Dalam sejarah politik suatu bangsa, ada saja cara untuk menyudutkan lawan-lawan politik dengan menebarkan isyu buruk, yang akhirnya ditimpakan kepada seseorang atau sekelompok orang. Isyu buruk itu sengaja disosialisasikan dan bahkan diindoktrinasikan sehingga mampu meyakinkan publik tentang keburukannya. Melalui cara-cara ini akhirnya isyu itu akan menjadi ingatan umum dan menjadi musuh bersama (public enemy). Pekerjaan seperti ini aladah bagian dari propaganda politik dan perang urat syaraf yang diciptakan oleh sebuah rezim, yang tujuannya adalah untuk memperkuat posisi, melanggengkan kekuasaan dan sekaligus memberangus lawan-lawan politik,
Di zaman Demokrasi Terpimpin (1958-1965), isyu buruk yang diangkat ke permukaan ialah “kontra revolusioner”. Siapa saja yang melawan rezim, dituduh dengan isyu itu, ditangkap dan ditahan tanpa proses peradilan bertahun-tahun lamanya. Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harapan, Kasman Singodimedjo, Isa Anshary, Buya Hamka dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya, pernah ditahan Sukarno di Penjara Glodok tanpa proses hukum. Sejumlah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga mengalami nasib serupa. Sutan Sjarir ditahan di sebuah pulau kecil di selatan Banten di lautan Hindia, sehingga pulau tak bernama itu kemudian disebut orang sebagai Pulau Sjahrir. Muchtar Lubis, tokoh PSI yang memimpin koran Indonesia Raya, juga mengalami nasib serupa. Demikian pula Hamid Alqadri, seorang warga keturunan Arab yang menjadi tokoh PSI. “Kontra revolusioner” adalah isyu buruk bagi siapa saja yang menentang haluan politik Sukarno. “Revolusi belum selesai” kata Sukarno. Dalam konteks ini, apa saja halal, demi mencapai tujuan revolusi.
Ketika zaman Sukarno berlalu, datanglah zaman Suharto. Isyu baru yang mengedepan ialah isyu “subversi” dan “G 30 S PKI”. Siapa saja yang melawan Pemerintah, akan dituduh “subversif” dan dikait-kaitkankan dengan dengan PKI. Terkait dengan subversi ini, digolongkan pula dua isyu buruk, yakni “ekstrim kiri” (Komunis) dan “ekstrim kanan” (negara Islam). Dua-duanya musuh bangsa, musuh Pancasila. Banyak orang ditahan, entah itu PKI benaran atau hanya sekedar dituduh PKI. Banyak pula yang ditangkap, dicurigai bahkan diadili dengan dakwaan menyebarkan ideolog “ekstrim kanan” yang ingin mengubah negara Pancasila dengan negara Islam. Mereka dengan mudah dituduh pengikut NII (negara Islam Indonesia) atau DI (Darul Islam). Yang benar-benar PKI hanya sedikit yang diadili. Namun yang subversi banyak yang didakwa dengan UU Subversi dan hanya sedikit saja yang lolos. Pengadilan mudah saja dikendalikan oleh penguasa. Komkamtib sengaja diciptakan untuk memperkuat posisi militer dalam memberantas subversi. Lembaga ini punya kewenangan luar biasa, bisa menyensor berita, bisa membreidel pers dan menahan orang tanpa batas. Kompkamtib didukung oleh operasi intelejen yang rapi. Hampir tidak ada kegiatan sosial, politik dan kegamaan yang sunyi dari pantauan intelejen.
Kini isyu-isyu seperti di atas sudah tidak laku lagi. Pemerintah SBY kini menggunakan isyu baru yang menarik perhatian masyarakat, yakni isyu “korupsi”. Korupsi memang musuh bersama, dan isyu ini menyentuh rakyat kecil yang hingga kini tetap sengsara, sementara para pejabat negara dan pemerintahan dengan seenaknya “menjarah uang rakyat” untuk memperkaya diri dan orang lain. Namun niat baik memberantas korupsi ini telah diselewengkan oleh pemerintahan SBY ini, sebagai isyu baru untuk memberangus lawan-lawan politik. Setiap orang yang berpotensi melawan rezim, dengan mudah akan dicari-cari kesalahannya dan dikaitkan dengan isyu korupsi. Benar-atau tidaknya orang itu koruptor adalah “urusan nomor 16” seperti puyer Bintang Toedjoe. Yang penting orang itu tersudut dan tidak berkutik. Mereka akan menjadi musuh rakyat dalam seketika. Di masa Sukarno ada Kopkamtib, di masa sekarang ada KPK dan ada pula Pengadilan Tipikor. Siapa saja yang dituduh korupsi, kecil sekali kemungkinannya akan lolos. Ibarat unta akan lolos dari lubang jarum. Bahwa yang benar-benar korupsi dan dihukum, tentu kita setuju. Tapi mereka yang hanya diisyukan saja korupsi, sekedar untuk menyudutkan yang bersangkutan karena melawan atau berpotensi menjadi pesaing politik, tentu saja kita tolak.
Sangatlah tidak fair menggunakan isyu korupsi dan penegakan hukum untuk memberangus lawan-lawan politik. Kalau begitu, penegakan hukum bukan lagi murni dan obyektif penegakan hukum, tetapi kepentingan rezim untuk mempertahankan kekuasaan ikut bermain di dalamnya. Orang yang tak disukai akan dicari-cari kesalahannya, baik dengan menggunakan aparatur penegak hukum, maupun menggunakan jalur operasi intelejen. Sungguh mengerikan, tetapi itulah yang kini terjadi. Jika ditemukan secercah saja potensi kesalahan, maka “data” itu segera di ‘blow up” melalui berbagai media, mulai dari internet sampai ke media cetak dan elektronik. Teknik-teknik propaganda mulai dilaksanakan. Orang yang tak disukai menjadi terpojok dan tak berdaya karena gencarnya pemberitaan. Adolf Hitler mengatakan bahwa kebohongan yang disampaikan berulang-ulang, lama-lama akan membuat orang percaya. Inilah dunia politik kita sekarang di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saya berkeyakinan, suatu ketika kedok-kedok mereka juga akan terungkap, siapa yang sesungguhnya koruptor dan siapa yang koruptor bikin-bikinan. Ya, dunia terus berputar. Pada akhirnya, sejarah jualah yang akan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah.*****