PERJALANAN YANG MAKIN BERAT
Ketika saya masih muda, saya berguru soal-soal keislaman, politik dan kenegaraan kepada Dr Mohammad Natsir, Pahlawan Nasional, mantan Ketua Umum Partai Masyumi, mantan Menteri Penerangan dan Perdana Menteri RI tahun 1950. Salah satu pengajaran Natsir kepada saya ialah, bagaimanakah seseorang pemimpin politik harus bertindak sebagai seorang cendekiawan dan sekaligus seorang negarawan. Sebagai cendekiawan, seorang pemimpin harus menghimpun informasi sebanyak-banyaknya, melakukan analisa yang dalam terhadap suatu persoalan dan kemudian mencari terobosan jalan keluar untuk mengatasi masalah itu. Adakalanya seorang pemimpin harus mengambil keputusan yang tidak populer kata Natsir. Populer dalam makna suatu tindakan yang menurut anggapan umum layak untuk dilakukan dan kadang-kadang nampak heroik. Pemimpin, karena di beda dengan rata-rata orang awam, dia mempunyai daya nalar dan daya analisis lebih dari rata-rata. Ia seolah orang yang mampu melihat sesuatu yang tak terlihat orang banyak. Kalau dia berkeyakinan dengan hal itu, maka dia harus berani mengambil keputusan, walau seperti telah saya katakan, keputusan itu nampak tidak populer. Orang awam seringkali menyadari sebuah kebenaran, jauh di kemudian hari, ketika peristiwa itu sudah lama terjadi. Bahkan mungkin telah dilupakan banyak orang, kecuali sejumlah akademisi yang dengan jujur meneliti peristiwa-peristiwa politik masa lalu dan mereka menuliskan sebuah karya akademik yang obyektif dan bebas dari segala prasangka dan kepentingan.
Dalam konteks di atas, seorang politisi akan bertindak sebagai negarawan, jika dia berpikir dan bertindak dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negaranya yang jauh lebih besar daripada kepentingan sesaat. Seorang politisi berpikir dan bertindak kadang-kadang demi kepentingan kelompoknya sendiri. Sementara seorang negarawan bepikir dan bertindak demi kepentingan bangsa dan negaranya, yang mengatasi segala paham, kelompok dan kepentingan. Sayang politik kita sekarang terasa makin menjauh dari sifat-sifat kenegarawanan itu. Politik kita makin sempit, makin jauh dari nilai-nilai dan etika. Hukum, yang seharusnya menjadi mekanisme menyelesaikan masalah dengan adil dan beradab, justru kehilangan fungsinya, karena norma-norma dirumuskan, ditafsirkan dan diterapkan atas dasar selera dan kepentingan belaka. Akan lebih buruk lagi kalau hukum dijadikan sarana untuk memberangus dan menyingkirkan lawan-lawan, yang sesungguhnya adalah saudara sebangsanya sendiri, yang ikut bersama-sama berjuang untuk membangun bangsanya agar menjadi bangsa yang maju dan terhormat. Kalau fenomena seperti ini terus berlanjut, maka bangsa ini akan tercabik-cabik oleh dendam, kemarahan dan kebencian. Tiap rezim yang berkuasa, dia oppressif mencari-cari kesalahan lawan dan kemudian menjerumuskannya. Tetapi, apabila rezim ini runtuh, merekapun akan dicari-cari pula kesalahannya untuk kemudian dijerumuskan pula. Akhirnya, bangsa ini akan terus terpuruk oleh dendam, kemarahan dan kebencian, dan takkan pernah bangkit menjadi bangsa yang maju dan beradab. Bangsa kita hanya menjadi bulan-bulanan ejekan dan tertawaan bangsa-bangsa lain. Bukan ini yang kita maui, bukan ini yang dipikirkan oleh generasi pendahulu kita. Tapi itulah kenyataan hari ini yang kita lihat dan kita rasakan..
Sungguh risau saya memikirkan perjalanan bangsa dan negara kita ke depan. Perjalanan nampaknya masih sangat panjang, namun tetaplah kita ingin berbuat yang terbaik untuk kemajuan bangsa dan negara, walau terasa berat sekali…

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=377
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Tentu saja seorang pemimpin yang berlatar belakang ‘ulama lah yang paling berkompeten membuat analisa dan menyimpulkan permasalahan apa yang paling pokok yang merisaukan mereka dan memberikan solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan bangsa (ummat) secara keseluruhan.
