Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari kemarin kembali menegaskan sikapnya untuk menolak permintaan saya untuk menghadirkan sejumlah nama termasuk Megawati Sukarnoputri, Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono dan Kwik Kian Gie untuk didengar keterangannya sebagai saksi a de charge (yang meringankan) sebagaimana secara resmi telah saya sampaikan kepada penyidik di Kejaksaan Agung. Jawaban Amari kepada pers di Kejaksaan Agung kemarin bukan saja menolak menghadirkan mereka, malah cenderung merendahkan keempat tokoh itu. “Kan nanti paling-paling ngomong test immonium de auditu. Dia mengatakan kata orang. Kalau mengatakan kata orang itu tidak bisa dijadikan alat bukti di pengadilan”, demikian kata Amari. Jadi, kalau apa nanti yang diterangkan Mega, Kalla, SBY dan Kwik tidak lebih dari sekedar “kata orang”, seolah-olah mereka tidak tahu apa-apa tentang ikhwal Sisminbakum sejak awal dibahas di sidang kabinet awal Mei 2000, dituangkan dalam letter of intent dengan IMF tanggal 17 Mei 2000 yang antara lain diteken oleh Kwik, diresmikan oleh Megawati pengoperasiannya, dan diterbitkannya 4 (empat) Peraturan Pemerintah tentang PNBP yang berlaku di Departemen Kehakiman dan HAM yang ditandatangani SBY selaku Presiden. Ucapan Amari itu adalah suatu penghinaan terhadap tokoh tersebut. Belum apa-apa beliau secara apriori mengatakan keempat tokoh itu tak tahu apa-apa, kecuali hanya akan mengatakan “kata orang, kata orang” dan seterusnya. Apa sebenarnya ketakutan Amari untuk menghadirkan keempat tokoh di atas untuk didengar keterangannya, sehingga beliau mengabaikan ketentuan Pasal 65 dan Pasal 116 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana?
Mustahil kalau Amari tidak memahami Pasal 65 KUHAP yang bunyi selengkapnya mengatakan “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan baginya”. Sedangkan Pasal 116 ayat (3) bunyinya “Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah dia menghendaki didengarnya saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada hal itu dicatat dalam berita acara”. Pasal 116 ayat (4) bunyinya “Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) penyidik wajib memanggil dan memeriksa saksi tersebut”. Kalau kedua ayat dalam KUHAP ini diibaratkan ayat al-Qur’an, kedua ayat KUHAP itu adalah tergolong ayat “qat’i” (tegas artinya dan tidak dapat ditafsirkan lain daripada apa yang tersurat) dan bukannya ayat yang tergolong “zhanni” (ayat yang membuka peluang adanya berbagai tafsiran akan maknanya).
Namun Jampidsus Amari masih berkilah mencoba-coba memberi tafsir kedua ayat diatas seolah tergolong ke dalam ayat “zhanni”. Mula–mula dikatakannya bahwa saksi itu tidak relevan dengan perkara. Saksi itu mesti orang yang melihat, mendengar atau menyaksikan adanya tindak pidana”. Akhirnya, katanya sia-sia saja menghadirkan mereka karena paling-paling mereka hanya akan mengatakan “kata orang”, “kata orang”. Para petinggi Kejaksaan Agung, termasuk Babul Khoir Harahap ketika diskusi di Jakarta Lawyers Club mengatakan bahwa saya berhak mengajukan saksi meringankan, tetapi Kejaksaan yang menilai apakah mereka relevan atau tidak. Saya tidak melihat dasar hukum apa yang digunakan Amari dan Babul dalam mendukung pendapatnya itu. Mereka menambah-nambahi dan membuat penafsiran sendiri terhadap ketentuan yang telah jelas dan tegas di dalam Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP itu. Adalah hak saya sebagai tersangka untuk mengajukan adanya saksi yang saya anggap akan menguntungkan saya. Saya yang akan menilai mereka akan menguntungkan saya atau tidak, bukan Kejaksaan Agung. Penyidik wajib “memanggil dan memeriksa saksi tersebut”. Tidak ada alasan Kejaksaan Agung untuk menolak sebagaimana dikatakan Amari dan Babul Khoir. Bagi saya kehadiran Presiden SBY untuk memberikan keterangan sangatlah penting untuk membuat terang perkara yang disangkakan kepada saya sekarang ini. Ini adalah bagian yang tak terpisahkan dari hak saya untuk membela diri dari tuduhan yang saya anggap tidak berdasar.
