KETIDAKJELASAN POSISI WAKIL MENTERI
Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil resuffle ini. Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini bertambah dari 6 menjadi menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah Wakil Menteri melebihi separuh dari jumlah menteri. Bagaimanakah kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita, dan akan makin efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu?
Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.Jadi, dalam UUD 1945, tidak ada jabatan Wakil Menteri. Namun, Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara, menyebutkan bahwa “dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa “Yang dimaksud wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa “Wakil Menteri berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan jabatan Wakil Menteri itu.
Dalam sejarah Kabinet Presidensial di negara kita, hanya dalam Kabinet RI yang pertama yang dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki Wakil Menteri. Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara dan 2 wakil menteri. Wakil Menteri yang ada pada waktu itu hanyalah Wakil Menteri Dalam Negeri dan Wakil Menteri Penerangan. Kedudukan dua Wakil Menteri itu jelas, karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Di era Pemerintahan Presidensial Sukarno setelah Dekrit Presiden (1959-1966), jabatan Wakil Menteri tidak ada. Demikian pula dalam seluruh kabinet yang pernah dibentuk oleh Presiden Suharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan di awal kabinet pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I). Belakangan, Presiden SBY mengangkat satu orang Wakil Menteri, yakni Wakil Menetri Luar Negeri. Di zaman Presiden Sukarno dan Presiden Suharto, pernah ada jabatan menteri muda, di samping menteri, yang menangani urusan-urusan tertentu yang berada di bawah kementerian tertentu. Semua menteri muda itu adalah anggota kabinet. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden, bukan bertanggungjawab kepada Menteri yang memimpin kementerian itu.
Kalau kedudukan Wakil Menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas karena mereka anggota kabinet, maka tidak demikian halnya dengan kedudukan Wakil Menteri di dalam KIB II Presiden SBY. Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagaimana telah dikutip di atas menyebutkan bahwa jika ada beban pekerjaan yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Namun Penjelasan pasal tersebut mengatakan bahwa Wakil Menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Penjelasan pasal inilah yang menimbulkan kerancuan terhadap kedudukan wakil menteri di era Presiden SBY ini. Penjelasan itu bukannya memperjelas makna norma yang termaktub di dalam Pasal 70, malah membuatnya menjadi kabur dan tidak jelas.
Penulis ini pada awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya berasal dari DPR. Namun di tengah jalan, Penulis ini diberhentikan sebagai Mensesneg, sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh Mensesneg yang baru, Hatta Radjasa dan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata, hingga selesai. Dalam RUU Kementerian Negara, jabatan Wakil Menteri itu tidak ada. Dalam KIB I, Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada Penulis tentang perlunya mengangkat Wakil Menteri pada Kementerian Luar Negeri, mengingat Menlu sering berada di luar negeri. Dalam pikiran penulis waktu itu, Wakil Menteri itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya Wakil Menteri dalam kabinet pertama RI di tahun 1945. Dengan demikian, apabila Menlu berhalangan, maka Wakil Menlu itu dapat menghadiri sidang-sidang kabinet, menghadiri rapat-rapat dengan DPR dan sebagainya, sehingga tidak perlu terlalu sering mengangkat Menteri Luar Negeri Ad Interim. Selama menjadi Menteri Kehakiman dan HAM, Penulis ini berulangkali menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Ad Interim. Bahkan pernah pula sekaligus merangkap sebagai Menteri Pertahanan Ad Interim, disamping Menlu Ad Interim. Namun, apa yang penulis pikirkan itu ternyata berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata.
Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undang-undang tidaklah lebih dari sekedar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur di dalam pasal, sehingga dimengerti maksudnya. Penjelasan undang-undang tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun Presiden dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut. Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa Presiden dapat mengangkat Wakil Menteri. Istilah Wakil Menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu. Ketika menterinya berhalangan, maka Wakil Menteri itulah yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas inisiatif Presiden sendiri dan bukan inisiatif, atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang bersangkutan.
Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011, yang mengatakan bahwa Wakil Menteri “berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Di satu pihak Wakil Menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, namun di lain pihak “berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Sementara Wakil Menteri itu bukan diusulkan oleh Menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif Presiden. Jadi seorang menteri dapat di “fait accomly” oleh Presiden untuk menerima seseorang menjadi wakilnya, walau hatinya mungkin kurang berkenan. Hal lain yang juga menimbulkan masalah ialah, jika Wakil Menteri tidak dapat bekerjasama dengan Menteri, Menteri itu tidak dapat memberhentikan Wakil Menteri, karena dia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kedudukan wakil Menteri seperti ini membingungkan.
Pasal 70A Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa “Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Wakil Menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon Ia ”. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon Ia, namun Wakil Menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia. Wakil Menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian apa makna bahwa “Wakil Menteri adalah pejabat kakir” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1) Peraturan Prsiden No 76 Tahun 2011? . Pejabat karir adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan POLRI, yang menduduki jabatan karir secara berjenjang. Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan. Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan. Tidak mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan sejumlah akademisi yang kini menjadi Wakil Menteri, apakah mereka mempunyai kepangkatan yang sesuai untuk itu, kalau jabatan Wakil Menteri adalah jabatan karir?
Kasus Denny Indrayana
Denny Indrayana misalnya, adalah pegawai negeri sipil golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai Guru Besar di Universitas Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apapun di Fakultas Hukum UGM, baik ketika diangkat menjadi Staf Khusus Presiden, apalagi ketika diangkat diangkat menjadi Wakil Menteri. Ketika diangkat sebagai Wakil Menteri, jabatan Denny Indrayana adalah Staf Khusus Presiden, suatu jabatan non struktural, namun mendapat gaji dan tunjangan setingkat pejabat Eselon Ia. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Presiden No 3 Tahun 2011 tentang Staf Khusus Presiden, pegawai negeri yang diangkat menjadi staf khusus Presiden “diberhentikan dari jabatan organiknya” tanpa kehilangan status sebagai pegawai negeri. Istilah “jabatan organik” sebenarnya adalah istilah dalam jabatan ketentaraan, yang lebih kurang sama pengertiannya dengan “jabatan struktural” dalam jabatan pegawai negeri sipil.
Jadi, kalau jabatan Wakil Menteri adalah jabatan karir, maka jenjang karir apakah gerangan yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi Wakil Menteri? Sebelum Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presieden No 76 Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa Wakil Menteri itu haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan, tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain. Perubahan itu nampak dilakukan tergesa-gesa menjelang reshuffle kabinet, sehingga antara satu ketentuan dengan ketentuan lain menjadi “tidak nyambung” dan terlihat aneh.
Guru Besar Fakultas Hukum UI, Professor Hikamahanto Juwana dan politisi PDIP Firman Jaya Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi diangkatnya Denny Indrayana, dan mungkin juga nama yang lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat, menjadi Wakil Menteri. Pendapat kedua tokoh ini nampak ada benarnya. Presiden tentu, kapan saja berwenang mengubah Peraturan Presiden. Presiden SBY nampaknya menganut faham bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum. Jadi kalau ada norma hukum yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana jadi Wakil Menteri, maka hukum itu, tentu dapat saja dirubah, Begitulah kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY. Tidak salah, memang, namun terkesan menggelikan.
Professor Hikamahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu, tidak semestinya dipatuhi. Tetapi norma hukum itu, kendatipun termasuk ke dalam ranah hukum publik, namun pelaksanaannya tidaklah menyangkut orang banyak, tetapi hanya menyangkut Presiden dan calon Wakil Menteri saja. Orang yang mau membawa Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 itu untuk diuji secara formil dan materil, juga tidak punya “legal standing” untuk memperkarakannya di Mahkamah Agung. Kerugian apa yang diderita orang itu dengan berlakunya Perpres No 76 Tahun 2011, sehingga dia dapat dianggap mempunyai “legal standing” untuk melakukan “judicial review” ke Mahkamah Agung?
