SEKITAR PERGANTIAN JAKSA AGUNG
Terlepas dari persoalan hukum yang terkait dengan legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, Presiden telah mengambil inisiatif untuk “mengganti” Hendarman Supandji dengan pejabat yang baru. Sesuai ketentuan UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang menjalankan tugas negara melakukan penuntutan perkara pidana dan tugas-tugas lain yang diberikan undang-undang. Kejaksaan Agung bukanlah lembaga negara dan bukan pula lembaga hukum tatanegara, melainkan lembaga pemerintahan sehingga lembaga ini dikategorikan sebagai lembaga hukum administrasi negara. Tidak satu katapun UUD 1945 menyebutkan kata “kejaksaan” atau “kejaksaan agung” di dalamnya. Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 hanya menyebutkan keberadaan badan-badan lain yang terkait dengan kekuasaan kehakiman yang harus diatur dengan undang-undang. Dalam perspektif hukum tatanegara dan hukum administrasi negara, badan-badan lain itu termasuklah lembaga kejaksaan.
Oleh ketentuan Pasal 19 UU No 16 Tahun 2004, Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pengangkatan ini sepenuhnya kewenangan Presiden yang tidak dapat dicampur-tangani oleh lembaga lain, sehingga pengangkatan itu disebut sebagai hak dan kewenangan prerogatif Presiden. Ini berbeda dengan pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri, yang harus dilakukan Presiden dengan pertimbangan DPR. Untuk Jaksa Agung, pertimbangan DPR itu samasekali tidak diperlukan. Dari pemberitaan media massa dan sumber-sumber yang dekat dengan Presiden, kita mengetahui bahwa “pergantian” Hendarman Supandji akan dilakukan dalam waktu secepatnya. Mungkin awal bulan Oktober yang akan datang ini. Beberapa tokoh yang diojagokan, baik dijagokan Hendarman sendiri, maupun kekuatan-kekuatan politik dan kelompok kepentingan, telah mengemuka. Semuanya kita serahkan kepada Presiden.
Saya sendiri, sejak dari awal, baik sebagai akademisi maupun sebagi orang dalam pemerintahan di masa lalu, selalu berkeinginan agar kita memiliki lembaga Kejaksaan, mulai dari Kejaksaan Agung sampai pada jajarannya yang terendah di sebuah kecamatan, menjadi sebuah lembaga yang kuat. Kuat dalam makna struktur organisasi, manajemen dan keuangan, termasuk pula kuat dari segi personilnya. Saya adalah bagian dari sejarah bangsa ini, khususnya sejarah pembangunan institusi-intitusi kenegaraan dan pemerintahan, yang tetap tegar menginginkan kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga yang menjalankan tugas negara di bidang penuntutan. Sebab itulah, ketika saya berkewajiban membawa RUU tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, saya berpendirian bahwa keberadaan lembaga ini hanyalah sementara sifatnya. Ada Ketetapan MPR yang ketika itu memerintahkan Presiden membentuk KPK. Saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM berkewajiban menyusun RUU Pembentukan KPK itu, dan saya pula yang mewakili Presiden membahas RUU itu sampai selesai dengan DPR di tahun 2002. Saya juga tidak begitu bahagia dengan keberadaan lembaga-lembaga ad hoc, dalam bentuk komisi-komisi yang membuat kinerja pemerintah menjadi tidak efisien, sehingga saya berpendapat bagian terbesar dari komisi-komisi itu hanyalah sementara saja. KPK lahir di era Reformasi karena ketidakpercayaan publik yang meluas atas kinerja polisi dan jaksa. Karena itu, saya berpendapat bahwa lembaga kejaksaan dan kepolisian harus diperkuat, dan didukung anggaran yang cukup. Keberadaan KPK yang luar biasa itu, ketika itu saya ibaratkan dengan keberadaan Kopkamtib di era Orde Baru. Kalau keadaan telah normal dan membaik, maka keberadaannya diakhiri. Ini tentu sejalan dengan menguatnya lembaga kepolisian dan kejaksaan. Saya berbahagia karena saya juga yang mewakili Presiden membahas RUU Kepolisian dan Kejaksaan dengan DPR hingga selesai. Ada banyak konstribusi yang saya sumbangkan dalam membangun lembaga kepolisian dan kejaksaan, walaupun saya sendiri sering melupakannya.
