|

KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Tidaklah mudah bagi saya untuk sepenuhnya bersikap netral dan obyektif membahas kebijakan Orde Baru terhadap Masyumi dan Islam, sebagaimana yang diminta oleh Republika, apalagi waktu yang Masjoemidiberikan untuk menulisnya sangatlah terbatas, kurang dari sehari. Karena itu, saya menuliskan artikel ini hanya berdasarkan ingatan saya belaka.Saya katakan sukar untuk bersikap netral dan obyektif karena sedikit-banyaknya saya terlibat dalam episode sejarah itu, baik langsung maupun tidak langsung. Ketika saya berumur hampir lima tahun, saya menyaksikan ayah saya dan sejumlah tokoh Masyumi lokal, menurunkan papan nama partai itu, karena mereka dipaksa membubarkan diri oleh Presiden Soekarno, pada akhir tahun 1960. Soekarno menerbitkan Keppres Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Sebab itulah Ketua Umum Masyumi Prawoto Mangkusasmito dan Sekjennya Muhammad Yunan Nasution, mengeluarkan pernyataan politik membubarkan Masyumi, mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Apa yang ada di kepala orang Masyumi waktu itu ialah Soekarno mulai menjadi diktator dan negara makin bergerak ke arah kiri. Dalam perhitungan mereka, tanpa Masyumi, maka kekuatan PKI akan semakin besar dan sukar dibendung. PNI sebagai representasi kelompok nasionalis, telah dintrik dan diintervensi oleh kekuatan kiri melalui kelompok Ali Sastroamidjojo dan Surachman. Kendatipun memiliki basis massa yang besar, elit politisi NU dibawah pimpinan Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri, takkan kuat menghadapi Soekarno dan PKI sendirian. Apalagi, makin nampak kecenderungan akomodatif NU untuk menerima posisi representasi kelompok agama dalam poros Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis), suatu hal yang ditentang keras oleh Masyumi. Tokoh-tokoh Masyumi memang dihadapkan pada dilema dengan Keppres 200/1960 itu. Menolak melaksanakan pembubaran diri, berarti secara hukum, partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Karena itu, mereka memilih alternatif yang juga tidak menyenangkan yakni membubarkan diri, dengan harapan suatu ketika partai itu akan hidup kembali, jika situasi politik telah berubah. Prawoto sendiri mengatakan, Keppres 200/1960 itu ibarat vonis mati dengan hukuman gantung, sementara eksekusinya dilakukan oleh si terhukum itu sendiri. Memang terasa menyakitkan.

Meskipun Masyumi telah membubarkan diri, dan tokoh-tokohnya yang terlibat dalam PRRI telah memenuhi panggilan amnesti umum dan mereka menyerah, namun perlakuan terhadap mereka tetap saja jauh dari hukum dan keadilan. Tokoh-tokoh Masyumi yang menyerah itu, Natsir, Sjafruddin Prawiranegara dan Boerhanoeddin Harahap ditangkapi. Bahkan mereka yang tidak terlibat PRRI seperti Prawoto, Mohamad Roem, Yunan Nasution, Isa Anshary, Kasman Singodimedjo, Buya Hamka dan yang lain, juga ditangkapi tanpa alasan yang jelas. Bertahun-tahun mereka mendekam dalam tahanan di Jalan Keagungan, Jakarta, tanpa proses hukum. Ini terang suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Sukarno. Tokoh utama PSI, Sutan Sjahrir bahkan mendekam dalam penjara di sebuah pulau di lautan Hindia, di sebelah selatan daerah Banten. Dalam kondisi tahanan yang buruk, Sjahrir sakit, sampai akhirnya wafat walau mendapat perawatan di Swiss. Tokoh PSI yang lain, Soebadio Sastrosatomo dan Hamid Algadri juga ditahan. Perlakuan terhadap anak-anak dan keluarga orang Masyumi di masa itu hampir sama saja dengan perlakuan keluarga PKI di masa Orde Baru. Ketika itu PKI sedang jaya. Ketika mereka sedang jaya, mereka juga membantai orang-orang Masyumi di Madiun tahun 1948, dan menculik dan menghilangkan paksa orang-orang Masyumi di Jawa Barat dan tempat-tempat lain. Hendaknya sejarah jangan melupakan semua peristiwa ini. Di era Reformasi sekarang, banyak aktivis HAM hanya berbicara tentang orang-orang PKI pasca G 30 S yang menjadi korban pembantaian Orde Baru, tetapi mereka melupakan orang-orang Masyumi yang menjadi korban pembantaian dan penghilangan paksa PKI, ketika mereka masih jaya-jayanya.

Sebab itulah, ketika Orde Lama runtuh pasca Gerakan 30 September 1965, ada secercah harapan di kalangan keluarga besar Masyumi agar mereka hidup dan berkiprah kembali. Presiden Soekarno yang dianggap berbuat sewenang-wenang kepada Masyumi dengan dukungan PKI, dicabut kekuasaannya oleh MPRS pada tahun 1967. Sama seperti Soekarno yang membubarkan Masyumi, Soeharto juga membubarkan PKI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPRS. MPRS bahkan mengamanatkan kepada Pejabat Presiden Soeharto untuk mengambil langkah hukum yang tegas kepada mantan Presiden Soekarno. Namun amanat MPRS itu tak pernah dilaksanakan Soeharto sampai akhir hayat Bung Karno dengan alasan “mikul dhuwur mendem jero”. Orde Baru di bawah kepemimpinan Jendral Soeharto mendapat dukungan luas dari umat Islam, dan kedua sayap politik Islam, baik kubu eks Masyumi maupun kubu NU. Dukungan mereka berikan karena sikap tegas Soeharto kepada Komunisme dan langkah-langkah nyatanya untuk memperbaiki ekonomi yang ketika itu sangat morat-marit. Di akhir kekuasaan Soekarno, rakyat hidup mulai kelaparan dan compang-camping akibat inflasi yang tak terkendali. Tiap hari rakyat hanya disuguhi pidato-pidato dan slogan-slogan berapi-api untuk mengobarkan semangat “Revolusi yang belum selesai” dan kegiatan menentang Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), tanpa upaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki nasib rakyat yang sudah lama menderita.

1 2 3 4

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=132

Posted by on Jan 31 2008. Filed under Politik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

83 Comments for “KEBIJAKAN ORDE BARU, MASYUMI DAN ISLAM”

  1. Terima kasih Pak YIM
    Saya dari dulu memang sangat membutuhkan informasi ini.

  2. oh ya Pak, sepertinya ada yang harus dikoreksi sedikit.
    Pada paragraf ini,

    Namun perubahan kebijakan Orde Baru terhadap Islam terjadi pada saat-saat akhir menjelang keruntuhannya. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1977, meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian nasional. Keruntuhan ekonomi, dengan sendirinya akan berimbas pada keruntuhan kekuatan politik yang memerintah. Dalam situasi itu, menjelang Pemilu 1977, Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya “lengser keprabon, mdeg pandito”, yakni mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. …..

    Bukankah seharusnya Tahun 1997 ?

    Terima kasih. Anda benar. Sudah saya perbaiki.

  3. terimakasih Pak YIM, sedikitnya mata saya terbukakan untuk memahami perjalanan sejarah negeri kita lebih dalam

  4. @Yth: YIM

    @Apakah yang anda maksudkan itu krisis moneter tahun 1997? Yang tertulis tahun 1977? Bahkan sampai tiga kali…

    Terima kasih, wassalam…

    Sudah saya perbaiki, mohon maaf atas kesalahan ini (YIM)

  5. Ass Wr Wb
    Bang Yusril, apakah yang dimaksud anak-anak orang masyumi yang dimaksud abang itu pasti anak HMI atau PII ? banyakkah munurt abang anak NU yang masyumi seperti halnya nurcholish madjid, bisa disebyt bang yang abang ke tahui ?

  6. Saya juga ikutan terima kasih atas penjelasan Pak YIM yang berharga,

    Semenjak saya belajar sejarah dari SD(1984) sampai SMA kemudian kuliah (dalam mata kuliah Pancasila) saya belum menemukan isi materi seperti apa yang di tulis Pak YIM ini, mungkin waktu itu penulis buku sejarah belum berani menulis seperti tulisan pak YIM ini,..
    berarti selama ini saya merasa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita terutama pelajaran sejarah (PSPB, SNI, Penataran P4, dan silabus Pancasila) ada kebohongan publik buat anak didik kita..

    Bagaimana Pak YIM menyikapinya ?

    terima kasih sebelumnya !

    Tanggapan saya:

    Ada penulisan sejarah yang bersifat resmi oleh Pemerintah untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Ada pula yang “tidak resmi” yakni hasil riset dan penulisan seorang sejarawan atau peminat sejarah. Penulisan sejarah yang bersifat resmi memang seringkali mengandung bias yang besar. Sejarah tentu bukan sekedar catatan tentang tahun, peristiwa dan tokoh-tokoh, tetapi juga penafsiran atas suatu peristiwa. Sejarah resmi adalah pemahaman kontemporer terhadap masa lalu, yang sering dipengaruhi oleh pandangan politik, baik untuk legitimasi sebuah rezim, maupun untuk tujuan yang lebih besar yakni bagaimana sebuah bangsa memahami masa lalunya. Sebab itulah setiap kali Pemerintah Jepang menulis sejarah resmi khusus mengenai Perang Dunia II, selalu diprotes oleh China dan Korea. Pemerintah Jepang dituduh ingin menghapus peristiwa buruk yang terjadi di masa lalu, yang menyebabkan pengalaman pahit bagi China, Korea dan negara-negara Asia yang lain.

    Dalam buku sejarah yang ditulis di zaman Belanda misalnya, Diponegoro, Teuku Umar dll adalah pengkhianat dan penjahat. Tetapi di masa merdeka, kita menyebut beliau-beliau itu sebagai pahlawan dan pejuang dan kita menghormatinya. Buku sejarah resmi boleh saja dibaca, namun kita hendaknya tetap kritis, dengan membaca juga hasil-hasil penulisan sejarah yang lain. Penulisan sejarah adalah proses yang tak pernah selesai. Dari waktu ke waktu akan muncul tulisan baru membahas topik atau episode yang sama dari suatu peristiwa. Mungkin mereka menemukan data baru yang belum didapat sebelumnya. Atau mungkin data tetap sama, tetapi ditulis dengan kerangka historiografi dan kerangka teori yang berbeda. Hal ini lumrah saja.