Tentu saja skala prioritas harus ditetapkan dari segenap permasalahan yang terjadi dan harus diselesaikan, jangka pendek dan panjang.
Bicara tentang dakwah, rasanya kita sepakat bahwa hal utama yang harus kita suarakan baik secara sembunyi maupun terang-terangan adalah spt yg digambarkan dalam firman Allah dlm Al-quran surah Annisa ayat 48: (terjemah depag)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Yakni kita harus membasmi dosa nomor wahid yang tak berampun di sisi Allah ‘azza wajalla yaitu KESYIRIKAN. (karena kita ingin pulang ke kediaman sesungguhnya dgn selamat).
Berikutnya Islam agama yg mulia ini mewanti-wanti pemeluknya agar jangan sampai terjatuh ke dalam bid’ah membuat ajaran dan tatacara baru dalam agama yang kata para ulama “Iblis lebih cinta kepada bid’ah dibanding maksiyat, mengapa? karena bid’ah seringkali tdk disadari oleh pelakunya shg tipis asa untuk bertaubat, tentu beda dgn maksiyat yg pelakunya masih ada asa untuk mentaubatinya.
dst……..bersambung..
Negara ini sangat lah rindu pemimipin yang mempunyai rasa kenegaraawan seperti M Natsir,
tapi saya yakin, sebelum kiamat kelak, indonesia akan menjadi negara yang makmur dan maju, amin,
“Seseorang pemimpin politik harus bertindak sebagai seorang cendekiawan dan sekaligus seorang negarawan”. Tentu kita sangat merindukan pimpinan seperti itu.
Dengan kondisi bangsa yang carut-marut seperti saat ini, terjadi tumpang-tindih kekuasaan dan hukum yang bisa dibelokkan sesuai kepentingan penguasa, uang, dan media (media saat ini saya anggap sangat MENGERIKAN), kapankah sosok pimpinan seperti itu akan muncul dipermukaan? Adakah tersisa tokoh-tokoh bangsa ini yang betul-betul memiliki paket kepemimpinan seperti yang Bapak ungkapkan diatas?
Saya yakin masih banyak tokoh-tokoh seumpama itu. Namun terkadang mereka tenggelam, atau secara sistematis ditenggelamkan. Di era Sukarno tokoh-tokoh seumpama itu mudah saja dituduh “kontra revolusioner” dan ditangkapi. Di era Suharto dituduh lagi dengan tuduhan “subversi” dan ditangkapi lagi. Di masa sekarang aneka tuduhan baru dengan tujuan membunuh karakter seorang pemimpin telah banyak sekali terjadi. Sekarang tidak mudah lagi menangkap dan menahan orang seperti di zaman Sukarno dan Suharto, karena persoalan-persoalan HAM. Namun dengan pengaruh media massa yang luar biasa, orang tak perlu ditangkapi dan ditangkapi, tetapi cukup dibunuh karakternya sehingga terkesan sebagai seseorang yang buruk. Namun ada pula yang dengan tekanan opini publik kemudian ditahan juga. (YIM)
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Sesungguhnya apa yang Bang Yusril tuliskan benar adanya, inilah yang terjadi saat, agama kita juga telah menggariskan bahwa bahaya yang menakutkan adalah kemunafikan (orang munafik) seperti yang banyak disampaikan oleh para ulama bahwa orang munafik sangat berbahaya karena sesungguhnya mereka berada disamping atau bahkan bersama-sama kita sehingga kita tidak dapat mengenalinya, lebih celaka lagi jika mereka menjadi seorang pemimpin atau bahkan sudah menjadi pemimpin di level apapun, sehingga bahasanya akan kedengaran indah, namun membunuh.
Bang Yusril yang saya hormati dan saya banggakan, Berjuanglah meski Bang Yusril belum menjadi presiden tetapi sesungguhnya dari pencerahan Bang Yusril telah melebihi status seorang presiden. Semoga Tuhan (Allah SWT) memberikan jalan buat Bang Yusril untuk menjadi seorang Presiden Republik Indonesia Kelak, Insya Allah (Saya mendoakan dengan sungguh-sungguh)
Ada permintaan dari saya, Bang Yusril mohon perbanyaklah tulisan-tulisan pencerahan baik dari segi Agama, Hukum, Pemerintahan, ataupun Isu-isu mutakhir.
