KERUMITAN POLITIK HUKUM DI BIDANG KETATANEGARAAN PASCA AMANDEMEN UUD 1945
KERUMITAN POLITIK HUKUM DI BIDANG KETATANEGARAAN
PASCA AMANDEMEN UUD 1945
Oleh
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra
Empat tahapan, atau empat kali amandemen terhadap UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi, sesungguhnya telah mengubah secara fundamental sistem ketatanegaraan kita. Sebagai salah seorang yang terlibat aktif mendorong terjadinya amandemen sejak era Orde Baru, perubahan-perubahan yang terjadi dalam empat tahapan amandeman itu sungguh di luar dugaan. Usulan amandemen yang pertama kali saya gagas, sebenarnya hanya terfokus pada tiga hal, yakni: Pertama, amandemen terhadap pasal-pasal yang mengatur komposisi keanggotaan MPR, agar lembaga itu tidak sekedar menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan Presiden sebagai “mandataris”. Kedua, amandemen pasal yang mengatur masa jabatan Presiden, agar Presiden tidak memegang tanpa batas, sepanjang setiap lima tahun dipilih kembali, seperti terjadi pada masa Orde Baru. Ketiga, dimasukkannya pasal-pasal tentang hak asasi manusia, sehingga Pemerintah tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya sendiri.
Namun, sekali pintu amandemen dibuka, maka perubahan-perubahan besarpun terjadi. Dengan perubahan-perubahan itu, saya tidak sepenuhnya yakin bahwa batang tubuh atau pasal-pasal UUD 1945 sekarang, mencerminkan pokok-pokok pikiran sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945, yang antara lain memuat dasar falsafah negara Pancasila. MPR yang semula digambarkan Professor Soepomo sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, melaksanakan kedaulatan rakyat dan memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan dipahami sebagai “lembaga tertinggi negara” kini telah mengalami pergeseran yang sangat fundamental. MPR sekarang tidak lagi menempati posisi itu. Keanggotaannya, yang kini terdiri atas anggota-anggota DPR dan DPD tidak dapat lagi disebut sebagai “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia”. Padahal, inilah esensi bernegara bangsa kita yang diangkat dari konsep masyarakat adat mengenai kekuasaan, dan mendapat pengaruh yang signifikan dari ajaran-ajaran Islam. Saya berpendapat asas “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” kini telah sirna dengan amandemen terhadap pasal-pasal UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan posisi dan kewenangan MPR.
Demokrasi kita yang semula dirumuskan berdasarkan konsep masyarakat adat suku-suku bangsa kita sendiri, yang setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, menekankan pada konsep musyawarah dan mufakat, kini telah berganti dengan demokrasi ala Eropah dan Amerika, baik dari segi filsafat maupun dari segi implementasinya di dalam struktur ketatanegaraan. Ketika terjadi proses amandemen, kata kunci yang paling banyak saya dengar selama sidang-sidang, baik Panitia Ad Hoc maupun paripurna MPR, adalah konsep “checks and balances” antar lembaga-lembaga negara, yang sesungguhnya juga tidak tercermin dengan sempurna sebagaimana model struktur kelembagaan negara di Amerika Serikat, tempat konsep itu berasal, melalui proses amandemen tersebut. Saya menilai, proses amandemen telah terjadi dengan kemiskinan filsafat, yakni kelemahan memahami secara utuh dan mendalam landasan falsafah bernegara kita yang sendiri, yang seharusnya dicerminkan ke dalam perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar yang diamandemen. Para politisi anggota MPR sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek, ditambah dengan semangat yang menggebu-gebu untuk mengubah secara radikal “executive heavy” di dalam UUD 1945 sebagaimana dipraktekkan oleh pemerintah Orde Baru, sesungguhnya telah gagal untuk merumuskan norma-norma konstitusi yang bukan saja mencerminkan jiwa dan semangat bangsa, tetapi juga corak pengaturan dalam norma-norma konstitusi yang dirumuskan, berpotensi menimbulkan kekacauan penyelenggaraan sistem bernegara, dan dalam beberapa hal, berpotensi menimbulkan krisis konstitusi.
Kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang saya maksud bermula dari ketidakjelasaan lembaga manakah yang memainkan peranan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. UUD 1945 hasil amandemen mengatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perumusan seperti ini tidaklah lazim dalam norma konstitusi di berbagai negara. Sementara pasal-pasal Undang-Undang Dasarnya tidak secara jelas merumuskan bagaimanakah kedaulatan rakyat itu dilaksanakan. Kekuasaan membentuk undang-undang kini ada di tangan DPR dengan persetujuan bersama dengan Presiden. Namun Mahkamah Konstitusi, sebuah lembaga baru yang belum pernah ada sebelumnya, berwenang untuk menguji dan membatalkan undang-undang jika pengadilan ini berpendapat bahwa norma undang-undang bertentangan dengan norma konstitusi. Maka siapakah yang melaksanakan kedaulatan rakyat dalam konteks seperti ini? DPR dan Presiden dipilih langsung oleh rakyat yang berdaulat dan mereka secara bersama-sama berwenang membentuk undang-undang. Tetapi Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak dipilih oleh rakyat berwenang membatalkan undang-undang. Dari manakah sumber kekuasaan dan legitimasi Mahkamah Konstitusi itu dalam konteks kedaulatan rakyat, tidak sekedar mendapatkan legitimasi normatif yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar? Dari sudut pandang kedaulatan, kewenangan ini membingungkan. Namun ini bukan tidak berarti bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi dalam praktek penyelenggaraan negara hampir satu dasawarsa terakhir ini tidak ada gunanya untuk mencegah DPR dan Presiden membuat norma-norma hukum positif yang memberikan keleluasaan kepada aparatur penyelenggara negara untuk berbuat sewenang-wenang.
Cerminan dari kekacauan dalam sistem ketatanegaraan itu, berawal dari terjadinya pergeseran kekuasaan eksekutif, yang semula dominan, ke legislatif. Perubahan ini, seperti telah saya katakan, tidak didasari renungan falsafah bernegara yang mendalam dan kecermatan merumuskan norma-norma konstitusi, tetapi lebih banyak dilandasi semangat untuk menolak, dan sekaligus berharap agar tidak terulang lagi praktek “executive heavy” seperti di zaman Orde Baru, walau Orde Lama sebenarnya juga mempraktekkan hal yang sama. Dari sisi semangatnya, hal itu memang patut kita hargai, namun ketika dirumuskan ke dalam norma, terjadilah keanehan-keanehan, seperti rumusan bahwa DPR mempunyai hak anggaran yang cenderung ditafsirkan bahwa DPRlah yang menentukan anggaran, sementara tugas mencari anggaran dan membelanjakannya sesungguhnya adalah tugas eksekuitf. Demikian pula, pengangkatan duta besar dan penerimaan duta besar negara asing yang harus dilakukan dengan pertimbangan DPR, termasuk pemberian grasi, amnesty dan abolisi yang melibatkan Mahkamah Agung dan DPR, sesungguhnya adalah suatu keanehan. Perubahan ini terjadi, seperti saya katakan tadi, semata-mata keinginan untuk mengurangi sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai “executive heavy” agar kekuasaan Presiden tidak lagi besar seperti sebelum amandemen. Akibat dari keanehan ini, maka UUD 1945 hasil amandemen berpotensi melemahkan kedudukan Presiden, bahkan membuatnya hampir tidak berdaya menghadapi DPR yang menjadi begitu kuat kedudukannya. Padahal, kita tetap membutuhkan adanya Pemerintah yang kuat untuk membangun bangsa dan negara ini. Apa yang harus dilakukan dengan amandemen seharusnya adalah mencegah Presiden menjadi diktator. Pemerintah yang kuat dapat terjadi dalam sebuah sistem yang demokratis. Inilah salah satu kegagalan amandemen UUD 1945 yang terjadi di era Reformasi.