    Perihal yang sama saya amati terjadi juga di Philipina. Orang Philipina umumnya lebih mengenal Magellan daripada Lapu-Lapu, Sultan Kudarat atau Raja-Sulaiman. Magellan adalah penakluk Spanyol dan penyebar Agama Katolik di Philipina. Lapu-Lapu adalah pemimpin Muslim dari Visaya, Sultan Kudarat adalah Sultan di Mindanao, demikian pula Raja Sulaiman adalah Raja Manila yang beragama Islam. Mereka melawan penaklukan Spanyol dan mempertahankan Agama Islam. Lalu-Lapu kalah, demikian pula Raja Sulaiman dan Sultan Kudarat. Istana Raja Sulaiman dengan mesjidnya dihancurkan. Di atas lahannya berdiri Benteng Intramuros dan Katedral Manila, yang menjadi cikal-bakal kota Manila sekarang ini.

    Orang Philipina selalu bingung memahami sejarah, karena Spanyol selalu mengatakan Lapu-Lapu, Sultan Kudarat dan Raja Sulaiman adalah penjahat. Cukup banyak orang Philipina keturunan Spanyol dan mayoritas penduduknya beragama Katolik. Baru sekarang pandangan itu sedikit berubah. Di Manila Bai ada patung besar Raja Sulaiman, dan di prasastinya disebut dia adalah raja Muslim dan “the defender of souvereignty of the Philippine”. Patung Sultan Kudarat, raja Muslim dari Mindanao, kini dibangun di Makati. Meskipun telah terjadi perubahan pandangan terhadap masa lalu, namun kebanyakan orang Philipina tetap bingung memandang sejarah masa lalunya. Mereka mayoritas Katolik berkat penaklukan Spanyol, sementara yang melawan penaklukan Spanyol justru adalah orang-orang Islam. Apakah orang-orang Islam itu musuh atau pahlawan? (YIM)

  7. fyuh, panjang juga ceritanya.
    makasih pak, jadi tau cerita pada masa2 itu :D

    tetap-semangat™

  8. Terima kasih Pak YIM.

    Jadi lebih jelas runtutan sejarah.
    Oh.. ternyata gitu to..

  9. Pak Yusril YTH.

    Menarik sekali tulisan Pak Yusril mengenai perkembangan politik dan kultural Islam semasa Soekarno dan Seharto.
    Islam politik secara garis besarnya diwakili oleh Masyumi dan NU. Masyumi dengan sikap legalitas formalnya dan NU terkenal dengan politik akomodatip.Hasilnya seperti yang terlihat adalah kalau banyak ummat Islam yang berjasa dalam mendirikan negara akhirnya Masyumi dibubarkan pada zaman Soekarno. Kalau pada awal pemerintahan orde baru , Soeharto menjadi kuat karena antara dukungan dari sayap politik Islam tetapi pada akhirnya ditengah perjalan tersingkir dan dari segi ideologi partai/ormasnya harus berazas tunggal. Secara politik pernah terpinggirkan pada saat posisi konci pemerintahan dibawah non muslim.Dilain fihak pada saat Pak Natsir berkiprah dalam Dewan Dakwah semangat keagaam makin berkembang bahkan islam abangan yang tadinya alergi mendengar nama Pak Natsir dan Masyumi dapat menerima kegiatan dakwah yang dilaksanakan oleh Dewan Dakwah. Selain itu dengan ISLAM KULTURALyang dijalan pada bagian akhir pemerintahan Soeharto ternyata membawa hasil yang baik terbukti denganberkembangnya pendidikan, lembaga ekonomi dan fasilitas peribadatan lainnya dan yang sangat menonjol adalah”hijrah”nya abangan menjadi santri dan simbol-2 Islam bukan merupakan suatu alergi bahkan menjadi kebangaan. Melihat hal yang sedemikian itu-terlepas benar salahnya pendapat tersebut – dalam kondisi soasial politik yang berbeda pada zaman orde lama dan orde baru apa yang perlu dilaksanakan dan melalui sarana perjuangan apa saja yang lebih efektif dilaksanakan oleh ummat Islam dewasa ini. Apakah melalui jalur politik atau melalui jalur dakwah.Memang kedua duanya harus dijalankan,. tetapi mana yang lebih efektif. Kalau melalui jalur dakwah /kultural yang ditekankan berarti benar apa yang dikatakan oleh Nurcholis Majid Islam Yes Partai Islam no, kalau melalui jalur politik hasil pada masa lampau sudah terlihat.Mungkin Bapak dapat dapat menjelaskan dalam tulisan tersendiri yang Insya Allah dapat menghilangkan kebimbangan saya.terima kasih.

  10. Pertama, hormat saya buat almarhum Pak Natsir. Beliau merupakan inspirasi bagi saya.

    Islam dan politik memang tidak dapat dipisahkan, karena itu satu. Sebagaimana yang Rasulullah SAW contohkan dalam bentuk kepemimpinannya di Madinah.

    Bang Yusril, dengan kondisi saat ini dimana segala “serba bebas” banyak aliran kepercayaan menjelma jadi sesuatu yang meresahkan umat, kemudian juga terkait dengan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam atau berbau islam dan sedikit banyak menuai kebingungan di masyarakat awam. Bagaimana pendapat abang? sepertinya hal ini juga jadi pertanyaan pada komentar #9

    Ada episode yang belum terungkap, sebenarnya kesadaran Soeharto dimulai pada akhir ’70-an. Ketika beberapa aktivis islam dari Bandung di panggil ke Istana. Salah satu dari peserta adalah saudara dekat saya, sehingga saya dapat menyatakan informasi ini valid.

    Hasil dari pertemuan itu, Soeharto sempat menyampaikan kesediaannya untuk mewujudkan aspirasi teman-teman kala itu untuk melegalkan pemakaian jilbab di sekolah-sekolah umum/ negeri. Namun, beliau menyatakan bahwa saat itu tidak bisa serta merta, insya Allah 10 tahun ke depan ujarnya. alasannya karena “orang-orang dekat” Soeharto tidak ingin itu terjadi. Dan beliau mohon maklum. Pertemuan ini bersifat rahasia, semoga penyampaian ini dapat setidaknya menambahkan bahwa proses kesadaran Soeharto itu dimulai dari waktu yang lama. Semoga Allah Yang Maha Tahu menjadikan ini sebagai amal shalihnya.

    Begitu saja Bang, terakhir mengenai perpecahan umat yang dikendalai oleh perbedaan partai politik sepertinya menarik untuk dibahas. Bagaimana pandangan abang menyikapi hal ini, karena saya kira masyarakat kita masih belum siap untuk bisa memahami secara bijaksana bahwa Islam dan politik, serta persatuan umat adalah sesuatu yang satu dan utuh.

    Hormat saya,
    -bangzenk-

  11. Bang Yim, cerita tentang Masyumi menarik, namun saya susah baca. Hurufnya terlalu besar, tolong diperkecil bang.
    Thanks

    Saya mohon maaf, saya kurang memahami teknis perkomputeran. Di laptop saya, saya menggunakan huruf ukuran 12 point. Kalau saya lihat menggunakan Firefox atau Explorer, hasilnya sama, tidak nampak besar seperti nampak di komputer anda. Mungkin Vavai bisa bantu menjelaskan mengapa hal itu terjadi. (YIM)

  12. Bergidik, gemetar, haru-biru membaca catatan sejarah yang ditulis YIM, seorang engineer negara. Saya berharapa Pak YIM betul-betul menjadi presiden RI suatu saat. Karena bila tidak, yang rugi bukan YIM sendiri, saya kira. Melainkan bangsa ini dan jutaan rakyat muslim yang mencintai agamanya.

  13. Subhanallah. Artikel yang dipaparkan oleh Profesor menutup Bulan Pertama Tahun 2008 sungguh fantastis.
    Saya termasuk yang intens mengikuti sekelumit perjalanan politik Islam di Indonesia, tapi uraian yang relatif komprehensif dan cenderung BERANI baru kali ini. Keterlibatan dan permainan kelompok-kelompok yang selama ini memang fobia terhadap ISlam semakin jelas.
    Semoga akan lebih banyak lagi info tentang ISlam dan perkembangannya di tanah air umat ISlam ini. amin. Tapi terlepas dari hal di atas, Profesor, ada yang sangat-sangat mengganggu saya, bagian kalimat “Saya merasa perlu berkonsultasi dengan Anwar Harjono sebelum menerima tawaran itu, dan beliau mengatakan terima saja dengan mengucapkan Bismillah.” Saya akin ada dialog yang menarik antara Profesor dengan Pak Anwar tentang tawaran itu. Bila berkenan, bolehlah berbagi cerita.
    Bagian kedua, penggalan “Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.” Mau berbagi cerita yang lebih utuh untuk bagain ini, Profesor?

    Wassalam.

  14. Bang Yusril
    Yang Terhormat

    Assslamu’alaikum
    Salam Kenal (dari rakyat biasa)

    Dari uraian panjang itu, bisakah saya simpulkan [sekaligus sebagai pertanyaan] berikut:

    1) Rezim Soekarno dan Soeharto (setidaknya di awal sampai pertengahan masanya) sangat anti-Islam idologis. Benarkah demikian?
    2) Melihat keberhasilan dakwah eks aktivis Masyumi [setelah selalu digenjet rezim] di dunia dakwah, maka kami jadi berpikir apakah masih tetap relevan berjuang di dunia politik bagi aktivis Islam kini?
    3) Jika perjalanan Soeharto mengalami perubahan dari sikap anti Islam [ideologis], kemudian menjadi akomodatif dan bahkan terlihat Soeharto mulai “islamis” [termasuk oleh pengaruh Bapak Yusril], tapi mengapa pada periode akhirnya, masih tetap saja berbuat KKN [mengangkat Tutut dan Bob Hasan sebagai menteri, misalnya]. Apakah itu sebagai bagian dari proses perubahan ke arah “islamis” itu?

