LAIN CENDANA LAIN TREMBESI, LAIN ISTANA LAIN POLISI
Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha petang tadi menegaskan, bahwa persetujuan penunjukan langsung yang dilakukan Siti Fadilah sewaktu menjadi Menkes dalam mengatasi situasi darurat bencana banjir bandang di Kutacane, Aceh, akhir 2005, tidaklah serta-merta dapat disalahkan. Entah apa latar belakang Jubir Presiden berkata demikian, sayapun tak tahu. Apa yang jelas ialah, sejak tanggal 28 Maret 2012, Siti Fadilah sudah dipanggil polisi dan diperiksa sebagai tersangka. Polisi sudah resmi memberitahu kejaksaan, bahwa penyidikan perkara atas tersangka Siti Fadilah telah dimulai.
Siti Fadilah diduga membantu, memberi kesempatan, sarana dan keterangan untuk anak buahnya, Kepala Pusat Penanggulangan Bencana Kesehatan, Mulya Hasymi, sehingga dia disangka melanggar Pasal 2 dan 3 UU Korupsi jo Pasal 56 KUHP. Pasalnya, Siti menandatangani selembar surat menyatakan bahwa penunjukan langsung pengadaan alat-alat kesehatan untuk menangani bencana di atas “dapat dipertimbangkan”. Bawahannyalah yang mengusulkan penunjukan langsung itu melalui Sekjen Depkes.
Melalui Sekjen, Siti telah meminta Biro Keuangan menelaaah boleh tidaknya penunjukan langsung dalam menangani bencana itu. Dari segi ini, Siti sebenarnya tak dapat disalahkan. Beleid atau kebijakan yang diambil pejabat politik atas saran dan telaah pejabat teknis bawahannya yang membenarkannya, sejak zaman Hindia Belanda, tidak dapat dihukum, walaupun beleid itu salah. Ada puluhan putusan Hooge Raad (Mahkamah Agung) Hindia Belanda dan Mahkamah Agung RI yang menyatakan bahwa “Beleid Pemerintah” tidak dapat dinilai oleh pengadilan. Ada puluhan buku-buku antik berbahasa Belanda membahas masalah ini.
Penegakan hukum di negeri ini kini memang kacau. Tindakan administratif yang didasari hukum administrasi negara, campur aduk dengan hukum pidana. Untuk mencari unsur kesalahan, digunakan Keppres 80 Tahun 2003 dan perubahannyta tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Jika kesalahan administratif ditemukan, maka sanksinya dilarikan ke hukum pidana, khususnya UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Korupsi. Akibatnya, setiap pejabat politik, tak terkecuali siapapun, potensial akan menjadi “koruptor”.
Anak buah yang melakukan korupsi, menteri dianggap turut serta, bahkan membantu saat korupsi dilakukan, serta memberi sarana dan keterangan kepada anak buah yang ingin melakukan kejahatan. Kalau tanggungjawab begitu luas, lama-lama Presiden juga bisa dikenakan Pasal 55 dan 56 jika ada menteri yang melakukan korupsi. Saya katakan hal ini di Metro TV tadi pagi. Itu agaknya, mengapa Jubir Kepresidenan mulai bereaksi terhadap perkara Siti Fadilah. Tapi, seperti saya katakan di atas, lain cendana, lain trembesi, lain istana lain polisi. Istana berkata begini, polisi bertindak sebaliknya.
Delik penyertaan dan perbantuan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP kini seakan menjadi jerat untuk memidanakan pejabat politik, yang secara teoritis tidaklah memahami, dan dengan begitu, tidak bertanggungjawab dalam soal-soal teknis yang menjadi tanggungjawab para birokrat. Atas dasar pasal yang ditafsirkan semau-maunya inilah, Hari Sabarno, Bachtiar Hamsyah, Rokhmin Dahuri, Syed Agil Munawwar dan Ahmad Suyudi dipenjarakan. Belasan Kepala Daerah juga bernasib sama. Kini menyusul Siti Fadilah dan sesudah itu entah siapa lagi. Kalau membaca dengan hati-hati Pasal 55 dan 56 KUHP dan menelaah literatur klasik hukum pidana baik berbahasa Belanda maupun Indonesia, nampaklah pemahaman terhadap delik penyertaan dan perbantuan itu sekarang ini kacau balau.