Kegagalan itu terjadi pula, karena amandemen tidak merenungkan lebih jauh jika negara mengalami krisis karena kevakuman jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketika Presiden dan Wakil Presiden dua-duanya “berhalangan tetap” maka “triumvirat” – suatu konsep yang dulunya berasal dari Ketetapan MPR — yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri mengambil alih pemerintahan sementara. Kalau Presiden dan Wakil Presiden “diimpeach” oleh MPR, dan sebelum diberhentikan Presiden membubarkan kabinet, maka “triumvirat” otomatis tidak ada. Negara akan mengalami “krisis konstitusi” yakni terjadinya sebuah kebuntuan ketatanegaraan yang tidak ada solusinya di dalam Undang-Undang Dasar. Hal yang sama juga dapat terjadi jika penyelenggaraan Pemilihan Umum mengalami kegagalan, maka MPR tidak dapat memperpanjang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. MPR juga tidak berwenang menunjuk seorang Penjabat Presiden. Akibat semua ini, maka negara akan tergiring ke arah krisis konstitusi seperti saya katakan tadi. UUD 1945 hasil amandemen tidak memikirkan dengan sungguh-sungguh adanya norma konstitusi untuk mengatasi keadaan darurat ketatanegaraan. MPR yang dulu dapat mengisi kevakuman norma seperti ini melalui Ketetapan-Ketetapannya, kini tidak mempunyai lagi kewenangan itu. UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kini mencatumkan lagi Ketetapan MPR sebagai bentuk peraturan perundang-undangan. Namun belum jelas betul norma seperti apakah yang dapat ditampung dalam Ketetapan MPR itu. Ketika jabatan Presiden, Wakil Presiden dan para menteri mengalami kevakuman, maka yang tetap ada ialah Panglima TNI dan Kapolri yang keduanya tidak otomatis berhenti dengan berhentinya Presiden dan Wakil Presiden, karena keduanya bukan lagi bagian dari Kabinet. Presiden bahkan tidak dapat memberhentikan mereka tanpa persetujuan DPR. Dalam suasana vakum dan terjadinya krisis konstitusi seperti itu, maka terbuka peluang bagi Panglima TNI dan Kapolri untuk mengambil-alih kekuasaan. Ini bisa terjadi, kalau mereka menginginkannya dengan alasan demi menyelamatkan bangsa dan negara dari keruntuhan.
Amandemen UUD 1945 bukan saja telah menggeser kekuasaan esekutif ke arah legislatif, tetapi juga telah menciptakan lembaga-lembaga baru, yang belum ada sebelumnya. DPA dihapuskan dan digantikan dengan Dewan Penasehat Presiden, sehingga secara kelembagaan kedudukannya menjadi tidak begitu penting dibandingkan dengan DPA sebelumnya. Kekuasaan kehakiman yang semula berada di tangan Mahkamah Agung, juga mengalami pergeseran dengan diciptakannya lembaga baru, Mahkamah Konstitusi yang secara bersama-sama, dengan kewenangan yang berbeda, melaksanakan kekuasaan kehakiman. Bank Indonesia, juga mendapatkan status sebagai lembaga independen, sehingga menempatkannya menjadi sebuah lembaga negara yang baru. Perubahan-perubahan besar pada kelembagaan negara menimbulkan kerumitan tersendiri dalam hubungan antar lembaga. Sementara, seluruh lembaga itu memerlukan pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk undang-undang. Dalam konteks seperti ini, maka politik hukum di bidang ketatanegaraan, bukan saja harus merumuskan landasan falsafah negara di dalam Pembukaan UUD 1945 ke dalam undang-undang, namun penafsiran terhadap norma-norma konstitusi hasil amandemen juga telah menimbulkan problema tersendiri, sebelum norma-norma dasar itu ditransformasikan ke dalam norma undang-undang.
Oleh karena empat kali amandemen boleh dikatakan sudah selesai dan lembaga-lembaga negara sebagian mengalami pergeseran kewenangan, dan sebagiannya lagi memang merupakan lembaga negara yang baru, haruslah diatur dengan undang-undang agar sistem kenegaraan dapat berjalan, maka harus diakui bahwa pembentukan undang-undang di bidang hukum tatanegara dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2004, saat berakhirnya era Kepresidenan Magawati, telah dilakukan dalam waktu yang tergesa-gesa, sehingga dapat dikatakan norma-norma hukum di bidang ketatanegaraan itu jauh dari memuaskan. Dalam kurun waktu yang relatif singkat, suatu undang mengenai lembaga negara tertentu yang telah disahkan, diamandemen lagi atau bahkan diganti seluruhnya dengan undang-undang yang baru, untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang member peluang kepada perorangan warganegara, lembaga negara, badan hukum publik maupun privat serta masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya oleh undang-undang untuk memohon pengujian undang-undang semakin mempercepat perubahan-perubahan itu. Dengan kewenangan menguji undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi otomatis memainkan peranan “negative legislation”, yang dalam praktiknya, dengan alasan mengisi kevakuman hukum sebelum DPR dan Presiden membentuk norma yang baru, Mahkamah Konstitusi telah mengambil inisiatif untuk mengisi kevakuman itu dengan menciptakan norma yang baru, walaupun kewenangan itu sebenarnya adalah kewenangan dari DPR dan Presiden.
