian al kharaj lebih ringan dibanding PBB yang diberlakukan oleh pemerintah. Dan pungutan ini juga hanya diberlakukan atas orang-orang non muslim yang berdomisili di negara Islam dan mendapatkan izin untuk menggarap/mengolah sebagian dari lahan negara.

    Al ‘Usyur atau Nishful ‘Usyur adalah semacam pajak perniagaan (penjualan & pembelian) yang diberlakukan oleh pemerintah.

    Dengan demikian yang menjadi inti permasalahan bukan pada ada atau tidaknya pungutan, akan tetapi anggota masyarakat yang dibebani pungutan tersebut.

    Bila pajak atau bea cukai diberlakukan seperti sekarang yang berlaku di berbagai negara, maka betapa enaknya orang kafir yang tinggal di negeri Islam. Mereka hanya dikenai satu jenis pungutan saja. Sedangkan orang muslim dikenai pajak, bea cukai dan juga masih dipungut zakat mal dan zakat jiwa (fitrah).

    Coba saudaraku semua kembali memikirkan fakta ini? bukankah itu artinya penindasan atas warga muslim? Bukankah ini artinya menganak emaskan non muslim di atas muslim? Relakah anda dengan perlakuan semacam ini?

    Sebagai seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir: manakah yang akan anda dahulukan dan tidak mungkin anda tinggalkan; zakat atau pajak?

    Menurut hemat dan perasaan saudara: manakah yang paling besar dampak negatifnya bila dilanggar?

    Sebagai warga negara yang baik dan sekaligus sebagai seorang muslim yang benar-benar beriman: manakah yang benar-benar berguna bagi kehidupan umat manusia, anda membayar pajak atau anda membayar zakat?

    Manakah yang benar-benar akan mengentaskan kemiskinan dan benar-benar memakmurkan masyarakat: pajak atau zakat?

    Saya yakin sebagai seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir: anda pasti memilih zakat pada setiap pertanyaan di atas. Zakat benar-benar sampai kepada yang membutuhkan, meningkatkan daya beli masyarakat, mendatangkan keberkahan dalam kehidupan masyarakat?

    Masalah fakta yang terjadi di negara kita dan juga di negara lainnya: dimana pemerintah tidak memperdulikan zakat, dan lebih mengutamakan pajak, itu kesalahan siapa? Kesalahan agama atau manusia?

    Andai pemerintah yang ada mengelola dan menyalurkan dana zakat sebagaimana yang disyari’atkan dalam agama, niscaya negara menjadi makmur, daya beli masyarakat tinggi, sekolah gratis, pengobatan gratis, dan piutang masyarakat terbayar, TNI & Polri dapat digaji dengan layak, persenjataan dapat dibeli.

    Akan tetapi pemerintah malah mementingkan pajak, sehingga tidak berkah, hasil pungutan pajak lenyap ke kantung-kantung sebagain orang, dan konsultan pajak menjadi kaya raya, orang-orang non muslim bisa akal-akalan sehingga bebas pajak (ngemplang pajak) dan seterusnya.

    Saudara ingin tahu apa perbedaan antara keduanya: Perbedaannya pada keimanan saudara. Saudara membayar zakat dengan motivasi dari dalam diri anda, iman dan ketakwaan anda menyadarkan anda untuk membayar zakat; Sedangkan pajak, kalaulah bukan keterpaksaaan, mungkin saja 99 % penduduk yang wajib pajak akan ngemplang pajak, makanya mereka meminta para konsultan pajak, guna mengakali besaran kewajiban pajaknya. Bukankah demikian?

    Coba kembali saudara cermati: siapakah yang selama ini selalu mengemplang pajak: yang membayar zakat atau yang tidak? Orang Islam atau orang kafir?