Pokok perkara yang dituduhkan kepada saya ialah, saya disangka melakukan tindak pidana korupsi karena tidak memasukkan biaya akses fee Sisminbakum (singkatan dari Sistem Administrasi Badan Hukum) sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Akibatnya perbuatan itu, saya dituduh telah merugikan keuangan negara. Biaya akses fee Sisminbakum itu dinikmati oleh swasta dan koperasi yang memang membangun dan mengoperasikan sistem itu dengan biaya mereka sendiri, tanpa sepeserpun Pemerintah RI mengeluarkan uang. Sangkaan-sangkaan yang lain mengalir dari sangkaan yang pokok ini. Yang dimaksud akses fee itu ialah biaya yang dibayarkan oleh pemohon pengesahan perseroan terbatas yang dilakukan melalui jaringan teknologi informasi yang dinamakan dengan istilah Sisminbakum itu.
Jaringan teknologi informasi itu sendiri sejak awal diputuskan oleh Pemerintah untuk diserahkan kepada swasta untuk membangun dan mengoperasikannya, yakni Koperasi Pengayoman dan PT Sarana Rekatama Dinamika atau SRD, dengan sistem built, operate and transfer (BOT) selama sepuluh tahun, karena Pemerintah memang tak punya anggaran di masa krisis ekonomi tahun 2000 itu. Sementara Dewan Ekononomi Nasional pimpinan Emil Salim sudah membuat matriks tugas pemerintah, yang bagi Departemen Kehakiman, antara lain segera mempercepat proses pengesahan perseroan itu. IMF dan Bank Dunia juga mengemukakan kritik yang sama. Bagaimana mungkin akan ada pemulihan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, kalau mendirikan perusahaan saja sulit dan bertele-tele. Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, Gubernur BI Sjahril Sabirin dan Menkeu Bambang Sudibyo meneken Letter of Intent kepada IMF, 17 Mei 2000, yang antara lain menyatakan komitmen Pemerintah untuk menyelesaikan masalah percepatan “company registration” (pendaftaran/pengesahan perseroan), yang mau diselesaikan dalam setahun.
Mau pakai jaringan itu boleh, tidak mau pakai juga tidak apa-apa. Silahkan mengurus secara manual, walaupun waktunya menjadi lama dan bertele-tele. Jadi PNBP untuk mengurus biaya pelayanan yang dilakukan Pemerintah dalam mensahkan perseroan tersebut dipungut sebesar Rp. 200.000 berdasarkan PP yang berlaku pada masa itu. Sedangkan biaya akses, bagi yang mau menggunakan jalur teknologi informasi tersebut silahkan bayar kepada pihak swasta yang membangun dan mengoperasikannya. Departemen Kehakiman hanya memungut PNBP sesuai tarif, sementara kalau menggunakan jalur teknologi Sisminbakum tidak dipungut oleh Departemen Kehakiman, tetapi bayar ke swasta yang menyelenggarakannya. Biaya akses yang dipungut swasta itu dikenakan pajak (PPn) oleh Pemerintah.
