Setelah direncanakan sejak tahun 2007, Presiden SBY kemarin mendadak sontak membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Negeri Belanda. Saya katakan mendadak sontak, karena persiapan keberangkatan sudah siap. Rombongan Presiden sudah berada di dalam pesawat Garuda A 330 yang siap lepas landas dari Halim Perdana Kusuma. Sejam sebelum pesawat tinggal landas, Presiden menyeleggarakan konfrensi pers singkat, yang iniinya membatalkan kunjungan dengan merujuk alasan adanya permohon tokoh RMS, Johannes Gerardus (John) Watiilele yang mengajukan agar Presiden ditangkap atas dasar tuduhan pelanggaran HAM berat di Indonesia dan penahanan 90 orang pengikut RMS di tanah air.
Kalau cuma alasan demo atau bahkan ancaman fisik kepada Presiden, seperti pernah dialami Presiden Suhartodi Dresden lebih dari dua puluh tahun silam, tentu Presiden SBY tak bergeming, karena akan mampu ditangani oleh Pemerintah Belanda. Ancaman kini, bukan oleh gelombang massa yang besar seperti Peristiwa Dresden, tapi ancaman melalui pengadilan. Pengadilan memang tidak mungkin dapat dikendalikan, apalagi dicampur-tangani oleh Pemerintah Belanda.
Permohonan untuk menangkap Presiden SBY rupanya bukan hanya dilakukan RMS, tetapi juga oleh warganegara Indonesia ,Johnson Panjaitan, seorang aktivis LSM dalam negeri yang bertindak atas nama Tim Advokasi Maluku berkedudukan di Jakarta dan Ambon. Pengadilan tempat mereka memohon bukanlah Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ), sebuah pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang juga berkedudukan di Den Haag, melainkan Pengadilan Distrik Den Haag. Pengadilan Distrik Den Haag itu adalah semacam pengadilan negeri di negara kita.
Karena sifat permohonan adalah “permohonan dengan acara pemeriksaan cepat” atau “kort geding” dalam bahasa Belandanya, maka perkara itu tergolong sebagai perkara sumir, seperti perkara tilang yang dikenal di negara kita. Menghadapi perkara seperti ini, KBRI di Den Haag dan Pemerintah Pusat di Jakarta nampak panik alang kepalang, sehingga Presiden terpaksa membatalkan kunjungan ke Belanda secara amat mendadak sontak.
Kalau saya dimintai nasehat kemarin, saya akan menyarankan agar Presiden berangkat saja ke Belanda dan jangan menganggap perkara di Pengadilan Negeri Den Haag itu sebagai masalah serius. Presiden harusnya segera saja teken surat kuasa substitusi kepada Dubes di Belanda. Selanjutnya Dubus memberi kuasa lagi kepada pengacara Belanda keturunan Ambon yang beragama Islam yang anti RMS untuk hadir dalam perkara. Pengacara ini harus mengajukan keberatan dan bantahan, karena tidak mungkin Pengadilan Distrik Den Haag dapat mengambil keputusan atas suatu permohonan, tanpa termohon (Presiden RI) atau kuasa hukumnya hadir dan didengar untuk memberikan keterangan,. Tanpa ini, Pengadilan Negeri Den Haah dengan mudah akan dituduh sebagai pengadilan sesat. Ini tentu tidak mungkin terjadi di pengadilan Belanda.
Kalaupun hakim mengabulkan permohonan, maka eksekusi putusan tidaklah akan berlangung serta merta, dalam arti Presiden SBY ditangkap saat berkonjung ke Belanda. Proses banding dapat dilakukan untuk menundanya. Di samping itu, Pemerintah Belanda dapat berlindung di balik Konvensi Jenewa tentang perlindungan diplomatik. Presiden negara asing yang sedang berkunjung ke Belanda, tidak dapat ditangkap hanya atas perintah Pengadilan Negeri Den Haag berdasarkan hukum Belanda, karena Belanda juga tunduk kepada Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Diplomatik. Lebih jauh daripada itu, analisis hukum yang dilakukan sudah dapat memprediksi sejak awal bahwa permohonan John Watiilele dan Johnson Panjaitan itu sebenarnya sangat kecil kemungkinannya akan dikabulkan pengadilan.
Kenyataannya, Pengadilan Negeri Den Haag memang memutus menolak permohonan penangkapan Presiden SBY itu. Untuk sementara SBY aman, walau kunjungannya ke Belanda telah dibatalkan. Namun masalah ini belum selesai. Proses banding mungkin saja masih akan dilakukan. Pemerintah Indonesia harus menyiapkan ahli-ahli hukum untuk menghadapi kemungkinan perkara ini terus berlanjut. Jangan berdiam diri dan baru kalang-kabut apabila masalah sudah hadir di depan mata. Presiden SBY memang sudah tersohor sebagai Presiden yang selalu lambat mengantisipasi keadaan karena inormasi yang lemah dan analisis yang kurang tajam daroi pembantu-pembantunya. Presiden baru kalangkabut mengambil keputusan pada menit-menit terakhir. Tidak baik Presiden bersikap seperti itu. Presiden harus cerdas dan berani, serta pandai menentukan sikap serta mengambil keputusan pada waktu yang tepat pula.***