    Andai pemerintah mengelola zakat dengan baik, mereka tidak perlu dana untuk menyadarkan masyarakat muslim tentang wajibnya zakat. Setiap guru ngaji, ustadz, kiayi, guru agama, dan juru dakwah dengan sendirinya menjalankan tugas sosialisasi zakat. Coba saudara tanya ke ustadz atau khatib jum’at di sekitar anda: Siapa yang memerintahkan mereka berceramah, menggalakkan zakat? Mendapat gaji berapa besar mereka dari sosialisasi itu?

    Jadi pemerintah hanya memungut, mengelola dan menyalurkannya. Enak bukan?

    Masalah perpajakan yang sekarang berlaku di negara kita: Coba anda pikirkan dengan baik, siapakah sebenarnya pemilik pabrik Toyota, Mc Donald, KFC, Sony, Pepsi, dll, yang ada di Indonesia. Apakah itu milik warga muslim atau milik orang-orang kafir, sedangkan orang muslim yang menjadi agen atau PMT (pemegang merek tunggal) hanya sekedar berperan sebagai perwakilan?

    Bila demikian, tidak ada masalah memungut pajak dari barang-barang tersebut, karena itu adalah bagian dari perniagaan orang-orang kafir.

    Kembali saya bertanya: Milik siapakah CALTEX, Shell, Freeport dan yang serupa? Anda pasti sepenuhnya mengetahui bahwa itu adalah milik orang-orang kafir, dengan demikian anda tidak perlu risau dari pungutan pajak yang dibebankan kepada mereka. Bahkan seharusnya, pajak yang dibebankan kepada mereka melebihi yang selama ini dipungut dari mereka. Karena kalau menurut teladan khalifah Umar bin Al Khattab mereka dikenakan 10 % (‘usyur) dari total penghasilan mereka.

    Jadi saudara tidak perlu khawatir bahwa negara akan kehilangan pendapatannya. Ditambah lagi apa yang saudara dikhawatirkan bahwa negara Islam akan kebanjiran barang dari negara kafir itu tidak ada dasarnya. Karena pemerintah akan memungut 10 % atau minimal 5 % dari total penghasilan perusahan milik orang kafir yang memasarkan barangnya di negeri Islam.

    Setelah mengetahui konsep zakat, Kharaj, ‘Usyur atau Nishful ‘Usyur di atas, masihkan ada kekawatiran bahwa negara akan kolap tidak memilik sumber pendapatan? Atau masihkan ada kekhawatiran bahwa industri dalam negeri (baca = umat Islam) akan kalah bersaing?

    Ditambah lagi: Coba saudara renungkan fakta masyarakat Islam ini. Umat Islam sekarang ini lebih suka membeli merek ketimbang membeli mutu barang? Saya yakin saudara paham apa yang saya maksud. Betapa sepatu produksi Cibaduyut yang memiliki mutu bagus tak kalah dengan mutu sepatur produksi Italia, akan tetapi susah mencari pasar di negeri sendiri, walau dijual dengan harga murah? Akan tetapi sepatu Italia yang dijual dengan harga mahal, dengan mudahnya dan bahkan masyarakat berebut untuk membelinya?

    Bukan sekedar berebut membeli saja, akan tetapi masyarakat juga merasa hebat lebih mulia, terhormat, dan gengsi bila memakai sepatu Italia. Sebaliknya mereka minder bila memakai sepatu cibaduyut? Inilah sebenarnya yang menjadikan produk dalam negeri hancur berantakan? Loyal & harga diri masyarakat ada pada merek orang kafir dan kehinaan serta keterbelakangan ada pada merek orang muslim atau pribumi?

    Oleh karena itu saya harap, saudara tidak mengalihkan duduk permasalahan, sehingga menjadikan saudara kurang dapat memandang permasalahan hukum pajak atas umat islam dengan jernih.

    Saudara Donny semoga Allah memberkahi diri saudara dan juga keluarga. Di atas saudara berkata: “BM dipungut untuk membiayai pembangunan yang tentunya akan dirasakan oleh semua umat, termasuk kita, kalau memang penyelundupan boleh dan BM tidak dipungut, darimana pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur yang dinikmati oleh semua umat, termasuk para pengusaha. Dari Zakat? Apakah negara kita yang notabene bukan negara muslim mampu membiayai pembangunan dengan zakat selama masyarakatnya belum sepenuhnya sadar akan pentingnya zakat sebagai pengganti pajak?”