Kejaksaan Agung berpendirian meskipun jaringan teknologi informasi itu dibangun dan diopersaikan sawsata dengan investasi mereka sendiri, biaya aksesnya tidak boleh dipungut oleh swasta, tapi harus dipungut negara dan dijadikan sebagai PNBP. Jadi kalau Jasa Marga dan Perusahaan Asing membangun dan mengoperasikan jalan tol dengan modal mereka sendiri, maka biaya tol juga tidak boleh mereka nikmati, tetapi harus disetorkan ke kas negara sebagai PNB. Kalau begitu, negara mau dijadikan seperti perampok. Suruh swasta tanam modal dan operasikan, tapi uangnya seluruhnya harus diambil oleh negara. Inilah alam pikiran penyidik Kejaksaan Agung. Karena tidak dipungut sebagai PNBP, maka saya dituduh melakukan korupsi. Disebut-sebut pula bahwa saya, Prof. Romly dan lain-lain telah korupsi sebanyak Rp 420 milyar. Tidak ada uang itu masuk ke kantong kami. Uang itu seluruhnya dipungut dan digunakan oleh koperasi dan swasta yang membangun dan mengoperasikan sistem itu. Sebagian uang koperasi itu digunakan pula oleh Direktorat Jendral Administrasi Hukum untuk biaya operasional mereka, berdasarkan “konon” sebuah perjanjian tanggal 25 Juli 2001, ketika Menteri Kehakiman dan HAM dijabat oleh Baharuddin Lopa. Angka Rp 420 milyar itu adalah pemasukan kotor koperasi dan swasta itu selama 7 tahun dari tahun 2001 sampai 2008, jadi bukan pula keuntungan bersih yang mereka dapat. Padahal, saya menjadi menteri saja hanya sampai tahun 2004. Akibat berbagai pemberitaan media, nama baik saya rusak binasa. Orang awam menyangka saya sudah kaya raya punya uang Rp 420 milyar hasil korupsi Sisminbakum. Karakter saya dirusak dan dibunuh. Saya merasa malu pergi ke tempat umum karena dikira orang inilah koruptor maling uang negara Rp 420 milyar.
Sisminbakum itu dioperasikan sejak tahun 2001, dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM. Mungkin karena dianggap baik, maka pada tahun 2007, Presiden SBY dan DPR mengambil alih pemberlakuan Sisminbakum itu dengan undang-undang, yakni UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam Pasal 9 ayat (1) undang-undang ini dikatakan “Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (4), pendiri bersama-sama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri…”. UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas itu disahkan pada tanggal 16 Agustus 2007, ketika Menteri Hukum dan HAM dijabat oleh Andi Mattalata. Sisminbakum yang disebut-sebut dalam Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2007 itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sisminbakum yang dibangun dan dioperasikan oleh Koperasi Pengayoman dan PT SRD itu. Hal ini jelas nampak dalam Risalah Pembahasan RUU Perseroan Terbatas di DPR, untuk mengetahui “asbabun nuzul” dari Pasal tersebut. Menteri Kehakiman Andi Mattalata pada tanggal 21 September 2007 memberlakukan sebuah Keputusan Menteri tentang tatacara pengajuan permohonan pengesahan perseroan dengan menggunakan Sisminbakum tersebut dengan merujuk pada UU No 40 tahun 2007 itu. Walau sudah diberlakukan dengan undang-undang, Kejaksaan Agung tetap saja menganggap biaya akses Sisminbakum sebagai korupsi. Mereka mulai mengusut kasus ini pada tanggal 13 Oktober 2008. Malangnya, meskipun ada 6 orang pernah menjadi Menteri Kehakiman dalam kurun waktu tahun 2001-2008, dan semua menteri itu mengoperasikan Sisminbakum yang sama, tetapi sampai hari ini sayalah satu-satunya mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang jadi bulan-bulanan dan dikuya-kuya Kejaksaan Agung.
