MENJAWAB ARTIKEL DI KABAR INDONESIA
Artikel yang ditulis oleh Berthy B Rahawarin di “Kabar Indonesia” lebih banyak ngawur daripada benarnya. Dari kalimat pertama tulisannya, data dan fakta yang disajikan sudah salah samasekali, sebagiannya lagi mengada-ada tanpa bukti. Bukan sekali ini Berthy ini menulis menyerang saya dengan cara-cara seperti itu. Selama ini saya diamkan saja. Namun kalau saya diam saja, orang mengira apa yang ditulisnya benar. Sekali ini saya tanggapi tulisannya, seperti di bawah ini. Kalau penulisnya masih ngeyel terus dengan cara ngawur menyerang saya, maka saya takkan meladeninya lagi. Biar saja orang lain yang menilai dan menanggapinya.
(1) Dikatakannya bahwa saya adalah Menkumham pada periode pertama Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), padahal yang benar, Menkumhamnya adalah Hamid Awaluddin dan Andi Mattalata. Saya menjadi Mensesneg dalam KIB I sebelum diberhentikan Presiden SBY tanggal 7 Mei 2007;
(2) Sikap saya menentang moratorium remisi terhadap terpidana korupsi, terorisme, narkotika dan kejahatan trans-nasional terorganisir dianggapnya sebagai ingin “menenangkan hati anggota DPR” dan akan memberi “argumen-argumen yang bertentangan dengan semangat membasmi korupsi sebagai extraordinary crime”.
(3) Banyak orang yang asal ngomong seolah-olah benar bahwa korupsi itu adalah “extra ordinary crime” atau kejahatan luar biasa yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) dengan mengaitkannya pada Konvensi PBB tentang Melawan Korupsi. Saya membaca berulang-ulang UN Convention Againts Corruption yang saya ikut menyusunnya, dan bahkan saya menandatangani pengesahannya atas nama Pemerintah RI di Markas Besar PBB di New York. Namun saya tidak menemukan satu katapun dalam konvensi itu yang mengkategorikan korupsi sebagai extra ordinary crime. Statuta Roma tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC Statute), yang memuat kategori apa saja tindak pidana yang termasuk ke dalam kategori extra ordinary crime, tidak memasukkan korupsi ke dalamnya. Begitu juga UN Convention on Trans National Organized Crime (TOC) yang saya juga ikut menyusunnya dan akhirnya menandatanganinya atas nama Pemerintah RI di Palermo, Italia, tahun 2002, juga tidak memuat kategori seperti itu;
(4) Dikatakannya karena korupsi adalah extra ordinary crime, maka pelaku kejahatan korupsi dikecualikan dari remisi. Darimana landasannya pendapat seperti itu? Tidak ada landasan hukum apapun untuk mendukung pendapat seperti ini, kecuali keinginan Berthy sendiri, sama seperti keinginan Amir Syamsuddin dan Denny Indrayana. Kalau keinginan orang yang berkuasa dijadikan hukum dengan cara mengangkangi hukum positif yang berlaku, maka alamat negara ini akan kembali ke zaman otoriter, seperti dilakukan Laksamana Sudomo sewaktu menjadi Pangkopkamtib di zaman Orde Baru. Konvensi PBB tentang Perlakuan terhadap Narapidana (1955) dan Tokyo Rules (1958) yang mengatur perlakuan terhadap narapidana, justru tidak membenarkan adanya diskriminasi terhadap narapidana. Tidak ada perubahan konvensi itu yang memasukkan pelaku tindak pidana korupsi dikecualikan dari hak mendapatkan remisi. Pasal 5 UU No 14 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan juga melarang adanya perlakuan dan pelayanan diskriminatif terhadap narapidana. Hanya PP No 28 Tahun 2006 yang diteken Presiden SBY yang memberikan perlakuan diskriminatif itu. Namun PP ini hanya memperberat syarat-syarat pemberian remisi kepada narapidana korupsi, terorisme, narkotika dan kejahatan trans nasional terorganisasikan dibandingkan dengan narapidana kasus yang lain, bukan menghapuskannya samasekali. Saya ajukan ke Mahkamah Agung saja untuk menguji apakah PP 28 Tahun 2006 yang bersifat diskriminatif itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemsayarakatan dan UUD 1945 atau tidak;
