|

Artikel Denny Indrayana I : Kemerdekaan Jaksa Agung Non-Kabinet

Harian SEPUTAR INDONESIA – Sabtu, 17 July 2010 memuat tulisan dari Dr Denny Indrayana mengenai kontroversi keabsahan Jaksa Agung. Tulisan ini kemudian saya tanggapi agar khalayak dapat menilai argumen kedua belah pihak dan dapat memahami landasan dan dasar pemikiran saya.

Mengingat tulisan masing-masing sangat panjang, saya memisahkan tulisan dan tanggapan dalam beberapa artikel terpisah. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi kita semua.

Berikut adalah artikel dari Dr Denny Indrayana.
*****
Kemerdekaan Jaksa Agung Non-Kabinet
Denny Indrayana

Hendarman Supandji sah sebagai Jaksa Agung. Dasar hukumnya ada dalam Undang-Undang Kejaksaan, dan Keputusan Presiden Nomor 31/P Tahun 2007, yang mengangkatnya sebagai Jaksa Agung. UU Kejaksaan mengatur: Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hendarman Supandji telah diangkat oleh Presiden SBY dengan Keppres tahun 2007 tersebut, dan setelahnya tidak ada Keppres pemberhentiannya. Maka, sebenarnya, tidak ada alasan untuk menyoal keabsahan Jaksa Agung.

Lalu, mengapa ada beberapa pihak, termasuk Yusril Ihza Mahendra, menyoal keabsahan Jaksa Agung? Sebenarnya, Yusril berubah pendapat. Dalam, harian Rakyat Merdeka tertanggal 13 Juni 2010, Yusril dengan tegas mengatakan, ”Selama Keppresnya belum dicabut, maka Hendarman Supandji akan tetap duduk sebagai Jaksa Agung”. Lebih lanjut Yusril mengatakan, ”andaikata bukan SBY Presidennya pun, sepanjang Keppres pencabutan sebagai Jaksa Agung belum terbit, maka Hendarman Supandji tetap sah”. Tidak sampai sebulan kemudian, pendapat Yusril memang berubah 180 derajat, tepatnya setelah dirinya ditetapkan menjadi tersangka korupsi dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) per tanggal 24 Juni 2010.

Agar tidak mubazir, momentum perdebatan keabsahan Jaksa Agung ini harus dimanfaatkan untuk memperkokoh kemerdekaan kekuasaan kejaksaan yang ditegaskan dalam Pasal 2 UU Kejaksaan. Dahulu, Jaksa Agung memang masih tidak terlalu jelas statusnya. Keppres pengangkatan Jaksa Agung dijadikan satu dengan Keppres Pengangkatan Kabinet Indonesia Besartu (KIB) I. Pengangkatan dan pelantikan Jaksa Agung yang bersamaan dengan anggota kabinet itulah, yang menciptakan pandangan bahwa Jaksa Agung adalah anggota kabinet. Padahal Jaksa Agung bukanlah anggota kabinet. Meskipun menurut UU, Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan, kekuasaan negara di bidang penuntutan adalah kekuasaan yang merdeka, sehingga pemimpin Kejaksaan (Jaksa Agung) bukan menteri anggota kabinet yang merupakan pembantu presiden.

Posisi Jaksa Agung dapat dipersamakan dengan posisi Panglima TNI dan Kapolri, yang juga bukan merupakan anggota kabinet. Terlebih, dengan adanya UU Kementerian Negara, maka anggota kabinet maksimal hanyalah 34 kementerian, dan tidak termasuk Jaksa Agung, Panglima TNI ataupun Kapolri. Pengaturannya pun berbeda. Kabinet diatur dengan UU Kementerian Negara; Jaksa Agung diatur dalam UU Kejaksaan; Panglima TNI diatur dalam UU TNI; dan Kapolri diatur dalam UU Kepolisian.

Pendapat yang menyatakan bahwa Jaksa Agung Hendarman  Supandji harus diberhentikan bersamaan dengan pembubaran KIB I, dan diangkat bersamaan dengan pelantikan KIB II, adalah pendapat dan paradigma lama yang masih menganggap Jaksa Agung adalah bagian dari Kabinet.

Adalah benar, KIB I telah dibubarkan dengan Keppres Nomor 83/P Tahun 2009. Di dalamnya semua dua puluh sembilan menteri satu-per-satu namanya disebutkan dan diberhentikan dengan hormat. Namun, sama sekali tidak ada penyebutan nama Hendarman Supandji, dan pemberhentiannya selaku Jaksa Agung. Artinya sangat jelas: Keppres Nomor 31/P yang menjadi dasar Hendarman Supandji diangkat sebagai Jaksa Agung masih berlaku.
Bahwasanya pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung  tidak harus bersamaan dengan pengangkatan dan pemberhentian kabinet adalah sama dengan pengaturan pengangkatan dan pemberhentian  Panglima TNI dan Kapolri, yang juga tidak lagi bersamaan dengan kabinet.

