Marwan: Hakim Agung Tidak Paham Kasus Sisminbakum
JAKARTA, suaramerdeka.com – Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Effendy menuding Hakim Agung tidak memahami kasus korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) sehingga dikabarkan memutus bebas terdakwa Yohanes Waworuntu.
“Contoh, Sisminbakum, ini karena tidak pahamnya Hakim Agung yang menangani di tingkat kasasi tentang korupsi. Dia tidak bisa membedakan antara pungutan liar dengan yang lain-lain,” kata Marwan Effendy, di Kejaksaan Agung Jakarta Selatan,
Jumat (9/12).
Penilaian tentang ketidakpahaman hakim agung terkait kasus Sisminbakum itu disampaikan Marwan saat menyinggung Hari Antikorupsi Sedunia yang diperingati Jumat (9/12).
Menurut dia kasus Sisminbakum merupakan contoh tidak ketidaksinkronan pemahaman hukum antara jaksa dan hakim. “Saya rasa ini momentum yang paling tepat ya, yang pertama ini harus ada sinkronisasi dalam memberantas korupsi,” tegasnya.
Menurut Marwan dalam kasus Sisminbakum, hakim Mahkamah Agung (MA) tidak bisa melihat unsur kerugian masyarkat yang ditimbulkan dalam kasus tersebut. “Pungutan liar memang tidak merugikan negara tapi yang dirugikan masyarakat, jadi jangan anggap bahwa ini bukan korupsi,” katanya.
Ia menegaskan, dibebaskanya tersangka kasus korupsi Sisminbakum oleh MA murni merupakan kesalahan pemahaman hukum hakim. “Karena tidak pahamnya hakim yang menangani tindak korupsi. Ini ada uang rakyat yang diambil melalui sistem,” tegasnya.
Kasus Sisminbakum bermula dari perubahan Sistem kenotariatan di Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Kehakiman dan HAM untuk pendirian perusahaan. Semula dengan sistem manual, Ditjen AHU memungut Rp 200 ribu untuk biaya administrasi yang semuanya disetor ke kas negara.
Tahun 2001 Ditjen AHU mengubah sistem manual menjadi sistem IT yang dikenal dengan Sisminbakum. Perubahan sistem ini juga dibarengi dengan kenaikan biaya pembuatan kata yang disebut akses fee menjadi Rp 1,35 juta. Proyek perubahan sistem ini menggandeng PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) milik keluarga Tanoesoedibyo. Namun kenaikan biaya ini tidak disetor ke pemerintah. Dalam kasus ini Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka, dua diantaranya yakni mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra dan Komisaris PT SRD Hartono Tanoesoedibyo.
( Budi Yuwono / CN32 / JBSM ) (dikutip dari Suara Merdeka Online)