Saya sudah selesai menelaah dan berkesimpulan bahwa Pasal 7 ayat 6 dan 6a RUU APBN-P yang telah disepakati oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan siap disahkan dan diundangkan oleh Presiden, menabrak Pasal 33 UUD 1945 seperti ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Saya sedang mempersiapkan draf Uji Formil dan Materil ke MK. Tetapi, belum bisa langsung dilakukan hari Senin besok, karena harus menunggu Perubahan Undang-Undang APBN tersebut disahkan dan diundangkan lebih dulu oleh Presiden.
Pengujian tidak hanya materil, karena bertentangan dengan pasal 33 dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, tapi juga formil karena menabrak syarat-syarat formil pembentukan UU sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 tahun 2011. Tahun 2003, MK memutuskan dalam perkara pengujian UU Migas bahwa harga jual minyak dan gas tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar, karena migas menyangkut sumber kekayaan alam yang berkaitan dengan hajat kehidupan orang banyak, yang berada dalam kekuasaan negara. Dengan ayat 6a, harga eceran migas boleh dinaikkan atau diturunkan apbila terdapat kenaikan 15 persen harga minyak produksi Indonesia di pasaran internasional, dalam waktu 6 bulan ke depan. Ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 sebagaimana ditafsirkan MK. Lagi pula, kewenangan menaikkan harga migas itu, menurut ayat 6a yang disepakati DPR dan Presiden melalui voting tadi malam, cukup dilakukan Pemerintah tanpa memerlukan persetujuan DPR. Ini tidak sejalan dengan UU N0 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Norma Pasal 7 ayat 6a yang menyebutkan bahwa, “Dalam hal harga rata-rata ICP dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan berjalan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, pemerintah diberi kewenangan menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan kebijakan pendukungnya”, selain mengabaikan kedaulatan rakyat dalam menetapkan APBN juga mengabaikan asas kepastian hukum dan keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat 1 UUD 45, sehingga potensial dibatalkan oleh MK.
Alahmdulillah, langkah yang akan saya tempuh ini mendapat respons positif dari sejumlah akademisi dan advokat. Mereka siap bergabung dengan saya untuk melakukan uji formil dan materil Pasal 7 ayat 6 dan 6a yang saling tabrakan terhadap UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011. Para lawyer dan akademisi itu antara lain Dr. Irman Putra Sidin, Dr. Margarito Kamis, Dr. Maqdir Ismail dan Dr. Teguh Samudra. Sementara Prof. Natabaya menyatakan siap jadi Ahli.
Saya bertindak sebagai lawyer atas kuasa beberapa orang rakyat pengguna BBM berubsidi yang hak-hak konstitusional mereka dirugikan dengan pasal 7 ayat 6 dan 6a tersebut. Rakyat itu bisa siapa saja, termasuk sopir ojek, supir angkot, nelayan pengguna solat untuk melaut, tukang warung, tukang jual gorengan dan ibu-ibu rumah tangga. Karena semua mereka adalah konsumen BBM bersubsidi, maka mereka punya kedudukan hukum (legal standing) untuk ajukan perkara ini ke MK.