Ketentuan-ketentuan tentang Wakil Menteri di era Presiden SBY sebagaimana digambarkan di atas, menunjukkan kekacauan berpikir para pejabat yang berwenang merumuskan norma-norma hukum. Kalau hal ini ditarik kepada permasalahan yang lebih luas, maka kekecauan berpikir dalam merumuskan norma hukum itu akan berdampak luas, yakni timbulnya kekacauan penyelenggaraan pemerintahan. Kalau penyelenggaraan pemerintahan negara kacau balau, maka kacau balau pulalah jalannya Negara Republik Indonesia ini. Memang ada mekanisme untuk memperbaikinya, namun pekerjaan itu akan membuang banyak waktu dan energi. Padahal, persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara ini, terutama di bidang sosial dan eknomi sudah menuntut penyelesaian segera.
Akankah Effektif?
Presiden SBY meresuffle kabinet pada 19 Oktober yang lalu karena banyak faktor. Faktor yang paling menentukan ialah banyaknya kritik terhadap pemerintahannya yang dinilai tidak efektif menyelesaikan persoalan-persoalan besar yang dihadapi bangsa dan negara. Kalau pemerintahan dinilai tidak efektif, maka ketidakpuasan akan meluas yang berujung pada krisis kepercayaan. Suara-suara yang menuntut agar SBY-Boediono turun, kini terdengar hampir setiap hari. Untuk menjawab semua itu, reshuffle kabinet, nampaknya dianggap Presiden sebagai upaya untuk memulihkan kembali kepercayaan, sambil memperkuat dukungan politik, paling tidak dari kekuatan-kekuatan politik yang mempunyai wakil di DPR.
Namun, reshuffle kabinet dengan mengganti dan memutasi sejumlah menteri, belumlah memberikan banyak harapan, selama Presiden tidak memberikan arahan dan program yang jelas dengan tenggang waktu yang cepat kepada para menterinya. Menteri bukanlah sekedar pembantu Presiden, tetapi adalah pejabat yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan sesuai bidangnya. Dalam sistem pemerintahan kita ini, menteri tidak dapat semata-mata pejabat politik sebagai pembuat kebijakan dan pengambil keputusan berdasarkan masukan dari jajaran birokrasi. Menteri harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah yang harus di tangani yang menjadi tanggungjawabnya, dan leadership yang cukup pula untuk membuat keputusannya menjadi efektif. Melihat nama-nama menteri baru, atau menteri yang dimutasi ke kementerian lain ketika resuflle kali ini, kemampuan menteri-menteri yang bersangkutan masih tanda tanya dan harus dijui dalam kenyataan beberapa bulan mendatang. Kemampuan Gita Wiryawan menangani perdagangan, Amir Samsudin dalam menangani hukum dan HAM, serta Cicip Sutradjo menangani kelautan masih tanda tanya. Begitu pula, menteri-menteri yang dimutasi ke kementerian lain, seperti Mari Pangestu yang kini menangani pariwisata dan ekonomi kreatif, dan Jero Wacik menangani ESDM.