(5) Berthy mengatakan korupsi dipandang masuk “pelanggaran HAM berat di mata Konvensi PBB” dan karena itu terpidana korupsi tidak dapat dipandang sama dengan pidana umumnya. Saya hanya mempersilahkan yang bersangkutan untuk membaca Konvensi PBB itu, baik teks Bahasa Inggris yang saya tanda-tangani di New York, maupun teks Bahasa Indonesia sebagai lampiran UU No 7 Tahun 2006 tentang Ratifikasi Konvensi tersebut, dan tolong tunjukkan pada saya mana pasal yang mengatakan korupsi itu sebagai “pelanggaran HAM berat”. Kalau korupsi termasuk “pelanggaran HAM berat” maka pelakunya harus diadili di Pengadilan HAM, bukan di Pengadilan Tipikor seperti sekarang ini;
(6) Saya dituduh Berthy bahwa sebagai Menkumham (di era KIB I seperti kata penulis) tidak ada integritas pribadi dalam penegakan hukum, tidak berjiwa rechtsstaat. Tidak apa-apa dituduh begitu, ok saja. Namun alasannya “Yusril nampak konsisten dalam sikap ketika memberi bahasa pembelaan pada grasi kontroversial Syaukani”. Saya tidak pernah memberi komentar apapun terhadap grasi yang diberikan Presiden SBY kepada Syaukani. Permohonan grasi itu diproses oleh Menkumham Patrialis Akbar. Saya sudah lama tak menjadi menteri ketika Syaukani diberi grasi oleh Presiden SBY. Berkomentarpun tidak, apalagi membela grasi untuk Syaukani. Penulis ini mengada-ada dan menyebarkan fitnah belaka.
(7) Kalau saya tak berjiwa rechtstaat (negara hukum), bagaimana anda bisa menjelaskan bahwa saya berani menentang rencana Presiden Gus Dur yang mau mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR dalam sidang kabinet di Bina Graha tahun 2001?. Apa ada menteri lain, termasuk beberapa jenderal yang jadi menteri yakni SBY, Agum Gumelar, Soeryadi Soedirdja dan Widodo AS yang hadir dalam sidang kabinet itu yang berani mengkritik Presiden? Bahkan Menteri Pekerjaan Umum Erna Witoelar memprotes dengan mengatakan “tidak pantas anda sebagai menteri mengkiritik Presiden di sidang kabinet”. Saya katakan, kalau Presiden mau melanggar konstitusi, kewajiban saya sebagai Menteri Kehakiman mengingatkannya. Gus Dur marah. Saya keluar meninggalkan ruangan. Besoknya, 8 Februari 2001, saya dipecat oleh Presiden Gus Dur sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharuddin Lopa yang mau saja menuruti kemauan Gus Dur meskipun menyalahi hukum dan konstitusi;
(8) “Tapi Yusril ketika Menkumham di bawah Presiden yang sama, diam seribu bahasa ketika penolakan grasi oleh Presiden SBY atas kasus kontroversial pidana mati Tibo cs, dalam konflik sosial di Poso, Sulteng”. Ini tambah ngawur lagi. Menkumham ketika Tibo ditolak grasinya oleh Presiden SBY adalah Hamid Awaluddin. Grasi Tibo beda sekali dengan moratorium remisi yang justru kontroversial. Bahwa Tibo dipidana mati memang kontroversial di mata Pemimpin Gereja Katolik di Vatikan, yang menulis surat berisi desakan kepada Presiden SBY agar mengampuni Tibo. Surat senada datang dari kelompok Gereja Katolik dari berbagai negara. Saya baca semua surat-surat itu karena saya Mensesneg, sebelum saya ajukan ke Presiden. Bagi orang-orang Islam yang keluarganya dibantai Tibo di Poso, hukuman mati bagi Tibo tidaklah kontroversial, bahkan sudah sewajarnya. Apa penulis Berthy W Rahawarin ini mempunyai link dan membawa misi kepentingan Gereja Katolik di Vatikan, sehingga kehilangan obyektifitas kalau bicara tentang Tibo, silahkan anda menjawabnya.