Salah-salah, bisa saja kalau kita menyuruh porter mengangkat koper kita di bandara, lantas koper kita dilarikan porter itu, maka kita dituduh polisi turut serta atau membantu porter tadi mencuri barang milik kita sendiri. Professor Satochid memberikan contoh ini, jika penafsirkan Pasal 55 dan 56 KUHP dilakukan serampangan. Penerapan hukum dengan pengetahuan yang ala kadarnya, justru akan merusak citra penegakan hukum itu sendiri dan pelan-pelan membawa negara ini menuju keruntuhannya.++++
Cetak artikelShort URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=794
nah tu istane mulai cuci tangan dengan bilang penunjukkan langsung kagak dapet disalahin, padahal mantan anak buahnye ude dijadikan tersangke, harusnye si bos ude ngasi tau dulu tu polisi bahwe mantan menkesnye tidak bise dijadiin tersangke, ntar kalo ude begini bikin pencitraan baru dengan ngomong, ‘kite harus hormatin proses hukum’, padahal orang ude dibikin babak belur dijadiin mainan pasal karet seperti yang disebut yim, dan ini namenye lebih zalim dari orde baru, orang dibuat rusak nama baik, profesionalitas dan masa depannye karena disangke ‘koruptor’, wah rusaklai negare gare gare salah sangke dan salah tafsir, dan si bos cuci tangan
mantap bang.. saya dapat pencerahan lagi.. harusnya perguruan tinggi kita sering2 mengundang profesor yang satu ini.. ilmu beliau perlu disebarluaskan ke kampus2, agar nantinya sarjana2 hukum kita makin mengerti untuk apa sesungguhnya hukum dan peraturan perundang2an itu dihadirkan.. Hukum dan peraturan perundang2an idealnya tidak membuat hukum sendiri jadi kacau, tapi pemahaman penegak hukumnya yang kacau. apalagi dikacaukan oleh kepentingan politik sesaat..
miris sekali setelah membacanya, akan jadi apa negeri ini kalo terus – terusan begini.
Apa yang menjadi pemikiran pak Yusril bahwa kebijakan yang diambil pejabat politik (KDH,Mentri,DPR/D)tidak bisa digiring dalam ranah hukum pidana karena pengambilan kebijakan tersebut berdasar alat bukti dan barang bukti menunjukkan adanya surat pertimbangan teknis dari bawahannya untuk melakukan penunjukan langsung. Sementara pelaksanaannya dilakukan pejabat teknis terkait dimana pejabat pengambil kebijakan tidak tahu dan tidak memahami apa yang dilakukan bawahannya. Pemikiran Pak Yusril bisa menjadi benar kalau keduanya (atasan dan bawahan) tidak ada niat untuk melakukan konspirasi korupsi pengadaan proyek. Kasus-kasus terbuka korupsi selama ini membuktikan adanya konspirasi pejabat publik dengan pejabat teknis terkait dan sulit kita bisa memahami dilakukan secara sendirian. Pihak POLRI atau KPK menilai pintu masuk delik perbantuan dan penyertaan menggunakan asumsi konspirasi korupsi antara pejabat publik dan bawahannya dan untuk membuktikan adanya niat konspirasi lebih mudah dijadikan tersangka dulu yang akan dibuktikan dalam fakta persidangan. Pak Yusril memang alangkah naifnya POLRI atau KPK bila seseorang disangka korupsi hanya karena Asumsi sementara yang dijadikan tersangka terlanjur di judge salah oleh masyarakat pada umumnya. Lebih-lebih kalau melihat kebijakan-kebijakan mantan Menkes Siti Fadilah Supari yang bisa dirasakan masyarakat umum berupa pengawasan rumah sakit yang diskriminatif, harga obat dan obat generik dan tindakan berani menyoal proyek NAMRU milik pemerintah Amerika rasanya Ibu Siti Fadilah Supari akan berpikir seribu kali melakukan tindakan yang dapat merugikan kredibilitasnya. Pak Yusril supaya kita tidak dibuat bingung melihat anomali hukum menyikapi masalah Pasal 55 dan 56 KUHP sudilah Bapak berbagi pendapat atau teori dengan pembaca blog Bapak agar bisa menjadi wawasan dan tambahan pengetahuan tentang hukum. Terimakasih dan mohon PencerahaN>MJA
Negeri dengan presiden dan staffnya yang amburadul. Mendingan diganti aja presiden SBY itu.
beginilah ceritanya kalau kekuasaan dipergunakan untuk membalas dendam ,
tapi apakah mereka sadar seiring dengan habisnya kekuasaan maka mereka akan diperlakukan sama
aww, yth. bang YIM, saya juga bang, jadi “tsk” sendirian, saya benar-benar tak tahu penggunaan dana bantuan tuk pemilu dari pemda dan kpu, aneh hingga saat ini tdk ada “tsk” lain padahal saya didakwa bersama-sama. salam hormat saya, mantan kepala daerah
adinda mantan bupati yang baik loyalis YIM, tetapi korban Oknum polisi yang mau memeras
makanya ngurus negara harus tahu betul tentang negara.Maju terus bang YIM.