Pertanyaan tentang efektifitas tentu terkait pula dengan banyaknya jabatan Wakil Menteri dalam kabinet hasil reshuffle. Dari ketidakjelasan kedudukan wakil menteri itu saja, sudah dapat dibayangkan bahwa kinerja cabinet hasil reshuffle ini tidak akan menambah efektivitas kerjanya. Ketika rapat cabinet pertama pasca reshuffle, sudah ada Wakil Menteri yang mengatakan secara terbuka bahwa dia tidak tahu apa yang menjadi tugasnya sebagai wakil menteri. Dari sini dapat diketahui bahwa Presiden lebih dahulu mengangkat orang jadi Wakil Menteri, tanpa memikirkan secara struktur organisasi dan mekanisme kerja, apakah yang akan dikerjakan oleh wakil menteri pada kementerian tertentu, sehingga jabatan itu dipandang perlu untuk diadakan. Cara berpikir Presiden SBY ini terbalik. Seharusnya Presiden memikirkan dengan matang,.perlu tidaknya mengadakan jabatan wakil menteri pada kementerian tertentu dan menuangkannya ke dalam struktur organisasi, baru mengangkat orangnya. Apa yang dilakukan Presiden SBY ini nampak seperti orang mengira-ngira saja: kementerian ini perlu wakil menteri, bahkan bukan hanya satu, tetapi dua wakil menteri. Tapi, untuk apa keberadaan wakil menteri itu sesungguhnya? Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan misalnya, ruang-lingkup pekerjaannya sudah mengecil dengan otonomi daerah. Lantas, apa perlunya mengangkat dua wakil menteri untuk kementerian ini?
Ketidak-jelasaan kedudukan wakil menteri, kecacauan dalam aturan-aturannya, serta ketidakjelasan tugas dan wewenangnya pada suatu kementerian, bukan saja dapat menimbulkan tumpang tindih, namun juga membingungkan jajaran birokrasi di bawahnya. Ini akan terjadi apabila wakil menterinya bersikap kreatif dan pro-aktif menangani hal-hal tertentu di kementeriannya. Sikap kreaktif dan pro-aktif ini, bukan mustahil pula akan menimbulkan suasana kurang enak antara menteri dan wakil menteri. Rasa kurang enak itu bisa muncul kepermukaan dalam bentuk yang beragam, mulai dari mendinginnya hubungan sampai ketegangan terbuka yang menjadi tontonan publik.
Di masa Presiden Suharto yang memiliki karisma, kewibawaan dan kewenangan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Presiden SBY, mendinginnya hubungan antara Menteri dan Menteri Muda memang terjadi. Walaupun hal seperti itu tidak terungkap secara luas kepada publik, karena suasana kebebasan memang belum terbuka lebar, namun publik tetap mengetahui adanya masalah antara Menteri dan Menteri Muda, ambillah contoh misalnya antara Menteri Keuangan JB Sumarlin dengan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura dan antara Mensesneg Moerdiono dengan Menmud Sekkab Saadillah Mursyid. Itu sebabnya, maka dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII, Presiden Suharto meniadakan jabatan menteri muda itu. Keberadaan para menteri muda dianggap tidak efektif, malah menimbulkan masalah semacam persaingan antara menteri dengan menteri mudanya.
Pengalaman di masa Presiden Suharto rupanya tidak dijadikan sebagai pelajaran. Tidak apa-apa. Presiden SBY dapat berpikir sendiri dan memutuskan sendiri, apa yang dianggap terbaik bagi kabinetnya. Waktu masih tiga tahun bagi Presiden SBY untuk memperbaiki dan sekaligus meningkatkan efektifitas kerja kabinetnya. Kalau perombakan kabinet dan pengangkatan wakil-wakil menteri ini efektif, maka akan meningkatlah kepercayaan rakyat kepada Pemerintah dan Presiden SBY akan “khusnul khatimah” sampai akhir masa jabatannya tahun 2014 nanti. Namun bila yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan tambah sulit bagi Presiden SBY membangun kepercayaan rakyat. Demo-demo yang menuntut Presiden untuk turun dari jabatannya niscaya akan bertambah banyak saja. (Artikel dimuat di Koran Seputar Indonesia tanggal 31 Oktober dan 1 November 2011)
Cetak artikel
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=710
ADA AGENDA KHUSUS DENNY MASUK KE WAMENKUMHAM, SAYA MALAH JADI KASIHAN DENGAN SBY, HANCUR NAMANYA GARA-GARA DENNY INDRAYANA.
