- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

KETERANGAN AHLI GUGATAN YUSUF SUPENDI MELAWAN 10 TOKOH PKS DI PN JAKARTA SELATAN

Lebih kurang dua minggu yang lalu, KH Yusuf Supendi datang ke kantor saya, mula-mula sendiri, dan kemudian datang lagi ditemani oleh Tim Kuasa Hukumnya untuk meminta saya memberikan keterangan ahli dalam perkara  beliau. Pak Yusuf memang sedang melakukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap 10 tokoh Partai Keadilan Sejahtera, mulai dari Ustadz Hilmi Aminuddin, Tifatul Sembiring, sampai Fahri Hamzah. Dalam gugatannya, Pak Yusuf mengatakan dirinya diskors oleh partai pada tahun 2005 karena kritiknya yang keras mengenai pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004. Skorsing yang dijatuhkan, diteruskan dengan berbagai tindakan lain, sampai akhirnya beliau diberhentikan dengan tidak hormat dari keanggotaan partai pada tahun 2009. Namun begitu, beliau hanya diperlihatkan surat pemecatan, tetapi  surat itu tidak pernah diserahkan kepadanya. Pak Yusuf mendalilkan bahwa tindakan 10 tokoh PKS tersebut sebagai tindakan sewenang-wenang dan dikualifikasikan sebagai  “pebuatan melawan hukum” (onrechtsmatige daad) dan melanggar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Saya katakan kepada Pak Yusuf, saya bersedia menjadi ahli, selama ilmu saya kompeten untuk menerangkan aspek-aspek hukum terkait dengan gugatan. Namun sebagai ahli, saya tidak dapat membuat penilaian, apalagi pemihakan. Sebagai ahli, saya juga tidak akan masuk kepada substansi perkara. Kewajiban saya adalah menjelaskan secara normatif kaidah-kaidah hukum yang berlaku, untuk mendudukkan perkara pada proporsinya. Penilaian dan keputusan, termasuk penilaian atas keterangan saya, sepenuhnya adalah kewenangan hakim. Sebagai ahli, saya menerangkan sesuatu dibawah sumpah. Karena itu saya wajib bersikap obyektif dan tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara.  Pak Yusuf dan Tim Kuasa Hukumnya setuju dengan apa yang saya katakan.

Hari ini, Selasa 6 Desember 2011 saya datang ke Pengadilan Jakarta Selatan. Ketika hakim mempersilahkan saya memasuki ruang bersaksi, Tim Kuasa Hukum 10 tokoh PKS menyampaikan “objection” atau keberatan. Mereka mempertanyakan relevansi kehadiran saya. “Perkara ini adalah perkara gugatan perbuatan melawan hukum, yang termasuk ke dalam ketegori hukum perdata. Sementara ahli yang mau didengar keterangannya adalah ahli hukum tatanegara. Kami keberatan dengan kehadiran ahli  ini karena tidak relevan”. Ketua Majelis Hakim mengatakan, bahwa keberatan mereka akan dicatat dalam minuta persidangan. “Tapi kami menganggap keterangan ahli ini perlu di dengar. Relevan atau tidak keterangannya, kami yang akan menilai”. Tim Kuasa Hukum PKS setuju walau nampak tidak puas dengan jawaban Ketua Majelis.  Sayapun diambil sumpah. Setelah itu saya mohon memberian keterangan sambil berdiri, agar suara saya terdengar dengan jelas, sebab tidak ada alat pengeras suara. Hakim mengizinkan saya memberi keterangan sambil berdiri. Sebuah media online memberitakan bahwa Yusril datang ke Pengadilan memberikan keterangan ahli sambil berdiri “seperti seorang dosen memberi kuliah kepada mahasiswa”.