    Salam

  15. @atas,…

    bantu jawab nomer 3 yah..,,

    Pengangkatan Mbak Tutut dan Bob Hasan, tuh semata-mata karena pak harto dah tua.., murni kesalahan strategi, g ada hubungannya sama pak harto mulai “islamis”…
    [..
    Presiden Soeharto telah menyinggung kemungkinan dirinya “lengser keprabon, madeg pandito”, yakni mengundurkan diri dan hidup menjadi orang bijak. Namun para pendukung setianya tetap menginginkan dia bertahan. Presiden Soeharto yang sudah terlalu lama berkuasa, mulai meragukan kemampuan pemimpin penerus, apakah mampu melanjutkan segala kebijakan yang telah dilakukannya. Sementara para pendukung setia, juga menggantungkan nasib dan posisinya pada kepemimpinannya. Ketika dipilih kembali tahun 1997, Soeharto mulai salah melangkah. Dia mengangkat Siti Hardiyanti Indra Rukmana putrinya sendiri dan Bob Hasan sebagai menteri. Langkah ini menuai kritik dan menunjukkan tindakan yang mulai kurang bijaksana. Dari seorang jendral yang cerdas dan ahli strategi, di masa tua Soeharto mulai kurang hati-hati. Bagaimanapun juga, usia akan menggerogoti manusia.
    ..]

  16. Pak Yusril, saya ada beberapa pertanyaan. Jika dianggap tidak relevan dengan isi blog, jawabannya bisa ditujukan ke email pribadi saya.

    1. Apakah partai politik berlandaskan agama (Islam) masih relevan pada saat ini? Pertanyaan ini saya landaskan pada hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2006 yang menunjukkan 64.3% publik lebih memilih hukum nasional yang menjamin keragaman, bukan hukum Islam.

    http://www.lsi.or.id/liputan/307/survei-lsi-parpol-islam-terpuruk

    2. Partai Bintang Bulan (PBB) saya anggap sebagai penerus Masyumi. Islam seperti apakah yang dicita-citakan oleh PBB dalam konteks keindonesiaan? Apakah seperti Islam Hadhari-nya Abdullah Badawi? Atau Wahabi-nya Arab Saudi? Atau khilafah seperti cita-cita Hizbut Tahrir?

    Terima kasih.

    Bimo

    Tentang survey LSI itu sendiri, responden bisa bingung kalau pertanyaannya bersifat tentative apakah “hukum nasional yang menjamin keragaman “atau “hukum Islam” (yang tidak menjamin keragaman?). Saya sarankan anda membaca dulu tulisan saya tentang transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional di blog ini, agar dapat memahami hukum Islam dan hukum nasional itu. Untuk memahami “ideologi” PBB, silahkan anda membaca “Tafsir Asas” Partai Bulan Bintang. Silahkan menghubungi DPP PBB atau website PBB. (YIM)

  17. Ass Wr Wbr
    Abang YIM,, Salam sejahtera. Terkait hal tsbt diats jadi keberadaan partai bulan bintang yang merupakan kekuatan politik baru merupakan penjelmaan dari Masyumi.namun kenapa tak disebut partai masyumi atau partai islam? karena tampak jelas ada ikatan emosional dari pendukung partai modernis masyumi dimasa lalu karena dari literatur yang saya baca dimasa lalu masyumi merupakan partai yang sangat domokratis. terbuka dan teguh memegang ketentuan hukum yg berlaku. contohnya ktka kbinet natsir jatuh, soekarno menanyakan dgn partai2 tentang mana kbinet yg disuka. Kasimo , tambunan ,menjawab kbinet natsir yg paling oke ktimbang kbnet PNI. Ini karena orng masyumi pegang teguh etika politik dan sungguh bersikap adil thdp gol lain.
    Kini tmpaknya kita semua mesti bekerja keras agar Islam betul2 RAHMATAN LIL’ALAMIN. Tampaknya harapan kita BANG, masih panjang., Amien.
    Wass Wb Wbr

  18. Assalamu’alaikum Wr Wb

    Tulisan ini cukup kontroversial saya kira dan mungkin jika orba masih berkuasa hingga sekarang, Bapak bisa jadi menginap di “hotel rodeo” untuk beberapa waktu dengan tuduhan subversif karena mengungkapkan pendapat yang tidak menyenangkan penguasa dan kroni-kroninya hehe..

    Namun saya nilai ada benarnya juga. Kekuatan orba ketika itu sangatlah besar. Kekuatan dalam arti absolutly legitimation atau kekuasaan mutlak. Saya yang dilahirkan tahun 1981 mungkin tidak terlalu bisa menilai bagaimana orba “menggerogoti” (saya tidak menemukan kata yang tepat – maaf) pola pikir dan kehidupan masyarakat, selain mendengarkan dari pelaku sejarah dan membaca buku yang juga banyak didominasi oleh oleh sejarah orba. Tahun 1998, disaat rezim orba runtuh dengan ditandai lengsernya Bapak Suharto (alm), saya masih di bangku SMA. Sehingga praktis, pemahaman tentang orba tidak menimbulkan kesan yang mendalam, selain bahwa saya dan juga mungkin teman-teman saya waktu itu sangat hafal dengan nama-nama menterinya haha. Ketika saya kuliah, wacana orba juga masih sangat “menarik” untuk didiskusikan di kelas-kelas, di forum-forum, dan di arena-arena ilmiah lainnya. Orba kenyataannya memiliki daya tarik yang sangat kuat atas “perjalanan memerintahnya” selama ini.

    Sejalan dengan pikiran Bapak, saya menilai legitimasi orba pada saat itu berakar pada dua pondasi utama dan dikombinasikan secara sempurna yakni rekayasa politik dan penguatan ekonomi yang sistematis. Rekayasa politik ditandai dengan hadirnya kekuatan politik tandingan yang sebetulnya bukanlah bagiannya untuk berperan, yakni ABRI yang kemudian terangkum dalam dwi fungsi ABRI. Saya melihat orba sangat efektif dalam mendalangi ABRI memainkan perannya dalam politik dengan memberikan ruang yang sangat besar bagi mereka untuk berkreasi. Saya kira kekuatan terbesar orba justru terletak pada pelembagaan ABRI yang oleh Suharto pada waktu itu menempatkan “orang-orangnya” di posisi-posisi strategis di arena politik dan ekonomi, mulai dari tingkat atas hingga ke bawah. Dan yang paling penting adalah semua komando terkonsentrasi pada satu orang, yakni Suharto. Sebagai seorang pemimpin tertinggi ABRI, baik dari sisi politik maupun militer, saya kira tak heran apabila kemudian Suharto mampu mengintegrasikan powernya ke dalam lembaga tersebut.

    Saya menduga ada suatu grand desain yang dibuat orba untuk kemudian memberikan alasan kenapa ABRI perlu untuk masuk dalam ruang politik. Dugaan saya dan sejauh yang saya pelajari selama ini adalah orba menciptakan konflik-konflik horizontal antara masyarakat satu vis a vis dengan masyarakat lainnya. Konflik ini sengaja dibuat untuk memberi kesan bahwa orang-orang politik pada dasarnya tidak mampu menyelesaikan ini dengan baik. Karena itulah kemudian diperlukan kekuatan lain untuk mengatasinya. Disinilah kemudian ABRI berperan untuk “mendamaikan”.

    Analisa saya lainnya berkenaan dengan ini adalah adanya konflik perebutan sumber daya. Mungkin pada awalnya disebabkan dorongan lembaga untuk mandiri dalam hal pembiayaan, namun lama kelamaan karena dorongan kebutuhan yang semakin tinggi, maka monopoli sumber daya menjadi jalan satu-satunya. Berlindung di bawah UUD Pasal 33 ayat 1 yang menyatakan segala sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, maka dengan berasumsi bahwa ABRI merupakan komponen negara, orba kemudian menafsirkan secara sepihak bahwa ABRI boleh mendominasi sumber daya tersebut. Saya pikir, penetapan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) pada waktu itu serta konflik berkepanjangan di Papua lebih disebabkan karena adanya perebutan sumber daya antara orba dan ABRI dengan penduduk di daerah tersebut. Meski mampu menguasai, namun tetap tidak memberikan keadilan yang merata. (untuk ini agaknya perlu kita telaah dan diskusikan lagi pak).

    Kekuatan kedua dari rekayasa politik orba adalah menguatkan legitimasi Golkar sebagai instrumen politik. Golkar merupakan “anak emas” orba yang menyokong eksistensi orba dalam setiap kebijakan-kebijakannya. Sebagai lembaga bentukan orba, Golkar juga diberikan kewenangan yang sangat besar dalam memberdayakan sumber daya yang dimilikinya untuk menyebarkan pengaruh sebanyak mungkin ke masyarakat. Saya masih ingat ketika ayah saya masih bekerja di PT Timah, sempat beberapa kali ditunda pemberian gajinya hanya gara-gara tidak taat pada atasan untuk mencoblos Golkar. Setahu saya seumur hidup ayah saya hingga sekarang tidak pernah mencoblos Golkar. Beliau adalah seorang Islamis yang tidak politis. Tentu Pak Yusril juga masih ingat kalau dulu sangat dikenal dengan istilah jalan Golkar dan jalan yang bukan Golkar. Kalau jalannya beraspal mulus dan bagus itu Golkar yang buat. Namun, kalau jalannya jelek itu artinya Golkar enggan membuatkannya menjadi bagus hahaha.

    Pak Yusril tentu masih ingat juga dulu, mulai dari Lalang Atas (Dusun Durian) hingga Lalang Bawah (Sekep) ketika Pemilu akan berlangsung, mulai jalan-jalan diperbagus. Namun anehnya Pak, justru kampung Ujung yang mengarah ke Pantai Lalang, jalan tetap dibiarkan jelek. Saya lupa-lupa ingat ketika itu. Tetapi agaknya Golkar memang sedikit mengalami kesusahan “menyadarkan” warga disitu. Warganya pada memilih PDI ketimbang Golkar hahaha (mudah-mudahan saya tidak salah. Kalau salah tolong dikoreksi -trims).