(9) Banyak orang yang akhir-akhir ini membangun opini seolah-olah saya ini pembela koruptor dan tidak terlibat dalam upaya pemberantasan korupsi. Saya anggap ini adalah bagian dari “black campaign”. Mereka lupa, atau pura-pura tidak tahu kalau saya yang ikut menyusun RUU Pembentukan KPK dan saya pula yang mewakili Presiden RI membahasnya hingga selesai dengan DPR RI. Panitia seleksi KPK yang pertama bekerja di kantor saya ketika itu, Departemen Kehakiman dan HAM. Saya juga yang ikut merevisi UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga menjadi lebih keras isinya, yang kini menjadi UU No 20 Tahun 2002 dan mewakili Presiden membahasnya di DPR hingga selesai. Tanya saja sama hakim-hakim Tipikor itu, bukankah Yusril, ketika menjadi Menkumham yang membentuk pengadilan Tipikor itu, untuk pertama kali di PN Jakarta Pusat? Banyak orang lupa, bahwa saya ketika Menjadi Menkumham menyediakan segala fasilitas, bahkan sampai meminjam gedung Departemen Pertanian dan mempersiapkan segala sesuatunya agar memungkinkan mantan Presiden Suharto untuk diadli. Padahal, saya pernah menjadi speech writer beliau ketika menjadi Presiden. Belakangan, saya malah dituduh korupsi oleh Jaksa Agung Kanjeng Raden Temenggung (KRT) Hendarman Supandji. Sampai sekarang saya masih menjadi “pesakitan” walau Romli Atmasasmita dan Yohanes Waworuntu, dua orang yang dituduh pelaku utamanya, sudah dibebaskan oleh Mahkamah Agung karena tidak terbukti melakukan korupsi;
(10) Pendirian saya menentang moratorium remisi yang dicanangkan Amir Samsudin dan Denny Indrayana itu, dituduh sekedar ingin menyenangkan hati anggota DPR. Sikap yang saya yang tegas dalam memegang suatu pendirian, tidak selalu menyenangkan orang, bahkan sebaliknya banyak pula yang benci. Saya tidak pernah perduli orang senang atau benci dengan pendapat dan pendirian saya. Sepanjang saya yakin benar, saya kemukakan pendirian itu, walau ada yang senang dan ada yang benci. Saya tidak perduli;
(11) Orang-orang yang secara kongkrit saya bela di LP Cipinang dan Salemba, kebanyakannya terkait dengan travel cheque suap terkait pemilihan Miranda Gultom menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Siapa yang menyuap hingga kini tidak diketahui, apa Miranda, Nunun atau siapa. Masak yang disuap ada, yang menyuap tidak ada. Ini aneh bin ajaib. Kalau suap, tidak ada unsur kerugian negara, apalagi memakan uang rakyat, yang sering dijadikan propaganda orang-orang seperti Berthy Rahawarin ini, seolah-oleh mereka pembela rakyat yang duitnya dimakan koruptor. Andaikata yang nyuap Miranda, atau siapapun, maka yang digunakan adalah uangnya sendiri, atau uang orang lain. Yang jelas bukan uang negara atau uang rakyat. Kecuali Miranda yang korupsi uang negara, dipakai beli travel cheque. Itu benar korupsi yang merugikan keuangan negara. Tapi ini masalah lain yang perlu penyidikan dan penuntutan agar kasus ini jelas;
(12). Berthy Rahawarin nampak tidak yakin kalau yang menanggapi tulisannya adalah saya, seperti tanggapannya di Kabar Indonesia. Kalau saya sudah menulis di blog saya sendiri, masih juga tak yakin, terserahlah. Saya ingin katakan padanya, bahwa saya bukan tipe manusia yang suka lempar batu sembunyi tangan, atau bersembunyi dibalik fasilitas dunia maya. Kalau saya mau melawan dan menantang orang, saya tidak pernah sembunyi-sembunyi. Saya akan tantang secara terbuka. Saya pernah menantang admin Blog Indonesia Matters untuk debat terbuka, namun mereka tidak berani. Saya bahkan tantang Jaksa Agung Hendarman Supandji dan Presiden SBY untuk berdebat terbuka di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi, namun tokh mereka tidak datang, sampai akhirnya MK membenarkan argumentasi saya, bahwa Hendarman memang jaksa agung illegal;
(13) Di tahun 1998, saya pernah datang membawa pisau menantang Prof A Muis, Guru Besar UNHAS, yang sering memaki-maki saya di koran Fajar, Makassar. Itu saya lakukan setelah dua kali Muis tak muncul tanpa alasan ketika ditantang berdebat terbuka, yang difasilitasi Jusuf Kalla selaku Pengurus Masjid Al-Markaz, padahal sebelumnya dia menyatakan bersedia. Kali ketiga saya bawa pisau ke Makassar dan Muis tak datang lagi ke Kampus UNHAS, almamaternya sendiri, tempat di mana debat akan dilakukan. Dengan jengkel saya berkata kepada peserta yang hadir: “Bilang sama Professor Muis, kalau dia orang Bugis, jangan cuma berani tusuk orang dari belakang. Ini saya bawa pisau dan kain sarung. Kalau mau bunuh-bunuhan, ayo kita masuk dalam kain sarung ini, bawa pisau masing-masing. Professor Muis bikin malu orang Bugis”. Seminggu sesudah itu, Muis meninggal. Bukan saya tusuk pakai pisau, tapi dia meninggal karena stroke. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.+++++
Cetak artikel
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=735
Bagus bang YIM, cekok-i aja mulut si berthy, cuma bacot aja, ngomong soal hukum, tapi GOBLOK soal hukum..( Cuma besar OMONG doang)
Alhamdulillah saya membaca artikel ini mendapat ilmu baru lagi dari Bang Yusril sehingga opini yang berkembang di masyarakat bisa jelas kedudukannya.
