PENDAPAT HUKUM TERHADAP PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM
Jakarta, 15 Mei 2012
Ref: 067/YIM/I&I/V/12
Kepada Yang Terhormat
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia
di
Jakarta
Perihal: Pendapat Hukum terhadap Putusan Batal Demi Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 KUHAP
Dengan hormat,
Memenuhi permintaan beberapa rekan anggota DPR RI dan anggota masyarakat yang disampaikan kepada saya sehubungan dengan permasalahan putusan pengadilan pidana yang tidak memenuhi norma Pasal 197 ayat (1) huruf k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana yang telah terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung atas terdakwa Parlin Riduansyah – dan terjadi pula pada terdakwa yang lain di berbagai daerah di tanah air – yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 3 (tiga) tahun penjara, namun tidak mencantumkan norma yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, yakni “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, maka bersama ini saya sampaikan pendapat saya sebagai berikut:
- Pasal 197 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat antara lain huruf k “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. Jadi, jika seorang terdakwa diadili dan diputus bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, kalau terdakwa tidak ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Kalau terdakwa sedang ditahan, maka putusan harus memuat perintah supaya terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kalau putusan membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan terdakwa ditahan, maka putusan harus memuat perintah agar terdakwa dibebaskan. Perintah tersebut, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k, maksudnya adalah jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 270 KUHAP, yakni ditujukan kepada Jaksa sebagai aparatur pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Pasal 197 ayat (2) menyatakan tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut “mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Putusan pengadilan dikatakan “batal demi hukum” (venrechtswege nietig atau ab initio legally null and void) artinya putusan tersebut sejak semula dianggap tidak pernah ada (never existed). Karena tidak pernah ada, maka putusan demikian itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak membawa akibat hukum, sehingga dengan demikian, putusan tersebut dengan sendirinya tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan oleh Jaksa sebagai eksekutor putusan pengadilan. Mengingat pengertian “putusan batal demi hukum” adalah demikian menurut ilmu hukum, maka mencantumkan “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah keharusan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law atau dwingend recht), sehingga tidak boleh diabaikan oleh majelis hakim dalam memutus perkara pidana pada setiap tingkatan peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung);
- Mahkamah Agung dalam Putusan No 169 K/Pid/1988 tanggal 17 Maret 1988 telah menegaskan bahwa “Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum sebab tidak mencantumkan status Terdakwa sebagaimana dimaksud pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan Pengadilan Tinggi tersebut harus dinyatakan batal demi hukum”. Dengan putusan ini, maka tidak perlu lagi Jaksa meminta fatwa kepada Mahkamah Agung mengenai putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Norma Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah norma yang terang, jelas dan tegas maknanya, sehingga pada norma yang demikian itu tidak diperlukan adanya penafsiran atau fatwa dari pihak manapun juga. KUHAP menganut prinsip yang tegas bahwa “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 3 KUHAP). Norma-norma hukum acara pidana haruslah bersifat tegas dan tidak boleh ditafsir-tafsirkan demi memelihara kepastian hukum, mengingat norma hukum acara pidana berkaitan langsung dengan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati oleh siapapun juga;
- KUHAP secara keseluruhannya telah mengatur batas-batas kewenangan aparatur penegak hukum, mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim, jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan pidana dan petugas lembaga pemasyarakatan. Tugas hakim adalah memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Apabila hakim telah memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka tugas hakim berhenti atau berakhir sampai di batas itu. Tugas selanjutnya ada pada Jaksa, yakni untuk mengeksekusi putusan, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan untuk membina narapidana. Pasal 270 KUHAP mengatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”. Dengan demikian, terhadap putusan yang batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k, maka hakim tidak mempunyai kewenangan apapun untuk memperbaiki putusan tersebut, mengingat sifat hakim yang pasif, yakni menyidangkan perkara yang diajukan kepadanya oleh penuntut umum, atau memeriksa banding dan kasasi apabila dimohon oleh penuntut umum atau terdakwa:
- Oleh karena putusan yang batal demi hukum dalam perkara Parlin Riduansyah adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat Peninjauan Kembali (PK), maka tidak ada upaya hukum apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa, karena PK hanya dapat dilakukan satu kali saja sebagaimana diatur dalam Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Oleh karena itu putusan perkara tersebut telah bersifat final. Namun mengingat bahwa putusan tersebut adalah batal demi hukum karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka Jaksa tidak dapat melaksanakan atau mengeksekusi putusan tersebut. Jika Jaksa memaksakan pelaksanaan putusan yang batal demi hukum tersebut, maka Jaksa telah melakukan tindakan inkonstitusional dan melanggar hak asasi manusia, yakni melanggar Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”;
- Demi kepastian hukum, putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula tidak pernah ada, tidak membawa akibat hukum dan tidak dapat dieksekusi. Karena itu, jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum dapat digolongkan sebagai tindakan sewenang-wenang yang bertentangan dengan asas negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu cirinya adalah mewajibkan setiap penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi asas legalitas. Tindakan Jaksa yang memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum juga melanggar Pasal 17 Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang antara lain menyatakan bahwa setiap orang tanpa diskriminasi berhak untuk memperoleh keadilan sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif”;
- Jika Jaksa memaksakan eksekusi putusan yang batal demi hukum, maka korban eksekusi itu berhak untuk melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, karena Jaksa tersebut telah melanggar Pasal 333 ayat (1) KUHP yang bunyinya “Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”. Jaksa tersebut juga dapat dituntut berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: (1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi” (2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”;
- Untuk mengindari Jaksa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum, yang nyata-nyata merupakan tindak pidana penyalahgunaan jabatan merampas kemerdekaan seseorang, maka Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaaan” sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, berkewajiban untuk memerintahkan kepada semua Jaksa agar tidak melaksanakan putusan yang batal demi hukum. Jika Jaksa Agung tidak melakukannya, dan sebaliknya membenarkannya serta membiarkan Jaksa melakukan eksekusi atas putusan yang batal demi hukum, maka Jaksa Agung dapat dituntut berdasarkan delik penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, atau delik perbantuan sebagaimana diatur dalam yakni menyuruh melakukan, turut serta melakukan atau bersama-sama para Jaksa tersebut melakukan tindak pidana, atau melakukan delik perbantuan, yakni sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, atau sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHP;
- Dewan Perwakilan Rakyat yang menurut Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai hak pengawasan atas jalannya pemerintahan negara, berkewajiban untuk mengawasi Jaksa Agung dan seluruh jajarannya, agar sungguh-sungguh melaksanakan undang-undang selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, dalam hal ini, khususnya terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Jika Jaksa Agung tidak mengindahkan hal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat menggunakan hak interplasi sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) guna mempertanyakan kebijakan Pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan eksekusi putusan batal demi hukum yang terjadi di berbagai daerah, yang nyata-nyata telah melanggar hak asasi warganegara.
Demikianlah pendapat saya. Atas perhatian Yang Terhormat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra
Tembusan:
- Yth. Saudara Ketua Komisi III DPR-RI
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=797
aye bener bener salut ame yim yang ga bosen bosennye melakukan pencerahan dan pembelaan hukum atas dasar konstitusi dan undang undang secare jernih sehingga die kage pandang siape yang dibelanye dan siape yang dilawannye, kage kaye si deny yang lagi tapa kali, belain si bos dan jabatannye membabi bute, padahal salah, tapi enak aje nuduh yim aneh, die bilang belain koruptor, eh sekarang mati kutu, gare gare nabok sipir penjare, kage ade beritanye, sedang yim masya Allah lagi di atas angin, tapi aye pesen, ati ati ame orang yang kage seneng karene mukenye kene tampar terus dalam kasus hukum, awas dan waspade dengan pendendam dan main belakang ye, namun aye doain,semoge allah jage keselamatan yim
Tidak diragukan lagi kemampuan beliau dalam mencermati kasus-kasus hukum. Sekedar emngutip kata Ruhut Sitompul, “Siapa yang gak tau pak Yusril, Pak Yusril ini perpustakaan berjalannya Pak Harto (Presiden Indonesia ke Dua), Perpustakaan berjalannya Habibie (Presiden Indonesia ke 3), Gusdur (Presiden Indonesia ke 4), Ibu Mega dan juga Pak SBY, dia (Denni Indrayana) mau tiru itu Pak Yusril, Gak mungkin Kuat,”
Mantap pak YIM, terima kasih atas pencerahannya. Smg sy jd ketularan pinter, dgn membaca artikel2 Bapak, hehe
Klo si deny tuh bukan Pakar hukm benaran, pendapat hukm Nya ABS…asal Bapk senang, asal ngomong Aja, yg pending sby senang,
Prof. Yusril: lalu jika dalam perkara yang ancaman hukumannya tidak sampai lima tahun dan bukan tindak pidana yang termasuk dalam pasal 21 ayat (4)huruf b KUHAP, apakah ketentuan pasal pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tetap harus di cantumkan?