Kedudukan Denny Indrayana sebagai wamen semu semata,kontroversial, dan banyak dibenci rakyat Indonesia, itu pertanda keGOBLOKan SBY selaku Presiden
Kalau ngangkat Denny Indrayana sebagai wamen, yang sungguh keterlaluan ya yang ngangkat. Karena selain tidak disukai masyarakat umum, resistensi “DI” sangat tinggi karena arogan dan mentang-mentangnya itu lo adigang-adigung-adiguna (Ojo dumeh)…..
Keterlaluan kamu SBY, merubah Perpres hanya gara-gara Deni !
Menunjukkan kabinet kacau, karena agenda denny adalah menyetir /manfaatkan kegoblokan amir sebagai menteri, eselon I dan II semua RESAAAAAAAAH !
Duah den den…kamu tahu diri donk emangnya setelah wamen borok-borok kamu bisa dicuci, kalau saya jadi pian lebih baik mundur saja daripada mencoreng nama presiden, esbeye jelek gara-gara pian
Di lingkungan kampus saja deni gak disukai, apalagi di kemenkum-ham,,,,,,,muka loe lagu loe !
baeknya tuh anak kita boikot aje, kite-kite di kemenkum-ham pada gak respek sama denny tukang tipu
menkumham dan wakilnya buat PP remisi napi, itu juga diskriminatif dan melanggar ham, berpeluang pasal-pasalnya dibatalkan MK karena bertentangan dengan UUD 1945 dan sila 2 dan 5 Pancasila, dasar goblok, meski wamen s3 tapi gobloknya setengah modar !
Emang denny itu dasarnya goblok tapi jago nipu, SBY aja kena tuh !
La wong dulu saja di Yogya banyak yang ketipu kok…hehe
Sayang ya nama SBY cemar, gara-gara ngangkat Deni Indrayana, ya kesalahan fatal lah
wong dulunya di jogya tukang “ngapusi” kok bisa jadi wakile mentri, piyo tho den ?, mbok apusi opo tho pak presiden SBY iku ?
DARI MUKANYA UDAH KELIHATAN KALAU DENNY ITU ORANG AMBISIUS. ORANG INI BERBAHAYA BAGI PRESIDEN KARENA SERING BUAT “BLUNDER”, KASIHAN SBY YA ?
Kalau saya melihat sosok Denny Indrayana adalah prototipe manusia “munafik”, ia bisa saja angkat telornya SBY dan berbuat menghalalkan segala cara biar dipuji seperti mau menjerat Ical dengan menggunakan Gayus Tambunan, tetapi ia juga tipe manusia munafik & serakah. Buktinya denny masuk jadi Wamen dan otaknya hanya pengen korupsi ! Malaikat Allah nanti akan menanyainya !
Saya jadi tidak respek pada SBY setelah mengangkat Denny jadi Wamen, ini awal kejelekan dan kejatuhan SBY
Denny itu PEMBOHONG, taek kxcing, saya justru kasihan dengan sby, tertipu sampah !
pak Esbeye, sampeyan iku mimpi opo ? la pembohong berat justru jadi wakil mentri dunia udah terbolak balik hahahaha hehe
Kasihan sby lah, orang gak mutu model denny cuma bisikin yang baek2 aje, padahal memang mulut perempuan
yang salah ada wakil menteri ya Pemerintah, nanti setelah 1 tahun menteri dan wakilnya pada berantem kayak bupati dan wakil bupati. contoh : ya dicky candra kabupaten garut tuh
Saya gak setuju ada wakil menteri, apaan tuh bertentangan dengan UUD 1945
SBY mau menegakkan HAM ? omong kosong-lah, SBY mau memimpin pemberantasan korupsi ? omong bohong, dirinya sendiri Korup !
Biarlah nanti Allah Swt yang memberi azab yang hebat kepada SBY, lebih dasyat daripada Abu Lahab, subhanallah…..pemimpin munafik.