    Hingga saat ini, Golkar tetap tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan rezim orba. Meski dengan (katanya) konsep baru, namun menurut saya dosa-dosa politik yang dibuat orba tidak bisa begitu saja dilepaskan dari Golkar. Golkar sedikit banyak telah menciptakan konstelasi politik negara yang tidak berimbang dengan menitikberatkan pada superioritas dan dominasi kekuasaan di satu sisi dan mengejentawahkan kebebasan memilih masyarakat. Cara-cara yang dipakaipun saya kira “kotor”, seperti dengan intimidasi dan lain sebagainya. Jika sekarang kenyataannya Golkar masih mendominasi pilihan masyarakat, hal ini tak lain tak bukan dipandang sebagai warisan masa lalu yang diakui memang masih sangat kuat. Saya teringat dengan omongan dosen saya, Prof. Riswandha Himawan (alm) yang mengatakan bahwa Golkar bagaimanapun tidak akan pernah bisa dibubarkan sebab Golkar memiliki pondasi politik yang sudah mengakar kuat. Hal ini ditambah dengan aturan dalam konstitusi yang ada yang hanya mengatur sistem serta proses pemilu dan kepartaian. Dengan kata lain Golkar tetaplah partai besar.

    Kekuatan ketiga dari rekayasa politik orba adalah the behind man yakni orang-orang yang baik secara politis, ideologis dan emosional sangat dekat dengan Suharto. Orang-orang yang berada dibelakang Suharto ini tidak bisa kita pungkiri memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membuat dan menentukan arah dari kebijakan orba pada waktu itu. Benar apa yang diutarakan Pak Yusril bahwa CSIS merupakan lembaga bentukan Orba yang berfungsi sebagai think tanknya. CSIS sejauh yang saya tahu adalah lembaga pemikir, kumpulan orang-orang “pintar”, yang berperan memberikan pertimbangan kepada Suharto untuk menentukan arah kebijakan. Orang-orang seperti Ali Moertopo, Benny Moerdani dan Soedomo merupakan orang-orang yang selama ini dikenal berada dalam “lingkaran dalam” Suharto. Mereka, seperti kata Pak Yusril, merupakan arsitek ekonomi dan politik orba.

    Kekuatan keempat dari rekayasa politik orba saya kira adalah politisasi Pancasila sebagai asas tunggal dalam masyarakat. Pancasila diterjemahkan sedemikian rupa dan kemudian diindoktrinkan sebagai paham atau ajaran yang posisinya bahkan mengalahkan kitab suci agama-agama. Pelembagaan Pancasila yang paling penting dan saya kira sangat efektif adalah melalui penataran P4 atau yang setara dengan itu semua. Saya merupakan orang yang dilahirkan di tengah-tengah puncak kekuasaan orba. Sehingga tidak mampu mengelak ketika indoktrinasi Pancasila sebagai asas negara ini ditanamkan. Tentunya sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Yusril, masyarakat politik kemudian harus menghadapi dilematika ketika dihadapkan pada sesuatu yang tidak ada alternatif pilihan lain kecuali menerima Pancasila sebagai asas kelompok atau lembaga. Uniformisasi dengan Pancasila sebagai landasan utama. Tidak ada tawar menawar dan mau tidak mau harus menerima.

    Akar kedua dari langgengnya rezim orba adalah penguatan ekonomi yang sistematis. Saya mungkin orang yang hingga saat ini belum melihat secara jelas atau memperoleh informasi yang menyatakan bahwa orba juga melakukan penguatan politik, dalam arti mengintegrasikan instrumen politik secara wajar dan benar. Saya pikir selama ini orba terus menerus melakukan penguatan ekonomi dan mengarahkan instrumen politik kepada penguatan ekonomi tersebut. Tentunya kita bisa melihat sama-sama bahkan hingga Suharto meninggal beberapa waktu lalu, ulasan tentang pembangunan ekonomi selalu menjadi headline pemberitaan. Penguatan ekonomi yang sistematis tentunya dapat dilihat pada tahapan-tapahan rencana program pemerintah yang termaktub dalam Repelita yang terlihat sangat matang.

    Orba kemudian juga membuat jargon yang mengeliminasi konsentrasi masyarakat pada hak-hak politik mereka. Orba menanamkan kondisi bahwa kepentingan perut lebih utama daripada sibuk mengurusi dan memikirkan politik. Sehingga tak heran bila sekarang masih banyak orang-orang yang apatis terhadap politik. Bukan begitu Pak? (Mungkin terlalu menyederhanakan kondisinya ya pak ya – maaf :-)

    Diakui memang, sebagai ahli strategi, Suharto benar-benar menjadikan rezim orba sebagai the system dengan dirinya sebagai rajanya. Disini saya tidak mau menghujat personal, sebab topik utamanya adalah tentang orba baru. Saya ingin tetap berpendapat secara objektif sebagai tanggapan dari artikel Pak Yusril. Mungkin juga cukup relevan dengan tema ini pak yakni bapak mencoba menceritakan situasi dan kondisi politik ketika Bapak menjadi pembuat naskah pidato Presiden pada waktu itu hingga lengsernya. Saya pikir tidak banyak orang yang tahu dan menarik juga untuk didiskusikan sebetulnya apa yang yang terjadi ketika itu.

    Saya beralih ke topik lain tentang artikel Bapak yang berjudul Praktik Ketatanegaraan Kita Ke depan yang diposting tanggal 24 Januari lalu. Saya ingin bertanya satu hal pak tentang yudikasi hasil Pilkada kita. Sebagaimana yang kita tahu bahwa konflik Pilkada di beberapa daerah, baik di Sulawesi maupun daerah lainnya keputusan hasil Pilkada selalu berada di tangan yudikasi yang berbeda. Di Sulsel misalnya, keputusan hasil Pilkada yang memutuskan untuk melakukan pemungutan suara ulang di 4 kabupaten dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara di Maluku Utara, hasil Pilkada langsung harus dihitung ulang dan diambil alih dan diputuskan oleh KPU Pusat. Kenyataan lainnya di Sulut (kalau tidak salah, mohon dikoreksi Pak – trims) hasil Pilkada harus dibawa ketingkat Mahkamah Konstitusi. Pertanyaan saya bagaimana sebetulnya sistem dan perundang-undangan mengatur semua ini? Apakah MA berhak memutuskan hasil Pilkada suatu daerah mengenai siapa yang menang atau hasil lainnya? Kemudian apakah MK juga berwenang untuk menghandle hasil Pilkada? Sejauh yang saya tahu MK hanya berfungsi sebagai lembaga konsultasi, advokasi dan determinasi dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UU di atasnya yang lebih tinggi. Lalu apakah KPU Pusat juga memiliki kewenangan untuk mengintervensi dan bahkan mengambil alih suatu keputusan justru ketika keputusan tersebut telah diputuskan oleh KPUD?

    Saya pikir ini perlu ditelaah dan didiskusikan Pak. Ini jelas sangat membuat bingung masyarakat. Dan saya pikir ini ulasan yang menarik untuk dibahas.

    Satu hal lagi Pak, maaf jika tidak ada hubungannya dengan topik yang dibicarakan di atas. Ini berkaitan dengan keberlangsungan Prov. Kep. Babel yang saya kira ini perlu mendapat perhatian semua pihak. Saya dan juga beberapa orang teman melihat bahwa ada kondisi yang tidak seimbang antara Bangka dan Belitung. Sejak di putuskan menjadi provinsi sendiri 7 tahun lalu nampaknya ada jurang yang cukup lebar mengenai pembangunan yang merata di Babel ini. Sisi yang saya pikir perlu mendapat perhatian tentang pemerataan ini adalah pada pendidikan, peningkatan mutu kehidupan, kesehatan, sosial kemasyarakatan dan pekerjaan. Dalam hal saya akui kelemahan saya tidak mampu menunjukkan data konkrit tentang ketidakmerataan itu. Untuk itu saya mohon maaf. Namun informasi itu bisa dicari sebagai penguat.

    Saya yakin bapak terus memantau perkembangan provinsi selama ini. Namun saya pikir penting juga untuk melakukan pengkajian kembali tentang perlunya keseimbangan dan pemerataan pembangunan di dua pulau ini. Saya dan teman-teman (kami) sangat mengharapkan adanya perhatian semua pihak untuk membangkitkan kembali wacana tentang komitmen awal pembentukan prov. Babel. Bukan bertujuan utnuk memisahkan namun justru semakin mensolid-kan hubungan. Penting kiranya untuk merevisi komitmen tersebut jika memang ada kesepakatan sebelumnya. Dan jika tidak ada kesepakatan, mungkin kita perlu untuk merumuskan komitmen tentang Provinsi ini. Untuk saran ini bisa ditanggapi dengan mengirimkan langsung ke email saya mungkin pak, itupun jika bapak tidak keberatan.
    Ini semua tanggapan dan pendapat saya pak. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan. Pe agik same-same urang Dusun Durian dak ke pak? Hehehe…..

    Terima Kasih

    Wassalamu’alaikum Wr Wb
    Idil Akbar

  19. Pro Mas Idil Akbar
    Tanggapan koq puuuanjang buuuanget !!!!!!!!!
    sampek cuuuapek aku bacanya
    tapi aku suka kok setidaknya ada yang dibaca dan sebagai khasanah tambahan

  20. Assalamu’alaikum Wr Wb
    Bang Yusril saya mau minta izin mencetak artikel – artikel yang abang tulis dan perbolehkanlah saya memperbanyaknya agar orang – orang yang tidak membuka blog ini juga dapat membacanya (mudah – mudahan tidak melanggal UU hak cipta)

    Islam telah, sedang dan tetap akan memainkan peranannya dalam perjalanan sejarah bangsa dan negara kita, kini dan mendatang, baik dalam bentuk formal ideologis dan politis maupun dalam bentuknya yang lain.

    saya sangat setuju dengan kalimat ini mudah mudahan Allah meridhoi dan memenangkan Partai Bintang Bulan dalam pemilu 2009 mendatang minimal bisa lolos elctoral threesold.

    wassalam

    Silahkan saja. Tidak ada masalah dengan Hak Cipta. Asal disebutkan bahwa ini adalah tulisan saya dan dikutip dari blog ini. (YIM)

  21. Benar-benar mencengangkan. Yusril Ihza Mahendra (saya terbiasa menyebut tokoh politik dengan “nama lengkap-nya”) memberikan penggambaran yang berani, mungkin lebih tepat disebut kupasan sejarah, namun saya sendiri cenderung menggunakan titel “Pakar Hidden-stories” untuk Yusril Ihza Mahendra atas artikel ini.