Perlu ditegaskan bahwa upaya penguatan pemisahan Jaksa  Agung dari Kabinet, adalah upaya serius Presiden SBY yang seharusnya kita dukung penuh. Tidak adanya satu Keppres pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan KIB I, maupun tidak diangkatnya dan dilantiknya Jaksa Agung bersamaan dengan KIB II, bukanlah semata masalah administratif-seremonial. Tetapi, adalah penegasan dan penghormatan Presiden SBY kepada kemerdekaan kejaksaan, yang menurut Penjelasan Pasal 2 UU Kejaksaan berarti ”terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”.

Selanjutnya, terkait pendapat yang menyatakan bahwa Hendarman Supandji sudah tidak sah sebagai Jaksa Agung karena yang bersangkutan umurnya sudah lebih dari 62 tahun, adalah pendapat yang keliru pula. UU Kejaksaan memang mengatur usia maksimal jabatan jaksa adalah 62 tahun, namun tidak ada aturan usia maksimal bagi Jaksa Agung. Tidak pula diatur bahwa Jaksa Agung haruslah seorang jaksa aktif.

Contoh konkretnya adalah Abdul Rahman Saleh, yang posisi  terakhirnya sebelum menjadi Jaksa Agung adalah hakim agung. Abdul Rahman Saleh lahir tanggal 1 April 1941, sehingga ketika dilantik menjadi Jaksa Agung umurnya jelas-jelas 63 setengah tahun lebih. Dengan contoh terang dari kasus Abdul Rahman Saleh demikian, maka meski telah berusia lebih dari 62 tahun, dan telah pensiun sebagai jaksa, Hendarman Supandji tetap sah sebagai Jaksa Agung.

Akhirnya, pendapat Yusril Ihza Mahendra yang masih melihat Jaksa Agung sebagai bagian tidak terpisahkan dari kabinet – dan karenanya harus diangkat, diberhentikan dan dilantik bersamaan dengan kabinet – adalah pola pikir lama yang tidak sesuai lagi dengan prinsip kemerdekaan kekuasaan kejaksaan. Namun, sebagai suatu pendapat, tentu saja argumentasi Yusril tersebut tetap layak didiskusikan. Saya pribadi menganggap, langkah Yusril menyoal keabsahan Jaksa Agung; mengadukan Jaksa Agung dan beberapa jajarannya ke kepolisian; mengajukan uji materiil UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi; dan rencana meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban – adalah satu paket upaya pembelaan diri terkait kasus korupsi Sisminbakum yang sedang dihadapi Yusril.

Sebagai upaya pembelaan diri, mengeluarkan banyak jurus  hukum tentulah layak dilakukan oleh pendekar hukum sekelas Yusril. Hasilnya bagaimana? Akan ampuhkah jurus-jurus yang dimainkan Yusril? Mari kita serahkan kepada proses hukum yang sedang berjalan. Sebagaimana inti tulisan ini, untuk menghormati kemerdekaan kejaksaan, mari kita hormati kemerdekaan proses hukum yang sedang berjalan. Dengan catatan, sambil mendiskusikan keabsahan administrasi Jaksa Agung, jangan lupakan masalah inti dugaan korupsi sisminbakum. (*)

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=324

Posted by on Jul 28 2010. Filed under Koran, Politik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

9 Comments for “Artikel Denny Indrayana I : Kemerdekaan Jaksa Agung Non-Kabinet”

  1. […] keabsahan Hendarman (oleh Yusril Ihza Mahendra) Artikel ini merupakan tanggapan saya atas tulisan Dr Denny Indrayana yang dimuat pada harian Seputar Indonesia, Sabtu, 17 Juli 2010. Tanggapan ini dimuat oleh harian […]

  2. Akhir2 ini Denny Indrayana tak ubahnya NATO (Not Action/Answer Talk Only)…., Hanya orang benar dan siap dihujatlah yang berani bikin Website Pribadi, hendaknya semua pejabat mempunyai Situs Pribadi seperti ini, paling tidak bisa untuk dijadikan kontrol pribadi-lah.

  3. Saya usulkan pak yusril dan pak denny duduk satu meja di sebuah acara tv khusus untuk menjelaskan perihal keabsahan administrasi Jaksa Agung,agar masyarakat awam hukum tahu dan mengerti pokok permasalahannya.

  4. Pak Yusril ndak usah “satu meja” dengan Deny…
    cukup Pak Ali aja yg ngatasinnya.kekekeke

  5. Pak Deny semakin lama kok semakin ngawur logika hukumnya. Akui saja itu kesalahan Istana dan kemudian dibenarkan. Kalo hanya nutupi salahnya presiden, mau jdi apa negara ini?