Ruhut bise aje dia, Bung YIM emang disegani.
top markotop Bang YIM.. inilah cara mengkritisi kondisi hukum kita dengan cara-cara akademis. Beda sama Wamenkumham Deny Indrayana, ngga akademis sekali dan emosional sampe menyerang pribadi seseorang..
Balasan untuk Prof YIM.
MAAF PAK YIM, perdebatan ini bukannya mengenai ada MANFAATNYA dari PERBEDAAN PENDAPAT. Yang saya lihat dari Pendapat Hukum bapak tsb diatas, bukannya memberikan manfaat tetapi menurut saya pendapat bapak tsb malah lebih banyak KERUGIANNYA.
Alasannya yaitu : Seandainya pendapat hukum bapak tsb di telan mentah-mentah oleh DPR dan para TERPIDANA yang telah menjalani masa PIDANA Penjara berdasarkan Putusan yg menurut bapak adalah PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM. Apakah bapak pernah membayangkan akibat hukum dari di PENJARANYA seseorang TERPIDANA berdasarkan putusan yg batal demi hukum ?
Menurut saya dampak yg akan timbul yaitu : Bersiap-siaplah Negara menanggung Tuntutan GANTI RUGI dari para TERPIDANA dan NARAPIDANA. Dan pihak-pihak yang secara MORAL akan dimintai pertanggung jawabannya adalah :
1. MAJELIS HAKIM, selaku PEMUTUS PERKARA
2. JPU selaku PIHAK EKSEKUTOR PUTUSAN HAKIM/PENGADILAN
3. MENTERI HUKUM DAN HAM selaku Pihak YANG MENYEDIAKAN SEL-SEL/PENJARA melalui LAPAS2 buat PARA TERPIDANA
Jika hal tersebut terjadi, kemanakah para TERPIDANA/NARAPIDANA menuntut Hak-haknya tsb ? Jawabannya pasti ke PENGADILAN. Truss Apa bapak bisa menjamin 100 PENGADILAN akan mengabulkan tuntutan mereka tsb ?