Sayang ya, nama sby dimata masyarakat rusak karena angkat denny sbg wamen, gampang dibohongi kali yah ?
bukan SBY gampang dibohongi, denny nya aja yang jago nipu SBY
Coba Wamen Kumham, kalau emang jago, jadi saksi ahli pihak pemerintah dan kalahkan tuh gugatan YIM di MK tentang pencekalan, jangan omong gede bacotnya doang dong !
Ibarat Wayang/kisah barathayuda, YIM adalah Yudisthira, melawan SBY yang Dursasasa, kita lihat episode berikutnya = putusan MK
ADNAN BUYUNG NASUTION : ” KEJAKSAAN RI SUDAH BOBROK !’……BOBROK…….BOBROK.
Ternyata institusi terkorup itu bukan DPR, Kepolisian, atau Pemerintahan lain. Yang benar adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Jaksa itu super ahli neraka, contohnya : sungguh banyak sekali yang seperti jaksa “Sis” (ditangkap KPK) yang meminta suap, ada juga jaksa perempuan di Jateng yang jadi agen dan suka memeras TKI (Siti Mahanim) serta kongkalikong dengan suaminya yang dulu Ka.rutan (Aswadi Djaya) di salah satu kabupaten, modusnya memeras tahanan titipan kejaksaan dengan menipu nanti akan dihukum ringan padahal dari 68 kasus “semuanya” dihukum tinggi tidak sesuai yang dijanjikan Siti Mahanim.
Ada juga jaksa Urip yang “maennya” tingkat tinggi bersama Artalita Suryani, ada juga jaksa Hari Soetopo di Jawa Timur yang menghamili narapidana Martha Indah S, setelah melahirkan 8 hari kemudian Napi Martha diminta menyerahkan anaknya yang bernama M. Akbar kepada Hari bapak biologisnya hingga 2,3 tahun kemudian Martha di koskan oleh Hari, namun hanya sebagai pemuas nafsu saja, sedanglan anak kandungnya disembunyikan Hari hingga tulisan ini dibuat. Martha diusir Kajati malah dikatakan hendak memeras Hari, aneh kan ? padahal hanya minta anaknya dikembalikan dan siap di tes DNA.
Saya kasihan dan sedih dengan kasus bung Yusril yang direkayasa jaksa, tetapi saya lebih sedih, menangis melihat kasus Martha, kok ada manusia yang sadis dan tega seperti Hari Soetopo itu, apa sudah tidak “manusia” lagi ? harusnya Martha dinikahi dan anaknya dipelihara…
Ada juga mantan kajari Belitung (2004) yang benci terhadap sekdanya, kajari tersebut memeras minta Rp.500 juta bila tidak maka sekda akan diproses hukum dan ditahan. Karena tidak mau diperas Sekda itu ditahan, namun dalam proses hukum di PN Tanjung Pandan semua dakwaan JPU tidak terbukti (tahi anjing) akhirnya sekda itu dilepas (onslag)……itulah Kajari Pemeras bung YIM.
Masih ribuan ahli neraka bernama jaksa yang berbuat memalukan, bila ditulis di-blog ini masih ada puluhan cerita jaksa yang BEJAT, termasuk mantan Kajati papua, mantan kajati Sumbar, kajati DKI, dan Kajati kaltim Farid Haryanto yang menyusahkan anda.
Itulah Wajah jaksa-jaksa Indonesia saat ini, lebih preman dari preman terburuk, lebig gali dari gali yang a moral (rendah moral)
bagaimana komentar bung YIM, sedih bukan bung.. ?
Wamen denny “tukang tipu” indrayana jalan-jalan ke lapas mengatas-namakan satgas, jangan-jangan cari napi perempuan seperti jaksa Hari “orang gila” Soetopo hehe
Menurut saya yang tahu karakter Denny, Denny tuh tukang gosip, penipu dan lagak intelek. Kini eselon I, II, III, KemenkumHAM harus hati-hati dan waspada, otaknya anak itu cuman pengen duit, memeras, pokoknya para pejabat kudu hati-hati perhatikan setiap kalimat omongannya, jangan dipercaya kalo ujungye UUD.
