Pengantar.
Majalah Tempo minggu ini, edisi 21-27 Maret 2011 menulis laporan “Tergelitik Wikileaks”. Saya diwawancarai dengan 9 pertanyaan dan semuanya saya jawab. Namun, sebagaimana biasanya gaya Tempo, wawancara panjang-panjang, yang dimuat hanya satu dua kalimat. Keluhan seperti ini, pernah juga dikemukakan oleh guru saya, Alm Mohammad Natsir, yang merasa diwawancarai Tempo lebih dari satu jam, tapi yang dimuat hanya satu dua kalimat. Karena itu, kali ini saya minta wawancara tertulis dan saya jawab tertulis pula. Agar publik mengetahui apa yang mereka tanya dan apa jawaban saya, maka wawancara itu saya publikasikan di sini. Dengan demikian, publik tahu apa yang diwawancarai dan dan sekaligus dapat membandingkannya dengan apa yang ditulis Tempo edisi minggu ini. (YIM)
Begini, Pak. Dalam siaran pers Bapak tgl 11 Maret 2011, Bapak mengatakan: “Saya sebenarnya tidak terlalu terkejut mendengar berita di koran The Age dan Sydney Morning Herald itu, karena sejak lama saya memang merasakan dimata-matai.” Yang ingin saya tanyakan pada Bapak:
1. Kapan dan di mana Bapak merasakan seperti dimata-matai itu? Waktu itu Bapak sedang mengikuti acara apa?
Saya kira pertanyaan ini terlalu sederhana. Kalau orang dimata-matai itu biasa saja, tapi kalau orang dijadikan target operasi intelejen, masalahnya menjadi sangat serius. Apa yang terjadi pada saya di bidang politik setelah tahun 2004, khususnya dengan aneka tuduhan korupsi yang dipublikasi beligu besar-besaran, termasuk oleh majalah Tempo, adalah bagian dari operasi intelejen yang terencana dan sistematis.
2. Bagaimana mereka memata-matai Bapak? Apakah Bapak melihat orang yang mencurigakan? Apakah dia menguntit Bapak?
Lagi-lagi pertanyaan ini terlalu sederhana dan menyederhanakan masalah. Kegiatan intelejen, apalagi yang dinamakan operasi intejelen, adalah jauh lebih luas dari sekedar memata-matai seseorang. Apa yang mau dilakukan, tentu tergantung pada apa yang menjadi target yang ingin dicapai.
3. Apakah Bapak kenal orang yang menguntit Bapak? Maksud saya, apakah dia intel yang ditanam di Depkumham ataukah orang asing?
Pertanyaan anda keliru besar. Sejak 20 Oktober 2004, saya tidak lagi menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, tapi menjadi Menteri Sekretaris Negara. Kalau soal menguntit seperti anda tanyalah, lagi-lagi saya katakan bahwa anda terlalu menyederhanakan masalah, dan nampaknya tidak dibekali dengan pemahaman yang memadai tentang seluk-beluk kerja intelejen.
4. Apakah Bapak pernah merasa telepon Bapak disadap?
Kalau itu pekerjaan yang sederhana dari segi intelejen. Rekaman telepon saya, saya tahu pernah diperdengarkan dalam sebuah rapat. Tapi itu soal sederhana saja. Kalau sekarang status saya adalah tersangka, saya lebih sadar lagi kalau telepon saya disadap. Rumah saya pernah dimasuki maling, padahal ada penjagaan yang lumayan ketat. Tokh yang hilang hanya handphone dan data dari komputer saya mereka curi dengan cara merekamnya. Saya lapor polisi, tapi sampai hari ini tidak ada progress apapun. Saya menduga maling yang masuk ke rumah saya, bukan sekedar maling biasa.
5. Dua koran itu menuduh Bapak pergi ke Singapura untuk menemui pebisnis Cina. Apakah itu benar, Pak?
Menemui khusus secara rahasia seorang pebisnis Cina (Chinese businessman) tidak ada. Bahwa bertemu baik sengaja atau tidak sengaja dengan orang Cina yang pebisnis, mungkin saja terjadi. Saya merasa tidak ada yang rahasia dan perlu dirahasiakan. Siapa orang pebisnis Cina itu, saya tak ingat lagi. Bisa pebisnis Cina WNI, warganegara Singapura atau Malaysia, entah siapa.
6. Menurut sumber di Istana, Pak SBY mengaku pernah memerintahkan BIN untuk memata-matai Bapak karena SBY kesal Bapak pernah berbohong akan pergi ke Bangka-Belitung, tapi nyatanya pergi ke Singapura dan Filipina. Apakah itu benar, Pak? Cerita sebenarnya seperti apa, Pak?