Saya yakin jawabannya adalah tidak. Truss kalau tidak ada jaminan tuntutan mereka dikabulkan, lalu apa MANFAATNYA buat mereka para TERPIDANA/NARAPIDANA dengan pendapat HUKUM bapak tsb. Jawabannya tidak ada. Malahan bapak selaku MANTAN MENTERI KEHAKIMAN akan dituntut pertanggung jawaban MORAL atas kinerja bapak selama bapak menjabat MENKEH. Persoalan yg bapak kemukakan bukan baru sekarang dipraktekan di Pengadilan Negeri, tetapi sejak dahulu kala. Intinya jika pendapat bapak tsb benar, maka bapak adalah termasuk salah seorang yg mempunyai ANDIL dalam persoalan tsb, sebab salah satu Unit Pelaksana Tugas (LAPAS/RUTAN) di bawa kepemimpinan bapaklah yg telah MEMENJARAKAN PARA TERPIDANA/NARAPIDANA si semua LAPAS-LAPAS yg tersebar di wilayah RI. Coba saja saat bapak menjabat MENKEH, bapak perintahkan atau buat surat edaran agar semua KALAPAS/KARUTAN tidak menerima EKSEKUSI JPU atas TERPIDANA yg diputus bersalah dengan PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM. Pastilah tidak ada pelanggaran HAM menurut versi bapak diatas. Perlu diingat Menteri KEHAKIMAN juga bisa membuat peraturan tambahan mengenai kekurangan atau ketidak jelasan dalam KUHAP (Banyak Peraturan Menteri Kehakiman yg menjadi acuan bagi Polisi/Jaksa/Hakim dalam menjalankan Hukum Acara Pidana). Bahkan pakar Hukum sekaliber Prof Andi Hamzah pasti sewaktu beliau menjabat sebagai JAKSA pasti pernah menjadi EKSEKUTOR atas putusan Hakim yg tidak ada amar Perintah penahanan. Atau sekaliber YAHYA HARAHAP juga pasti saat beliau menjadi HAKIM AGUNG pernah juga Putus perkara dengan amar yg tidak mencantumkan perintah terdakwa ditahan. Bisa bapak cek arsipnya. Atau kalau ada buku karangan para Profesor yg bapak mintai pendapat diatas mengenai pendapat hukum mereka ttg persoalan amar putusan dimaksud, tolong disampaikan ke saya apa judul bukunya.
SEKALI LAGI HAL INI BUKAN MASALAH APAKAH ADA MANFAAT DARI PERBEDAAN PENDAPAT, TETAPI JANGAN SAMPAI PENDAPAT HUKUM TERSEBUT MENJURUS PADA maaf “PENYESATAN”.
BENARKAH PUTUSAN PEMIDANAAN YANG TIDAK MEMUAT AMAR PENAHANAN BATAL DEMI HUKUM DAN NON EXECUTABLE ?
Oleh: D.Y. Witanto, SH
Sejak munculnya pendapat hukum dari Prof. Yusril Ihza Mahendra tertanggal 15 Mei 2012 yang disampaikan kepada DPR-RI perihal amar penahanan di dalam putusan, sontak menimbulkan kebingungan di kalangan para hakim karena menurut pendapat tersebut putusan yang tidak memuat perintah penahanan sebagaimana di atur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP batal demi hukum (null and void) dan tidak dapat dieksekusi, padahal pemahaman di dalam praktik selama ini tidaklah demikian, karena penahanan merupakan tindakan yang bersifat diskresioner, hal ini dapat kita lihat dari beberapa ketentuan di dalam KUHAP antara lain dalam Pasal 20 ayat (3) yang berbunyi “untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan” dan Pasal 190 huruf a yang berbunyi “selama pemeriksaan di sidang, jika terdakwa tidak ditahan, pengadilan dapat memerintahkan dengan surat penetapannya untuk menahan terdakwa apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan cukup.” Kata “berwenang” dan kata “dapat” dalam dua rumusan pasal diatas memberikan pengertian bahwa tindakan penahanan merupakan bentuk kewenangan (hak) bukan sebagai bentuk kewajiban, bahkan kewenangan itu bersifat limitatif karena hanya dapat diterapkan jika memenuhi syarat objektif sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:
“penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut :
Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
Tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3) Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan staatblaad tahun 1931 nomor 471) Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara tahun 1955 nomor 8) Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara tahun 1976 nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)
Kewenangan diskresioner dalam tindakan penahanan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, bahwa hakim berhak untuk memilih apakah ia akan melakukan penahanan ataukah tidak, namun jika ada kekhawatiran bahwa terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, maka hakim boleh memerintahkan agar terdakwa ditahan, sedangkan hak untuk menilai keadaan tersebut diberikan undang-undang kepada hakim secara subjektif.
Menyangkut penerapan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP memang banyak menimbulkan perdebatan karena menurut ketentuan Pasal 197 ayat (2) jika tidak dipenuhi ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal tersebut, mengakibatkan putusan batal demi hukum, sehingga jika diartikan secara kaku menurut makna tekstual, maka semua putusan yang tidak mencantumkan amar status penahanan sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 ayat (1) huruf k adalah batal demi hukum, termasuk jika hakim tidak berkehendak untuk melakukan penahanan. Namun apakah makna sebenarnya memang demikian? Mari kita telaah lebih lanjut agar kita dapat memahami bahwa sesungguhnya ada konflik norma diantara beberapa ketentuan KUHAP sehingga menimbulkan perbedaan pendapat terhadap penerapan status penahanan di dalam amar putusan.