SBY telah tertipu omongan manis deni, sekarang setelah jadi wamen merasa bisa “nyetir” SBY, merasa orang paling dekat dan dipercaya Presiden, kutu kumpret gak tu anak ? resistensi tinggi omongannya gak enak didengar kan
Anjing = loyal, Denny= omong gede bacot, kalah melulu di MK, malu-maluin SBY loe
SALAH BESAR ANGKAT DENI INDRAJANA JADI WAMEN, MERUSAK SEGALANYA !
yang goblok siaa bang butung ? Deni ato esbeye donk ?
Goblok yang milih Esbeye…rakyat banyak yang Goblok dong !, 2 anak kandungnya esbeye sendiri dari perkawinan pertamanya taon 68 aja gak diakui, dibuang demi memalsukan identitas masuk Akmil, terus dicuekin puluhan taon, gila gak tuh
SAME DONK MA SI DENNY, DI JOGYA KERJANYA CARI CEWEK DOANG !
astafirulah halazim moga-moga esbeye cepet sadar ye (kalau info no 186 itu bener ye), pemimpin udah pada gak waras kali ye, ngehalalin segale cara astagfirullahhalaziiim
deni indrayana MEMBEBANI SBY makin lama suara rakyat anti SBY semakin besar seperti bola salju, bila deni dipertahankan SBY hancur-lebur
Kasihan ye, 2 anak perempuan SBY. Padahal anak kandungnya lo, tapi gak diaku anak ama SBY, kurang ajar tuh bapak kandung macam apa tuh ? Binatang aja gak gitu
La wong cinta sejatinya bisa dihilangkan, SBY & Ani gila kekuasaan, kebahagiaan semu tho yaaa
emang gemblung, SBY pembohong publik, masuk AKMIL pakai data palsu, ngaku perjaka padahal udah kawin punya 2 anak, gila tu orang !
Anak kandungan aja gak diakui, gimana kalau orang laen, gampang dijadikan korban. Mantan Menristek teman sy bilang kalau dia dipanggil SBY sebelum reshufle, kata2 yang diingat adalah : “Anda akan jadi tumbal….!”, gila Presiden gampang banget ngomong gitu. Anjing aja sayang ama anak kandungnya, inimah lebih dari binatang, apalagi Wamen Denny indrayana, itu anak sama sekali bokis dan penipu berat !
Repotnya kita sekarang, masyarakat munafik diberi Presiden munafik. Pencitraan = PENIPUAN. Ada wakil Menteri ambisius dan gila uang juga, jaman sekarang makin tak terkendali.
Masyarakat rindu pemimpin sejati yang meng-cover sandang & pangan murah, listrik murah. Sekolah sekarang mahal banyak pungutan meski ada BOS. SBY penipu rakyat Indonesia
Iya sekarang rakyat di jaman SBY makin susah, banyak yg menderita, wong sama anak kandungnya aja gak ngakuin apalagi kok mikir rakyat ????????
Nluwihin kewan yo pak ? ngisin-ngisinke wae…
esbeye akan celaka sendiri kalau tetap pertahankan denny sebagai wamen…subhanalah
GOBLOK PILIH DENNY SBG WAMEN !!!!!!!
Indonesia tambah ancur kalo deni indrayana tukang bokis masuk birokrasi karena tujuannya udah gak bener tuh anak lagipula di mata masyarakat udah antipati gara-gara mengggunakan gayus untuk mencelakakan orang laen yaitu Aburizal Bakrie, selain itu ngomongnya MENCLA-MENCLE gak karuan, tidak ada konsistensi berpikir dan berpedoman dari itu anak, mengapa Presiden terlena pilih anak itu jadi wamen, apa gak ada orang laen ya ??????
Sebaiknya Presiden mengkaji dan evaluasi keberadaan denny sebagai wakil menteri dan bila tidak maka Susilo Bambang Yudho yono akan celaka sendiri lihat aja nanti subhanallah.