Dalam situasi seperti saya gambarkan di atas, politik hukum di bidang ketatanegaraan memang memerlukan pemikiran yang sungguh-sungguh, yang menurut saya harus mampu mentransformasikan landasan falsafah negara kita sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945, dan menelaah dengan sungguh-sungguh pula kerumitan pengaturan baik berkaitan dengan kewenangan, maupun hubungan antar lembaga-lembaga negara itu yang dihasilkan oleh amandeman UUD 1945. Pada sisi lain, oleh karena hukum tata-negara merupakan bidang hukum yang langsung berhubungan dengan politik, maka kepentingan-kepentingan politik baik di DPR maupun Presiden, dan kekuatan-kekuatan politik yang ada di luarnya, seringkali pula menjadi penghambat dirumuskannya norma-norma hukum di bidang ketatanegaraan yang bersifat ideal dalam perspektif kenegarawanan, karena pertarungan kepentingan sesaat dari kekuatan-kekuatan politik yang berkepentingan langsung dengan norma-norma yang dipandang dapat menguntungkan kepentingan politiknya masing-masing. Keadaan seperti ini tidaklah sehat dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, yang seharusnya meletakkan kepentingan bangsa dan negara itu di atas kepentingan golongan.*****
(Pokok-Pokok Pikiran Disampaikan pada Seminar “Membangun Indonesia Melalui Pembangunan Hukum Nasional” di Hotel Darmawangsa, Jakarta, 8 Desember 2011)
Cetak artikel
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=745
cermat dan sangat mendalam, trimakasih prof.
Kalau ada yang benar-benar konsisten karena Ketua Umum partainya dipermalukan Denny ya Wakil Ketua komisi III Azis Syamsudin. Azis Syamsuddin berkali-kali memaki-maki Deny Indrayana karena gaya Deny mirip LSM
hal ataupun keadaan seperti yg digambarkan oleh pak YIM, juga membuat bingung salah seorang guru pelajaran PKn (dulu PMP), peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga negara sekarang tidak jelas, hirarki lembaga kenegaraan semakin tidak jelas, disisi lain kadang selaku penentu, di lain sisi sebagai pelaksana,
mungkinkah bapak-bapak kita yg kini di DPR, MPR memahami akan hal seperti yg digambarkan pak YIM…??
ataukah kita hidup dalam negara dengan ” Kata tak punya makna lagi ” hanya bermain-main dengan kata yang tak berarti…yang pengting ada uangnya…. subhanallah, semoga negara ini jauh dari hal demikian ….
omfg lol bg http://www.brightideasglobal.com/images/dn59.htm?8k1z7-Picture03.JPG
itu lah lucunya Negara ini ketika UU No.10 Tahun 2004 tidak lagi memasukkan TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan ketika UU No 12 Tahun 2011 muncul maka salah satu substansi yang termuat didalam UU ini adalah penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, saya memang belum membaca/memahami benar UU No. 12 Tahun 2011 ini namun mengapa saya katakan lucu itu karena sepengetahuan saya UUD 1945 pasca Amandemen tidak ada memuat lagi kewenangan MPR dalam hal membuat Ketetapan MPR (TAP MPR), memang didalam penjelasan Pasal 7 huruf b Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. dengan demikian secara gramatikal saya tafsirkan bahwa UU No 12 Tahun 2011 ini hanya menegaskan eksistensi TAP MPR yang masih berlaku/belum dicabut padahal Pasal 7 ayat 4 UU No 10 Tahun 2004 telah menegaskan bahwa Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pertanyaannya adalah sejauhmanakah urgensi dimasukkannya TAP MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada UU No. 12 Tahun 2011???