  6. Asslm wrwb, Prof.
    Kiranya berkenan dgn inisiatif kecil dan mungkin agak aneh dari diri saya yg sangat tertarik dgn Hukum Tata Negara ini. Bahwa sungguh saya tertarik utk bisa mendukung secara aktif peradilan di MK dlm perkara Pengujian UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Perkara No. 49/PUU-VIII/2010, perkara besar & penting dari inisiatif & permohonan Prof sendiri yg mana menurut situs MK adalah persidangannya kini akan segera memasuki sesi “mendengarkan keterangan saksi2” dst di hari2 mendatang.
    Sungguh saya sangat tertarik dgn Uji Materi UU Kejaksaan dlm kasus ‘Jaksa Agung problematik’ itu. Pada hemat saya, secara makro hal itu adalah persoalan struktur ketata-negaraan ataupun struktur pemerintahan kita yg memang belum begitu jelas selama ini khususnya dlm Reformasi dan sejak amandemen UUD 1945, dan merupakan persoalan besar dan sangat penting baik secara khusus dlm masalah Hukum maupun secara umum bagi semua pihak termasuk masyarakat yg kesemuanya sama2 bernegara di atas pemerintahan dgn Jaksa Agung problematik tadi utk selanjutnya tentu bernegara RI secara lebih baik lagi dgn pemerintahan yg tidak lagi problematik dlsb utk kemajuan2 perekonomian nasional dan kesra.
    Demikian, adalah saat puncak Kasus Buaya-Cicak beberapa waktu lalu saya melakukan riset kecil2an masalah struktur ketata-negaraan yg saya maksudkan di atas, dan menggambarkan bagannya dgn nama secara umum prosais: “Kotak & Garis Sistem dlm Titik2 Moralitas”. Kini, saya rasa saya sanggup melaksanakan pemaparan di MK ttg bagaimana sebenarnya (ya mungkin ada pula sedikit ‘bagaimana sebaiknya’) posisi Kejaksaan Agung / Jaksa Agung di bawah Presiden menurut UUD 1945. Kebetulan lagi, rasa2nya saya juga bermaksud mengajukan permohonan Uji Materi UU 10/2004.
    Demikian inisiatif saya, kiranya tidak salah dan bisa bermanfaat bagi semua pihak.
    Terima kasih.
    Wasslm wrwb,
    Hendra Indersyah
    Jaktim.

  7. Asslm wr wb.
    Sehubungan niat & rencana saya 9 Agustus 2010 “mengajukan permohonan Uji Materi UU 10/2004” (selain juga tertarik memaparkan argumentasi saya ttg bagaimana sebenarnya pada hemat saya posisi Jaksa Agung di bawah Presiden menurut UUD 1945; komentar 6), kemarin saya menyadari secara final bahwa saya tdk punya legal standing utk hal itu. Itu pula sebenarnya kenapa dlm penulisan rencana tsb (komentar 6) saya menggunakan kata2 “rasa2nya”.
    Jadi mungkin ada baiknya saya menuliskan di sini saja aspirasi saya ttg & utk kualitas – dlm pandangan saya – UU 10/2004 ttg Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu? Saya heran, kenapa Peraturan Presiden lebih rendah dari Pemerintah Pemerintah? Heran pula, di dalam UU 10/2004 itu (Pasal 7) tidak ada produk hukum yg bernama Keppres, Peraturan Menteri, dan beberapa lagi, padahal sebenarnya ada digunakan di ‘lapangan’.
    Sekian dulu. Terima kasih.
    Wasslm wr wb.
    Hendra Indersyah
    Jaktim.

  8. Kadang-kadang kita melihat Deni Indrayana ini, adalah orang yang sok tahu dan sok berkuasa. Yang paling tidak pasnya dia menganggap dirinya adalah orang yang paling benar. padahan sebelum dekat dengan istana vokal ndak tanggung-tanggung, e baru di angkat jadi staf ahli idealisnya hilang. Masing mendingan Yusril tetap idealis meski harus dikucilkan dan terus dicari-cari kesalahan. Insyaflah para pembesar bangsa ini. agar kami rakyat jelata tidak terus menderita……

  9. WASPADAI DI…. DI (DAJJAL INDONESIA). DAJJAL memelintir hukum untuk melanggenggkan posisi dan kekuasaannya. Tapi, bila dia tidak menjabat, Dajjal akan berlagak sok kritis. Siapa yang ikut DI pasti akan kecewa. Dimanapun Dajjal hanya menyebar kebusukan. WASPADA…WASPADA…waspadai si DI ini….

Leave a Reply