    Jujur saja, “kekecewaan” saya atas diri Yusril Ihza Mahendra agaknya berkurang setelah membaca ini. Era Pemilu 48 partai tahun 1999, saya sempat senang atas kehadiran PBB (Partai Bulan Bintang) setelah mengetahui latar belakang masa lalunya adalah Masyumi, namun melihat kiprahnya, baik partai dan politisinya, “kesenangan” saya mengendur dan akhirnya kecewa (maaf, saya lupa kenapa saya kecewa waktu itu dan saya masih anak kecil, tahunya yang bagus-bagus aja).

    Saya suka sejarah, mengagumi Masyumi dan tokoh-tokohnya.
    Pesan saya: Masyumi-kan PBB atau bergabung dengan PKS.

  22. Oiya, mohon maaf, saya telah menyalin artikel Anda yang dimuat di Republika. Saya memuatnya dalam situs intranet di kantor saya, untuk kepentingan non-komersil, untuk dibagi dengan teman-teman “seperjuangan dan sepandangan”. Saya berencana menyalin artikel versi blog ini ke situs intranet saya juga.

    Terimakasih.

    Terima kasih atas tanggapannya. Saya menyadari banyak salah paham, baik terhadap saya maupun terhadap PBB, akibat distorsi pemberitaan media massa. Sering apa yang mereka beritakan, bukan apa yang saya katakan. Namun demikian, saya tetap berterima kasih kepada para wartawan yang sering meliput pemberitaan tentang saya dan PBB. Kalau ada yang salah dan keliru, saya akan mengoreksinya melalui blog ini.

    Silahkan saja, anda menyalin tulisan ini. Saya merasa amat bahagia dan bersyukur, jika tulisan-tulisan saya dibaca oleh lebih banyak kalangan yang berminat. (YIM)

  23. To Mas Yoahnfebrian
    apakah anda tidak salah suka pada Masyumi, kagum pada yusril malah mengajak orang ke partai lain
    saya ingat kan partai politik pak Yusril Ihza Mahendra adalah Partai Bulan Bintang sekarang menjadi Partai Bintang Bulan, bukan yang lain OK !?

    jadi saran saya mari kita dukung Partai Bulan Bintang demi perjuangan tegaknya Syariat Islam di bumi Nusantara ini
    karena Partai Bulan Bintang wadah perjuangan umat islam yang benar – benar mumperjuangkan syariat islam melalui konstitusi kalau yang lain mah aku kurang tahu

    wassalam

  24. Banyak komentar terhadap bang YIM dan tulisannya dalam blog ini, selain membaca tulisan dan komentar tersebut bang YIM nampaknya serius memberikan tanggapan. Saya senang dan menikmatinya, bagi saya bermanfaat banyak dan mendapatkan pengetahuan seperti kuliah jarak jauh dan gratis.
    Thanks Bang YIM.

  25. #11, Nasrullah

    Bang Yim, cerita tentang Masyumi menarik, namun saya susah baca. Hurufnya terlalu besar, tolong diperkecil bang.
    Thanks

    Saya mohon maaf, saya kurang memahami teknis perkomputeran. Di laptop saya, saya menggunakan huruf ukuran 12 point. Kalau saya lihat menggunakan Firefox atau Explorer, hasilnya sama, tidak nampak besar seperti nampak di komputer anda. Mungkin Vavai bisa bantu menjelaskan mengapa hal itu terjadi. (YIM)

    Artikel terkait sudah dimodifikasi bentuk huruf dan besarnya agar sesuai dengan bentuk yang lain. Waktu awal diposting, font yang tampil merupakan bawaan dari text editor.

    Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi.

  26. Seperti apa yang dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam artikel ini: “Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang dan kelompok, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya merasa tak cukup alasan lagi untuk terus menentang.”

    atau dari artikel yang dimuat oleh Republika: “Pada dasarnya saya tak memusuhi seseorang, tetapi bisa saja menentang kebijakannya yang tidak saya setujui. Karena itu, jika kebijakan berubah dan prilaku juga berubah, saya tak keberatan untuk bergabung.”

    Begitu pun saya. Pemilu 2004, seperti halnya pemilu 1999, saya hanya punya 2 partai dalam hati saya, PBB atau PKS. Tapi ya itu tadi, saya mengalami penurunan “kesenangan” terhadap PBB. Jadi, seandainya ada “perubahan”, tidak ada salahnya bila Allah SWT menuntun tangan saya untuk mencoblos “Masyumi”. Perjuangan “saya” hanya satu, Syariat, dan partai saya ada “dua” untuk memperjuangkan “perjuangan saya”.

    Terimakasih sekali HAIRUL WZ dan tentu saja terimakasih sekali untuk YUSRIL IHZA MAHENDRA atas izinnya.
    Biar ALLAH SWT yang menunjukkan kebenaran, dan saya tidak mengajak seseorang untuk menentukan pilihannya, terserah “apa maunya”.

  27. Terima kasih atas artikelnya Pak Yusril yang sangat menarik. Kalau saya berpandangan pada awalnya rezim orde baru memang memberikan sedikit “angin segar” bagi kelompok Islam, khususnya para mantan tokoh Masyumi dan penerus perjuangan Masyumi untuk ikut serta tampil dalam arena perpolitikan di Indonesia, namun ternyata belakangan sikap pemerintahan orde baru ternyata sama saja dengan rezim orde lama yang “mengkebiri” ruang gerak para tokoh politik Islam. Apalagi setelah terjadinya fusi partai-partai di tahun 1973, kebebasan mengekspresikan pendapat semakin dikekang. Belum lagi kebijakan keharusan menggunakan Pancasila sebagai “asas tunggal”, hal ini semakin menutup ruang gerak tokoh-tokoh Islam dalam perpolitikan di Indonesia. Lalu di tahun 80-an dihembuskan berbagai tuduhan subversif kepada para tokoh Islam yang semakin memandulkan peran mereka dalam percaturan politik di Indonesia. Namun sebelum jatuh dari kekuasaan, sekitar awal tahun 90-an sikap rezim orde baru mulai melunak, apalagi setelah berdirinya ICMI, menurut beberapa kajian yang perbah saya baca banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Jadi pada dasarnya menurut saya sikap pemerintah orde baru terhadap Masyumi dan Islam di awal-awal cenderung refresif, namun belakangan lebih akomodatif.

  28. Satu kesalahan pemerintah orde baru yang saya tidak maafkan adalah ketika mereka atas perrmintaan tokoh – tokoh Bulan Bintang tidak mau merehabilitir Masyumi yang ” dipaksa ” membubarkan diri oleh rezim Soekarno dan mereka
    ( orde baru ) berusaha mengingkari sejarah demi langgengnya kekuasaan mereka, Kini Partai Bintang Bulan sebagai penerus cita – cita Masyumi berusaha untuk berkiprah kembali demi terwujudnya IZZATUL ISLAM WAL MUSLIMIN
    ( Kejayaan Islam dan Ummat Islam ) semoga ALLAH SWT meridhoinya, Amiin.

  29. terima kasih, jazakallahu khairan katsiran atas tulisan yang saya kira bisa mencerahkan. menurut saya, tulisan tersebut banyak manfaatnya, paling tidak bisa memberikan pengetahuan yang seutuhnya mengenai sikap dankebijakan pak harto terhadap islam, wabilkhusus terhadap tokoh-tokoh islam (masyumi). pak yusril, saya saat ini sedang menulis tesis dengan tema “mosi integral m. natsir dalam perspektif komunikasi politik”. terus terang, saya kekurangan referens mengenai hal itu. seandainya bapak berkenan, saya mohon bantuan referensi sekaligus idenya buat suksesnya tesis termaksud.
    sekian untuk sementara, saya tunggu jawabannya.

  30. Assalamu’alaikum, wr, wb,

    Dalam sebuah dialog di TV Swasta malam setelah pemakaman Soeharto, Amien Rais mengatakan ‘ dari awal masa berkuasanya hingga pertengahan, Soeharto berada di track yang benar, setelah itu keluar dari track yang benar hingga akhirnya lengser ’.

    Karena mengikuti terus perkembangan politik di tahun2 terakhir kekuasaan Soeharto, saya sepakat dgn Pak YIM bahwa Soeharto saat itu memang telah berubah menjadi lebih akomodatif terhadap aspirasi Ummat Islam.

    Jika dikaitkan dgn pernyataan Amien Rais di atas, maka ketika Soeharto lebih akomodatif thd Islam dia justru keluar dari ‘track’ ?????, gimana ya jelasinnya .. tolong ya Pak ..

    Dalam buku ‘membentuk jama’atul muslimin’ yang ditulis seorang ikhwan dari Timur Tengah (sy lupa namanya) Masyumi disejajarkan dgn Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, dsb. Artinya kebesaran Masyumi beserta tokoh2nya memang fenomenal dan disegani di dunia Islam. Sebagaimana gerakan-gerakan Islam lain yang hingga saat ini masih eksis maka wajar sekali jika Masyumi pun demikian. Terbukti dengan hadirnya sebuah Partai Politik Islam di Indonesia yang ingin melanjutkan perjuangannya. Kebetulan sekali Pak YIM adalah salah satu pendirinya, bahkan sebagai murid kesayangan M Natsir relevan sekali rasanya jika kita ingin menggali ideologi politik Masyumi dari Pak YIM. Ditunggu ya pak .. biarpun lebih panjang dari ‘kenangan masa kecil’ ane jabanin deh he he ..