Saya sependapat sebagaimana saya kemukakan dalam tulisan di atas. Saya perlu waktu untuk memahami maksud keberadaan TAP MPr sebagai bentuk peraturan perundang-undangan sebagaimaka termaktub dalam UU No 12 Tahun 2011 (YIM)
Tidak seorangpun yg mengupas bedah tentang Dampak krisis Ketatanegaraan hasil emandement UUD yg berakibat sangat fatal System tatanegara dlm pelaksanaannya (kacau balau/amburadul), kecuali blog favorit Mr. Prof. YIM. yg memberi wacana baru agar semua pihak yg terkait turut berfikir keras dn ber ideology Pancasila yg sesungguhnya dlm meluruskan thd kekeliruan dimaksud.
Hal itu sangat kompleks karena realnya mayoritas yg mengatasnamakan diri kaum reformis mayoritasnya memiliki karakter Isme sok ala westerlisasi (kebarat2an Ameris) pd hal nenek moyangnya orang indonesia asli (orang timur) yg turut dg hati tulus murni membentuk dan/atau mendo’akan atas ridho Allah atas terbentuknya UUD empat lima. sementara regenerasi saat ini isme fahamnya ciplak Yahudi barat kape kt orng aceh. hehe. Bagaimana mau sinkron isme dlm aplikasi ideologynya (terkecuali soal tekhnology okelah) tapi kalo soal mengandemen UUD makin kualatlah atas sumpah palapanya patih Gadjah Mada, makin diamandemen makin goro goro kata wong jowo. hehe.
Congratulation for Mr. Prof. YIM… Mg tetap exist dn sadarkanlah bagi orang orang yg ada dilingkungan nasionalisme atas buah fikiran jernih yg cemerlang dari anda hingga dapat dukungan dn terwujud System notogoro. Amiiin.
saya yg tak tau apa apa ini pun bingung dg undang2 skarang.mpr utk apa ya???…rakyat juga utk apa???…
pasca reformasi memang kacau…. kyk pmkiran si denny “wamen” konstitusi mana yg mesti dipedomani satu sama lain sling bertabrakan… tpi dgn adanya MK kan mmberi peluang dan keuntungan kpda bg YIM sndiri, untuk memperkarakan suatu msalah, bgaimana itu bg?
Ya, memang benar. Seperti saya katakan juga dalam tulisan di atas, keberadaan MK tetap memberi manfaat agar DPR dan Presiden tidak membuat undang-undang yang membuka peluang kesewenang-wenangan dan menghilangkan kepastian hukum yang adil (YIM)
Ketata-negaraan Indonesia termasuk amandemen UUD 1945 berlangsung sporadis/partial sehingga kini tidak jelas apakah sebagai negara Parlementer atau Republik-dgn executive heavy sebagai patokannya (benchmark). Kekuasaan tidak ditangan rakyat sepenuhnya, tetapi sebagai negara demokrasi Indonesia lebih liberal daripada AS atau Inggris sekalipun. Contoh kecilnya mudah : Bila bung YIM naik metro mini maka bisa berhenti dimana saja, di tengah-tengah perempatan Senen sekalipun. Ini tidak mungkin terjadi di AS/Inggris.
Amandemen menghasilkan kekuatan baru (Parliament as new heavy) karena sistem (presidensiil) yang terlalu kuat era orba kini dibatasi, namun konstitusi jadi bias dan malah tidak jelas. Dikatakan tidak jelas karena DPR kini sangat kuat, dan bila kompak without partai demokrat, maka mudah sekali memberhentikan Presiden/Wapresnya. Malaysia mengambil banyak pengalaman dari evolusi konstitusi Inggris dalam 300 tahun terakhir dan ditambah dengan hukum Islam dan aturan Islam sebagai dasar negara. Adanya balance of power dalam kekuasaan, tetapi muara tetap negara kesejahteraan.
Singapore & Australia beruntung mengadopsi semua hal-hal baik dari konstitusi Inggris sebagai negara kesejahteraan–tidak peduli Presidensiil atau Parlementer–yang pada intinya rakyat tidak dibebani banyak pajak (no burdening taxes), rakyat bahagia (happy) tidak merasa ketakutan seperti di Aceh dahulu dan di Papua saat ini, supremasi hukum jelas–tidak dimainkan oleh Jaksa– contoh kasus bung YIM. Di Singapore bila ada Jaksa yang bermain seperti Jaksa Agung yang menganiaya bung YIm, bisa dipidana berat. Makanya kita-kita heran mengapa Jaksa-jaksa Indonesia pada sesukanya sendiri memeras banyak orang ! Dan Presiden tahu , mengapa ia diam saja, jangan-jangan disuruh Presiden ?.