Jazakumullah khairan katsira Bang..!!
berthy, apa yang kau cari, kritikan dan sanggahan lu kagek ade artinye, cume permainan kate dan pemelintiran date, sok pinter, tapi keblinger, sok ilmiah tapi jahiliah, sok kritis tapi naif, kayenye pesenen yang ade imbalan, sebaiknye lu mikir dulu sebelum menyanggah, apelagi kritik yim ye.
he ha ha….gila juga you bung Yusril, Preman juga rupanya bawa pisau mau duel-maut dengan Prof a. Muis. kami terus terang baca artikel poin (12) agak kaget juga, rupanya ada orang Belitung-Timur yang berani mati !
Wah gile juga bung YIM, pake pisau mau berantem hehe good on you…… belitung’s man !
NAMPAKNYA BERTHY B RAHAWARIN INI BENAR-BENAR PENGACARA=PENGANGGURAN BANYAK ACARA. PEKERJAAN AJA GAK JELAS ALIAS BUNTANG AKONG. LAGI MENCARI-CARI SIMPATI DAN INDENTITAS DIRI MENGHARAPKAN BELAS KASIHAN ORANG2 YG BERKUASA DAN YG AKAN BERKUASA, MAKLUM, SARJANANYA HANYA STF-SP JELAS SANGAT DANGKAL KEILMUANNYA DALAM BIDANG HUKUM MEMALUKAN…NIH http://id-id.facebook.com/berthy.rahawarin
Nah, kalau memang mantan mahasiswa filsafat, Berthy di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, dan saya mantan mahasiswa Jurusan Filsafat di Fakultas Sastra UI, mestinya berargumen dengan kedalaman, berpikir secara rasional, radikal, sistematik dan integral. Ini kok malah ngawur (YIM)
aye kire cerite yim tentang prof muis penting juge ditunjukin pade berty yang belain teroris tibo cs yang beraninye main belakang, lempar batu sembunyi tangan, supaye die tau diri, kalo ngomong kagek kosong dan kalo nulis kagek ngarang, fiktif lagi, dan kalo diajak debat die berani, tapi ilmu hukumnye harus di tes dulu, bener kagak ye, kalo mumpuni baru ajak debat, kalo kagak ade ape apenye buat ape dilayanin, mubadzir dan sie2, jadi jawaban yim ude cukup telek dan membongkar kepicikannye..
Berthy (setan dajjal) katolik vatican memang gak mutu dan mending seret dia ke pengadilan. Tetapi hati bung YIM ini konspirasi yang besar, hadapi dengan kepala dingin, setan2 dajjal itu pembawa bencana rakyat.
tambah kaguma saya sama YIM.
Saya suka tuh poin #12.
Surprise poin #13. :)
Mantap Bang…
Seru juga poin 13
Memang perlu dilakukan agar mereka tidak hanya omdo …
Yang benci kepada Bang Yusril sudah jelas para KORUPTOR & anti Islam antek2 TERORIS PENJAJAH
Bangsa ini sudah semakin parah…
TERORIS KORUPTOR dan antek2nya layak dibasmi
Brihiz siap mendukung
@Theo Wijaya
Ini bukan gaya preman tapi budaya suku Bugis bertarung dalam sarung.
yang preman itu pejabat menindas rakyat, rampok uang negara atau meresahkan masyarakat
Ajaran Islam siap mati untuk bela yang benar
Ajaran Islam melarang pembantaian seperti kasus Tibo
Sebaiknya Anda pahami dulu baru beri komentar..
four thumbs up untuk bang YIM, memang benar-benar teruji, salah satu professor jenius yang pernah saya ketahui, maju terus bang, hidup Ba-Bel, hidup Indonesia.
Akankah Berthy sekelas dan setype dengan Prof. Mu’is?