    Walau dampaknya sulit untuk dihindari, sy tidak berharap blog ini jadi ajang kampanye utk PBB. Karena jika demikian, luasnya wawasan pengetahuan Pak YIM utk sebagian orang akan terasa jadi begitu sempit. Di blog ini sy yakini berkumpul intelektual2 dgn beragam minat, ada yg peduli politik, ada yg tidak, ada yg tau hukum, ada jg yg buta dgn istilah2 hukum, ada yg concern dgn perjuangan Islam mungkin ada jg yg tidak, ada yg tertarik politik dgn kemasan demokrasi, ada jg yg tertarik politik dgn kemasan ideologi Islam dalam kerangka demokrasi dan mungkin jg ada yg anti demokrasi krn menganggapnya keluar dr Islam. Mudah2an Pak YIM bisa mengakomodir semua itu, sy yakin sih bisa …

    Semoga Pak YIM selalu diberi kesehatan oleh Allah SWT agar kita terus bisa berdiskusi dlm suasana yg luar biasa ini …, khawatir jg sih kalo tahun 2009 pemilik blog ini dgn ijin Allah jadi RI 1 atau 2 kita terpaksa putus kuliah gratis he he ..

    Wassalam,

  31. Pak Yusril,

    Terima kasih atas saran Anda – saya sudah membaca artikel Anda mengenai adopsi hukum Islam ke dalam hukum nasional. Saya tinggalkan sedikit komentar dan pertanyaan disana. Juga, saya sudah berkunjung ke website PBB. Sekali lagi, terima kasih.

    Mengenai survei LSI yang memberi dua pilihan kepada responden: hukum nasional yang mengakui keragaman dan hukum Islam (yang tidak mengakui keragaman), saya pikir hal itu reasonable. Bagi saya, doktrin Islam sedikit bermasalah dalam mengakui pluralitas. Pluralitas disini maksudnya keragaman agama.

    Al-Qur’an memang mengakui eksistensi agama samawi lain selain Islam. No doubt about it. Tetapi dalam hubungannya dengan agama lain, al-Qur’an menempatkan Islam sebagai agama tertinggi dan agama lain sebagai kelas dua.

    “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).

    Sejarah Khilafah Islam selama 1300 tahun juga mencatat bahwa umat non-muslim ditempatkan sebagai umat kelas dua. Mereka tidak boleh menjadi kepala negara. Mereka harus membayar jizyah (pajak keamanan) kalau mau selamat. Walaupun kita juga harus mengakui bahwa umat non-muslim mendapat perlindungan khusus (dzimmah) yang terkadang jauh lebih baik dibanding dengan kerajaan-kerajaan Kristen yang ada masa itu. Lebih kurang seperti golongan Afrika-Amerika sebelum tahun 70-an; mereka bisa makan, bekerja, menjabat posisi-posisi tertentu, tapi tak bisa mendapat sejumlah privilege yang diberikan hanya untuk kulit putih.

    Selain menempatkan orang non-muslim lebih rendah dibanding muslim, doktrin Islam juga tidak mengakui pagan dan atheist. Tentu hal ini akan bermasalah di Indonesia yang masih terdapat banyak penganut aliran kepercayaan.

    Saya kira, landasan inilah yang dijadikan LSI untuk menganggap hukum Islam sebagai anti-pluralist. Tentu ini adalah tantangan bagi siapapun pejuang Islam (termasuk Anda) untuk menjawabnya dengan menawarkan alternatif lain yang berbeda dengan apa yang sudah terjadi di masa Khilafah.

    Salam,
    Bimo

  32. mudah-mudahan pa yusril selalu diberi kesehatan dan hidayah agar selalu memberikan pencerahan melalui tulisan-tulisannya di media blog ini dan tidak hanya saat sekarang saja tapi terus dan terusssssssssssssssssssssssssss ( jadi jangan hangat-hangat tahi ayam pak )

  33. Bang YIM, tulisan abang seperti magnet saya sanggup duduk berjam-jam di warnet hanya untuk membaca tulisan abang. Tapi, mohon maaf kalau saya keliru, dan yang saya sampaikan tidak satu tema dengan tulisan ini. Bang YIM banyak menulis tentang masa kecil bang YIM, tapi kelihatannya tidak nampak tulisan tentang perjalanan studi bang YIM, kabarnya bang YIM termasuk cepat menyelesaikan desertasi dengan hasil memuaskan. Saya kira penting mengikuti perjalanan studi seorang intelektual, supaya saya dan pembaca yang lainnya bisa mengambil manfaatnya.
    So, saya tunggu tulisan tentang kisah studi bang YIM.
    Salam,

  34. #33 Nasrullah,

    Tapi, mohon maaf kalau saya keliru, dan yang saya sampaikan tidak satu tema dengan tulisan ini. Bang YIM banyak menulis tentang masa kecil bang YIM, tapi kelihatannya tidak nampak tulisan tentang perjalanan studi bang YIM, kabarnya bang YIM termasuk cepat menyelesaikan desertasi dengan hasil memuaskan.

    Sekedar info, posting tentang Kenangan Masa Kecil memang baru berkisah seputar masa kecil, belum sampai ke masa dewasa dan merantau ke Jakarta, termasuk soal kuliah dan menjadi kondektur bus :-D . jadi memang bukan tidak nampak melainkan memang belum sempat ditulis.

    Hehehe sok tahu juga saya. Mudah-mudahan pak YIM bisa meneruskan Kenangan Masa Kecil Hingga Dewasa, karena dari sana ada banyak pengalaman dan pemahaman yang bisa dipetik.

  35. we,e,e,e,e,e,e,

    jadi bisa kuliah gratisan kalo gini terus.
    pak yusril, saya mohon diijinkan cetak artikel – artikel yang ada di blog ini. sebagai koleksi pribadi dan untuk teman – teman.

    trima kasih

    assalamu’alaikum. Wr. Wb.

  36. maaf agak menyimpang dari pembicaraan

    kalo tidak salah pak yusril adalah salah satu dari 100 orang yang diminta oleh panitia penyusunan buku 100 th BUYA HAMKA, untuk memberikan kesaksian bapak terhadap beliau. sekarang saya sudah pegang kesaksian yang dibuat oleh Bp. KH Nadjih. saya berharap bisa atau minimal baca kesaksian yang bapak berikan kepada beliau. itu kalo bapak tidak keberatan. trimakasih .

    assalamu’alaikum Wr. Wb.

  37. muhammad kustiawan

    Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

    Assalamualaikum warrahmatullahiwabarakatuh
    Pak Yusril, terima kasih saya sangat senang akhirnya Pak Yusril bisa bercerita mengenai Masyumi. Dari banyak data -data yg saya teliti di Jepang ini, saya menemukan kalau pemberontakan PRRI tidak terjadi dan kepemimpinan Masyumi tidak didominasi oleh kelompok sumatera akan tetapi secara baik saling bekerjasama dengan masyumi dipimpin oleh kelompok Islam jawa yg cerdas, mungkin ceritanya akan menjadi lain..kita tahu Nasir dan sukiman. Ingat bahwa selama 22 tahun di majelis konstituante perdebatan dasar negara belum selesakan sampaikan akhirnya sukarno bertindak otoriter. Itu yg saya kira harus disadari kelompok islam politik, apa yg salah? itu harus dicari..menurut Pak Yusril bagaimana mengenai hal ini…ini penting untuk kemajuan Indonesia. Mungkin pendapat saya ini yg saat ini sedang belajar banyak ttg jepang adalah salah….mohon dikoreksi..

    terima kasih
    salam kenal dan hangat

    Muhammad Kustiawan

  38. Yth:YIM

    Membaca tulisan anda di atas, saya tertarik untuk sedikit memberikan “tambahan” pada kurun waktu 80-an sampai tahun 90-an, karena bagi saya seperti tak ada “benang merahnya”, tentu bukan yang dekat “Penguasa” di Jakarta, tapi lebih pada keadaan di Yogya. Karena, saya kira pada era ini adalah juga cikal-bakal tumbuhnya lagi suatu “gerakan” perlawanan (kritik) terhadap penguasa.

    Saya akan mulai, dari penertiban (pembredelan) Pers Mahasiswa di berbagai Perguruan Tinggi, termasuk Perguruan Tinggi Islam di Yogya. Perguruan Tinggi Islam itu termasuk Universitas Islam Indonesia (UII), yang tentu anda sudah tau, salah satu yang kondang dari “UII”sekarang adalah sdr. Mahfud MD… Pers Mahasiswa, akhirnya banyak yang terkapar,”mati” tak terbit lagi! Ini adalah salah contoh “Pembunuhan Generasi” oleh Soeharto (eks Presiden RI) almarhum. Dan itu terjadi pula pada Universitas Islam Indonesia di Yogya, bagaimana anda mengatakan bahwa Soeharto mulai berpihak pada Islam?