Indonesia dalam proses transformasi hukum tata-negara, tidak sebeuntung negara-negara commonwealth yang semua aturan spt negara kesejahteraan, supremasi hukum, balances of power semuanya jelas.
Tks
Rakyat Papua sependapat yang buat rakyat sengsara di lengserkan karena kasus Century, siapa lagi biang keroknya kalo bukan duet Presiden-Wapres ,,,,,
mantap sekali prof yim ulasannya.
saya kira nasi sudah jadi bubur, amandemen UUD 1945 yg melewati 4 tahapan itu benar2 sudah kebablasan. saya kira sila ke empat Pancasila juga hampir tidak “diakui” lagi keberadaannya dengan adanya pemilukada yg menghabiskan dana yg tidak sedikit..
terkait Tap MPR dimasukkan lagi dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan, saya kira permasalahan sebenarnya ada di partai politik yang berbasis keagamaan yg ingin Tap MPR tentang Pelarangan Gerakan PKI tetap eksis. Seharusnya kita mulai berpikir jernih dalam membangun negeri ini sebagaimana disampaikan oleh pakar filsafat UI Rocky Gerung..
prof..mau tanya nih…seandainya prof di tawari jadi menteri di negara lain mau gak..?misalnya malaysia..
Dalam pasal 7A UUD 1945 Berbunyi Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atau usul DPR, baik apabila terbukti telah telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam pasal ini ada kata-kata Presiden dan/atau Wakil Presiden” Yang ingin saya tanyakan ke Prof YIM, Kalau Wakil Presiden (Budiono) terlibat dalam suatu kasus katakanlah bank century apakah pemberhentiannya diikuti juga oleh presiden (SBY)? mengingat dua kata diatas (dan/atau)? kalaulah demikian berarti dalam pepatah kami ditanah melayu orang makan nangkanya kita kena getahnya.
saran saya saja sama Prof YIM kalulah tuhan meridoi Prof untuk maju ditahun 2014 nanti hati-hatilah memilih pasangan saya dari batam mendukung sepenuhnya.
PAPARAN PROF. DR. YUSRIL.I.M ADALAH SEBUAH PEMAPARAN YANG TIDAK BERBELIT-BELIT, BAGI SAYA CUKUP JELAS DAN MENGESANKAN. DAN SATU HAL LAGI YANG MUNGKIN PERLU DIKETAHUI KITA HARUS MEMAKLUMI KEADAAN SEPERTI SEKARANG INI KARENA PEMEGANG KEKUASAAN NEGARA SAAT INI DIBERIKAN KEPADA PARA ARTIS BUKAN KEPADA PARA AHLI, DAN KITA SELALU LEBIH PERCAYA KEPADA NASEHAT ARTIS ATAU PELAWAK DARI PADA NASEHAT SEORANG ULAMA ( NAUDZUBILLAH ), SEMOGA BANYAK PEMIKIR-PEMIKIR ULUNG YANG TAMPIL DI TAHUN MENDATANG SEPERTI PROF Y.I.M. amien….ISLAM ADALAH SOLUSI tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, atau mengetahui tapi enggan untuk mempercayai janji Tuhannya ( ALLAH ) wallohu’alam
Setahu saya sewaktu pembuatan amandemen ada Lembaga dari Amerika Serikat yang turut mempengaruhi amandemen tsb yakni NDI.
Sebelum diamandemen ada DPA sebagai Lembaga Tinggi Negara,diminta atau tidak berhak untuk menasehati PRESIDEN.Posisi sejajar dengan PRESIDEN ,sama sama Lembaga Tinggi Negara.Setelah diamandemen justru berada dibawah PRESIDEN……ya bagaimana akan didengar PRESIDEN…..Sejajar aja jaman ORBA tak ada artinya DPA,karena dianggap buat mereka sebagai Dewan Pensiunan dari jabatan lain.Saya pernah mengungkapkan sebelum diamandemen kepada ATMAKUSUMAH dari DEWAN PERS,bagaimana klo DPA diisi menjadi DEWAN PERS AGUNG,agar selain TRIAS POLITIKA dan PERS menjadi kekuatan TONGGAK DEMOKRASI di Indonesia menjadi KOKOH.