    Sebagai seorang muslim saya rasa kurang pantas untuk mengatakan perkataan semacam ini tentang syari’at zakat, yang notabene merupakan rukun Islam agama saudara. Coba saudara kembali renungkan ucapan saudara ini! Selanjutnya coba bayangkan: Bila kelak di hari kiamat saudara berhadapan dengan Allah, anda dimintai pertanggung jawaban atas ucapan ini, apa yang kira-kira akan saudara katakan kepada Allah? Pikirkan baik-baik saudaraku!

    Saya memahami mengapa saudara komplain terhadap jawaban saya. Saudara berusaha mecocokkan dan menghukumi syari’at Islam dengan praktek dan fakta negara kita yang anda sendiri mengakui bukan negara Islam. Tidak heran bila saudara tidak menemukan titik temu antara keduanya. Bila saudara membahas syari’at islam, maka hendaknya saudara memandangnya dari sudut keimanan saudara, bukan dari praktek masyarakat atau kesalahan-kesalahan pemerintah yang ada.

    Bila saudara berbicara dengan kaca mata iman, saya yakin tidak akan ada kata lain yang keluar dari lisan saudara selain ucapan:

    إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . النور 51

    “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan: ‘Kami mendengar dan kami patuh.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. An Nur: 51)

    Masalah peraturan lalu lintas, dan yang serupa, maka tidak ada kaitannya dengan pembahasan hukum pajak atas orang Islam. Karena hukum itu mendatangkan maslahat dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan serta tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

    Akan tetapi pada permasalahan kita terdapat pertentangan: Ketahuilah bahwa setiap negara yang memungut pajak pasti menelantarkan urusan zakat. Padahal masalah zakat adalah salah satu tugas pokok negara Islam. Sebagaimana setiap negara yang memungut pajak, pasti tidak membedakan antara muslim dari non muslim, semuanya dipungut, sehingga menjadikan beban warga muslim dua kali lipat dari beban non muslim. Beban pribumi menjadi dua kali lipat dari beban warga asing. Warga non muslim dan non pribumi mendapat perlakuan istimewa, sedangkan warga muslim diperlakukan sebagai anak tiri. Tentu saudara sebagai seorang muslim tidak ridha dengan perilakuan semacam ini. Bila saudara telah memahami ini, niscaya saudara dapat memahami mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    إِنَّ صَاحِبَ المُكْسِ فِي النَّارِ. رواه أحمد والطبراني في الكبير من رواية رويفع بن ثابت رضي الله عنه ، وصححه الألباني.

    “Sesungguhnya pemungut upeti akan masuk neraka.” (Riwayat Ahmad dan At Thobrany dalam kitab Al Mu’jam Al Kabir dari riwayat sahabat Ruwaifi’ bin Tsabit radhiallahu ‘anhu, dan hadits ini, oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)

    Para pemungut upeti dari umat Islam diancam masuk neraka, karena perlakuan ini artinya menyamakan orang muslim dengan orang kafir. Bahkan faktanya, orang kafir lebih dimuliakan dibanding orang Islam, karena para pemungut pajak masih juga menganggap orang Islam sebagai orang jahat walaupun telah membayar zakat, bersedekah, seakan zakat tidak ada nilainya di mata para pemungut zakat. Sedangkan orang kafir asalkan telah membayar pajak dianggap sebagai warga negara atau anggota masyarakat yang baik lagi bijak, walaupun ia kafir menyekutukan Allah, tidak perduli terhadap kaum fakir, dan miskin.
    Semoga jawaban ini berguna bagi saudara-saudaraku, dan lebih membuka sudut pandang saudaraku sekalian tentang syari’at islam. Wallahu a’alam bisshowab.