Salam, Yang mengidolakan Bang Yusril selama ini, meski kita tidak satu daerah tapi kita semua satu Bangsa Indonesia
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb
Asslm wr wb, Prof.
Kiranya berkenan saya meramaikan lagi blog penting ini. Tidak tahan rasanya menanggung uneg2 (tentunya bukan uneg2 pribadi, melainkan bersifat sosial bahkan kenegaraan sebagaimana harusnya, tepatnya dlm masalah Hukum Tata Negara). Saya namakan “Uneg2 ilmiah-pop dan pertanyaan dlm masalah Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara, contoh soal ttg masa jabatan Jaksa Agung; suatu kreatifitas & ijtihad”. Bincang2 lagi sehubungan persoalan ‘Jaksa Agung ilegal dan Kejaksaan Agung problematik’, mumpung jadwal sidang pembacaan putusan Yg Mulia Hakim Konstitusi dlm Uji Materiil UU 16/2004 belum juga keluar hingga hari ini.
1. Bisakah kedudukan Presiden disebut “sebenarnya ‘berwajah’ 2”, yaitu selaku Kepala Eksekutif dan selaku Kepala Negara?
Pada hemat saya (sesudah pikir2 terus), sbb.:
PRESIDEN (& WAPRES) yg dipilih langsung oleh rakyat dlm Pilpres adalah Presiden (& Wapres) sebagai Kepala Eksekutif. Dengan UUD 1945 Bab III Pasal 4 (1) & (2), Kepala Eksekutif langsung ‘naik’ menjadi Kepala Negara, demikian juga Wapres. Dan pada posisi inilah Presiden dan/atau Wapres layak berkemungkinan kena pemakzulan (tidak utk Kepala Eksekutif, karena dipilih langsung oleh rakyat). PEMBANTU PRESIDEN. Presiden selaku Kepala Negara didampingi secara langsung pra-pemerintahan oleh 1 pembantu, yaitu Wapres (Bab II Pasal 4 (2)), dan di dlm pemerintahan didampingi pula oleh pembantu struktural lainnya. Presiden selaku Kepala Eksekutif memiliki banyak pembantu, yaitu menteri2.
2. Jika “1” benar adanya, maka Presiden mengangkat Jaksa Agung (thdp seseorang yg memenuhi syarat) itu adalah Presiden selaku Kepala Eksekutif ataukah selaku Kepala Negara? (Demikian juga ttg pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri).
Pada hemat saya, sbb.: Presiden selaku Kepala Negara mengangkat Jaksa Agung, Kapolri, dan Panglima TNI (thdp seseorang yg memenuhi syarat utk itu, dgn prosedur masing2), selaku pejabat negara setingkat menteri.
3. Benarkah JAKSA kita sebenarnya disebut Jaksa Negara (sesekali bertugas selaku Pengacara Pemerintah), dan TENTARA kita disebut Tentara Negara, serta POLISI kita disebut Polisi Negara?
Pada hemat saya sendiri, sbb.: Ya. Karena berstatus PNSM (Pejabat Negara Setingkat Menteri).
4. Kalaupun bukan merupakan Anggota Kabinet, misalnya seperti juga halnya Panglima TNI dan Kapolri, namun karena Jaksa Agung diangkat oleh Presiden (thdp seseorang yg memenuhi syarat utk itu) dan sehubungan regulasi dlm UU Kejaksaan pula (UU 16/2004 Pasal 22 (1) huruf “d”, dan tidak ada lagi pengaturan lainnya), maka masa jabatan Jaksa Agung itu adalah dgn sendirinya sesuai dgn masa jabatan Presiden (jadi lebih tepat seperti itu dibandingkan “sesuai masa kerja Kabinet”); nah, pembentukan wewenang Pejabat Negara dgn sumber apakah – menurut Hukum Administrasi Negara – dlm pengangkatan Jaksa Agung itu? Atribusi/delegasi/mandat?
Nah, sejak medio Ramadhan baru lalu saya bermaksud baca2 wacana Hukum Administrasi Negara.