Telah disebutkan diatas bahwa berdasarkan Pasal 21 ayat (4) jo Pasal 190 huruf a penahanan hanya dapat diterapkan terhadap terdakwa yang disangka melakukan tindak pidana yang diancam pidana 5 (lima) tahun atau lebih atau diancam oleh tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, sehingga selain dari tindak pidana yang disebutkan oleh pasal 21 ayat (4) tersebut, maka terdakwa tidak boleh ditahan, lalu kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k diatas, bahwa jika tidak ditentukan amar penahanan dalam putusan pemidanaan, maka putusan tersebut menjadi batal demi hukum, lalu apakah kemudian semua tidak pidana termasuk yang ancamannya dibawah 5 tahun juga harus tetap ditentukan status penahanannya padahal perkara tersebut tidak pernah ditahan dan memang tidak diperbolehkan untuk ditahan berdasarkan Pasal 21 ayat (4) karena pasal tersebut mengandung kalimat “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam bentuk tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.”
Kerancuan dapat terjadi ketika hakim hendak menjatuhkan pidana percobaan (vide pasal 14 a KUHP), karena jika kita mengikuti pendapat bahwa amar perintah penahanan itu harus ada di dalam setiap putusan pemidanaan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan, lalu bagaimana mungkin pada satu diktum dinyatakan terdakwa tidak perlu menjalani pidana, namun pada diktum yang lain terdakwa diperintahkan untuk ditahan, sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k itu sebenarnya hanya bisa diterapkan terhadap keadaan antara lain: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan kemudian hakim berpendapat perlu dilakukan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan dan tetap akan dikenakan penahanan atau jika sebelumnya terdakwa ditahan kemudian hakim berpendapat perlu untuk dikeluarkan dari tahanan, sedangkan terhadap keadaan: jika sebelumnya terdakwa tidak ditahan dan hakim tetap berpendapat bahwa terdakwa tidak perlu ditahan, maka hal itu sesungguhnya tidak terikat oleh pasal 197 ayat (1) huruf k karena tidak ada keharusan untuk mencantumkan amar “memerintahkan agar terdakwa tetap tidak ditahan” hal tersebut mengandung makna yang homogen dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf i tentang “ketentuan barang bukti” jika dalam suatu perkara penuntut umum tidak pernah mengajukan barang bukti karena tindak pidana tersebut tidak ada barang buktinya, apakah hakim tetap wajib untuk mencantumkan ketentuan barang bukti di dalam amar putusan? Dan jika itu tidak dicantumkan, apakah putusannya menjadi batal demi hukum karena dalam pasal 197 ayat (2) menyebutkan, bahwa jika tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) huruf i putusan menjadi batal demi hukum? Tentunya tidaklah demikian karena ketentuan undang-undang harus memiliki makna yang rasional. Jika tidak ada keadaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf i maupun huruf k, maka kewajiban untuk menerapkan pasal tersebut juga menjadi tidak ada dan putusan itu tidak dapat dinyatakan batal demi hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (3) KUHAP, jelas disebutkan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan “pemeriksaan” sehingga ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k yang mensyaratkan adanya perintah penahanan di dalam putusan sebenarnya mengandung makna yang kontraproduktif karena setelah putusan itu diucapkan, berarti seluruh proses mengadili dalam tingkat pengadilan tersebut telah selesai, sehingga tidak ada lagi kepentingan pemeriksaan atas penahan tersebut dan jika perkara itu diajukan upaya hukum, maka kewenangan melakukan penahanan akan beralih kepada pengadilan yang dimintakan upaya hukum pada saat terdakwa atau penuntut umum menyatakan banding/kasasi.