    DR. Muhammad Arifin Badri, M.A.

  22. Tampaknya Kasus Sisminbakum menghangat lagi. Namun “Prof YIM vs Jaksa Agung” dlm Hukum Acara (?) tampaknya sudah 2-0. Apakah akan berlanjut di PTUN?
    Berikut ini kita komen2/bertanya lagi.
    1. 2003.
    Fakta: BPKP melayangkan surat kepada Menteri Kehakiman dan HAM, menyarankan agar biaya akses Sisminbakum dimasukkan ke dalam PNBP dan dikategorikan sebagai pelayanan kepada masyarakat.
    Komentar:
    Apakah sumber kewenangan BPKP menyarankan Depkeh&HAM seperti itu? Sedangkan dasar hukum dan payung hukum “non PNBP” oleh Depkeh&HAM utk akses fee Sisminbakum saat/sebelum itu bukanlah tidak ada dan malahan cukup jelas & kuat.
    Dengar2 BPKP salah alamat?! Bahwa bukanlah kpd Depkeh&HAM harusnya/sebaiknya arah-tujuan surat & saran tsb, melainkan kpd Depkeu. Harusnya pula Depkeu – kalau dan setelah BPKP menyampaikan saran tadi kpd Depkeu – segera memprosesnya (analisis dlsb), kemudian Depkeu-lah yang menyurati-menyarankan Depkeh&HAM.
    Mungkin BPKP tidak pernah – pada tahun 2003 itu – bersurat kepada & menyarankan Depkeu, dan Depkeu pun tidak pernah menyurati Depkeh&HAM tentang & untuk maksud BPKP tadi? Entahlah … yang ada hanya data bertahun 2007.
    2. 2007.
    Fakta: “.. surat Menteri Keuangan kepada Menteri Hukum dan HAM tanggal 8 Januari 2007 yg mengatakan antara lain “tarif PNBPnya perlu segera diusulkan untuk ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah” ..”.
    Komentar:
    Mungkin Depkum&HAM tidak pernah mengajukan usulan yg dimaksud Menkeu? Akhirnya PP Nomor 19 Tahun 2007 yang ditanda-tangani Presiden tanggal 15 Pebruari 2007 itu tidak memasukkan akses fee Sisminbakum sebagai PNBP (dan tetap: “I. Pelayanan Jasa Hukum. 1. Biaya yang berkaitan dengan badan hukum: a.Pengesahan akta pendirian atau persetujuan atau laporan perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas – per akta – Rp200.000,-“).
    Dan akses fee Sisminbakum itu pun, dlm arti operasional PT SRD dlm Sisminbakum tsb, jalan terus. Juga pemungutan pajak (PPN) PT SRD oleh Ditjen Pajak, jalan terus.
    Pada saat itu Menteri Hukum dan HAM adalah MenkumHAM RI ke-27: Hamid Awaluddin, SH, Ph.D.
    Tampaknya masih ada kendala besar bagi Pemerintah saat itu, 2007, bahwa kalau diadakan perubahan thdp akses fee Sisminbakum menjadi dan sebagai tarif PNBP maka negara harus menyediakan dana APBN untuk membangun sistem pengganti atau mengambil alih investasi swasta yg sudah jalan?
    3. 2010-2011.
    Bagaimana pun, Keputusan Menteri (Kepmen) Hukum & Perundang-undangan (Prof YIM) ttg pemberlakuan Sisminbakum (2000) kemudian, 2007, menjadi UU, tepatnya Pasal 9 UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2007.
    (HI, Sbw/Jkt).

  23. Gerakan 1 Juta Facebooker Bebaskan Yusril Izha Mahendra

    http://www.facebook.com/group.php?gid=108155472580384

  24. begitulah indonesia, selagi masih bisa dibikin ruwet maka hal sederhana pun dibikin ruwet. kejaksaan, polisi, dpr, bupati…semua berlomba-lomba memanggil tsunami

Leave a Reply