Saya menerangkan bahwa saya memang Guru Besar Hukum Tata Negara, bukan Guru Besar Hukum Perdata. Di antara mata kuliah hukum tata negara itu ada mata kuliah yang namanya sejarah ketatanegaraan, yang di dalamnya juga membahas sejarah kepartaian di tanah air.  Ada juga mata kuliah yang namanya Partai Politik dan Pemilihan Umum. Saya cukup lama mengajar dua mata kuliah ini. Khusus mata kuliah Partai Politik dan Pemilihan Umum, saya mengajarkan aspek-aspek hukum berkaitan dengan partai politik, dan menelaah serta membanding-bandingkan peraturan-peraturan yang pernah ada sejak tahun 1945 hingga ke masa sekarang. Karena gugatan melawan hukum yang diajukan oleh KH Yusuf Supendi berkaitan dengan skorsing dan pemecatan dari keanggotaan partai, dan ini terkait dengan undang-undang tentang partai politik, maka saya merasa saya memiliki kompetensi untuk menerangkan masalah ini, karena hal itu adalah bagian dari hukum tata negara.  “Bahwa apakah keterangan saya relevan atau tidak dengan gugatan, saya serahkan kepada Majelis Hakim untuk menilainya”. Saya melihat Ketua Majelis hakim menganggukkan-anggukkan kepala. Kuasa Hukum PKS nampak menyimak keterangan saya dengan wajah yang lebih tenang dibandingkan beberapa saat sebelumnya, ketika menyampaikan keberatan atas kehadiran saya.

Saya mulai menerangkan hal-ikhwal kepartaian dengan merujuk Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat, dan seterusnya, yang selanjutnya diatur dengan undang-undang. Dalam sejarah ketatanegaraa, sejak Maklumat 3 November 1945, Penpres No 15 Tahun 1959 sampai sekarang telah lahir beberapa undang-undang tentang Partai Politik,  dan yang terakhir adalah UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang baru saja disahkan.  Karena kasus skorsing Yusuf Supendi terjadi pada tahun 2005 dan pemecatan terjadi pada tahun 2009, maka undang-undang positif yang berlaku, yang seyogianya dijadikan rujukan bagi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus gugatan ini adalah Undang-Undang No 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang No 2  Tahun 2008. Meskipun sekarang ini, kedua undang-undang itu sudah dicabut dan tidak berlaku lagi, namun Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan dasar untuk mengadili perkara ini, karena  undang-undang  tersebut  tidak berlaku surut.

Majelis hakim, dalam sidang sebelumnya juga telah menjatuhkan putusan sela yang menolak eksepsi para Tergugat yang mendalilkan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara ini, karena kasusnya adalah “perselisihan internal partai” sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2011, dan bukan perbuatan melawan hukum. Perselisihan internal partai, memang berbeda dengan perbuatan melawan hukum. Majelis telah memutuskan dalam putusan sela bahwa PN Jakarta Selatan berwenang mengadili perkara ini, dan apa yang digugat Yusuf Supendi adalah “perbuatan melawan hukum” bukan “perselisihan internal partai”.

Kedua Undang-Undang Partai Politik di atas memberikan pengaturan tentang keanggotaan partai. Pasal-pasalnya saya kutip dengan lengkap. Undang-Undang itu menegaskan bahwa partai politik dapat memberhentikan anggotanya hanya dengan 2 (dua) alasan, yakni “melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai” dan “melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Tidak ada  alasan lain yang diakui oleh undang-undang, yang dapat dijadikan alasan bagi sebuah partai untuk memberhentikan anggotanya. Kedua undang-undang juga mengatur bahwa “tata cara pemberhentian anggota diatur dalam peraturan partai”. Apakah yang dimaksud dengan istilah “peraturan partai”?. Saya menafsirkan bahwa peraturan partai mencakup Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan peraturan-peraturan lain yang diterbitkan oleh sebuah partai dan berlaku bagi dirinya. Kedua undang-undang, dalam Pasal 1, memberikan definisi bahwa yang dimaksud dengan Anggaran Dasar ialah “peraturan-peraturan dasar partai”. Sementara yang dimaksud dengan “Anggaran Rumah Tangga” adalah peraturan-peraturan yang memerinci ketentuan Anggaran Dasar.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, kedudukannya sangatlah penting bagi sebuah partai. Kedudukan Anggaran Dasar dapat disetarakan dengan kedudukan konstitusi bagi sebuah negara, dan kedudukan Anggaran Rumah Tangga adalah setara dengan undang-undang. Peraturan Partai dapat disetarakan dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Demikianlah kalau dilihat dari perspektif hukum tata negara. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai tidak boleh bertentangan dengan UU Partai Politik yang berlaku. Sebuah partai yang baru berdiri wajib menyertakan Anggaran Dasar  dan Anggaran Rumah Tangganya untuk diteliti oleh Kementerian Hukum dan HAM, sebelum dilakukan verifikasi untuk memperoleh pengesahan sebagai sebuah badan hukum. Oleh karena keberadaan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan Partai disebutkan oleh undang-undang sebagai norma hukum yang berlaku bagi sebuah partai, maka apabila terjadi perselisihan antara anggota partai dengan partainya, maka pengadilan dapat menjadikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta Peraturan Partai untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang disidangkan.