Demikian dan sekian dulu uneg2 atau pertanyaan & pendapat saya. Besar pengharapan saya Prof berkenan memberikan tanggapan & jawaban.
Hormat saya,
HI, Jaktim.
MARI SAMA2 MEWUJUDKAN KEJAKSAAN YG BEKERJA-KINERJA MERDEKA.
oleh Hendra Indersyah.
KITA senantiasa mendambakan Kejaksaan dan kekuasaan Kehakiman yg bekerja-kinerja merdeka (Psl 2 UU 16/2004 dan Psl 24 UUD 1945). Nah, masalahnya, di dalam peralihan pemerintahan KIB I dan KIB II pada 20-21 Oktober 2009 Presiden SBY tdk membuatkan Keppres utk Jaksa Agung HS turun & naik KIB I & KIB II. Dan mantan Menkumdang Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan Uji Materil UU Kejaksaan (‘uji legalitas Jaksa Agung HS dlm pemerintahan Presiden SBY & KIB II’ di MK).
JADI? Tampaknya komunikasi ttg “Jaksa Agung dlm KIB II tanpa Keppres baru″ antara Presiden & Jaksa Agung HS khususnya pd hari2 awal masa kerja KIB II itu tidak terlaksana cukup bagus. Dan Jaksa Agung HS pada posisi problematik. Pd hemat kita, utk mengembangkan Kejaksaan berkinerja merdeka sekalipun –yg didambakan masyarakat dan khususnya diharuskan oleh pakar Hukum Tata Negara– Jaksa Agung HS harusnya … (maaf, saya rasa ada baiknya secara lisan saja, kpd pihak2 terkait).
(HI, Jaktim).
PERJALANAN MAKIN BERAT; Turut Merasakan & Ijtihad Penanggulangan.
Tetap semangat. (khususnya utk diri saya sendiri; saya coba mencari untuk sama2 pula menggelorakan semangat, di sini).
Bukan dgn latar-belakang pendidikan formal Hukum Tata Negara pun, kadang dapat terlihat cukup jelas aneka macam serta besar & luasnya persoalan kebernegaraan kita saat ini. Bahwa sistem ketata-negaraan kita kini ‘under construction’ (maafkan saya memberi istilah seperti itu, atau construction on progress, mungkin karena latar belakang pendidikan formal saya adalah Tata Bangunan alais Teknik Sipil?). Dan tentunya kita terus menantikan – bahkan turut mengupayakan – langkah2 pembenahannya.
Kasus Bank Century misalnya – yang mirip-mirip BLBI itu – sebenarnya sudah cukup nyata duduk-masalahnya pasca Hak Angket dan sidang paripurna DPR waktu itu, dan kini – hal lainnya – persoalan ‘Jaksa Agung ilegal/problematik’ 2-3 bulan ini akan (segera/?) mencapai klimaks/kejelasannya.
Persoalan Perekonomian Nasional untuk Kesra juga terus menuntut perhatian & penanganan dgn kemampuan yang harus bisa lebih baik dari apa yang ada selama ini. Kalau tidak, .. nantinya ya ‘begitu/gini-gini juga’ lagi.
SOLUSI. Entah bagaimana perancangan dari beliau semuanya untuk solusi semua masalah kecut itu? Pada hemat saya, adalah hasil-hasil kompetensi dari Hukum Tata Negara dan Sistem Ekonomi yang masih kurang dalam pemerintahan saat ini, jadi ya minimal kombinasi atau simultansi dari dua ‘disiplin pemerintahan’ itu yang diperlukan sebagai bagian dari suatu solusi keseluruhan masalah tadi. Semoga.
I. SEKALI LAGI:
“Uneg2 ilmiah-pop dlm masalah Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara, contoh soal masa jabatan Jaksa Agung; suatu kreatifitas & ijtihad”.
1. Bisakah kedudukan Presiden berdasarkan UUD 1945 disebut “‘berwajah’ 2″, yaitu selaku Kepala Eksekutif dan selaku Kepala Negara?
Pada hemat saya (sesudah pikir2 terus), sbb.:
Presiden (& Wapres) yang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pilpres adalah Presiden (& Wapres) sebagai Kepala Eksekutif. Dengan UUD 1945 Bab III Pasal 4 (1) & (2), Kepala Eksekutif langsung ‘naik’ menjadi Kepala Negara, demikian juga Wapres. Dan pada posisi inilah Presiden dan/atau Wapres layak berkemungkinan kena pemakzulan (tidak utk Kepala Eksekutif, karena dipilih langsung oleh rakyat).