    Tentang organisasi, HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Hampir setali dua uwang, aktivisnya diInteli… Bahkan untuk mengadakan “Basic Trainning” (Batra), haruslah berpindah-pindah… Saya akhirnya, tak habis berpikir… dan bertanya bagaimana anda mengatakan Soeharto mulai berpihak pada orang Islam? Apakah karena dia mendirikan Mesjid? Atau karena dia mulai Sholat? Kalau ini saja alasannya, maka menjadi haknya sejarah di Indonesia kalau hanya timbul dua “orang muda” saja, satu Mahfud MD di Yogya dan Yusril dari Jakarta… sebagai pemikir dari kalangan Islam. Apakah “anak muda” harus maklum?
    Apakah ini juga harus kita maklumi sebagai contoh ada satu “generasi yang hilang”?… Yang terbungkam oleh kehendak “Penguasa” saat itu… Ya, Soeharto itu…

    Keislaman saya tidaklah mendalam, tidaklah sebanding dengan anda… Apalagi mau di bandingkan dengan para kiayai, dan atau “Datuk-Datuk” di Nusantara (baca:Indonesia). Saya mungkin seperti Prof. Selo, tapi saya bukanlah seorang Professor. he…he…

    Saya hanya seorang “Pejalan”, dan “pembaca”… yang beragama Islam…

    Salaaaam…

  39. Assaamu’alaikum wr wb.
    Sejatinya, saya hanya seorang pelajar yang sedang belajar. Saya sangat berterimakasih pada pak Yusril yang memberikan pencerahan kepada para pembaca blog ini khususnya maupun kepada masyarakat yang membaca Republika dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sayapun sebagaimana anda yang menyukai sejarah bahkan senang menulis pengalaman hidup sebagai langkah maju dari sekedar mengingat masa lalu kehidupan, saya dan sangat mungkin bahwa bapak selalu memeiliki intens lebih kepada sejarah.
    Sebagai tanggapan saya terhadap tulisan bapak mengenai sejarah Masyumi, saya kembali merasa meloncat dari satu kebingungan ke satu kebingungan yang lain, saat bertatap muka lagi dengan sejarah yang sudah ‘diteorikan’, sebagai kata lain dari sejarah yang diceritakan pada orang lain. Tentu saja bapak sebagaian sayapun takkan sanggup mengatasnamakan objektifitas atas realita sejarah yang kita usung. Kalangan pakar sosial pun menertawakan sikap objektifitas untuk sebuah sejarah. Namun kebingungan saya bukan di situ, saya hanya masih bingung dengan terma ‘KIRI’ pak. Yang digagas pertama kali oleh Karl Mark cs, bukankah mereka berbicara tentang sebuah solusi? Mereka juga mengatasnamakan perbaikan atas kebobrokan sosial yang nyata? Mereka bukan kriminal msyarakat, tapi kriminal bagi para pelaku kebijakan. Yang mereka ganggu bukan harta maupun kehormatan orang lain. Tapi mereka menentang suatu hal yang besar, hal yang justru mengatur bagaimana menghukum siap siap yang mengganggu harta dan kehormatan seseorang, (bisa jadi yang ditentang adalah polisi polisi maupun tentara, tapi ini lebih dari kepala polisi maupun jendral atau bahkan presiden sekalipun) mereka menentang kemapanan. Sebuah kemapanan dalam arti sempit, maupun semua wujud kemapanan dalam arti luas, dalam pandangan mereka, kekuasaan, hegemoni, doktrin, asas asas, simbol simbol, formalitas bahkan agama sekalipun adalah bentuk bentuk dari kemapanan yang sejatinya adalah aturan manusia. Saya menyadari hal itu, dan kita hidup tidak hanya ada dalam ruang waktu, namun juga hidup dalam sebuah pengaruh (power) dan itu adalah bagian kita, ia takdir kita, kita hidup bukan hanya karena kita sendiri, namun kita hidup karena jutaan bahkan milyaran hal hal lain yang menjadikan kita eksis. Tapi dari berbagai bentuk kemapanan, undang undang, jadwal kerja, berbagai macam simbolis maupun formalitas formalitas yang kita tunduk padanya ternyata berasal perspektif kita yang kadang bahkan kita sendiri menilainya sebagai sebuah aturan yang sempurna (as the perfect things) dan kita kadang lambat atau enggan mengadakan rekonstruksi maupun dekonstruksi atas apa yang memang bukan sesuatu yang baik. Begitu juga bagi sebuah bangsa seperti Indonesia, bukankah pemerintah Indonesia sejak masa perjuangan kemerdekaan, maupun hingga paska Revolusi Pancasila menyadari bahwa UUD 45 ternyata bayak kekurangan? Mereka menyadari Pancasila sudah mengaburkan agama, dan di pihak lain agama pun mampu mengaburkan Pancasila. Masing masing dari apa yang sudah mereka atau-katakanlah-kita buat sebagai keputusan final dan solusi terakhir serta sebuah kebijakan positif. Tetapi ternyata aktor sejarah (yang itu kita sendiri) memandang itu sebagai bagian yang aman bagi mereka dan kita maupun bagi rakyat Indonesia yang hidup kemudian tanpa memandang serius pada cela sebuah kenyataan yang dilihat sebagai produk dari sejarah. Namun di saat yang sama, kita menyadari pula bahwa kita juga takut pada perubahan, karena perubahan bukan berarti stabil, namun tidak berubah bukankah berarti stagnan? Tapi kita butuh keduanya, hidup antara aturan dan kebebasan adalah hidup nekat, tidak hanya karena bahwa dengan begitu berarti hidup dengan kesia-siaan, karena telah menyia-nyiakan aturan aturan yang kita buat maupun kita taati, tapi juga kebebasan seseorang maupun sekelompok tentu saja akan berbenturan dengan kebebasan seseorang maupun sekelompok yang lain. Lagi pula sangat berbahaya bila kita hidup dalam ketidakpastian, karena sama saja hidup kita jalani dengan akrab dengan chaos, dan itu tidak mungkin, karena chaos sangat tidak ramah dengan kehidupan. Dengan demikian, ternyata di sisi lain kita butuh doktrinisasi, diktatorisasi, apalagi-tentu saja-kita butuh Tuhan, dan kita lebih memilih membuat dan atau tunduk pada aturan aturan. Namun di sisi lain, ternyata aturan aturan itu bergerak di luar kendali kita karena kendali itu juga diperlukan oleh yang selain kita, (maaf, saya berbicara di luar konteks agama, di sini, saya hanya memandang agama Islam dari perspektif para pakar hukumnya yaitu para kyai kyai, ustadz ustadz, dan ulama ulama). jangan kira hanya kita sendiri yang butuh kendali, karena selain kita juga butuh kendali, karena ia butuh hidup tenang, butuh nyaman juga seperti kita. Yang terjadi selanjutnya, adalah kerja sama untuk menghadapi kerja sama yang lain. Yang kata bagusnya, kita kenal dengan kontrak sosial sebagaimana yang digagas Rosseau, untuk menghadapi kesulitan kesulitan manusia dalam bersosialisasi. Dan bersosialisasi adalah kata yang diartikan multikoneksi, bukan kata yang berarti tunggal.
    Pak, kebingungan saya, inikah realita yang cukup kita terima dan biarkan realita itu berjalan, mengalir seperti air, nantinya juga akan menjadi sejarah yang akan dikenal generasi kemudian tergantung seperti apa yang mereka tahu dan percaya? Lalu di mana letak maslahat? Sedangkan yang ‘pasti pasti’ saja ternyata penuh misteri dan intrik yang menjerumuskan. Namun apakah kita sedemikian kuat dan beraninya menggoyang goyang demokrasi yang sudah terlanjur diiklankan dan dipuji puji banyak orang dan dibilang ‘amin’ oleh rata rata ‘makmum’, atau mengusik undang undang yang mengatur tatanan dan ketertiban suatu masyarakat, bukankah itu sama saja dengan sifat sifat mesin perusak semata?
    Sekian dari saya, mohon maaf atas segala kekuranga dan ini sekedar tanggapan tidak mutlak sebuah pertanyaan, salam dari bujang Gantong…… salam dari Negeri Kinanah
    Wassalamu’alaikum wr wb…

  40. Perjalanan panjang kehidupan religius HM Soeharto bisa dikatakan hampir mirip dengan manusia lain pada umumnya (tidak semua). Saat muda jauh dari nilai-nilai agama, menjelang tua mulai tersadar dan akhirnya mengerti akan penting dan wajibnya berserah diri kepada Sang Khalik.

    Bagi seorang suami, ke alpaan terhadap Agama berakibat buruk terhadap keluarganya. Untuk seorang pemimpin negara, rakyat dan bangsanyalah yang terkena getahnya. Jelas ini berkaibat fatal. Akibat ketidak mengertiannya terhadap Islam, segala kebijakannya benar-benar mengantam dan merugikan umat Islam di Indonesia.

    Apapun, semua telah terjadi. Semoga kedepan rakyat Indonesia bisa lebih pintar dan bijaksana dalam memilih pemimpinya.

    Wassalam

  41. Sedikit tanggapan untuk saudara Purnama

    Saya sepakat dengan pendapat saudara bahwa sepertinya kita memang telah diindoktrinasi dengan sejarah yang diteorikan. Namunyang mesti kita pahami pula bahwa kekuasaan absolut dan otoriter biasanya (dan selalu) tidak hanya sebatas pada persoalan pembangunan ekonomi. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun paradigma berpikir juga akan menjadi target. Artinya pendidikan kita sebetulnya tidaklah murni, tergantung pada siapa yang berkuasa. Kita bisa bayangkan, berkuasa lebih dari 3 dasawarsa tentunya akan merubah perspektif kita atau paradigma berpikir kita secara signifikan.

    Dari sisi keilmuan yang seharusnya menganut paham “kebebasan” tentu hal ini diangga sebagai kemunduran. Tapi pertanyaannya apa yang bisa kita lakukan? Sementara penguasa pada kala itu sangat menutup segala akses yang dapat “mengancam” doktrinasi mereka. Maka tak heran paham “KIRI” (bahkan paham “kanan”) tidak terlalu berkembang dalam ruang pendidikan kita.

    Demikian pula dengan sejarah Bangsa ini yang di tangan orba kala itu menjadi bias. Sehingga tak heran kita akan kesulitan menerima kenyataan ketika mendapatkan informasi yang kontroversi, berbeda dan bertentangan dengan apa yang kita dapatkan selama ini. Saya memahami kebingunan saudara Purnama akan hal ini. Bukan hanya saudara, tetapi saya dan mungkin para pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum akan mengalami hal yang sama, diliputi dengan kebingungan “MANA YANG BENAR?”.

    Persoalan kemudian yang muncul adalah ketika kita dihadapkan pada situasi yang tidak rasional sebagai akibat dari pemahaman kita terhadap apa yang selama ini diterima (baca: diindoktrinkan). Agak sulit memang untuk memahami situasi ini. Sebab realitasnya kita dihadapkan pada suatu persimpangan jalan yang mesti dipilih namun pilihannya diibaratkan kita makan buah simalakama. Jika kita ikuti keadaan atau menerima bagaimana proses rezim dijalankan, kita adalah bagian dari rezim itu sendiri. Namun disaat pilihan kita berada diluar itu, maka cap atau slogan negatif (buruk) akan menjadi bagian dari kehidupan kita.