Bang..
saya cukup terharu baca point no. 7
Mudah2an itu menggambarkan diri bang YIM yang sebenarnya…
bahwa jabatan bukanlah sebuah keistimewaan tp jabatan adalah sebuah tanggung jawab,
dalam rangka “…nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”, abang sama sekali tidak takut kehilangan sebuah jabatan…
Sukses terus buat bang YIM
Putra Banten
sungguh sangat menarik jawaban artikelnya pak yusril, saya sangat salut sekali. secara pribadi, saya sangat kagum dengan argumentasi hukum pak yusril yg disertai dengan fakta dan bukti2. mudah2an argumentasi hukum tersebut dapat diketahui oleh semua kalangan, sehingga masyarakatpun dapat bersimpati dengan bapak yusril. saya sangat mendukung bapak jika memang begitulah fakta dan bukti2nya. sekali lagi saya termasuk orang2 yang selalu berpikir obyektif dan selalu ingin maju dalam berpikir yuridis. salah satu sumber inspirasi saya adalah bapak yusril sendiri. terima kasih atas pendapat2 hukum bapak.
Setuju Bang, Memang orang-orang yang suka ngawur dan menyerang membabi-buta dan fakta dan argumen yg gak jelas seperti Si BETI tersebut tidak boleh didiamkan….
—–
ijin copas Bang !
——
alhamdulillah aku suka dengan gaya bang Yusril nggak percuma aku kagum sejak dulu ternyata gentle man juga.
Semoga Allah selalu melindungi umatnya yg tertindas,menunjukan yg benar itu benar dan batil itu batil.
entah ujian apalagi buat bang YIM, semoga hal ini menjadi motivasi dan inspirasi bagi pecinta blog ini, saya kagum…. terutama pada point 7, salut banget,,,,
salam buat Bang YIM, semoga kesabaran tetap menyertai dalam menegakkan kebenaran,, kapanpun dan dimanapun, di posisi apapun. amin…
do’a tuk kebaikan dn keselamatan bung yim senantiasa…amin…sukses andalah the real pahlawan bangsa saat ini..
Bang YIM,
Artikel sanggahan di atas sudah ditanggapi oleh Berthy.
berikut link-nya:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Introduksi+Diskursus+Hukum+dengan+Prof.+Yusril&dn=20111205094426
bahasanya tidak segalak bahasa pada artikel “ARGUMENTUM AD HOMINEM” UNTUK YUSRIL :)
Ass.Wr.Wb.
Ternyata ngga salah kalau selama ini saya mengidolakan Bang YIM. Perpaduan yang harmoni antara nilai2 Islam yang tertanam dalam jiwa dan kedalaman intelektual yang tertanam dalam akal fikiran. Maju terus Bang, Qul al-haqq walau kaana murran…..!!!
O ya Bang, ini saya kopikan artikel Berthy menanggapi tanggapan Bang YIM, saya yakin Bang YIM dah membacanya juga, ngga apa2 kan saya kopikan lagi di sini. Salam hormat.
Introduksi Diskursus Hukum dengan Prof. Yusril
Oleh : Berthy B Rahawarin | 05-Des-2011, 11:07:48 WIB
KabarIndonesia – Mantan Menkeh-HAM dan Mensesneg Prof. Yusril Ihza Mahendra (YIM) ternyata rela memberi tanggapan atas tulisan kami “Argumentum Ad Hominem untuk Yusril” (HOKI Kabar Indonesia, tgl. 6/11) dan “Argumen Hukum Yusril, Sekedar DPR Senang?” (Kompasiana, tgl. 6/11) dengan substansi kurang lebih sama. Tanggapan itu disampaikan Prof. Yusril dari blog pribadi (untuk Kabar Indonesia, tgl 1 Desember) dan ruang tanggapan publik (Kompasiana, 1 Desember). Sebelum memberi apresiasi kepada Bung YIM, saya mengantar diskursus ini dalam semangat diskursus, dialog, ataupun kebajikan Arab dari Prof. Nasr.
Kalau boleh singkat mengandaikan konsep diskursus (yang dimaksudkan Jurgen Habermas) bentuk komunikasi di mana klaim sepenggal dunia-kehidupan kehilangan cirinya sebagai pengetahuan latar-belakang (Hintergrundwissen) berubah menjadi tema komunikasi sebagai pengetahuan latar-depan (Vordergrundwissen).
