Prof Dr Yusril Ihza Mahendra menyesalkan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan kasasi jaksa dan menghukum Prita Mulyasari 6 bulan dengan percobaan 1 tahun. Sementara sebelumnya Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Prita dari segala dakwaan. Walaupun putusan MA itu tidak akan dijalankan sepanjang Prita tidak mengulangi perbuatannya selama setahun, namun putusan jelas-jelas merugikan terdakwa. Ketentuan Pasal 244 KUHAP sebenarnya telah menegaskan bahwa terhadap putusan bebas, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) tidak boleh mengajukan kasasi, ujar Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia ini.
“Tidak ada alasan untuk menyebut putusan bebas terbagi dua kategori: bebas murni dan bebas tidak murni, sehingga jaksa dapat mengajukan kasasi” kata Yusril. Putusan penmgadilan, tambahnya, hanya ada tiga alternatif, yakni menjatuhkan hukuman, membebaskan (vrijspraak) dan melepaskan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). KUHAP sudah jelas mengatur bahwa terhadap putusan bebas, baik jaksa maupun terdawa tidak dapat mengajukan kasai. “Mestinya MA menolak permohonan kasasi karena bertentangan dengan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, MA tidak perlu memeriksa pokok perkara lagi” tegas Yusril.
Dalih JPU mengajukan kasasi karena ada yurisprudensi MA, menurut Yusril, telah menghilangkan asas kepastian hukum. Padahal asas kepastian hukum itu begitu penting kedudukannya setelah amandeman UUD 1945. Yusri kemudian mengemukakan keinginannya untuk membantu Pita jika yang bersangkutan menghendakinya. Langkah mengatasi persoalan Pita adalah pertama mengajukan uji tafsir Pasal 244 KUHAP dan yurispudensi MA terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam kaitannya dengan asas kepastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi, menurut Yusril, mempunyai kedudukan setara dengan norma konstitusi. Sementara putusan MA yang dijadikan yurisprudensi, karena dapat menggeser norma undang-undang, kedudukannya setara dengan norma undang-undang. “Sebab itu, baik undang-undang maupun yurisprudensi semestinya dapat diuji oleh MK untuk dinilai kesesuaiannya dengan norma konstitusi” tegasnya.
Sekiranya MK memutuskan bahwa yurisprudensi MK menyalahi kepastian hukum, sehingga yang berlaku sebagai norma bukanlah yurisprudensi melainkan tetap Pasal 244 KUHAP, maka Prita akan mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA untuk membatalkan putusan kasasi yang merugikannya sekarang ini.
“Kalau Prita mau, saya akan membantunya dengan sukarela” kata Yusril mengakhiri keterangannya.