    Akan tetapi kita ternyata tidak bisa memilih (atau lebih tepatnya dipaksakan untuk memilih ikuti keadaan), dan menerima bagaimana proses rezim dijalankan. Hal inilah yang saya pikir kita seolah-olah melayang atau gamang dalam menentukan arah. Setiap keadaan akan selalu menjadi “jalan panas” bagi kita dalam melangkah. Sekarang tergantung bagaimana sikap kita dalam memahami sejarah dengan baik dan benar. Meskipun “baik dan benar” ini juga masih dipertanyakan substansinya. Saya sebetulnya bukanlah orang yang terlalu suka dengan sejarah. Saya menilai sejarah hanya sebagai pemahaman, bukan tindak tanduk dan perilaku. Meskipun sejarah terkadang penuh dengan contoh dan hikmah, saya membayangkan hal itu sebagai nostalgia.

    Sekarang saya pikir hanya dibutuhkan suatu optimisme untuk memberikan nuansa positif dalam memandang situasi atau keadaan. Saya kira sejarah pada kenyataannya hanya memberikan sepotong dari suatu keseluruhan kehidupan. Kemaslahatan akan sejarah sangat tergantung pada seberapa besar kita mampu mem-filter sejarah itu sendiri berdasarkan pikiran dan pemahaman murni kita. Dan itu perlu proses panjang agar mampu mengeliminir atau setidaknya mengurangi bias yang ada. Jangankan sejarah orang lain, bahkan sejarah kita sendiri terkadang bias bukan begitu? :-)

    Ini saja tanggapan saya. Maaf jika ada yang kurang berkenan… Salam dari urang Manggar..

  42. Asl….Pak YIM, terimakasih banyak atas kesaksian sejarahnya.., ini bisa membuka mata kita……, membuka mata kita tentang sejarah bangsa ini…..yup Pak YIM, salam kenal dari saya ORANG BIASA, walau bapak tak kenal sy, tapi sy mengenal Bapak…tetap Istiqomah pak.

  43. Terima kasih banyak atas tulisannya kali ini yang runut, runtut, jelas, tegas dan lugas serta mudah dipahami dan enak dibaca YIM, karena dengan tulisan ini pulalah saya jadi tahu kenapa almarhum Bapak saya dulu yang notabene seorang masyumi, amat benci dengan yang namanya Daoed Joesoef, Moerdani dan Sudomo. Dulu kalau melihat acara Berita di TV yang menyangkut berita orang-orang tersebut, almarhum Bapak saya selalu emosi dan kaya marah-marah sendiri (kita anak-anak masih kecil yang belum mengerti) padahal almarhum Bapak saya itu gak pernah marah dan murah senyum kepada semua orang. Dan satu lagi YIM, waktu saya masih kecil dulu tetangga saya banyak yang kejawen juga (ada semacam perkumpulan) yang berpakaian blangkon, tapi ya tetap pada sholat ke Masjid juga. Jadi ritual kejawen iya, sholat iya juga.

  44. Komentar #29

    tentang Mosi Integral Natsir bisa dilihat dalam Capita Selecta II Moh. Natsir..

    perlu juga diingat bahwa konsep negara kesatuan merupakan salah satu bentuk keinginan yang disampaikan dan diperjuangkan dengan sengit oleh Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPK…

    jadi sebenarnya mosi intagral bukanlah suatu yang baru dalam sistem ketatatanegaraan Indonesia, meskipun pada saat ini ada sebagian dari anak bangsa Indonesia yang menginginkan susunan negara Indonesia adalah berbentuk susunan federal..

  45. Yth pak Yusril,

    Menarik sekali membaca tulisan pak Yusril ini. Pada bagian tulisan bpk dijelaskan bahwa pak Harto pada awalnya bukanlah muslim yg taat dalam menjalankan perintah ibadah sholat, termasuk juga beliau sangat jarang menjalankan sholat Jum’at berjemaah, namun beliau baru tergerak sejak utk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sejak awal tahun 1990. Pernyataan saya kpd pak Yusril, darimana sumber yg bapak jadikan sebagai bahan utk menjelaskan mengenai sangat jarangnya bpk alm Suharto menjalankan ibadah sholat sebelum tahun 1990. Apakah bpk sangat dekat dgn beliau sehingga tahu sehari-harinya apa yg dilakukan oleh pak Harto termasuk juga mengenai jarangnya beliau menjalankan ibadah….mohon penjelasan dari Bapak. Tks Wassalam

  46. Memang tidak banyak generasi muda yang faham sejarah perjuangan ummat Islam Indonesia, khususnya Masyumi dalam kancah perpolitikan Indonesia. Setidaknya, tulisan Bang YIM ini akan membantu pelurusan sejarah di Indonesia, termasuk kaitan Bang YIM dalam ORBA. Banyak orang yang menuduh bahwa Bang YIM adalah bagian dari orde baru dengan alasan Bang YIM yang berperan cukup besar dalam kepemimpinan presiden Suharto. Bahkan PBB yang saat itu dikomandoi oleh Bang YIM panen kritik seperti itu.
    PBB sebagai penerus cita-cita perjuangan Masyumi, hendaknya tetap istiqomah mempertahankan perjuangan Islam dan Ummat Islam. Apapun tuduhan yang ditujukan kepada PBB, hendaknya tidak menyurutkan perjuangan kader-kader penerus Masyumi. Masyumi memang telah tiada, tetapi semangatnya harus tetap menggelora.
    Jika Masyumi bubar karena kebijakan zalim ORLA, maka PBB tidak lolos ET pada pemilu 2004, karena bebarapa faktor, al;
    1. Para pengurus PBB sudah banyak yang tidak mengenal sejarah perjuangan Masyumi.
    2. Semangat para pengurus dan kader PBB tidak seperti yang dimiliki oleh para kader Masyumi. Tua-tua keladi, semakin tua, semakin jadi. Maaf, bukan megelke ati.
    3. PBB lemah karena juga diserang oleh lawan-lawan politik yang anti Islam dan juga kawan politik yang tidak senang dengan orang perorang.
    Semoga PBB dan para kadernya tetap istiqomah dalam mempertahankan visi dan misi perjuangan. Biarkan orang lain yang sok Islami dan eksklusif tiba-tiba menjadi gentar dan akhirnya tampil inklusif (terbuka).
    4. Berapa banyak kelompok yang sedikit bisa mengalahkan kelompok yang besar dengan izin Allah (karena tetap teguh dan istiqomah mempertahankan Islam).
    5. PBB sebagai penerus perjuangan Masyumi harus terus disosialisasikan baik kepada kader sendiri maupun kepada masyarakat umum sehingga mereka pada pemilu 2009 mau dengan sadar dan ikhlas memilih PBB.
    terima kasih, Jazaakumullah khairan.

  47. Semoga tulisan BAng YIM dapat menjadi klarifikasi atas tuduhan orang-orang yang buta sejarah tentang Masyumi, PBB, Yusril dan teman-teman seperjuangan. Alaa inna nashrallahi qoriib.

  48. Bang! Saya ini juga heran Abi saya hampir tidak pernah berhenti beraktivitas. Masya Allah, saya sampai jadi geleng-geleng. Kok ya nggak kesel loh Abi. Isinya, ngaji, ngurus ummat yang kebanjiran, ngurus partai, dan macem-macem lagi. Barangkali Abi juga sudah baca sejarah para pejuang Masyumi yang tidak kenal lelah. Sebagai anak sa bangga, walaupun juga agak jarang dipeluk dan disayang. Bagaimana dengan Bang Yusril. Saya pingin lebih mantap lagi setelah mendengar perjalanan bapak-bapak dulu seperti Abang,

  49. Assalamu’alaikum.

    Mohon tanggapan;
    1. Siapa saja sih yang pernah minta tolong Bang YIM agar pak Harto ketika pidato kenegaraan atau yang lainnya
    bicara sebagaimana yang dimauinya?
    2. Sejauh mana sih efektifitas perjuangan Bang YIM untuk Islam dan ummat Islam selama dalam lingkaran istana
    ORBA?
    3. Bang YIM sudah berpengalaman dalam kabinet. Siapkah Bang YIM untuk dipilih menjadi presiden. Kata pak Amin,
    saatnya yang mudah tampil menjadi presiden. Artinya, pak Amin kan sudah tidak nafsu lagi untuk jadi presiden,
    dulu pernah menjadi rival dalam debat calon presiden, bahkan juga agak ngeledek-ngeledek Bang YIM bahasa
    Inggrisnya blepotan (gelih ah). Bahkan saya juga pernah baca stiker saat pemilu 2004 “SAATNYA YANG MUDAH
    MENJADI PRESIDEN” ada gambar PBB yang sekarang tidak lolos ET.
    4. Maaf Bang, gayanya Bang YIM seperti sombong begitu, walaupun mungkin hati Bang YIM sangat halus. Tapi
    sekiranya itu bisa dirubah sedikit saja, Bang YIM akan tampil meyakinkan sebagai calon Presiden mendatang
    (2009).
    5. Maaf Bang, anda pernah berdo’a apa terhadap PKS yang dulu sering menghujat Bang YIM dan PBB, sekarang
    berikrar untuk menjadi partai inklusif, karena Islam sebagai rahmat lil’alamin. Bahkan sekarang mereka jujur kalau
    di Irian ada dua orang anggota DPRD PKS yang agamanya Nashrani. sementara PBB pernah dihajar habis karena
    ada calonnya angguta DPR nya di Sumatera juga beragama Kresten ( sudah muallaf). Bukankah do’a orang yang
    dizalimi itu mustajab. Atau orang yang menghina itu tidak akan mati sehingga dia seperti orang yang dihinanya.

    Terima kasih Bang! Semoga Anda tetap dalam lindungan rahmat dan maghfira Allah. Amiin.

Leave a Reply