- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

BASRIEF MENGAKU SALAH?

Ketika ditanya wartawan usai memberi ceramah pada Dies Natalis Universitas Andalas di Padang kemarin, Jaksa Agung Basrief mengakui bahwa dirinya telah salah menerbitkan keputusan mencegah saya ke luar negeri, karena menggunakan dasar hukum undang-undang yang telah dicabut. Basrief juga menjelaskan bahwa ketika keputusan pencegahan itu dikeluarkan, dia sedang berada di Korea. Namun dia mengaku bertanggungjawab dan mengambil alih  segala sesuatu yang terjadi akibat pencekalan yang salah itu.

Basrief menambahkan bahwa UU No 9/1992 yang dijadikan dasar pencekalan memang telah dicabut. Namun undang-undang yang baru, belum ada peraturan-pelaksananya. Tidak jelas apa yang dimaksud Basrief belum ada peraturan pelaksananya. Apakah dia ingin mengatakan bahwa undang-undang tersebut, meskipun telah dinyatakan berlaku, namun belum dapat dilaksanakan karena belum ada peraturan pelaksananya. Jawaban seperti itu sudah pernah dikemukakan oleh Wakil Jaksa Agung Darmono menanggapi gugatan saya ke PTUN Jakarta. Jawaban Basrief dan Darmono ini lagi-lagi mempertontonkan keluguan dua orang petinggi penegak hukum di negara kita. Keduanya tidak mengikuti perkembangan hukum di tanah air.

Ketika saya menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, saya menyelesaikan pembuatan UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam UU ini, tegas-tegas diatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP), yang oleh UUD 1945 disebutkan dikeluarkan untuk melaksanakan undang-undang “sebagaimana mestinya”, dikeluarkan secara selektif, yakni jika diperintahkan oleh undang-undang. Ketika saya menulis artikel ini, UU No 10 Tahun 2004 telah dirubah dan dicabut dengan persetujuan bersama Presiden dan DPR, namun belum ditandatangani untuk disahkan oleh Presiden. Dengan UU No 10 Tahun 2004 itu, undang-undang sedapat mungkin mengatur norma hukum secara lebih rinci, sehingga tidak banyak memerlukan Peraturan Pemerintah lagi. Hanya hal-hal yang benar-benar teknis, yang memerlukan PP. Saya sengaja membuat aturan demikian, sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi dengan dua alasan. Pertama, Pemerintah jangan sendirian secara seenaknya membuat norma melalui PP yang kadang-kadang isinya malah mengebiri norma undang-undang. Kedua, kalau undang-undang sudah disahkan dinyatakan berlaku, jangan lagi undang-undang itu dilambat-lambatkan pelaksanaannya dengan alasan belum ada PP. Birokrat kita selalu cari-cari alasan untuk tidak melaksanakan undang-undang. Kalau sudah ada PP, masih juga mengatakan belum ada “Juklak-Juknis” (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis).

Penyusunan UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian rupanya mengikuti apa yang saya wariskan dalam UU No 10 Tahun 2004 itu. Ketentuan tentang pencegahan dan penangkalan, diatur secara rinci, agar tidak disalah-gunakan oleh pejabat-pejabat, yakni Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan Menteri Keuangan. Masa pencegahan tegas dibatasi maksimum (enam) bulan. Ini untuk mencegah orang dicekal tanpa batas yang dapat melanggar hak asasi manusia. UU ini hanya mengatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penangkalan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Jadi PP yang nanti akan dikeluarkan itu, hanya bersifat teknis pelaksanaan saja, tidak lagi mengandung norma hukum yang baru. Pasal 143 UU No 6 Tahun 2011 mengatakan bahwa peraturan pelaksana yang ada masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU No 6 Tahun 2011 itu. Peraturan pelaksana yang baru sudah harus diterbitkan paling lambat satu tahun setelah UU tersebut berlaku. Peraturan cekal yang lama, seperti PP No 30 Tahun 1994 memang menyerahkan berapa lama masa cekal, terserah pada Jaksa Agung.  Namun Peraturan Jaksa Agung No 10 Tahun 2010, masih membatasi kewenangan itu menjadi maksimum satu tahun saja. Kedua peraturan pelaksana yang lama ini, sejauh menyangkut batas waktu cekal, sudah nyata bertentangan dengan UU No 11 Tahun 2011, sebab itu pengaturan ini sudah harus dianggap tidak berlaku.

Basrief dan Darmono rupa-rupanya tergolong dua pejabat yang masih berpikir gaya birokrat masa lampau yang belum terkena pengaruh reformasi. Mereka masih berpikir gaya lama, ingin melambat-lambatkan pelaksanaan undang-undang, dengan alasan belum ada peraturan pelaksananya. Padahal, sejak 2004, cara berpikir seperti itu sudah harus disingkirkan jauh-jauh. Syukurlah sekarang Basrief mau mengaku salah, walau masih ada saja omongannya yang bernada bahwa dia tidak salah juga. Apapun juga omongan Basrief, masalah pencekalan dan pencabutannya kini tengah disidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Kita akan lihat nanti apa putusan PTUN, apakah keputusan Jaksa Agung itu batal atau tidak. Jaksa biasanya tampil gagah perkasa mendakwa orang ke pengadilan. Sesekali enak juga melihat Jaksa jadi tergugat di pengadilan. Kali ini nampaknya tidak segagah ketika mendakwa orang…