He he, mereka yang berada di lingkaran istana itulah yang selalu menyebarkan kebohongan, isyu dan rumors tentang saya kepada SBY, dengan target agar saya tersingkir dari Sekretariat Negara. Tidak pernah saya meninggalkan negara ini, tanpa persetujuan tertulis, paling tidak dalam bentuk paraf Presiden SBY pada surat permohonan izin yang saya sampaikan. Kalau saya pergi ke Bangka Belitung, tidak perlu izin ke Presiden. Karena yang perlu izin adalah perjalanan ke luar negeri. Sebagai Mensesneg saya bekerja hati-hati, apalagi soal administrasi. Semua dokumen-dokumen itu masih ada. Bahkan beberapa kali saya tidak hadir dalam sidang kabinet, karena harus mewakili Presiden di DPR dalam membahas berbagai rancangan undang-undang, juga dijadikan rumors bahwa saya selalu mangkir dalam sidang kabinet. Kepada SBY bahkan berulangkali disampaikan bahwa saya ini orang berbahaya, bisa menusuk SBY dari belakang. Bahkan dikatakan saya ini fundamentalis yang ingin mendirikan negara Islam yang harus diwaspadai. Usaha mereka memang berhasil, tokh akhirnya saya tersingkir dari Sekretariat Negara. Waktu saya diberhentikan, SBY mengatakan resuffle kabinet dilakukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme. He he he, saya sudah lama dididik di Sekretrariat Negara sejak zaman Pak Harto dan berguru kepada Pak Moerdiono. Dari segi kelimuan, saya memahami hukum dan politik dan mempunyai kualifikasi akademis yang cukup untuk itu. Tapi saya digantikan oleh Hatta Radjasa, seorang Insinyur Pertambangan tamatan ITB tanpa latar belakang pengalaman administrasi pemerintahan. Pak Jusuf Kalla saja, ketika itu bertanya, meningkatkan profesionalisme apa ini? He he he…
| 7. Saya tanya soal memata-matai karena dua koran itu nyebutnya memata-matai sih, Pak… jadi saya mesti fokus di situ kan… Tapi sebenarnya pernah ndak sih Bapak dimata-matai?
Saya ingin mengatakan bahwa saya lebih dari sekedar dimata-matai, tetapi saya menjadi target operasi intelejen. Kalau dimata-matai, misalnya, telepon saya disadap dan pernah diperdengarkan dalam suatu rapat sebuah lembaga negara, saya tahu. Saya bahkan melaporkan hal ini ke Presiden. Saya katakan, kalau demikian, pembicaraan saya dengan Presiden juga bisa mereka sadap. Presiden sangat prihatin dengan hal ini. |
| 8. Soal operasi intelijen yang Bapak maksud di pertanyaanku yang no.1, bisa diceritakan lebih detail lagi gak, Pak? |
Operasi intelejen yang paling nyata adalah dalam kasus Sisminbakum. Sampai hari ini saya tidak percaya bahwa ini adalah penegakan hukum. Tetapi menyangkut banyak kepentingan yang dilakukan secara sistimatis untuk mematikan saya secara politik. Operasi ini dimulai dengan pembusukan, yakni penghancuran reputasi dan nama baik, dengan menyebarkan banyak rumors, menggerakkan LSM untuk menulis selebaran sampai demonstrasi. Melalui jaringan dengan media, baik internet maupun cetal dan elektronik lainnya, tuduhan-tuduhan negatif disebarkan. Tidak mudah melakukan counter atas kegiatan ini, karena kekuatan saya terbatas. Melalui berbagai tekanan dan rekayasa, saya mulai dicari-cari kesalahannya. Soalnya bukan benar atau salah, ada bukti atau tidak, yang penting target rusak nama baiknya. Ambil contoh dalam dakwaan Yohanes dan Romli Atmasasmita, bagaimana cara mereka menjerat saya. Disebutkan bahwa saya korupsi uang Rp 420 milyar, imej ini diciptakan, padahal tidak pernah ada hasil audit seperti itu baik dari BPK maupun BPKP. Pemasukan PT SRD sebanyak itu dihitung sejak tahun 2001 sampai tahun 2008. Lantas dibuat dakwaan, Yohanes melakukan koran korupsi bersama-sama dengan beberapa orang, serta Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, secara terus-menerus dari tahun 2000 sampai tahun 2008. Apakah saya jadi menteri selama itu? Kenyataannya dari tahun 2000 sampai 2008 ada 6 orang yang menjadi Menteri Kehakiman, tetapi yang lain-lain tidak pernah disentuh. Samsudin Manan Sinaga juga dikait-kaitkan dengan saya, padahal Samsudin menjadi Dirjen dibawah menteri Andi Mattalata. Romli diangap bersalah sampai pengadilan tinggi (sebelum ada putusan MA yang membebaskannya), karena membagi uang koperasi dengan Dirjen AHU melalui surat perjanjian tanggal 24 Juli 2001, maka saya didakwa karena dianggap bertanggungjawab atas perbuatan Romli. Padahal, saya sudah berhenti menjadi Menteri Kehakiman tanggal 8 Februari 2001 dan digantikan Baharuddin Lopa. Sisminbakum mulai beroperasi tanggal 1 Maret 2001 dibawah Baharuddin Lopa. Tapi yang dituntut saya, nama Lopa (sekarang sudah meninggal) tidak pernah disebut-sebut. Dakwaan terhadap saya itu jelas “error in persona” (sa;ah orang), tapi Kejagung terus ngotot. Plt Jaksa Agung Darmono menyangkal tudingan saya bahwa ada unsur polirik bermain dibalik kasus saya, dia menyangkal. Lantas saya menantang Darmono untuk memberikan penjelasan murni yuridis tentang hal-hal yang saya kemukakan tadi. Tantangan itu saya lakukan terbula dan dimuat media massa. Sampai hari ini Darmono dan Kejagung tidak berani menjawab. Dari fakta-fakta ini, saya tidak bisa mengatakan lain, kecuali saya memang menjadi target untuk dihukum, dan itu adalah operasi intelejen. Ada komunikasi terus-menerus antara seorang pejabat sangat penting di lingkaran istana dengan Jampidsus Amari, dan tekanan itu begitu kuat agar saya diadili, ada bukti atau tidak ada bukti. Saya bukan tidak tahu hal-hal seperti ini.