Sekarang mari kita lihat Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan Partai PKS yang terkait dengan skorsing dan pemberhentian anggotanya. Anggaran Dasar PKS memuat norma yang menyatakan bahwa seorang anggota partainya diberhentikan dari partai karena beberapa alasan antara lain melanggar syari’at Islam, melakukan perbuatan yang merusak citra partai dan melanggaran AD/ART. Selanjutnya dikatakan bahwa tata-cara pemberhentian akan diatur dalam peraturan partai. Ketentuan-ketentuan itu diatur lebih rinci di dalam ART PKS. Peraturan Partai yang khusus berkaitan dengan ini telah dimiliki PKS yang dinamakan dengan istilah “Pedoman Tatacara Penjatuhan Sanksi” (PTPS). Dalam AD maupun ART PKS memang tidak diatur secara khusus tentang hak-hak anggota yang dijatuhkan akan dijatuhi sanksi. Namun dalam hak-hak anggota ada disebutkan antara lain, hak untuk membela diri dari perlakukan zalim karena menyuarakan kepentingan partai, hak praduga tidak bersalah dan seterusnya.

Saya menafsirkan, bahwa ketentuan-ketentuan di atas, walaupun bersifat umum, namun haruslah diartikan berlaku ke dalam dalam makna yang luas, termasuk hak untuk membela diri bagi anggota tersebut apabila partai berpendapat anggota tersebut melakukan pelanggaran. Organ partai yang manakah yang berwenang memeriksa dan menjatuhkan sanksi bagi anggota? PTPS PKS membagi tiga kategori organ partai yang berwenang mengambil tindakan tersebut. Khusus bagi anggota teras partai, seperti pendiri partai dan anggota Majelis Syura, maka organ yang berwenang mengambil tindakan adalah “Dewan Syari’ah”. Yusuf Supendi, menurut keterangannya adalah  salah seorang pendiri PKS dan anggota Majelis Syuro. Karena itu sebelum diambil tindakan, maka Dewan Syariah lah yang berwenang memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukannya dan menjatuhkan sanksi. Dan, Yusuf Supendi harus diberikan hak untuk membela diri dan diperiksa berdasarkan asas praduga tidak bersalah seperti diatur dalam ART dan PTPS PKS.

Kalau dalam persidangan ini, Yusuf Supendi berhasil mengemukakan argumentasi dan alat-alat bukti yang menunjukkan bahwa beliau diskors dan kemudian dipecat sebagai anggota PKS tidak sesuai alasan-alasan yang menyebabkan seseorang dapat diambil tindakan demikian, sesuai ketentuan AD/ART, dan tindakan itu diambil oleh organ partai yang lain, selain dari  Dewan Syari’ah, maka saya menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk memutuskan apakah tindakan skorsing dan pemecatan atas beliau tergolong sebagai perbuatan melawan hukum atau tidak. Sebaliknya, jika 10 tokoh PKS yang digugat, melalui Tim Kuasa hukumnya, berhasil menyanggah argumentasi dan alat-alat bukti yang diajukan oleh Yusuf Supendi dan membuktikan sebaliknya bahwa pemecatan itu telah memenuhi ketentuan AD/ART dan dilakukan oleh organ yang berwenang di dalam struktur organisasi PKS, maka saya juga menyerahkan kepada Majelis Hakim untuk memutus perkara ini dengan seadil-adilnya.

Ketua Majelis Hakim mengucapkan terima kasih atas kehadiran saya, dan mengatakan bahwa keterangan saya memang diperlukan untuk memahami duduk perkara sebenarnya dari gugatan perbuatan melawan hukum yang dilayangkan Yusuf Supendi. Tim Kuasa Hukum 10 tokoh PKS juga nampak lebih tenang. Saya tidak menyudutkan siapa-siapa. Saya tidak ingin mencampuri konflik ditubuh PKS dan tidak mempunyai kepentingan apapun dengan konflik tersebut. Apa yang saya kemukakan adalah norma hukum, baik dalam undang-undang, maupun di dalam AD, ART dan Peraturan Partai PKS. Norma hukum inilah yang harus dijadikan  landasan dan rujukan dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum tersebut.*****