Beranikah Bang Yusril berada pada barisan terdepan untuk REFERENDUM kembali ke UUD 1945 ?
Amandemen terhadap UUD 1945 ini terjadi pada jaman Reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, sebagai salah satu gerakan politik untuk melakukan reformasi atau perbaikan, yang puncaknya menghasilkan Amandemen terhadap UUD 1945 secara tuntas selesai tahun 2002.
1. Tujuan Awal Reformasi
a. Reformasi berasal dari kata ‘’to reform’’, artinya memperbaiki untuk menjadi lebih baik. Sebuah gerakan yang merupakan kegiatan politik yang awalnya untuk melakukan koreksi atau ‘’to reform’’terhadap kekeliruan –kekeliruan, kesalahan-kesalahan dalam praktek penyelenggaraan negara yang salah dan berakibat timbulnya kesengsaraan rakyat dan melanggar hak-hak rakyat.
b. Pada awalnya, reformasi bukanlah dimaksudkan untuk membuat negara baru, sistem atau sebuah tatanan negara baru, tatanan pemerintahan atau tatanan social, ekonomi, politik, hukum yang baru, apalagi dengan meninggalkan prinsip-prinsip dasar dari sistem ketatanegaraan dan tatanan asli yang sudah ada. Reformasi dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan –kesalahan, kekeliruan yang terjadi selama Orde Baru dalam praktek penyelenggaraan negara. Memperbaiki apa yang tidak benar atau yang salah dalam praktek penyelenggaraan negara pada masa Orde Baru untuk diperbaiki pada Era Reformasi.
2. Reformasi Kebablasan
a. Tetapi gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia tahun 1998 dengan jatuhnya rezim Orde Baru, ternyata telah kebablasan bahkan berjalan tanpa konsep dasar 6yang jelas. Reformasi tidak hanya ingin memperbaiki keadaan yang tidak betul dalam penyelenggaraan negara yaitu sebuah pemerinyahan orde baru yang otoriter, tidak demokratis, dan diskriminatif, tetapi ternyata telah melakukan perubahan mendasar atas prinsip –prinsip dasar bernegara dengan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 berkali-kali, yang puncaknya Amandemen selesai pada tahun 2002.
Melalui hasil Amandemen tersebut terbukti gerakan Reformasi tidak hanya memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam praktek peneyelenggaraan negara, tetapi telah merubah prinsip-prinsip dasar dan sistem penyelenggaraan negara, sekaligus telah memasukkan sistem lain yang bersumber pada nilai-nilai asing yang kontradiktif dengan sistem yang asli.
Terjadilah sebuah tatanan dalam struktur kenegaraan yang baru dan berbeda atau menyimpang dari tatanan nasional yang telah didasarkan lepada falsafah pandangan hidup bangsa yaitu Pancasila.
b. Gerakan Reformasi yang telah melakukan Amandemen UUD 1945 secara tntas pada tahun 2002 tersebut, ternyata bukan gerakan politik untuk memperbaiki kesalahan atas praktek penyelenggaraan negara saja, tetapi telah melakukan Amandemen dalam arti telah merombak secara mendasar UUD 1945 yang asli. Hasil Amandemen yang demikian itulah yang oleh sementara kalangan disebut telah dinyatakan kebablasan, karena telah diklasifikasikan sebagai melahirkan Undang-Undang dasar Baru Tahun 2002. Walaupun hasilnya dikatakan oleh kaum Reformis pendukung Amandemen sebagai Undang-Undang Dasar 1945 yang telah di Amandemen, tetapi faktanya oleh par pihak yang tidak disetujui dengan amandemen dikatakan itu bukan merupakan amandemen, melainkan penggantian UUD 1945 dengan UUD Baru tahun 2002.