| 9. Terus, waktu Bapak telpon Pak Syamsir, boleh diceritakan gak, Pak percakapannya seperti apa…. |
Saya ingin fair, karena nama Syamsir disebut-sebut sebagai orang yang disuruh SBY, saya ingin konfirmasi sambil mengingatkan kami berdua berbagai peristiwa yang terjadi sekitar tahun 2004-2007. Samsir sendiri menjadi korban yang sama dengan saya, karena dia selalu dilapori hal aneh-aneh kepada Presiden, oleh orang-orang dekat Presiden, yang membuat Syamsir jengkel. Presiden menyuruh Syamsir mengamat-amati saya, bukan karena laporan Syamsir, tetapi laporan orang-orang dekat Presiden, yang terus-menerus mempengaruhi Presiden. Lama kelamaan, Presiden tentu saja ingin cross-check, apa benar bisikan-bisikan itu. Ketika saya tanya, benar tidaknya Presiden menyuruh Syamsir memata-matai saya ketika pergi ke Singapura, yang disebut-sebut menemui pengusaha Cina, Syamsir hanya tertawa terbahak-bahak. “Cina yang mana ya?” katanya. Syamsir tidak membantah, juga tidak mengiyakan. Laporan Wikilieaks menyebutkan sumber informasinya adalah TB Silalahi. Sekitar 2004 -2007 TB Silalahi selalu ada di sekitar Presiden, tanpa jelas apa statusnya. Beberapa media menyebutnya sebagai penasehat Presiden, tetapi secara formal jabatan itu tidak ada, sampai terbentuknya Wantimpers, ketika saya menyelesaikan pembahasan RUU Wantimpres dengan DPR. TB Silalahi, Syahrir, Adnan Buyung Nasution dan bahkan Emil Salim, adalah orang-orang yang terus mempergunjingkan saya, bahkan sampai ke rapat-rapat Wantimpres. Mereka juga pernah membahas ingin mengusulkan kepada Presiden agar saya dipecat dari Mensesneg, disertai ancaman akan mengundurkan diri dari Wantimpres kalau saya tidak dipecat. Saya kira, ini persoalan politik dan ideologis antara mereka dengan saya. Saya tahu Ali Alatas dan KH Ma’ruf Amin serta anggota Wantimpres yang lain beda pendapat dengan mereka.
Ketika saya bertemu Emil Salim di Kantor Wantimpres, belum lama ini, dia bahkan mengatakan bahwa pengelola Sisminbakum, PT SRD adalah milik adik saya. Saya membantah apa yang dikatakan Emil Salim. Adik saya tidak ada urusan apapaun dengan PT SRD. Tapi, saya tidak mengerti, mengapa dia berpikir seperti itu. (Kedatangan saya menemui Emil Salim sebenarnya dengan maksud menanyakan apakah beliau masih menyimpan dokumen Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang pernah diketuainya. Dalam suatu sidang kabinet di zaman Gus Dur, DEN pernah membuat matriks tentang apa yang harus dikerjakan oleh Pemerintah. Salah satu matriks itu menyebutkan bahwa Departemen Kehakiman harus segera membenahi percepatan pengesahan perseroan terbatas, selain percepatan pengangkatan hakim niaga dan revisi UU Kepailitan. Kwik Kian Gie dan saya masih ingat matriks itu. Namun sayang Emil sudah lupa samasekali, dan ternyata tidak menyimpan dokumen-dokumen DEN).
Demikian jawaban saya.