Walaupun saya bukan ahli hukum pidana dan hukum acara pidana, namun saya pendukung prinsip yang dianut KUHAP bahwa polisi adalah penyidik tunggal. Lembaga yang menyidik dan lembaga yang menuntut tidak boleh sama demi menjaga obyektifitas dan kehati-hatian dalam bekerja. Walaupun polisi dan jaksa berwenang menagkap dan menahan seorang tersangka, mereka yang mengurusi tahanan juga harus lembaga yang terpisah, yakni Kementerian Hukum dan HAM melalui Direktorat Jendral Pemasyarakatan. Karena itu, kewenangan kejaksaan sebagai penyidik dalam berbagai undang-undang, prinsipnya adalah sesuatu yang sementara dan tidak perlu dilanggengkan. Prinsipnya adalah, orang yang menangkap tidak boleh mengurusi mereka yang ditangkap. Jadi kalau polisi menangkap seseorang dan menahannya, maka yang mengurusi tahanan itu ialah Ditjen Pemasyarakatan. Kalau polisi yang menyidik, maka polisi tidak boleh menuntut. Kewenangan menuntut ada pada jaksa. Dengan demikian adalah semacam “check and balances” dalam penangangan perkara pidana, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan jabatan.
Saya akan terus bekerja baik sebagai akademisi, sebagai warganegara, atau sebagai apa saja, untuk membenahi hukum dan lembaga-lembaga hukum di negara ini. Hukum harus ditegakkan dengan adil dan obyektif dengan dilandasi oleh kebijaksanaan yang dalam. Tidak bisa hukum ditegakkan karena ada target tertentu kepada individu-individu tertentu, yang menyebabkan karakter seseorang terbunuh. Sebab alangkah mudahnya menjerumuskan seseorang ke lembah kehinaan, dengan dalih hukum, kalau kewenangan yang dimiliki tidak dikontrol dalam sebuah mekanisme dan sistem yang kuat. Kekuasaan, harta dan kesempatan seringkali membuat orang lupa. Kelemahan manusia itu harus diimbangi dengan adanya sebuah sistem dan mekanisme kontrol yang kuat, sehingga niat buruk yang selalu ada karena kelemahan manusia, dapat dicegah agar hukum dapat ditegakkan dengan adil dan obyektif.
Karena itu, meskipun sekarang ini memang ada ketegangan antara saya dengan Hendarman Supandji, bahkan dengan Mensesneg Sudi Silalahi yang secara langsung maupun tidak langsung dengan Presiden SBY sehubungan dengan legal atau tidak legalnya Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung, hal itu bukanlah persoalan institusi, seperti anggapan saya memusuhi lembaga kejaksaan. Hal itu jauh dari kebenaran. Saya ingin melihat bahwa segala lembaga, segala jabatan yang diemban seseorang haruslah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Saya tidak pernah memusuhi orang, walau barangkali alangkah banyaknya orang yang memusuhi saya. Apa yang saya musuhi adalah kesalahan dan juga perilaku orang yang salah. Kalau kesalahan telah diperbaiki, dan perilaku salah yang ada pada seseorang telah dipernaiki, maka tak ada alasan apapun bagi saya untuk menyerang orang lain. Allah Maha Pemaaf, maka sayapun harus ikhlas memaafkan antara sesama. Dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan politik, saya bukanlah orang yang suka mencari musuh. Seribu teman terasa masih kurang. Satu musuh terasa sudah terlalu banyak. Itulah prinsip saya.