Jurgen Habermas menggunakan pola komunikasinya untuk secara sederhana mengatakan, bahwa sebagai kesediaan berdirkursus, juga termasuk antara Prof. Yusril dan saya, atau sejumlah peserta lain dalam diskusi “dunia maya yang nyata”, minimum dikenal admin Kompasiana atau Kabar Indonesia, dan berdiskusi dalam diskusi argumentatif. Lebih dari itu, saya menambahkan unsur diskursus yang berkecenderungan tekhnis-rasional, disempurnakan konsep dialog (konsep Prof. Martin Buber) sebagai komunikasi eksistensial yang hanya dimiliki manusia sebagai bentuk keistimewaan.
Sebagai langkah introduksi, saya kutip juga semangat Prof. Seyyed Hossein Nasr dari kebajikan Arab, “Ma la yudraku kullu, la yutraku kullu”, atau “What cannot be accepted in wholly, cannot be denied in wholly”. Kebajikan dari Arab ini senantiasa dikutip Prof. William Montgomery Watt, seorang sarjana Skotlandia (1909-2006) yang diterima cendikiawan Muslim karena fasih dan mendalami bahasa dan budaya Arab, ketika menjelaskan nilai-nilai dunia Arab dan Islam kepada Eropa.
Disadari bahwa diskursus ini memulai dari sebuah puncak-gunung es, maka tulisan ringkas, umum dan normatif ini betapa pun diharap memberi konteks dan jawaban implisit terhadap sejumlah poin (pembaca/penanggap), kiranya ini awal sebuah harapan akan komunikasi, tidak sekedar argumentatif, tetapi mengandung makna eksistensial untuk kehidupan seperti dimaksudkan Prof. Nasr, Habermas, ataupun Buber dalam artinya yang relatif utuh.
Apresiasi dan Komentarnya
Di tempat pertama, saya memberi apresiasi tinggi pada kesediaan Prof. Yusril untuk “keluar menjumpai” saya dalam makna eksistensialnya. Apresiai pertama ini, berarti sederhana, bahwa dalam periode dan waktu tertentu, terutama ketika dialog dengan Bung YIM amat dibutuhkan dibutuhkan, sejumlah kami tampak bertepuk sebelah tangan dan tidak memiliki akses menjumpai Bung YIM.
Dalam konteks ini, Bung YIM pernah menjadi bagian dari kekuasaan, bahkan hingga rejim SBY, sejumlah hal perlu didiskusikan terbuka. Tetapi, kesempatan itu tampak mustahil. Setidaknya, sebagai mantan Mensesneg dan Menkeh-HAM di bawah Presiden berbeda (terimakasih untuk koreksi tekhnis periode jabatannya), kita ingin mengetahui langsung sejumlah kasus kontroversial terkait penerapan hukum dalam tindak pidana Korupsi, HAM atau gabungan keduanya.
Kedua, mengapresiasi pula koreksi atas kesalahan massal penyebutan Korupsi sebagai “extraordinary crime”, yang dilakukan dari pihak saya hingga penegak hukum negara, baik kepolisian hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Memang benar adanya, bahwa dokumen UNCAC (United Nations Convention against Corruption) maupun UNTOC (United Nations Convention Against Transnational Organized Crime) tidak menyebutkan Korupsi sebagai “extraordinary crime”. Extraordinary crime sejauh ini hanya digunakan pada kejahatan melawan kemanusiaan, misalnya genocida. Distorsi penyebutan “korupsi sebagai extraordinary crime” hanya ada dalam literatur Indonesia.
Betapa pun demikian, keprihatinan dunia internasional atas pelik dan kompleksnya kasus korupsi dan penanganannya di negara-negara berkembang, seperti diungkap Robert B. Seidman dalam pelbagai kesempatan (dalam Why Do People Obey the Law – The Case of Corruption in Developing Countries) misalnya, penegakkan hukum atas pidana korupsi tidak dipinggirkan hanya karena tidak ada sebutan “extraordinary crime”.
Upaya luarbiasa untuk pemberantasan korupsi adalah semangat normatif, absolut ada. Remisi adalah kasuistik, maka terbuka terhadap debat kasuistik, seperti disebut Bung YIM tentang sejumlah politisi terkait BLBI dan Miranda Goeltom. Atau, bahwa korupsi dapat dijadikan cara lain kriminalisasi pribadi pejabat amat mungkin, setengah atau seluruh kasusnya.