Pertentangan norma yang paling nyata dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang berbunyi “pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk itu” kata “dapat” dalam ketentuan pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan lain, bahwa perintah penahanan dalam putusan hanya sebatas hak yang boleh dipilih secara bebas oleh hakim, sehingga jika pasal 197 ayat (1) huruf k dimaknai sebagai sebuah kewajiban yang mengandung akibat batal demi hukum, maka pasal tersebut akan bertentangan dengan beberapa pasal KUHAP yang lain, yaitu: Pasal 21 ayat (4), Pasal 190 huruf a dan Pasal 193 ayat (2) huruf a yang kesemuanya merumuskan penahanan itu sebagai kewenangan hakim yang bersifat diskresioner.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka sebenarnya putusan yang batal demi hukum menurut Pasal 197 ayat (1) huruf k jo Pasal 197 ayat (2) itu adalah jika dalam pertimbangan putusan, hakim menghendaki agar terdakwa ditahan, namun ternyata kehendak itu tidak di tuangkan di dalam amar putusan, sehingga antara pertimbangan dengan amar tidak memiliki korelasi, namun jika memang terdakwa sebelumnya tidak ditahan dan hakim berpendapat tetap tidak perlu dilakukan penahanan, maka putusan yang tidak memuat status penahanan itu tidak dapat dikatagorikan sebagai putusan yang batal demi hukum karena status penahanan itu tidak pernah ada dan keadaan tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan jika Pasal 197 ayat (1) huruf k itu kemudian diartikan bahwa perintah penahanan itu harus ada didalam setiap putusan pemidanaan, maka putusan-putusan yang telah dijatuhkan atas tindak pidana yang nilai ancaman hukumannya dibawah 5 tahun atau dalam perkara-perkara pelanggaran semuanya akan batal demi hukum dan non executable, karena terhadap perkara-perkara tersebut hakim dilarang untuk memerintahkan tindakan penahanan.
Jika pendapat tersebut kemudian dijadikan patokan oleh DPR untuk menganggap bahwa putusan pengadilan batal demi hukum, maka hal tersebut sangatlah keliru, mengingat semua kerancuan itu bermula dari adanya konflik norma di dalam KUHAP sendiri, sehingga seharusnya DPR (legislatif) lebih bertanggung jawab atas fenomena yang terjadi selama ini dan jika DPR hendak menyatakan putusan pengadilan tersebut batal demi hukum, maka DPR harus terlebih dahulu menyatakan bahwa KUHAP juga batal demi hukum, karena putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan status penahanan dalam hal terdakwa tidak ditahan sesungguhnya didasarkan pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP, jadi jika saat ini terjadi kerancuan di dalam penerapan KUHAP lalu siapakah yang salah, hakimkah atau pembentuk undang-undangkah? Wallohualam…
Ket: tulisan ini hanya merupakan telaahan bebas terhadap fenomena hukum yang terjadi dan tidak ditujukan sebagai analisis terhadap sebuah kasus hukum tertentu.
Penulis adalah pemerhati hukum
Prof. Yus! lebih baik gak terpakai orang-orang yang bejat karena hidup gak lama cuman sebentar; kalau M. Natsir (alm)sebagai Founding Father NKRI gak terkenal karena sengaja dibungkam oleh orientalis sekarang saatnya Prof. Yus untuk membukakan tabir gelap tersebut, supaya pemuda Indonesia tahu yang sebenarnya bagaimana Muslim mengamalkan Islam yang sebenarnya dalam NKRI. tegakan hukum dengan adil NKRI pasti menjadi negara yang kaya.
Waktu saya menjadi Menkeh HAM. masalah putusan batal demi hukum tidak ada diajukan kepada saya. Persoalan itu timbul sekarang. Saya tidak tahu Andi Hamzah pernah mengeksekusi putusan batal demi hukum atau tidak, sebagaimana saya juga tidak tahu pasti apakah Yahya Harahap pernah buat putusan yang tidak memenuhi Pasal 197 KUHAP atau tidak. Saya minta pendapat kepada para gurubesar di atas, dan mereka memberikan pendapat tertulis, bukan buku (YIM)