Siapapun yang nanti menjadi Jaksa Agung “pengganti” Hendarman, saya sambut baik. Saya ingin membantu siapapun yang menjadi Jaksa Agung untuk memperkuat lembaga ini dalam menjalankan tugas. Apa yang harus dilakukan adalah membenahi sistem, meningkatkan kemampuan personil dan melakukan pengawasan yang efektif agar kejaksaan terjauh dari berbagai kepentingan baik politik, bisnis dan kepentingan-kepentingan lain, yang sering membuat lembaga ini begitu buruk citranya di mata publik. Pekerjaan ini memang tidak mudah. Namun harus dimulai. Insya Allah.
Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=381
sejauh masih ada unsur kepentingan segelintir orang atau kelompok dalam penentuan kepemimpinan lembaga judikatif tersebut, sejauh itu pula keberadaan dari lembaga judikatif tidak akan pernah kuat. sekalipun pengangkatan Jaksa Agung merupakan kewenangan (hak prerogatif) Presiden, bukanlah jaminan pengangkatan itu akan jauh dari kepentingan politik. bisikan2 terutama dari bisikan koalisi parpol pendukung pemerintahan akan sangat mendominan pemikiran sang pemilik hak. bagi kami selaku rakyat tentu menginginkan yg terbaik, tapi yg terbaik itu tidaklah mudah. mungkin dari pengalaman2 yg telah lalu, barangkali pengangkatan seorang jaksa Agung akan lebih baik dari kalangan jaksa karir, paling tidak ini akan mengurangi sedikit dengan kepentingan politik.
Ketika saya dan Jaksa Agung Muhammad Abdul Rachman mewakili Presiden membahas RUU Kejaksaan dengan DPR tahun 2004, dalam RUU yang saya bawa dengan tegas dinyatakan bahwa posisi Jaksa Agung adalah jabatan tertutup dari kalangan luar. Calon Jaksa Agung diambil dari Wakil Jaksa Agung, para Jaksa Agung Muda dan pejabat yang setingkat dengan itu. Lama usulan ini diperdebatkan di DPR, sampai akhirnya kami mengalah, Jaksa Agung adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan Presiden tanpa kreteria jabatan tertutup atau terbuka. Akhirnya inilah kesepakatan sebagaimana tertuang dalam UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang berlaku sekarang. (YIM)
Ide jaksa agung dari kalangan internal secara teoritis memang bagus baik sebagai puncak karier bagi para jaksa maupun sebagai bagian dari pernghormatan pada lembaga, namun jika melihat track record kasus-kasus seperti kasus Cicak-Buaya, Gayus dan kasus Artalyta Suryani, terus terang saya pesimis karena kasus tersebut melibatkan beberapa sosok nama yang termasuk orang-orang penting di Kejaksaan.
Kalau sanksinya hanya sekedar teguran atau penurunan pangkat, dimana efek jeranya.
Untuk saat ini, saya jauh lebih mendukung Bambang Widjojanto atau Busyro M sebagai Jaksa Agung.
assalamualaikum w.w. Kejaksaan pada masa pemerintah perdana menteri M. Natsir yg perlu dicontoh. Memilih jaksa agung yg berani dan bersih bisa dilakukan asal yg memilih juga berani dan bersih. Tapi kalo sebaliknya adalah mustahil. Org seperti prof yusril inilah yg seharusnya dirangkul, bukan malah dipukul dgn palu hukum. Akibatnya bagai menepuk air didulang muka sendiri yg kecipratan, sehingga tampak kotorannya. Namun kita berharap indonesia kedepan benar benar dipimpin oleh orang yg berani dan bersih. Maju terus bos pantang menyerah. Wassalam.
Pergantian jaksa agung & kapolri adalah wajar, karena mereka tdk bisa mengatasi masala2 besar di nagara ini, malah hanya bisa melindungi koleganya sehingga terhindar dari jeratan hukum.