- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

LIMA AHLI DAN DUA SAKSI FAKTA MINTA MK BATALKAN PASAL CEKAL

Lima ahli hukum dan ahli Hak Asasi Manusia sepakat mengatakan bahwa Pasal 97 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian melanggar HAM dan bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu memberikan kewenangan kepada Menkumham, Menteri Keuangan, Jaksa Agung dan Kapolri untuk mencekal seseorang  seumur hidup, asalkan diperpanjang setiap 6 bulan. Kelima ahli hukum dan HAM itu, masing-masing Prof. Dr Hafid Abbas, Prof Dr Tahir Azhary, Dr. M Iman Santoso, Dr. Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Dr. Ifdal Kasim, mendukung permohonan Yusril Ihza Mahendra agar MK membatalkan pasal cekal dalam UU Imigrasi tersebut. Dukungan yang sama juga dikemukakan oleh dua saksi fakta yang dihadirkan ke sidang MK, AM Fatwa dan Fachry Hamzah.

Prof Hafid Abbas,  Guru Besar Universitas Negeri Jakarta dan juga mantan Dirjen Perlindungan HAM Kementerian Hukum dan HAM, menilai pencekalan tanpa batas waktu tegas melanggar HAM dan melanggar UUD 1945. Hal yang sama dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum UI, Prof. Tahir Azhary.  Hafid  membandingkan pencekalan di berbagai negara yang waktunya pasti dan singkat saja, termasuk pencekalan terhadap  Wildres , pembuat film “Fitna”  yang dituduh menghina Islam, oleh Pemerintah Belanda. Perserikatan Bangsa-Bangsa juga dalam menyidik  dan menuntut pelaku pelanggaran HAM berat di Ruwanda, memberikan pencekalan terbatas kepada para pelaku kejahatan tersebut, bukan selamanya. Di Indonesia, kata Hafid, berdasarkan UU Keimigrasian, penguasa bisa mencekal orang seumur hidup. “Ini langkah mundur upaya penghormatan HAM di tanah air dan dapat mempermalukan Pemerintah Indonesia di mata dunia internasional” kata Hafid.

Sementara mantan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim G Nusantara mengatakan bahwa Pemerintah berniat buruk dengan menciptakan pasal 97 (1) UU Keimigrasian, yang pada hakikatnya memberi kewenangan melakukan penahanan preventif pada seseorang. “Pencekalan seharusnya hanya berlaku untuk pelaku kejahatan terhadap keamanan negara dan diatur dalam UU Keamanan Nasional, bukan dalam UU Keimigrasian” tegas Hakim. Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim sependapat dengan pendahulunya itu,  bahwa Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian berpotensi membawa negara kembali ke zaman otoriter.  Ahli lain, mantan Dirjen Imigrasi dan mantan Deputi Hukum Sekretariat Kabinet Dr Iman Santoso dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa aturan cekal dalam UU Imigrasi yang baru, justru lebih buruk dibanding dengan UU Imigrasi yang lama. “Dalam UU Imigrasi No 9 Tahun 1992, batas maksimum pencegahan hanya 2 tahun”. Sementara dalam UU No 6 Tahun 2011 perpanjangan cekal tidak mengenal batas waktu. Sebagai mantan Dirjen Imigrasi, Iman Santoso setuju ketentuan Pasal 97 ayat (1) UU No 6 Tahun 2011 dibatalkan MK.

Dalam sidang MK hari ini, hadir juga mantan Wakil Ketua MPR Dr. AM Fatwa dan Fachry Hamzah, anggota Fraksi PKS DPR-RI,  menjadi saksi fakta. Fatwa menceritakan pengalamannya sebagai penandatangan Petisi 50 yang dicekal oleh Pemerintah Orde Baru tanpa batas. Beberapa tokoh seperti M. Nastir, Kasman Singodimedjo dan Sjafruddin Prawiranegara dicekal sampai akhir hayatnya. Belakangan Natsir dan Sjafruddin diangkat menjadi Pahlawan Nasional, karena jasa-jasanya yang luar biasa bagi bangsa dan negara. Fatwa sendiri baru mengalami pelonggaran cekal, setelah terjadi perubahan politik menjelang akhir era Orde Baru. Pencekalannya baru berakhir di zaman Presiden Habibie. Fatwa minta agar Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian itu dibatalkan MK, agar pengalaman buruk Petisi 50 tidak terulang lagi. “Perlakuan Orde Baru terhadap mereka yang berseberangan secara politik sangat buruk” kata Fatwa. Para penandatangan Petisi 5o bukan saja dicekal tanpa batas, tapi juga diusir dari tempat pertemuan apabila ada Presiden dan Wakil Presiden hadir di sana.

Sementara mantan Ketua Panja Pembahasan RUU Keimigrasian DPR RI Fachry Hamzah mengatakan bahwa dia heran pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian demikian bunyinya. Padahal, DPR ketika membahas RUU tersebut berusaha keras mengurangi kewenangan diskresi negara dalam mencekal seseorang karena melanggar HAM dan bertentangan dengan semangat amandemen UUD 1945. Karena itu, Fachry setuju kalau MK membatalkan  pasal yang  melanggar hak-hak warganegara tersebut dan memberi kewenangan kepada penguasa untuk membelenggu kebebasan rakyatnya sendiri.

Dalam pengujian  UU Imigrasi ini, Presiden SBY diwakili oleh Menkumham Amir Syamsudin dan Jaksa Agung Basrief Arief. Namun keduanya tidak pernah muncul di persidangan dan menunjuk bawahannya untuk mewakili. Pemerintah dikabarkan berusaha  mendatangkan 6 ahli hukum untuk membela Pemerintah, namun tidak satupun yang bersedia hadir ke persidangan.*****