- Yusril Ihza Mahendra - https://yusril.ihzamahendra.com -

HAKIM AGUNG ATAU MARWAN YANG TAK PAHAM SISMINBAKUM

Pernyataan Jamwas Kejagung Marwan Effendi yang menuduh Mahkamah Agung tidak paham Sisminbakum, sehingga para terdakwa dibebaskan, ditanggapi dengan pertanyaan balik olehYusril Ihza Mahendra.”Yang tidak paham itu siapa, Mahkamah Agung atau Kejagung” kata Yusril. Marwan memang menanggung beban moril yang berat dengan bebasnya para terdakwa, karena ketika dialah yang pertama-tama menyidik Sisminbakum 2008. “Kini Marwan berdalih, Sisminbakum itu pungutan liar yang merugikan masyarakat, sehingga dianggapnya korupsi. Masyarakat mana yang dirugikan, Marwan hanya mengada-ada” tambahnya.

Pemohon pengesahan perseroan itu bukan masyarakat biasa atau rakyat miskin, tetapi pengusaha yang rata-rata kaya yang ingin cepat usahanya berjalan. “Pengesahan dengan sistem manual, justru menimbulkan pungli dan banyaknya biaya ekstra yang dikeluarkan pengusaha untuk mengurus pengesahan perseroan”. Ketika krisis ekonomi terjadi sejak tahun 1997, Bank Dunia dan IMF mengkritik Pemerintah RI atas kelambatan pengesahan perseroan itu. “Mustahil akan terjadi pemulihan ekonomi, investasi dan penyerapan tenaga kerja kalau pengesahan perseroan memakan waktu bertahun-tahun”. Itu kritik IMF dan Bank Dunia. Pemerintah RI kemudian menandatangani “Letter of Intent” kepada IMF tanggal 21 Mei 2000, yang berisi komitmen untuk mempercepat proses pengesahan perseroan dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi. Semuanya diputuskan dalam sidang kabinet dipimpin Presiden Sus Dur.

Dalam krisis keuangan negara yang hebat di tahun 2000, Pemerintah memutuskan mengundang swasta untuk membangun dan mengoperasikan jaringan teknologi informasi Sisminbakum, melalui perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) selama 10 tahun. Seluruh proses pengesahan tetap dilakukan oleh pegawai Kementerian Hukum dann HAM. Swasta hanya mengoperasikan jaringan teknologi informasinya saja. “Sama seperti PT Telkom yang hanya mengoperasikan jaringan telepon. Apa yang dibicarakan pengguna ketika menelpon, bukanlah urusan PT Telkom” kata Yusril memberi contoh. Kalau orang menelon Kejaksaan Agung, tentu biaya teleponnya dia bayar ke PT Telkom. Masak biaya telpon dibayarkan ke Kejaksaan Agung” katanya.

Jaringan IT Sisminbakum dibangun dan dioperasikan PT SRD dengan uang mereka sendiri. Tidak sepeserpun uang negara yang digunakan membangun jaringan Sisminbakum. Siapa yang menggunakan jaringan ini, untuk mempercepat proses pengesahan akta perseroan, mereka bayar ke PT SRD, bukan bayar ke Kementerian Hukum dan HAM”. Mereka yang tak mau gunakan, tidak apa-apa, gak perlu bayar, tambah Yusril. “Sama keadaannya, orang kalau tidak mau nelpon Kejagung tidak apa-apa. Jalan kaki aja ke Kejagung dan ngomong langsung sama Marwan di sana, biar gak bayar” kata Yusril.

Marwan mengatakan biaya akses penggunaan IT itu pungli. “Kalau demikian, PT Telkom juga harus dianggap melakukan pungli karena memungut biaya orang menelepon ke Kejaksaan Agung. Apa Jaksa Agung juga harus didakwa korupsi karena tidak memasukkan biaya orang menelepon mereka sebagai PNBP” tanya Yusril.  Logika berpikir Marwan ketika mengusut Sisminbakum, menurut Yusril tidak nyambung. “Dia tidak paham Sisminbakum, bukan Hakim  Agung” tegas Yusril. Itu sebabnya MA membebaskan para terdakwa. Tidak ada kerugian negara di situ. Juga tidak ada pungli seperti dikatakan Marwan. PT SRD beroperasi secara sah. Pada setiap biaya akses yang mereka terima, mereka bayar pajak dan PPN kepada negara.  “Negara juga ambil duit pajak itu” tambah Yusril.

Dengan percepatan pengesahan perseroan, justru negara untung besar. Dalam kurun 8 tahun sekitar 164 ribu perusahaan baru disahkan. Menurut Badan Pusat Satistik nilai tambah ekonomi yang diperoleh negara adalah 1087 trilyun, dengan tenaga kerja yang terserang sekitar 4.6 juta orang. “Kalau pengesahan perseroan tetap dilakukan secara manual, mungkin recovery ekonomi takkan pernah terjadi, rakyat tetap menderita”. Marwan, kata Yusril, harusnya berpikir lebih cerdas dan komprehensif, bukan menggunakan kacamata kuda  seorang Jampidsus yang menggebu-gebu mau mempidanakan sebuah kasus, yang sebenarnya bukan tindak pidana.”Romli dan Yohanes sekarang bebas, dapat menuntut balik Marwan selaku Jampidsus ketika itu dan Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung, karena telah mendakwa orang dengan menerapkan hukum yang salah dan dakwaannya tidak terbukti. Itu adalah kejahatan jabatan yang harus dihukum sebagaimana diatur dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman” kata Yusril.  “Jangan dibiarkan pejabat Kejagung yang telah menyengsarakan orang ongkang-ongkang kaki tanpa dihukum telah melakukan kejahatan jabatan. Sebagai Jaksa mereka juga dapat  gaji dari  uang rakyat”,  tegas Yusril.*****