Antasari Azhar, Denny Indrayana dan Debat Publik
Konteks diskursus atau debat publik negeri ini terhadap korupsi dan pelanggaran HAM memang bagian luas dan dalam puncak-puncak lain gunung es. Salah satu dan terutama yang mendatangkan putus-asa masyarakat adalah pelemahan KPK yang telah diwaspadai tokoh lintas agama sejak adanya dugaan kriminalisasi terhadap Antasari Azhar dimulai. Sejumlah bentuk lain pelemahan KPK, oleh orang atau lembaga lain menjadi begitu sensitif, suka atau tidak suka, dihubungkan dengan tema pelemahan KPK. Karena itulah, amat mungkin secara normatif, bahkan terhadap tema kasuistik Remisi narapidana koruptor yang debatable, menjadi tampak seolah bagian penyerangan langsung.
Dalam catatan saya, sosok Wamen Denny Indrayana, yang sebelumnya Stafsus Presiden Bidang Hukum, dalam pendapat saya amat krusial. Sebelum menjadi Stafsus Presiden, saya mengapresiasi integritas ilmiahnya. Tetapi khusus dan terutama ketika mendapat jabatan sedemikian, justeru begitu indikasi pelemahan KPK disorot. Saya harap tampak tidak menjadi juru bicara ketika Menkumham dan Wamen, Amir Syamsudin dan Denny melontarkan isu moratorium atau pengetatatan remisi. Karena, secara normatif dan faktual, narapidana koruptor dalam masalah hukuman, jauh lebih ringan puluhan kali dengan seorang maling ayam. Itu konteks saya.
Tapi, jujur dan tulus secara pribadi ingin saya katakan, bahwa saya menilai Wamen Denny baik, dari bahasa dan tutur kata di ruang privat, ketika berbicara dengan isteri Gayus Tambunan lewat telpon dari Tanah Suci. Peristiwa penyadapan pembicaraan Denny dan isteri Gayus justeru menjadi titik saya percaya kepada Denny. Tidak lebih tidak kurang.
Keprihatinan penegakan hukum dalam pidana Korupsi dan HAM lengkap dalam diri Antasari Azhar dan kekuasaan di mana Wamen Denny Indrayana (sebelumnya Stafsus Presiden Bidang Hukum) di mana peran atau ‘ketak-berdayaan’ Denny Indrayana terhadap kekuasaan berlangsung. Amat mungkin benar secara politis pernyataan Prof. Yusril bahwa isu moratorium atau pengetatan Remisi sekedar perbaikan citra. Itu hak berpendapat.
Sementara, pada hemat saya, untuk isu remisi, setidaknya dapat merupakan sebuah upaya membangun rasa keadilan masyarakat terhadap kesetiaan lebih nyata membangun percepatan masyarakat adil, makmur, demokratis dengan pembasmian tindakan dan upaya koruptif. Dalam dugaan pengkriminalan mantan Ketua KPK Antasari, terdapat pembenaran penghancuran upaya penegakkan hukum atas praktek koruptif, maupun kejahatan melawan kemanusiaan sebagai bentuk”extraordinary crime”.
Karena, Antasari dilanggar hak-hak dasariahnya dengan dugaan rekayasa hukum, bahkan dengan kematian Nazarudin Zulkarnaen sebagai tumbal. Dalam kasus Antasari, pembelaan atau mengkritisi kasusnya, adalah bentuk pertaruhan kredibilitas hingga resiko-resiko lebih besar. Tetapi sejumlah orang, termasuk saya, telah menyadari segala resiko itu ketika berdiri mengahadapinya. Seperti seorang Soekarno kecil menghadapi penjajahan tengik penjajah Belanda.
Penutup (Sementara)
Saat upaya keadilan hukum diperjuangkan bagi Tibo Cs, saya dapat dipandang berada dalam seputaran kekuasaan, karena Ketua Umum Partai PIB DR. Sjahrir menjadi Anggota Wantimpres Presiden SBY periode pertama, sementara saya mejadi salah satu Ketua Ex-Officio Partai hingga tanggal 22 September 2006. Bung YIM masih menjabat Mensesneg.
Bukan karena inkonsistensi, apalagi faktor lain seperti dikomentarkan sejumlah komentator di blog Bung YIM dalam Blog. Kalau saya membela Antasari, Tibo Cs, Prita Mulyasari, hingga pernyataan keprihatinan atas perlakuan masyarakat internasional terhadap Moamer Khadaffi atau Gadafi saat menjelang terbunuhnya, semuanya itu untuk satu alasan: penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan universal. Dalam prinsip itu, ungkapan Romawi yang jadi prinsip saya berbunyi, “Quomque semper linea recta stat”, apa pun yang terjadi, senantiasa berdiri di garis lurus. Primordialisme suku, keyakinan ataupun ras haram di halaman rumah konstitusi pribadi saya.