Secara konkrit jika dilihat dari sudut teknik perundang-undangan saja, memang telah terjadi perubahan yang drastis. Jika struktur UUD 1945 yang asli terdiri atas : Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan, kenyataannya hasil Amandemen hanya Pembukaan saja yang masih dipertahankan sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 telah mengalami perubahan yang significan bahkan sistematiknya pun telah mengalami perubahan yang mendasar.
c. Yang lebih fundamental lagi, dilihat dari struktur dan esensi adalah penjelasan UUD 1945 sama sekali dihapus. Dengan catatan bahwa spirit atau jiwa yang terkandung pada penjelasan UUD 1945 itu kemudian dipreteli satu persatu secara non sistematik dimasukkan dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 hasil amandemen. Sedangkan materi yang tidak bisa ditampung ditinggalkan begitu saja. Inilah alasan untuk menyebut amandemen bersifat tambal sulam.
Karena itu sangatlah beralasan bagi pihak –pihak yang tidak setuju dengan amandemen, menyebut amandemen UUD 1945 yang telah dikatakan tuntas pada tahun 2002 itu, bukanlah gerakan politik untuk memperbaiki kekeliruan, kesalahan terhadap praktek penyelenggaraan Negara, tetapi lebih tepat disebut sebagai gerakan politik pembentukan UUD Baru Tahun 2002. Ini pula alasan untuk dapat menyebut bahwa reformasi yang telah menghasilkan amandemen itu kebablasan, karena tanpa ada dasar dan konsepsi yang jelas. Sebuah tambal sulam konstitusional yang dapat merusak sistematika ketatanegaraan secara nasional dan menjadi sumber kontroversi pembuatan legislasi nasional, sekaligus ketidakpastian sebagai dasar penyelenggaraan negara.
d. Semula banyak pihak yang menganggap gerakan reformasi yang menghasilkan Amandemen terhadap UUD 1945 itu sebagai hasil otak dan pemikiran yang cemerlang dari putra – putri Indonesia sendiri yang tergabung dalam Gerakan Reformasi. Belakangan ternyata ada indikasi kuat bahwa mereka sekedar agen-agen asing yang menjalankan pesan sponsor. Pesan Sponsor tersebut telah tertuang dalam grand strategic design yang dikenal dengan semboyan ’’Democratic Reform, Constitutional Reform, and Yudicial Reform’’yang secara konseptual kemudian telah berhasil menyisip dan menyusup serta mendominasi struktur, sistem dan esensi UUD 1945 yang telah dihasilkan oleh amandemen.
e. Gerakan Reformasi dengan melakukan Amandemen terhadap UUD 1945 ternyata tidak sepenuhnya mencapai sasaran. Bahkan sebaliknya hasil Amandemen terhadap UUD 1945 tersebut telah melahirkan ketidakpastian, kontroversi dan menjadi dasar terjadinya berbagai penyimpangan di bidang Ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan hankam dalam penyelenggaraan negara. Negara ini telah kehilangan pedoman dan arah, disebabkan oleh amandemen ini, GBHN telah dihapus. Dengan demikian penyelenggaraan negara di semua bidang berjalan tanpa pedoman dan arah yang jelas.
Memang kemudian dilahirkan sebuah undang – undang RPJPN ( Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional ) dengan maksud sebagai pengganti GBHN, tetapi itu adalah sebuah undang-undang teknis bukan sebuah Road Map pembangunan Negara. Undang-undang teknis dengan mudah dapat diganti dengan undang-undang yang lain yang sederajat, sedangkan GBHN yang menjadi ’’Road Map’’perjalanan bangsa dan negara kedepan, tidak bisa digeser oleh Undang-undang teknis apapun karena tingkat perundang-undangannya lebih tinggi dari sebuah undang-undang biasa. Karena itu Undang – undang tentang RPJP tidak bisa menggantikan posisi GBHN. Kondisi tersebut telah menimbulkan gejolak dan rasa tidak puas terhadap hasil Amandemen dan mendorong adanya gerakan untuk kembali ke UUD 1945, karena hilangnya Road Map terhadap masa depan bangsa dan negara.
f. Titipan dan sisipan dalam amandemen tersebut, terasa adanya pengaruh paham individualisme, liberalisme, dan neo kolonialisme atau penjajahan dalam bentuk baru dalam sistem pemerintahan dan penyelenggaraan negara. Sejak awal, sebenarnya sudah terlihat bahwa gerakan reformasi bukan gagasan murni dari bangsa Indonesia sendiri, tetapi sebuah infiltrasi ideologi dari kekuatan global.