Presiden selaku KEPALA NEGARA didampingi secara langsung pra-pemerintahan oleh 1 pembantu, yaitu Wapres (Bab II Pasal 4 (2)), dan di dalam pemerintahan kemudian didampingi pula oleh pembantu struktural lainnya.
Presiden selaku KEPALA EKSEKUTIF memiliki banyak pembantu, yaitu menteri2.
2. Jika “1″ benar adanya, maka Presiden selaku apakah, Kepala Eksekutif ataukah Kepala Negara, dlm mengangkat Jaksa Agung (terhadap seseorang yang memenuhi syarat)? Demikian juga tentang pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri.
Pada hemat saya, sbb.: adalah selaku Kepala Negara bahwa Presiden mengangkat Jaksa Agung, Kapolri, dan Panglima TNI (terhadap seseorang yang memenuhi syarat utk itu, dgn prosedur masing-masing) sebagai pejabat negara setingkat menteri.
3. Benarkah JAKSA kita sebenarnya disebut Jaksa Negara (sesekali bertugas selaku Pengacara Pemerintah), dan TENTARA kita disebut Tentara Negara, serta POLISI kita disebut Polisi Negara?
Pada hemat saya sendiri, sbb.: Ya. Karena atau sesuai bahwa Jaksa Agung – misalnya – berstatus PNSM (Pejabat Negara Setingkat Menteri).
4. Kalaupun bukan merupakan Anggota Kabinet, misalnya seperti juga halnya Panglima TNI dan Kapolri, namun karena Jaksa Agung diangkat oleh Presiden (thdp seseorang yg memenuhi syarat utk itu) dan sehubungan regulasi dlm UU Kejaksaan pula (UU 16/2004 Pasal 22 (1) huruf “d”, dan tidak ada lagi pengaturan lainnya), maka masa jabatan Jaksa Agung itu adalah dgn sendirinya sesuai dgn masa jabatan Presiden (jadi lebih tepat seperti itu dibandingkan ‘sesuai masa kerja Kabinet’); nah, pembentukan wewenang Pejabat Negara dgn sumber apakah – menurut Hukum Administrasi Negara – dlm pengangkatan Jaksa Agung itu? Atribusi/delegasi/mandat?
Pada hemat saya, sbb.: “Atribusi”. (Sejak medio Ramadhan baru lalu saya bermaksud lebih banyak lagi baca2 Hukum Administrasi Negara).
Sekali lagi pula: “Mari Sama-sama Mewujudkan Kejaksaan yg Bekerja-kinerja Merdeka”.
KITA senantiasa mendambakan Kejaksaan dan kekuasaan Kehakiman yg bekerja-kinerja merdeka (Pasal 2 UU 16/2004 dan Pasal 24 UUD 1945). Namun sayang disayang kemarin itu di dalam peralihan pemerintahan KIB I dan KIB II pada 20-21 Oktober 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak membuatkan Keppres untuk Jaksa Agung Hendarman Supandji turun & naik KIB I & KIB II. Dan mantan Menkumdang Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan Uji Materil UU Kejaksaan (‘uji legalitas Jaksa Agung Hendarman Supandji dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & KIB II’ di MK).
JADI? Tampaknya komunikasi ttg “Jaksa Agung dalam KIB II tanpa Keppres baru″ antara Presiden & Jaksa Agung Hendarman Supandji khususnya pd hari-hari awal masa kerja KIB II itu tidak terlaksana cukup bagus. Dan Jaksa Agung Hendarman Supandji pada posisi problematik. Pada hemat kita, untuk mengembangkan Kejaksaan berkinerja merdeka sekalipun –yang didambakan masyarakat dan khususnya diharuskan oleh para pakar Hukum Tata Negara– harusnya Jaksa Agung Hendarman Supandji terlebih-dulu meneliti sekali lagi UU Kejaksaan dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya, mengkomunikasikan dgn Presiden dan pihak-pihak lain, dan bila perlu justru mengajukan permohonan Uji Materiil di MK, untuk tidak misalnya turut heran baik sendiri maupun ketika raker bersama DPR dlsb ttg keberadaan Pin Nayaka misalnya yang kadung/masih ada di tangan beliau.