Bahwa, sikap kritis itu hanya sejauh seseorang, termasuk Bung YIM sedang dalam posisi sebagai pejabat Publik atau membahas kepentingan publik. Terjemahan keliru “Argumentum ad Hominem” dalam teks atau traktat Logika sumber Indonesia dapat menimbulkan salah paham. Sebagai salah satu “potensi” kesesatan, “Argumentum ad Hominem” hanya digunakan sebagai bentuk kritik terakhir, yang biasanya digunakan misalnya, Si A mengatakan, “Tidak ada satu manusia pun yang berkata benar”. Argumentum ad Hominem di sini hanya sebatas, bahwa perkataan Si A patut dianggap tidak benar pula. Tetapi, dalam pengertian lebih luas, argumen dengan menyerang pribadi, adalah sesuatu yang salah, dan saya tidak dalam posisi itu. Saya dengan rendah hati meminta maaf, kalau ada kesan atau kalimat yang memberi kesan itu.
Kalau dosen senior Filsafat Hukum di Universitas Sam Ratulangi dan STF-Seminari Pineleng, Manado, Prof. Jan van Paassen polos mengatakan bahwa “SBY dengan tulus melakukan kekeliruan (eksekusi terhadap Tibo Cs)”, saya berbeda pendapat, dan menyatakan sebaliknya. Yah, seperti Bung YIM dapat berbeda pendapat dengan Prof. Harun Al-Rasyid.
Dalam pandangan saya, Antasari Ashar dan Tibo Cs adalah sama direkayasa, dan hanyalah sedikit orang dari wajah kelam penegakkan hukum kita. Begitu banyak orang lain yang menjadi korban penegakkan hukum hasil rekayasa. Karena itu, atas nama kemanusiaan dan kemuliaan martabat manusia, dengan senang hati saya merasa terhormat kalau berdiskursus dengan Bung YIM, dalam argumen untuk mencerahkan masyarakat.
Akhirnya, saya juga mengambil tanggung-jawab redaksional media, sejauh itu semuanya berasal dari saya. Terkadang ada pengeditan di Kabar Indonesia. Kompasiana menerima utuh hingga titik koma. Namun, saya mengapresiasi kerja-sama saya dengan kedua media-maya, jurnalisme warga itu. Independensi, integritas dan kemandirian berpikir telah menjadikan saya seorang out-cast atau out-sider di semua bentuk kemapanan ideologi, duniawi maupun spiritual. Saya diutus nurani kemanusiaan, dan mengambil tanggung-jawab pribadi atas semua keputusan, juga tulisan saya.
Saya juga berupaya percaya, bahwa upaya remisi per kasus terhadap isu korupsi, sebatas hak narapidana atas kemanusiaan universal. Ketulusan menghalalkan kita dari kekeliruan rasional.Teriring salam hormat, Prof. YIM.
KELIHATANNYA SI BERTHY INI SDH MENYADARI KALAU TULISANNYA BENAR-BENAR NGAWUR, CUMA DIA PAKAI JURUS NGELES KEMANA-MANA AGAR DIA TIDAK DI NILAI SEBAGAI ORANG BODOH.
ya akhirnya si Berthy mengakui kesilafannya, dan ternyata setelah dia membaca tanggapan bang YIM dia sangat salut, angkat topi, dan hormat sekali kepada bang YIM, walaupun tanggapan si Berty ini cukup menggunakan gaya bahasa akademik dan tampak terlihat elegan, tapi bagi saya si Berthy tetap harus banyak belajar lagi dari bang YIM, dan saya lihat pendapat-pendapat Berthy ini lebih mumpuni daripada ocehan Deni indrayana.
Betul tuh Mad!!!tau aja loe…
hehehe…
Asyik baca artikel Bang Yusril .. menambah wawasan saya tentang dunia hukum .. Thanks Bang
Ternyata Prof.Yusril juga orang Bugis, hehehe …:)
mantab bang kami dukung abang,,,termasuk gugatan pilkada babel yg penuh dgn kecurangan.terimakasih
Menurut saya seharusnya Prof. YIM tidak usah tanggapi…”GA KELAS” kata orang betawi….biarin aja dia ngoceh…semua orang tau siapa Prof. YIM….kalau mau pun cukup singkat aja :” rasanya anda masih harus belajar banyak…!!”…. kalau ditanggapi panjang, dia merasa dapat “angin”…. justru itu yang dia inginkan…..dia pake tehnik Sun Zu……..pengen tenar bisa “membuat gerah professor”…..dan …. berhasil!!!