|

KERUSUHAN TIADA HENTI

Kerusuhan antara rakyat dengan polisi kembali terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, akibat isyu yang merebak adanya tahanan yang disiksa hingga mati diĀ  markas polisi. Menghadapi kerusuhan indsiden yang telah menelan korban jiwa, Presiden kembali berkomentar tentang hal-hal yang harus dilakukan para bawahan, untuk mengatasi insiden agar tak berlanjut. Kita belum tahu apa sesungguhnya yang terjadi, karena Tim Investigasi yang dipimpin Wakapolri Komjen Yusuf Manggabarani baru saja akan mulai mengumpulkan data dan fakta. Sebagaimana biasa, Presiden SBY kembali memberikan komentar dan tanggapan terhadap insiden, agar diselidiki dan dituntaskan. Komentar seperti ini selalu muncul setiap ada kerusuhan. Meningat kerusuhan telah terjadi sepanjang tahun dari satu daerah ke daerah lain, maka sudah seharusnya Presiden memikirkan dengan sungguh-sungguh, hakikat apa sesunguhnya yang melatarbelakangi kerusuhan itu dan memberikan pemecahan konsepsional untuk mengatasi dan mencegahnya sehingga kejadian seperti itu dapat diminimalkan.

Kerusuhan bukanlah barang baru dalam sejarah bangsa sejak era reformasi, yang akar sejarahnya dapat kita lacak sejak ratusan yang lalu dalam sejarah Nusantara. Sejarawan Sartono Kartodirdjo misalnya pernah melakukan studi yang mendalam tentang pemberontakan kaum petani di Banten pada abad ke 18. Di kalangan komunitas warga Betawi, kerusuhan bukan pula sekali dua kali terjadi dalam sejarah di masa lalu. Kerusuhan pernah terjadi pada hampir semua etknik yang besar di tanah air, tentu dengan berbagai sebab dan latar belakang.

Jika kita menarik benang merah kerusuhan yang bernada “pemberontakan” dalam makna rakyat secara sporadis melakukan perlawanan terhadap pemegang otoritas, maka apa yang terjadi di zaman penjajahan dengan zaman sekarang memang menunjukkan adanya kesinambungan. Inti persoalan utamanya ialah perasaan tidak aman oleh rakyat karena adanya tekanan kekuasaan melalui aparat-aparatnya. Rakyat merasa diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat, sehingga mereka terdorong untuk melawan. Tentu perlawanan seperti itu akan berakhir tragis. Rakyat selalu kalah berhadapan dengan kekuatan yang lebih besar.

Negara merdeka dan berdaulat serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti negara kita, tidak seharusnya aparatnya bertindak pongah berhadapan dengan rakyat dan bangsanya sendiri. Negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, demikian kata Pembukaan UUD 1945. Negara harus kembali menata dan mendidik aparaturnya sendiri, agar benar-benar menjadi pengayom bagi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Negara jangan membiarkan prilaku aparatur yang tidak manusiawi dan cenderung menindas. Kecenderungan seperti itu, kini makin meluas. Pemegang otoritas kekuasaan merasa seolah kekuasaan akan langgeng. Padahal, kekuasaan dan jabatan datang silih berganti. Mereka hanya memegang amanah untuk sementara, yang suatu ketika pasti akan digantikan oleh yang lain…

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=369

Posted by on Sep 3 2010. Filed under Politik. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

3 Comments for “KERUSUHAN TIADA HENTI”

  1. Memang seharusnya langkah-langkah konsepsional harus sudah dipersiapkan matang. Labih dari itu, pendekatan yang lebih memanusiakan rakyat yang harus ditunjukkan oleh Penguasa dan aparatus-nya di semua tingkatan.
    Prof. Yusril, kalau lebih panjang tampaknay akan lebih seru dan menggigit.
    Ditunggu!

    Wassalam

  2. Benar, arogansi sebagai “Aparat” dan bersenjata saya perhatikan didaerah sangat kental, dan aparat selalu menganggap dirinya selalu bertindak benar, dan rakyat adalah kelas bawah. anggapan “abdi dalem” masih kuat, mengorbankan nyawa rakyat dianggap benar karena sebagai “Ponggawa”, mereka lupa bahwa gaji, dan senjata yang di pegangnya adalah dari pajak rakyat. SUngguh tragis.
    Bung YIM, sampaikan juga konsep untuk mengatasi ini kalau bisa, supaya kami tahu, dan bisa mendukung.

  3. Kerusuhan di negeri kita skrg sdh mebentuk vcorak berbeda. Dahulu, konflik era orde baru karena pembangkangan dengan pemerintah puasat, karena mereka terdzalimi. Di era reformasi, konfliknya malah secara vertikal, dan cenderung konflik antar kelas. Tapi, skrg justru konflik-konflik itu sekarang mulai bermunculan antara rakyat dengan penguasa (daerah, pusat maupun propinsi). Tidak ada lagi yang dapat cepat menjernihkan suasana, justru yang banyak malah mengurai masalah dan bertambah tidak jelas.Terakhir, masalah HKBP, sebelumnya masalah Kolonel Adji. Dua hal terakhir itu, bagi saya menarik untuk didiskusikan, karena sama-sama dikomentari oleh seorang kepala negara. Dalam satu sisi kepala negara ingin menampakkan wisodom, tapi disisi lain justru ingin memasukkan doktrinasi “kemapanan” (kasus tuliasan Kol Adji). Bagi saya, tulisan Kol. Adji dengan beberapa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang berbeda. Tapi dalam prespektif saya, apakah selamanya seorang bawahan, entah TNI, Sipil dll, tidak boleh mengungkapkan melalui tulisan tentang kekuasaan yang dianggapnya tidak benar. Bukankah itu sebuah nasehat kepada penguasanya, tapi mengapa dianggap sebagai ancaman? Apakah negera yang baik itu, birokrasinya berisi orang-orang yang ‘manut’, selalu menurut dan tidak ada ruang berpikir kritis yang berasal dari nuraninya? Kalau jawabannya iya, saya kira tidak perlu kita diskusikan lagi. Karena makna loyalitas saat ini menjadi senjata yang menyesatkan. Bukankah Abu Bakar dengan tegas meminta rakyatnya untuk memperingatkannya jika kinerjanya sebagai khalifah dinilai tidak benar, minta dinasehati bukan. Bukankah taqlid (loyal) yang buta juga dilarang oleh agama. Menurut Prof. Yusril bagaimana mengubah prespektif itu, karena ada 3 juta lebih PNS di negeri kita ini, kalau prespektifnya seperti itu, runyamlah negara dan tidak akan pernah akan maju kita ini.
    Wassalam. Wr. Wb.

    Menurut pandangan saya, menyampaikan pendapat dengan dilandasi oleh niat yang ikhlas adalah sah saja dalam kehidupan masyarakat yang demokratis. Di kalangan internal militer mungkin ada aturan-aturan tersendiri, namun sepanjang bermaksud baik, hemat saya sah saja. (YIM)

Leave a Reply