- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

ISYARAT PRESIDEN TENTANG PERGANTIAN JAKSA AGUNG

Sore hari Selasa 31 Agustus 2010,  Presiden SBY memberi isyarat akan segera melakukan pergantian tiga pejabat negara, Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung. Belum ada kepastian kapan pergantian itu akan dilakukan. Presiden hanya memberi isyarat pergantian itu “tinggal menunggu waktu saja”. Presiden minta semua pihak, agar pergantian ketiga pejabat itu tidak dicederai oleh manuver politik, karena ketiganya bukan pejabat politik. Pergantian ketiga pejabat itu, menurut Presiden “telah diatur dalam undang-undang”. Di samping itu “ada kode etik atau etika yang harus dipegang bersama”. Saya tidak ada urusannya dengan manuver politik seperti dikatakan Presiden. Saya hanya berurusan dengan hukum mengenai pergantian itu.

Sejauh pergantian Penglima TNI dan Kapolri telah diatur dengan undang-undang, pernyataan Presiden memang benar adanya. Usia, terutama, membatasi jabatan mereka, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Namun mengenai Jaksa Agung, apa yang dikatakan Presiden itu jauh dari kebenaran. UU No 16 Tahun 2004 yang mengatur tentang Kejaksaan RI, justru mengandung ketidakjelasan dan kekaburan mengenai masa jabatan Jaksa Agung. Hal itu telah menuai kontroversi yang berujung masalah itu diperkarakan di Mahkamah Konstitusi. Tinggal sekali sidang saja yang perlu kita tunggu, MK akan memutuskan legalitas Jaksa Agung Hendarman, dan sekaligus memberi tafsir mana yang benar sehubungan dengan masa jabatan Jaksa Agung. Apakah masa jabatan Jaksa Agung disesuaikan dengan masa jabatan Presiden dan kabinet yang dibentuknya, atau memang jabatan Jaksa Agung tanpa batas waktu.

Kalau memang jabatan Jaksa Agung tanpa batas waktu, maka dengan cara apa Presiden dapat memberhentikan Jaksa Agung menurut undang-undang sebagaimana dikatakan Presiden. Sebab UU No 16 Tahun 2004 tidak membatasi jabatan itu. Sementara Pasal 22 ayat (1) UU tsb mengatakan bahwa Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat oleh Presiden apabila (a) meninggal dunia; (b) sakit jasmani dan rohani terus-menerus; (c) atas permintaan sendiri; (d) berakhir masa jabatannya dan (e) tidak memenuhi syarat lagi menjadi Jaksa Agung. Hendarman hingga kini masih hidup, belum meninggal dunia. Dia juga sehat dan tidak sakit terus-menerus. Entahlah kalau dia minta berhenti sebagai Jaksa Agung. Kalau dia diberhentikan dengan alasan “berakhir masa jabatannya”, masa jabatan itu tidak jelas entah sampai kapan. Jadi satu-satunya jalan agar pergantian Jaksa Agung mulus menurut undang-undang seperti kemauan Presiden, maka Hendarman harus meminta berhenti sebagai Jaksa Agung. Tanpa itu, tidak ada alasan yang sah menurut UU untuk Presiden memberhentikannya.

Tetapi permasalahannya tetap tidak sederahana. Soal legalitas Hendarman menjadi Jaksa Agung sekarang inipun menjadi masalah besar. Dia diangkat Presiden berdasarkan Keppres No 31/P Th 2007 menggantikan Abdul Rahman Saleh sebagai Jaksa Agung Kabinet Indonesia Bersatu dengan kedudukan setingkat menteri negara. Keppres No 31/P Th 2007 itu merujuk pada Keppres no 187/M Th 2004 tentang pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu, yang dalam konsiderannya jelas menyebutkan masa jabatan Presiden dan kabinet itu adalah periode tahun 2004-2009. Saya, Bagir Manan, Laica Marzuki, HAS Natabaya, Erman Radjagukguk, Margarito Khamis, Andi M Nasrun, I Gede Pantja Astawa dan sejumlah ahli hukum tatanegara dan administrasi negara berpendapat jabatan Hendarman telah berakhir sejak 20 Oktober 2009, dan sejak itu dia tak pernah diangkat kembali menjadi Jaksa Agung. Karena itu Hendarman adalah Jaksa Agung yang illegal alias tidak sah. Kalau ini yang diputuskan MK, maka pemberhentian Hendarman tetap problematik.

Apanya yang perlu diberhentikan kalau memang dia tidak pernah diangkat kembali menjadi Jaksa Agung setelah jabatannya berakhir? Memberhentikan Jaksa Agung yang tidak pernah diangkat adalah perbuatan sia-sia dan tidak ada gunanya. Ini hanya perbuatan menggantang asap, seperti kata pepatah Melayu. Bagi orang yang mengerti, tindakan Presiden itu hanyalah sesuatu yang menggelikan. Belum lagi kita bertanya, apa implikasi ketidaksahan itu terhadap semua langkah dan kebijakan Kejaksaan Agung sejak 20 Oktober 2009 hingga sekarang? Ini adalah masalah lain yang juga sangat besar, sehingga konon kabarnya Komisi Hukum Nasional (KHN) pimpinan Prof. JE Sahetapy dan Prof. Mardjono Reksodiputro merasa perlu menggelar seminar hari Kamis 2 September nanti, untuk mengantisipasi putusan MK. Wah…