Kmpanyenya SBY apa? … Katakan Tidak pada korupsi,eee ternyata anak buahnya tahu sendiri KOROPSI semua.Sungguh memalukan,bravo bang YIM
Setahu saya didunia ini hanya presiden kita, yg hobby menyeret-nyeret menterinya dgn tuduhan-tuduhan korupsi..melalui kepolisian atau kejagung apa mungkin ini untuk menutupi kelemahan2 birokrasinya dan mengangkat citranya seolah olah ada penegakan hukum.. klu memang menterinya terlibat presidennya juga pasti terlibat.
Setahu saya didunia ini hanya presiden kita, yg hobby menyeret-nyeret mantan menterinya dgn tuduhan-tuduhan korupsi..melalui kepolisian atau kejagung apa mungkin ini untuk menutupi kelemahan2 birokrasinya dan mengangkat citranya seolah olah ada penegakan hukum.. klu memang menterinya terlibat presidennya juga pasti terlibat.
Saya Kira PresIden bisa menjadi saksi di kasus ini,
Keppres No.80/2003 sepenuhnya berada di ranah hukum administrasi, pun bukan peraturan perundang-undangan. Ia merupakan aturan kebijakan (policy rule/beleidsregel), judulnya saja sudah menunjukkan itu, pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa Pemerintah. Karakter aturan ini berlaku dan mengikat ke dalam, lingkungan birokrasi, namun ia memantul ke luar, penyedia barang/jasa, karena itu aturan ini disebut pula spiegelsrecht. Kalau saat ini banyak orang dihukum karena mengambil kebijakan yang dinilai melanggar keppres pengadaan, itu dapat disebut “kebijakan versus kebijakan”. Dan kalau kasus Siti Fadilah kelak sampai ke pengadilan dan pak YIM tetap mendampinginya, mudah2an kita mendapat pelajaran bagaimana sikap pengadilan terhadap aturan kebijakan ini bisa dijadikan pintu masuk untuk menghukum seseorang. Selamat
Hal yang sangat biasa terjadi dan keluar dari Istana, bertindak dengan rasa SUKA dan TAK SUKA, saluuuttt buat bang YIM. (Tanjung Tiram Batu Bara)
cuma bisa berdoa atas apa yg trjadi di negara ini.. semoga semuanya bisa melihat permasalahan dengan akal sehatnya.. bukan dengan hasutan hasutan pihak pihak tertentu yg ingin menghancurkan negara ini dan mementingkan kepentingan golongannya sendiri
saya yakin dengan kebesaran Illahi habis gelap maka akan terbitlah terang. cepat atau lambat sesuatu yang direncanakan dan yang dilakukan tidak baik itu tidaklah akan bertahan lama. dan suatu hari hamba2 yang menjalankan tugas kenegaraan meskipun berat wajib memegang amanah yang diberikan oleh ALLAH SWT. amin
waah berbahaya skli tuh…bs hancur lebur negeri ini bila hukum dibiarkan menjadi alat balas dendam oleh para ahli hukum….! Pertanyaannya…upaya apa sj yg telah dilakukan para ahli,penegak dan pakar hukum (yg masih waras,peduli dan bernurani) agar pmanfaatan hukum sbgai alat balas dendam tidak trjadi dan terulang lagi..?
http://www.ambulu.tk
Kenapa mengatakan kebenaran di negeri ini menjadi sangat sulit ? tidak punya keberanian atau karena kita sudah terbiasa dengan ketidakbenaran ?
apa yg dijelaskan ini gampang dicerna oleh orang yg awam hukum sekalipun.
makanya enakkan jadi kepala Semut daripada Ekor Gajah….Prof Yusril sudah saatnya Anda Tampil prof…pimpin kami di 2014….Insya Allah