Jakarta 18/1/2011. Sidang pleno perdana Mahkamah Konstitusi (MK) memeriksa permohonan uji materil tentang saksi yang diajukan mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, dimulai hari ini. Yusril mengajukan pengujian Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4) serta Pasal 184 ayat (1) KUHAP untuk dinilai konstitusionalitasnya dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Semua pasal KUHAP itu berkaitan dengan saksi yang menguntungkan (ad de Charge) yang menjadi dasar bagi Yusril untuk meminta Kejagung memanggil dan memeriksa empat saksi, yakni Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, Jusuf Kalla dan Kwik Kian Gie sebagai saksi yang menguntungkan dirinya. Sesuai asas negara hukum, keadilan dan kesemibangan, menurut Yusril, kalau Penyidik bisa memanggil siapa saja menjadi saksi yang memberatkan, maka dirinya sebagai tersangka juga berhak untuk meminta siapa saja menjadi saksi yang menguntungkan dirinya.
Namun permintaan Yusril itu ditolak Kejagung dengan alasan keempat orang tersebut tidak relevan dengan perkara dan tidak memenuhi syarat sebagai saksi. Penolakan ini memicu polemik antara Yusril dan Kejagung, sampai berujung pada pengujian undang-undang di MK. Walaupun belakangan sikap Kejagung berubah dan mengakomodasi permintaan Yusril dengan memeriksa JK dan Kwik, namun Yusril tetap meneruskan perkaranya di MK. “Kejagung tetap menolak memanggil SBY dan Mega dengan alasan tidak relevan. Padahal mereka tidak berhak untuk menilai relevan atau tidak saksi yang saya ajukan”, kata Yusril.
Dalam sidang pleno perdana ini, empat ahli yang diajukan Yusril ialah Prof Dr Eddy Siariej, pakar hukum acara pidana dari UGM, Dr. Mudzakkir pakar pidana dari UII, Dr Chairul Huda pakar pidana dari UMJ dan Dr Kurnia Toha pakar hukum acara pidana UI. Keempat saksi tegas menyatakan bahwa memanggil saksi yang menguntungkan yang diajukan tersangka adalah kewajiban Penyidik. Penyidik tidak berhak menilai keterangan mereka relevan atau tidak. Apalagi, mereka belum mendengar keterangan saksi itu, secara a-priori sudah mengatakan tidak relevan. Sikap Kejagung dinilai masih jauh dari pelaksanaan KUHAP yang menghormati “due process of law” — yang menempatkan penyidik dan tersangka dalam posisi yang sama dengan menekankan asas praduga tak bersalah — tetapi sangat dipengaruhi oleh “crime control model” HIR peninggalan kolonial Belanda. Dalam HIR, kedudukan penyidik dan tersangka tidak seimbang. Prinsip penyidikannya adalah praduga bersalah (presumption of guilty). Sikap Kejagung jelas-jelas merugikan hak-hak konstitusional tersangka. Padahal amandemen UUD 1945 telah begitu mendedepankan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Menjawab pertanyaan hakim konstitusi M Akil Muchtar, apakah permohonan Yusril ini terkait dengan penerapan hukum dalam praktik, ataukah menyangkut problematika konstitusi, semua saksi tegas menjawab bahwa ketentuan Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP yang mendefinisikan saksi sebagai orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana, jelas mengaburkan arti saksi dalam Pasal 65, 116 dan 184 KUHAP. “Saksi alibi, jelas tidak melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri”, tetapi keterangan saksi alibi bisa menyebabkan penyidikan terhadap tersangka dihentikan” jawab Prof Eddy Siariej. Pengaburan makna saksi tersebut merugikan hak-hak konstitusional pemohon yang harus mendapatan keadilan, perlakuan yang sama di hadapan hukum dan jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, jelas bahwa masalah ini bukan sekedar kerancuan dalam pelaksanaan undang-undang saja, melainkan juga sebuah problema konstitusional.
Yusril optimis bahwa MK akan mengabulkan permohonannya. Saksi bukanlah hanya orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri sebagaimana dipahami Kejagung, tetapi setiap orang yang mengetahui sesuatu yang terkait dengan perkara yang dituduhkan. Hak tersangka untuk mengajukan saksi yang menguntungkan dan Penyidik wajib memanggil saksi itu untuk diperiksa. Kejagung tidak berhak untuk menilai relevan atau tidak dan memenuhi kualifikasi sebagai saksi atau tidak menurut Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP.
Implikasi dari putusan MK nanti, jika sekiranya permohonannya dikabulkan, maka Kejagung tidak mempunyai pilihan lain, kecuali memanggil dan meminta keterangan SBY dan Megawati tentang perkara Sisminbakum yang menempatkan Yusril sebagai tersangka. “SBY wajib menerangkan apakah biaya akses Sisminbakum sebelum tahun 2009 adalah PNBP atau bukan” kata Yusril. Sebab, menurutnya, SBY pernah menerbitkan empat Peraturan Pemerintah (PP) tentang PNBP yang berlaku di Kementerian Hukum dan HAM, yang semuanya tidak memasukkan biaya akses itu sebagai PNBP. “Kalau SBY bersaksi dengan jujur seperti itu, maka tidak ada kerugian negara dan tidak ada unsur korupsi dalam perkara saya” kata Yusril. Mahkamah Agung dalam putusan kasasi perkara Romli Atmasasmita, sebenarnya telah memutuskan demikian. Namun Kejagung hingga sekarang seakan menyepelekan putusan kasasi MA. “Jadi, biarlah SBY yang menerangkannya langsung ke Kejagung, karena sesuai ketentuan Pasal 2 UU No 17 Tahun 1997 tentang PNBP, yang menetapkan sesuatu itu PNBP atau bukan, bukanlah kewenangan Menteri Hukum dan HAM, tetapi kewenangan Presiden”. Demikian keterangan Yusril kepada media di Jakarta hari ini (TYM).