Kalau pokok sangkaan melakukan korupsi adalah masalah PNBP, maka kehadiran Megawati dan Presiden SBY untuk memberikan keterangan sebagai sebagai saksi yang menguntungkan bagi saya sangatlah penting. Gus Dur tidak dapat dihadirkan lagi karena sudah wafat. Pentingnya mereka memberikan kesaksian antara lain ialah, bahwa selama Megawati menjadi Presiden, beliau tidak pernah merubah PP tentang PNBP di Departemen Kehakiman dan memasukkan akses fee Sisminbakum sebagai PNBP. Presiden SBY empat kali pernah merubah PP tentang PNBP di Departemen Hukum dan HAM, yakni PP No 75 Tahun 2005, PP no 19 Tahun 2007 dan PP No 82 Tahun 2007. Dalam tiga PP ini tidak satu pasalpun yang menyebutkan bahwa biaya akses Sisminbakum sebagai PNBP yang wajib dipungut oleh Departemen Hukum dan HAM. Dalam PP no 38 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009, barulah Presiden SBY memasukkan biaya akses fee Sisminbakum sebagai PNBP, setelah Prof. Romly Atmasasmita dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, walau kini beliau sedang menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung. Suatu jenis pelayanan Pemerintah kepada masyarakat digolongkan sebagai PNBP atau tidak, menurut Pasal 2 UU No 20 Tahun 1997 tentang PNPB, bukanlah ditetapkan oleh menteri, tetapi ditetapkan oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Presiden SBY perlu didengar keterangannya mengenai 4 PP tentang PNBP di Departemen Kehakiman dan HAM yang pernah beliau tanda-tangani. Kalau Presiden SBY mengatakan bahwa sebelum ditandatanganinya PP 38 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009, memang biaya akses Sisminbakum bukanlah PNBP, karena prinsip hukum yang tidak berlaku surut, maka Kejaksaan wajib menghentikan pemeriksaan terhadap saya sebagai Tersangka pelaku korupsi sebagaimana mereka tuduhkan. Prof. Romly, Samsuddin Manan Sinaga dan Zulkarnaen Yunus, serta Yohannes Woworuntu (Direktur PT SRD) yang telah diputus bersalah oleh Mahkamah Agung, haruslah dibebaskan. Disinilah arti penting kehadiran Presiden SBY untuk menerangkan soal PNBP ini, karena memang beliau yang menandatangani keempat PP yang saya sebutkan tadi. Presiden SBY yang juga menandatangani pengesahan UU No 40 Tahun 2007 yang memberlakukan Sisminbakum dengan undang-undang itu harus ditanya juga apa alasannya memberlakukan Sisminbakum dengan undang-undang, sementara Kejaksaan Agung berpendapat bahwa biaya akses Sisminbakum itu adalah korupsi. Ketika undang-undang ini disahkan, saya bukan siapa-siapa lagi. Bukan Menteri kehakiman dan HAM, bukan pula Mensesneg.
Sebagai Presiden, SBY harusnya bersikap kesatria untuk menjernihkan masalah ini. Jangan biarkan ada beberapa warganegara di negara yang beliau pimpin, harus dipenjara dengan tuduhan korupsi padahal mereka tidak bersalah. Sebagai Presiden beliau berwenang untuk menegur Plt Jaksa Agung Darmono dan Jampidsus Amari untuk menghentikan segala macam dalih yang memutarbalikkan penafsiran Pasal 65 dan Pasal 116 KUHAP, kalau alasannya karena sungkan memanggil Presiden untuk memberikan kesaksian. Kalau memang tidak ada ketulusan untuk menyelesaikan polemik menghadirkan empat tokoh yang saya majukan untuk didengar keterangannya sebagai saksi yang meringankan saya, maka saya akan menempuh cara yang sah dan konstitusional yakni memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan maksud Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP dihubungkan dengan asas negara hukum (Pasal 1 ayat 3), asas persamaan kedudukan di hadapan hukum (Pasal 27 ayat 1), asas pengakuan, jaminan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28C ayat 1 dan Pasal 28G ayat 2) dan asas penghormatan terhadap hak asasi manusia (Pasal 28J) Undang-Undang Dasar 1945. Saya akan memohon MK memutuskan manakah tafsir yang benar atas ketentuan Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP: tafsiran saya atau tafsiran Jampidsus Amari dan Kapuspenkum Kejaksaan Agung Babul Khoir Harahap. Nanti kita akan lihat, apakah implikasi imperatif putusan MK itu atas pemanggilan beberapa tokoh yang saya sebutkan namanya, khususnya bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ****