KETIDAKJELASAN POSISI WAKIL MENTERI
Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil resuffle ini. Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini bertambah dari 6 menjadi menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah Wakil Menteri melebihi separuh dari jumlah menteri. Bagaimanakah kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita, dan akan makin efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu?
Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.Jadi, dalam UUD 1945, tidak ada jabatan Wakil Menteri. Namun, Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara, menyebutkan bahwa “dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa “Yang dimaksud wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa “Wakil Menteri berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan jabatan Wakil Menteri itu.
Dalam sejarah Kabinet Presidensial di negara kita, hanya dalam Kabinet RI yang pertama yang dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki Wakil Menteri. Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara dan 2 wakil menteri. Wakil Menteri yang ada pada waktu itu hanyalah Wakil Menteri Dalam Negeri dan Wakil Menteri Penerangan. Kedudukan dua Wakil Menteri itu jelas, karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Di era Pemerintahan Presidensial Sukarno setelah Dekrit Presiden (1959-1966), jabatan Wakil Menteri tidak ada. Demikian pula dalam seluruh kabinet yang pernah dibentuk oleh Presiden Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan di awal kabinet pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I). Belakangan, Presiden SBY mengangkat satu orang Wakil Menteri, yakni Wakil Menetri Luar Negeri. Di zaman Presiden Sukarno dan Presiden Suharto, pernah ada jabatan menteri muda, di samping menteri, yang menangani urusan-urusan tertentu yang berada di bawah kementerian tertentu. Semua menteri muda itu adalah anggota kabinet. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden, bukan bertanggungjawab kepada Menteri yang memimpin kementerian itu.
Kalau kedudukan Wakil Menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas karena mereka anggota kabinet, maka tidak demikian halnya dengan kedudukan Wakil Menteri di dalam KIB II Presiden SBY. Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagaimana telah dikutip di atas menyebutkan bahwa jika ada beban pekerjaan yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Namun Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa Wakil Menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Penjelasan pasal inilah yang menimbulkan kerancuan terhadap kedudukan wakil menteri di era Presiden SBY ini. Penjelasan itu bukannya memperjelas makna norma yang termaktub di dalam Pasal 70, malah membuatnya menjadi kabur dan tidak jelas.
Penulis ini pada awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya berasal dari DPR. Namun di tengah jalan, Penulis ini diberhentikan sebagai Mensesneg, sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh Mensesneg yang baru, Hatta Radjasa dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, hingga selesai. Dalam RUU Kementerian Negara, jabatan Wakil Menteri itu tidak ada. Dalam KIB I, Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada Penulis tentang perlunya mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian Luar Negeri, mengingat Menlu sering berada di luar negeri. Dalam pikiran penulis waktu itu, Wakil Menteri itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya Wakil Menteri dalam kabinet pertama RI di tahun 1945. Dengan demikian, apabila Menlu berhalangan, maka Wakil Menlu itu dapat menghadiri sidang-sidang kabinet, menghadiri rapat-rapat dengan DPR dan sebagainya, sehingga tidak perlu terlalu sering mengangkat Menteri Luar Negeri Ad Interim. Selama menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, Penulis ini berulangkali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Ad Interim. Bahkan pernah pula sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan Ad Interim, disamping Menlu Ad Interim. Namun, apa yang penulis pikirkan itu ternyata berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata.
Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undang-undang tidaklah lebih dari sekedar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur di dalam pasal, sehingga dimengerti maksudnya. Penjelasan undang-undang tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun Presiden dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut. Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri. Istilah Wakil Menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu. Ketika menterinya berhalangan, maka Wakil Menteri itulah yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas inisiatif Presiden sendiri dan bukan inisiatif, atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang bersangkutan.
Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011, yang mengatakan bahwa Wakil Menteri “berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Di satu pihak Wakil Menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, namun di lain pihak “berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Sementara Wakil Menteri itu bukan diusulkan oleh Menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif Presiden. Jadi seorang menteri dapat di “fait accomly” oleh Presiden untuk menerima seseorang menjadi wakilnya, walau hatinya mungkin kurang berkenan. Hal lain yang juga menimbulkan masalah ialah, jika Wakil Menteri tidak dapat bekerjasama dengan Menteri, Menteri itu tidak dapat memberhentikan Wakil Menteri, karena dia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedudukan wakil Menteri seperti ini membingungkan.
Pasal 70A Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa “Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon Ia ”. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon Ia, namun Wakil Menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia. Wakil Menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian apa makna bahwa “Wakil Menteri adalah pejabat kakir” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1) Peraturan Prsiden No 76 Tahun 2011? . Pejabat karir adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan POLRI, yang menduduki jabatan karir secara berjenjang. Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan. Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan. Tidak mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan sejumlah akademisi yang kini menjadi Wakil Menteri, apakah mereka mempunyai kepangkatan yang sesuai untuk itu, kalau jabatan Wakil Menteri adalah jabatan karir?
Kasus Denny Indrayana
Denny Indrayana misalnya, adalah pegawai negeri sipil golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai Guru Besar di Universitas Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apapun di Fakultas Hukum UGM, baik ketika diangkat menjadi Staf Khusus Presiden, apalagi ketika diangkat diangkat menjadi Wakil Menteri. Ketika diangkat sebagai Wakil Menteri, jabatan Denny Indrayana adalah Staf Khusus Presiden, suatu jabatan non struktural, namun mendapat gaji dan tunjangan setingkat pejabat Eselon Ia. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden No 3 Tahun 2011 tentang Staf Khusus Presiden, pegawai negeri yang diangkat menjadi staf khusus Presiden “diberhentikan dari jabatan organiknya” tanpa kehilangan status sebagai pegawai negeri. Istilah “jabatan organik” sebenarnya adalah istilah dalam jabatan ketentaraan, yang lebih kurang sama pengertiannya dengan “jabatan struktural” dalam jabatan pegawai negeri sipil.
Jadi, kalau jabatan Wakil Menteri adalah jabatan karir, maka jenjang karir apakah gerangan yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri? Sebelum Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presieden No 76 Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa Wakil Menteri itu haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan, tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain. Perubahan itu nampak dilakukan tergesa-gesa menjelang reshuffle kabinet, sehingga antara satu ketentuan dengan ketentuan lain menjadi “tidak nyambung” dan terlihat aneh.
Guru Besar Fakultas Hukum UI, Professor Hikamahanto Juwana dan politisi PDIP Firman Jaya Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi diangkatnya Denny Indrayana, dan mungkin juga nama yang lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat, menjadi Wakil Menteri. Pendapat kedua tokoh ini nampak ada benarnya. Presiden tentu, kapan saja berwenang mengubah Peraturan Presiden. Presiden SBY nampaknya menganut faham bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum. Jadi kalau ada norma hukum yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana jadi Wakil Menteri, maka hukum itu, tentu dapat saja dirubah, Begitulah kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY. Tidak salah, memang, namun terkesan menggelikan.
Professor Hikamahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu, tidak semestinya dipatuhi. Tetapi norma hukum itu, kendatipun termasuk ke dalam ranah hukum publik, namun pelaksanaannya tidaklah menyangkut orang banyak, tetapi hanya menyangkut Presiden dan calon Wakil Menteri saja. Orang yang mau membawa Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 itu untuk diuji secara formil dan materil, juga tidak punya “legal standing” untuk memperkarakannya di Mahkamah Agung. Kerugian apa yang diderita orang itu dengan berlakunya Perpres No 76 Tahun 2011, sehingga dia dapat dianggap mempunyai “legal standing” untuk melakukan “judicial review” ke Mahkamah Agung?
Ketentuan-ketentuan tentang Wakil Menteri di era Presiden SBY sebagaimana digambarkan di atas, menunjukkan kekacauan berpikir para pejabat yang berwenang merumuskan norma-norma hukum. Kalau hal ini ditarik kepada permasalahan yang lebih luas, maka kekecauan berpikir dalam merumuskan norma hukum itu akan berdampak luas, yakni timbulnya kekacauan penyelenggaraan pemerintahan. Kalau penyelenggaraan pemerintahan negara kacau balau, maka kacau balau pulalah jalannya Negara Republik Indonesia ini. Memang ada mekanisme untuk memperbaikinya, namun pekerjaan itu akan membuang banyak waktu dan energi. Padahal, persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, terutama di bidang sosial dan eknomi sudah menuntut penyelesaian segera.
Akankah Effektif?
Presiden SBY meresuffle kabinet pada 19 Oktober yang lalu karena banyak faktor. Faktor yang paling menentukan ialah banyaknya kritik terhadap pemerintahannya yang dinilai tidak efektif menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau pemerintahan dinilai tidak efektif, maka ketidakpuasan akan meluas yang berujung pada krisis kepercayaan. Suara-suara yang menuntut agar SBY-Boediono turun, kini terdengar hampir setiap hari. Untuk menjawab semua itu, reshuffle kabinet, nampaknya dianggap Presiden sebagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan, sambil memperkuat dukungan politik, paling tidak dari kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai wakil di DPR.
Namun, reshuffle kabinet dengan mengganti dan memutasi sejumlah menteri, belumlah memberikan banyak harapan, selama Presiden tidak memberikan arahan dan program yang jelas dengan tenggang waktu yang cepat kepada para menterinya. Menteri bukanlah sekedar pembantu Presiden, tetapi adalah pejabat yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai bidangnya. Dalam sistem pemerintahan kita ini, menteri tidak dapat semata-mata pejabat politik sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan berdasarkan masukan dari jajaran birokrasi. Menteri harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah yang harus di tangani yang menjadi tanggungjawabnya, dan leadership yang cukup pula untuk membuat keputusannya menjadi efektif. Melihat nama-nama menteri baru, atau menteri yang dimutasi ke kementerian lain ketika resuflle kali ini, kemampuan menteri-menteri yang bersangkutan masih tanda tanya dan harus dijui dalam kenyataan beberapa bulan mendatang. Kemampuan Gita Wiryawan menangani perdagangan, Amir Samsudin dalam menangani hukum dan HAM, serta Cicip Sutradjo menangani kelautan masih tanda tanya. Begitu pula, menteri-menteri yang dimutasi ke kementerian lain, seperti Mari Pangestu yang kini menangani pariwisata dan ekonomi kreatif, dan Jero Wacik menangani ESDM.
Pertanyaan tentang efektifitas tentu terkait pula dengan banyaknya jabatan Wakil Menteri dalam kabinet hasil reshuffle. Dari ketidakjelasan kedudukan wakil menteri itu saja, sudah dapat dibayangkan bahwa kinerja cabinet hasil reshuffle ini tidak akan menambah efektivitas kerjanya. Ketika rapat cabinet pertama pasca reshuffle, sudah ada Wakil Menteri yang mengatakan secara terbuka bahwa dia tidak tahu apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil menteri. Dari sini dapat diketahui bahwa Presiden lebih dahulu mengangkat orang jadi Wakil Menteri, tanpa memikirkan secara struktur organisasi dan mekanisme kerja, apakah yang akan dikerjakan oleh wakil menteri pada kementerian tertentu, sehingga jabatan itu dipandang perlu untuk diadakan. Cara berpikir Presiden SBY ini terbalik. Seharusnya Presiden memikirkan dengan matang,.perlu tidaknya mengadakan jabatan wakil menteri pada kementerian tertentu dan menuangkannya ke dalam struktur organisasi, baru mengangkat orangnya. Apa yang dilakukan Presiden SBY ini nampak seperti orang mengira-ngira saja: kementerian ini perlu wakil menteri, bahkan bukan hanya satu, tetapi dua wakil menteri. Tapi, untuk apa keberadaan wakil menteri itu sesungguhnya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, ruang-lingkup pekerjaannya sudah mengecil dengan otonomi daerah. Lantas, apa perlunya mengangkat dua wakil menteri untuk kementerian ini?
Ketidak-jelasaan kedudukan wakil menteri, kecacauan dalam aturan-aturannya, serta ketidakjelasan tugas dan wewenangnya pada suatu kementerian, bukan saja dapat menimbulkan tumpang tindih, namun juga membingungkan jajaran birokrasi di bawahnya. Ini akan terjadi apabila wakil menterinya bersikap kreatif dan pro-aktif menangani hal-hal tertentu di kementeriannya. Sikap kreaktif dan pro-aktif ini, bukan mustahil pula akan menimbulkan suasana kurang enak antara menteri dan wakil menteri. Rasa kurang enak itu bisa muncul kepermukaan dalam bentuk yang beragam, mulai dari mendinginnya hubungan sampai ketegangan terbuka yang menjadi tontonan publik.
Di masa Presiden Suharto yang memiliki karisma, kewibawaan dan kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden SBY, mendinginnya hubungan antara Menteri dan Menteri Muda memang terjadi. Walaupun hal seperti itu tidak terungkap secara luas kepada publik, karena suasana kebebasan memang belum terbuka lebar, namun publik tetap mengetahui adanya masalah antara Menteri dan Menteri Muda, ambillah contoh misalnya antara Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura dan antara Mensesneg Moerdiono dengan Menmud Sekkab Saadillah Mursyid. Itu sebabnya, maka dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII, Presiden Suharto meniadakan jabatan menteri muda itu. Keberadaan para menteri muda dianggap tidak efektif, malah menimbulkan masalah semacam persaingan antara menteri dengan menteri mudanya.
Pengalaman di masa Presiden Suharto rupanya tidak dijadikan sebagai pelajaran. Tidak apa-apa. Presiden SBY dapat berpikir sendiri dan memutuskan sendiri, apa yang dianggap terbaik bagi kabinetnya. Waktu masih tiga tahun bagi Presiden SBY untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan efektifitas kerja kabinetnya. Kalau perombakan kabinet dan pengangkatan wakil-wakil menteri ini efektif, maka akan meningkatlah kepercayaan rakyat kepada Pemerintah dan Presiden SBY akan “khusnul khatimah” sampai akhir masa jabatannya tahun 2014 nanti. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan tambah sulit bagi Presiden SBY membangun kepercayaan rakyat. Demo-demo yang menuntut Presiden untuk turun dari jabatannya niscaya akan bertambah banyak saja. (Artikel dimuat di Koran Seputar Indonesia tanggal 31 Oktober dan 1 November 2011)
Cetak artikel
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=710
Aw. wr. wb,
Bung YIM, adakah nilai kepatutan/kepantasan seseorang diangkat jadi Wakil Menteri ?, bila Menteri adalah jabatan Politis, apakah Wamen Juga jabatan Politis, tidak bukan ?
Apakah pula UU kementerian negara membuka ruang Presiden untuk melakukan proliferasi/pembengkakan oraganisasi negara dan pemborosan keuangan negara ? adakah kewenangan DPR untuk mempertanyakan tidakan pemborosan itu kepada Presiden ?
Saya teringan “Parkinson Law” atau Hukum Parkinson, seorang Laksamana Inggris yang saat PD II ingin membesarkan Angkatan Laut Inggris. Apakah SBY sudah terkena “Parkinson syndrom ? “…
Apakah Wakil menteri itu juga punya kewenangan eksekutorial seperti Mentri, mengingat ybs adalah Pejabat Tinggi Negara yang bertanggung jawab kepada Mentri dan bukan kepada Presiden selaku Kepala Pemerintahan ?
Saya senang baca web pak YIM, pencerahan bagi kita anak bangsa, bravo YIM
www
Luwih apik HERU LELONO timbangane DENNY INDRAYANA
Hi Folks, suport QPR rather than talks about vive minister, come on QPR!
Viva QPR
Tonny Fernandes
Pian Nak Hancurkan tu Kementrian ?
selame ini rakyat pade diem bukannye berarti bodoh, tapi udeh pade jenuh ngliatin sandiware politik bangse ini, harusnya denny itu jangan diangkat jadi wakil mentri. Harusnya dikembaliin ke habitatnye biar ngebaur same teman-temannye LSM nyang pade suke ngomong kagak karuan itu
Memang sih itu hak Prerogatif Presiden tapi ya itu yah, sangat disayangkan banget kenapa Presiden SBY ngankat Wamen model Denny itu, kan resistensi tuh anak tinggi banget, udah sombong, sok teu, kalau ngomong ngak fokus jadinya ditafsirkan masyarakat isi omongannye ngambang ngak precisly gitu loh.
Wong sekolah nang yogya karepe ngolek pacar wong jowo,mbojo wong jowo, den…den…rupamu koyo yak yakooo. Cita-citane denny sekolah nang amerika karo ostrali ming arep nyobo jaran putih, karepan ning manuke kecilikan ha ha ha. Saiki dadi wakile Amir, dadi wakil mentri hukum, karena yo arep sugih,nguntal duite rakyat.
Senenarnya kami cukup bangga dengan Bapak Gusti M Hatta sebagai orang Kalimantan yang duduk di Kabinet. Itu sangat cukup. Tak perlu ada orang model Denny Indajana lagi karena semua orang di Kalsel tahu siapa anak itu ?????
Hanya bisa prihatin atas pilihan SBY yang membuat rakyat terkejut. Terkejut karena orang sekaliber SBY ternyata keliru besar menjadikan Denni sebagai Wakil menteri.
Kami keluarga besar Paramadina mengucapkan keprihatinan yang mendalam atas diangkatnya Denni Indrayana Wakil Menteri di Kementerian Hukum & HAM RI
Mengapa tidak ada putra papua selain Kambuaya yang dipercaya, misalnya Sekda Propinsi Papua atau Papua Barat, dipercaya SBY jadi Wakil Menteri. Kami rakyat Papua merasa hilang kepercayaan pada Presiden RI
Sangat disayangkan atas naiknya Denny Indroyono, SBY ohhhh SBY mengapa begitu tega dikau melukai ribuan karyawan Kemenkumham ?
Wah rusak dadine nek Denni dadi Wakil Menteri
Kacau benar pengangkatan itu, kenapa SBY begitu ceroboh memilih Wamen , seharusnya bukan Denny tapi Sekjen yang lebih jago daripada si Denny ?
Assalamualaikum, Bung Yusril,
Kami orang Sumbar bersumpah mudah mudahan Denny Indrayana itu kenabatunya/orang jawa bilang Kualat kepada Uda Patrialis, coba kita lihat apa bisa Denny lebih baik dari Patrialis. Tukang tipu jadi Wakil Mentri, brengsek tuh anak.
Wassalam,
Uda Ramlee Hasan B.
Horas Bang Yusril,
Aku ni baru tahu ternyata abang begitu cantinknya menulis artikel. Awakni sepakat dengan abang bahwa hukum di negara kita ni perlulah direformasi. Mengapa kita ini tak maju-maju bang, karena banyak tukang tipu jadi pejabat ! Lihatlah Wamen Kumham, itu tukang ulok, tak ada yang respek bang.
Adikmu Anton
Yoo opo Pak Esbeye, sampeyan ini kok lali karo wong jowotimur. Timbangane denni isih akeeh wongi dewe sih apik. Contohe Pak Nuh iku wong dewe, apeek pak, angkat jempol kabeh. Milih sing apek pak
Kami menyesalkan pengangkatan Denny sebagai Wamen
…………………………..????????…………..Denny Indayana = Hancur lebur…………????????????? Anti remisi ? Semoga Denny Indrayana nantinya jadi Narapidana, SEGERA TERWUJUD subhanallah.
Kami geli bercampur heran, mengapa yang jadi wamen dari arah negara tak bertuan, tadinya perpres sudah benar syarat eselon IA, kini dirubah sembarang PNS. Nanti anak baru masuk jadi PNS golongan ruang IIA bisa diangkat dong jadi wamen, dasar mabuk jabatan.
Idealnya seperti dulu lagi, Menteri tidak perlu wakil ataupun menteri muda. Mengapa ? karena sudah ada sekjen, para dirjen/deputi dan kelengkapan lainnya. Denny itu pengacau, gara-gara tukang bohong satu itu Patrialis yang menurut banyak orang ideal jadi mentri, tergusur.
Kabinet hasil Resufle SBY telah tercoreng-moreng seperti muka yang tercoreng arang. karena ucapan Denny Indrayana yang Mencla-Mencle. Ia minggu lalu 29/10 bilang remisi koruptor akan dihapus, minggu ini 2/11 bilang bukan dihapus tapi diperketat. Ini merupakan BLUNDER seorang wamen, ia telah mencoreng kabinet dan kewibawaan pemerintah. Denny kini pakai topeng “badut” dengan memelihara jenggot. Dasar tukong bohong !
Denny itu penipu rakyat, ngomongnya asal bunyi kagak konsisten,,,parah nih anak
la wong dulu sewaktu di yogya denny itu terkenal tukang ngapusi la sekarang kok malah diangkat dadi wakile menteri sing bodo yo sing ngangkat kapusan karo denny
pak yusril sing kulo hormati.la wong dulu sewaktu di yogya denny itu terkenal tukang ngapusi la sekarang kok malah diangkat dadi wakile menteri sing bodo yo sing ngangkat kapusan karo denny
Hanya satu kata !, negara makin ancur-ancuran dengan jadinya Denny sbg Wamen.
Menurut saya sebagai orang yang awam, seharusnya Departemen pada intansi pusat itu, gak perlulah adanya wakil mentri, buat apa ? kan udah ada para dirjen dan direktur yang professional di bidangnya. Wakil menteri tidak efektif, apalagi ngelihat muka Denny Indrayana, sebel deh aku, pengen nglempar mukanya pakai sandal deh !
itukan politik balas budi, sebab deny itu tidak bisa duduk di eselon I apalagi menjadi menteri, maka di taruhlah menjadi wakil menteri dengan mengubah perpres yang kontradiktif dan kacau balau. mestinya pak SBY urun rembuk dululah dengan orang2 diluar lingkar istana seperti bang YIM, kalau saja pak SBY mau bersikap lunak hati sedikit tidak mungkin orang seperti bang YIM tidak mau bantu, ini demi kehormatan sebuah negara, bisa dilihat oleh negara lain penerapan peraturan yang amburadul itu bang.
Sangat mencerahkan. Terima kasih, bang YIM.
MAU MEMBUAT PENCITRAAN, TAPI YANG MENCITRAKAN SUDAH “RUSAK” SEPERTI DENNY INDRAYANA. COBA LIHAT KETIKA DENNY MAU MENJATUHKAN ICAL DAN GOLKAR, KARENA KETAHUAN DAN GAYUS MERASA DIPERALAT MAKA CITRA SBY JADI HANCUR. KINI MAU MENGHILANGKAN REMISI TANPA MERUBAH PERATURAN PERUNDANGAN, CUMA BERTAHAN 1 MINGGU KARENA NGAK SANGGUP, AKHIRNYA MASYARAKAT YANG DIBOHONGIN KARENA KEMUDIAN BILANG PENGETATAN REMISI, MAKA CITRA KABINET RUSAK LAGI……GOMBAL KAMU DEN.
Namanya juga Denny tukang tipu, udahlah semua rakyat Indonesia pada ngerti kalau otaknya cuma duit, tempe, dan tempe
ya kita udah tahu kalau deny itu pinternya cari muka, ngrusak citra dan membual
Kalau memang kau berani lawan kami Golkar NTB datanglah ke Mataram den, kusikat kau.
SBY harusnya REKONSILIASI dengan orang yang dulunya mati-matian bantu beliau, seperti bang YIM dll, bukanya terpengaruh bissikan deni itu. Masak di Jogya aja banyak yang benci kini jadi wamen.
deni itu rambutnya seperti binatang landak = licik, mulutnya mungil seperti mulut perempuan= tukang tipu, jago gosip, matanya sipit = sukanya lempat batu sembunyi tangan, kupingnya mungil = sensitif/mudah tersinggung/emosional, mukanya seperti muka-muka penghianat, istrinya saja dikhianati punya pacar di Jakarta, masa negara tak dikhianati, pastilah jo !
masyarakat kalimantan di NTB menyatakan penyesalan atas pengangkatan deni, SBY goblok-goblok-goblok.
saya kira seorang deni bisa dan akan menatuhkan SBY dalam waktu dekat ini
saya kira seorang deni bisa dan akan menjatuhkan SBY dalam waktu dekat ini
Politik itu kadang ngawur, baru saja diangkat jadi staf khusus sby sudah menjatuhkan Patrialis, dikiranya orang-orang Partai Amanat Nasional diam saja ? kita di PAN juga benci dan sama sekali tidak menyukai ucapan dan tindakan deni indrayana itu. Bila ada kesempatan saya akan tempeleng tuh anak.
Den, baiknya kamu mundur & kamu ngoceh di ruang kuliah aja, tukang bohong jadi wamen.
Bang YIM
sy menonton perdebatan Bang YIM dengan Denny Indrayana di Tv melalui youtube dan penjelasan Bang YIM tentang moratorium remisi di Jakarta Lawyers Club di youtube juga.
Usul Bang..karena banyak yg ngefans dan belajar dg bang YIM mungkin gak kalau setiap wawancara atau penampilan Bang YIM di TV ..Abang upload di youtube sehingga kalau ada yang gak sempat nonton langsung masih bisa nonton di you tube.
Salam.
Maaf numpang posting di threat ini.
denni, sebaiknya kamu malu dan tahu diri, jangan kamu pengaruhi sby demi ambisimu. terus kamu rubah perpres agar dirimu jadi wakil menteri. sebenarnya kamu gak pantas duduk di jabatan itu.
As.wr wb,
Pak yusril, ada seorang anggota DPRD Kabupaten Pacitan dari Fraksi Hanura. Ianya tidak terkait proyek rehab Puskesmas, tetapi didakwa korupsi Rp.1,8 juta oluh JPU. hal yang sebenarnya terjadi ia diperas oleh KAJARI PACITAN membayar Rp.100 juta agar kasusnya dideponir, tetapi anggota DPRD ini memang orang sederhana, mau bayar ke KAJARI pakai jual rumah ? gak mungkin kan, bagaimana nasib anak istrinya ?. Kini diputus bersalah oleh PN Pacitan dan PT Surabaya dgn hukuman 1 tahun penjara. Apa Ihza&Ihza berkenan membantu dan mau bantu ? kasihan kan.
Harusnya pemerintah “melek’ hukum, Kajari di seluruh Indonesia cenderung menyalah gunakan kekuasaannya dengan memeras orang yang dianggapnya “T.O.”m inilah hasil kebobrokan Pemerintahan SBY karena membiarkan sapu-sapu kotor ala mafia hidup dan berkembang dimana sapu kotot itu ya para oknum Kajari itu, seharusnya para Oknum Kajari PEMERAS itu dihukum mati saja, karena LEBIH KOTOR dariapada TERSANGKA kOrUPSI.
Wasalam, Lia jakarta
As.wr wb,
Pak yusril, ada seorang anggota DPRD Kabupaten Pacitan dari Fraksi Hanura. Ia tidak terkait proyek rehab Puskesmas, tetapi didakwa korupsi Rp.1,8 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) oleh JPU. hal yang sebenarnya terjadi adalah ia diperas KAJARI PACITAN membayar Rp.100 juta , agar kasusnya dideponir, tetapi anggota DPRD ini memang orang sederhana, mau bayar ke KAJARI pakai jual rumah ? gak mungkin kan, bagaimana nasib anak istrinya ?. Kini diputus bersalah oleh PN Pacitan dan PT Surabaya dgn hukuman 1 tahun penjara. Apa Ihza&Ihza berkenan membantu dan mau bantu ? kasihan kan.Brengsek Gak Kajari PACITAN (tempat lahirnya SBY) itu !!!!!
Harusnya pemerintah “melek’ hukum, Kajari di seluruh Indonesia cenderung menyalah gunakan kekuasaannya dengan memeras orang yang dianggapnya “T.O.”, inilah hasil kebobrokan Pemerintahan SBY karena membiarkan “sapu-sapu” kotor ala mafia hidup dan berkembang dimana sapu kotot itu ya para oknum Kajari itu, mana pula kerja Satgas Mafia Hukum yang hanya duduk manis di Jakarta.
Seharusnya para Oknum Kajari PEMERAS itu dihukum mati saja, karena LEBIH KOTOR dariapada TERSANGKA kOrUPSI.
Wasalam, Lia jakarta
As.wr wb,
Pak yusril, ada seorang anggota DPRD Kabupaten Pacitan dari Fraksi Hanura. Ia tidak terkait proyek rehab Puskesmas, tetapi didakwa korupsi Rp.1,8 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) oleh JPU. hal yang sebenarnya terjadi adalah ia diperas KAJARI PACITAN membayar Rp.100 juta , agar kasusnya dideponir, tetapi anggota DPRD ini memang orang sederhana, mau bayar ke KAJARI pakai jual rumah ? gak mungkin kan, bagaimana nasib anak istrinya ?. Kini diputus bersalah oleh PN Pacitan dan PT Surabaya dgn hukuman 1 tahun penjara. Apa Ihza&Ihza berkenan membantu dan mau bantu ? kasihan kan.Brengsek Gak Kajari PACITAN (tempat lahirnya SBY) itu !!!!!
Harusnya pemerintah “melek’ hukum, Kajari di seluruh Indonesia cenderung menyalah gunakan kekuasaannya dengan memeras orang yang dianggapnya “T.O.”, inilah hasil kebobrokan Pemerintahan SBY karena membiarkan “sapu-sapu” kotor ala mafia hidup dan berkembang dimana sapu kotor itu ya para oknum Kajari itu, mana pula kerja Satgas Mafia Hukum yang hanya duduk manis di Jakarta.
Seharusnya para Oknum Kajari PEMERAS itu dihukum mati saja, karena LEBIH KOTOR dariapada TERSANGKA kOrUPSI.
Wasalam, Lia jakarta
Saya cuma bisa sarankan “istiqfarlah”, terutama buat deni indrayana, anda sudah memanipulasi gayus buat memfitnah aburizal bakrie berbohong kiri-kanan serta menghalalkan banyak cara agar tujuan anda tercapai, anda sudah banyak dosa.
Kami dari fam keluarga besar Tambunan sangat membenci Denny Indrayana, mohon bung Yusril memuat ini, thanks.
Sejujurnya, masyarakat ingin Deni Indrajana mundur saja sebagai Wamen karena selain tidak kompeten ybs juga dikenal sebagai pembohong
KEBIJAKAN YANG SUNGGUH KONTROVERSIAL, SBY HILANG WIBAWANYA DIMATA RAKYAT INDONESIA GARA-GARA MENGANGKAT DENI INDRAYANA, KAYAK NGAK ADA ORANG LAIN SAJA. SETAN MANA GERANGAN YANG MEMBISIKIN SBY ? JANGAN-JANGAN SETAN “DENI”.
Menurut saya keputusan SBY sudah keterlaluan dengan mengangkat orang yang kualifikasinya rendah dan bukan pejabat struktural eselon IA (mengganti Perpres hanya buat mengangkat Denny Indrayana), mentang-mentang Presiden akal warasnya hilang (ojo dumeh)