II. JAKSA AGUNG?
Jaksa Agung baru serta Ketua baru KPK sedang dinanti-nantikan semua pihak (di dalam ‘Pemerintah, Masyarakat, dan Pasar’)saat ini. KPK adalah supervisor & koordinator pemberantasan korupsi, di mana Kejaksaan Agung berada di dalamnya. Namun pekerjaan & tugas-tugas lainnya Kejaksaan Agung pada dasarnya adalah tidak kalah banyak dan berat serta menantangnya.
Dan ‘ada apa’ dgn Jaksa Agung baru dan Ketua baru KPK itu nanti kira-kira? Aktif untuk pemberesan Kasus (unsur-unsur korupsi) BLBI dan/atau Kasus Bank Century (atau sebaliknya) serta pemberantasan khususnya pencegahan & penangkalan korupsi di Daerah-daerah se-Nusantara dan Parlemen baik oleh Pejabat Negara maupun Petinggi Dunia Usaha? Pikir2 lagi: ya terserah saja. Yang jelas, bukannya kita tidak coba turut mempelajari konstruksi masalah dan duduk permasalahan hukum kasus BLBI misalnya; kalau tidak salah, peraturan perundang-undangan terkait saja bisa setebal paling tidak 800 halaman kertas A4 kalau dijadikan buku.
Kiranya dimaklumi lebih-kurangnya.
(HI).
bismillah. Pemimpin itu mimpin, ibarat lokomotif. Jadi bukan pemimpin namanya kalo tdk bisa jadi lokomotif. Bisa juga pemimpin seperti imam shalat berjamaah. Karena itu tdk layak jika pemimpin itu jauh dari jamaah, apalagi tdk perduli. Suri teladan sebagai pemimpin yg mulia adalah rasulullah. Natsir belajar dari beliau. Wajar kalau dia pun menjadi rujukan. Ada satu kelebihan natsir sebagai imam. Dia dekat dengan jamaah, suka berada ditengah ummat dan mau mendengar aspirasi mereka. Kita? Wassalam.
ok..sampai ketemu kontak bentar ya…,Bang (HI)
alhamdulillah..ntar kita kontak ya,
Buat bang Yim BISMILLAH KITA COBA TEGAKKAN SENDI-SENDI HUKUM INI, PALING TIDAK DARI DIRI KITA SENDIRI MEMULAINYA,
iNSYA ALLAH…..
Asslm, Prof.
Maaf saya titip komen/pesan di sini menanggapi komen/Responses #9 November 17th, 2010 at 12:00 pm yg mana tampaknya memang sebagiannya ditujukan kpd saya.
->> Kpd sdr. Hilmantasik. Terima kasih atas kontek telpon sampean tadi sore. Ternyata yg sampean maksudkan (dlm telpon) dgn komen saya cukup panjang itu bukanlah komen baru (di dlm blog Prof YIM ini), melainkan komen lama, komen # 7 tgl September 18th 2010 at 11:12 am, dll, di atas sana .. iya kan; jadi –karena itu, setelah buka2 lagi blog ini barusan– saya lega, bahwa tidak benar kekawatiran saya ‘ada postingan baru atas nama saya’, berupa tulisan panjang pula (sudah cukup lama saya belum berpartisipasi menulis komen lagi). Yah.. sampean itu ngaget2in saya saja :-( … mana lagi saya sedang mulai makan sate & tongseng dari jatah daging qurban Idul Adha di mushallah depan rumah :-) <<-
Insyallah besok-lusa saya komen lagi. Sungguh saya juga heran, bagaimana mungkin "Menurut jaksa, biaya akses fee Rp 1.350.000/pengakses harusnya masuk pendapatan negara bukan pajak (PNBP)"? http://www.detiknews.com/read/2010/11/11/180207/1492524/10/yusril-sisminbakum-tingkatkan-ekonomi-rp-1076-triliun?nd992203605.
Terima kasih.
HI.
iya….dikirain;teh tulisan baru habisnya saya belum baca Bung HI,…sorry ya bang HI, tapi gak apa kan biar liahat baca komentar terbaru per… 16 november dari kiriman bang YIM