|

KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)

Apa yang diobrolkan orang di tepi pantai itu adalah segala macam peristiwa, dari dunia sampai akhirat. Mulai dari cerita lucu-lucu, cerita hantu-hantu sampai ngobrol masalah politik. Konfrontasi RI-Malaysia ketika itu menjadi isyu yang hangat. Kebanyakan nelayan-nelayan itu, termasuk Pak Yakub, adik kakek saya, nampak kurang setuju. Mengapa kita perang sesama Melayu kata mereka. Ada pula pembicaraan tentang Jawa non Jawa. Mulai pecahnya konfrontasi menyebabkan orang Belitung kurang merasa senang. Di Bukit Samak ketika itu ditempatkan sepasukan tentara dari Kodam Dipongeoro dan Kodam Siliwangi. Sebagian tentara-tentara itu kadang-kadang datang untuk ngobrol di pantai. Mereka berbicara Bahasa Indonesia logat Jawa dan Sunda yang sangat kental, sehingga terasa asing di telinga kami. Perasaan kurang suka dengan tentara-tentara itu, juga disebabkan mereka nampak seperti mencurigai orang kampung sebagai berpihak kepada Malaysia.
Di balik bukit Samak, ketika itu dijadikan daerah terlarang untuk dimasuki. Kawasan itu dijaga siang-malam oleh prajurit bersenjata lengkap. Para nelayan dan tengkulak ikan yang ngobrol di pondokan tepi pantai itu mengatakan bahwa tentara memasang radar dan meriam penangkis serangan udara di kawan semak-semak itu. Mungkin yang mereka maksud itu sekarang ini yang dinamakan rudal darat ke udara. Kampung kita, kata mereka, dijadikan basis pertahanan untuk menghadang Angkatan Udara Inggris, jika mereka akan menyerang Jakarta dari Singapura. Dari obrolan itu, saya juga mendengar bahwa banyak pesawat tempur RI ditempatkan di lapangan terbang militer di dalam hutan, yang terletak di Kampung Sungai Padang. Letak Kampung Sungai Padang, agak jauh dari Manggar. Mungkin sekitar 100 km. Saya sudah lama mendengar bahwa Kampung Sungai Padang dijadikan basis Angkatan Udara, tetapi saya belum pernah pergi ke sana.

Kami memang sering menonton pesawat-pesawat tempur yang disebut pesawat MIG yang terbang menggelegar sambil memancarkan gas di udara. Mereka terbang berombongan dan rendah sekali, sehingga nampak oleh mata kepala. Dari banyaknya tentara yang sering datang ke Pantai Pengempangan itu, saya dapat membedakan seragam Angkatan Darat dan seragam Angkatan Udara. Angkatan Udara itu memakai baju biru. Topinya juga beda dengan Angkatan Darat. Mereka mengendarai jeep buatan Rusia berwarna biru. Di dalam jeep itu ada senapan mesin yang panjang, lengkap dengan pelurunya. Angkatan Udara itu sering-sering menembak kelapa, yang membuat kakek saya merasa kurang senang dengan kelakuan mereka. Kata kakek saya, kalau peluru itu mengenai umbut kelapa, maka pohon kelapa itu akan mati. Kalau menembak buahnya saja tidak apa-apa.

Suatu hari para nelayan dan tengkulak ikan itu bercerita tentang nasib Tukang Dakocan yang sering keluar masuk kampung menjual manisan kembang gula. Orang kampung menyebut dua penjual gembang gula itu dengan istilah demikian, karena mereka IMG_0014menggunakan cetakan terbuat dari tanah liat yang dalamnya diisi adonan gula berwara-warni. Adonan itu kemudian ditiup dan membentuk gambar boneka yang kami sebut Dakocan itu. Anak-anak senang sekali dengan tukang dakocan itu karena dia dapat mencetak boneka kembang gula berbagai bentuk dan berwarna-warna. Harganya pun murah saja, walau saya sendiri tak mampu membeli dakocan itu. Suatu hari tukang dakocan itu menghilang entah kemana, sehingga anak-anak menunggu kedatangannya untuk membeli dakocan. Dari obrolan nelayan dan tengkulak ikan itu saya mengetahui bahwa tukang dakocan itu telah ditangkap tentara. Meraka berdua, katanya adalah mata-mata Malaysia yang menyusup ke kampung kami dan menyamar menjadi tukang dakocan. Ketika ditangkap, dalam kotak kayu tempat menyimpan peralatan membuat kembang gula itu ditemukan peta-peta yang menunjukkan posisi instalasi militer RI di kampung kami.

Selesai orang-orang itu mengobrol, saya bertanya kepada Pak Yakub, apa yang dimaksud dengan mata-mata. Pak Yakub menerangkan bahwa mata-mata itu adalah tentara musuh yang tugasnya mengintip kekuatan tentara lawan. Kalau tukang dakocan itu melapor kepihak Malaysia, maka tentara Inggris dengan mudah menghancurkan persenjataan tentara kita. Saya baru mengerti setelah mendengar penjelasan Pak Yakub. Seumur hidup baru sekali itu saja saya mendengar istilah mata-mata. Saya bertanya kepada Pak Yakub, di mana sekarang tukang dakocan itu berada. Beliau mengatakan, setelah ditangkap, mereka dibawa ke Tanjung Pandan. Pak Yakub sendiri tidak tahu nasib tukang dakocan itu selanjutnya. Suasana di kampung terasa kurang menyenangkan di zaman konfrontasi itu.

Selain isyu banyaknya mata-mata yang menyusup, ada lagi isyu meresahkan tentang Penebok yang menakutkan anak-anak. Penebok konon spesialis memotong leher orang untuk membangun instalasi listrik dan jembatan. Saya tidak dapat memahami apa hubungannya kepala orang dengan instalasi listrik. Saya bertanya kepada banyak orang, termasuk kepada ibu saya, tak seorangpun dapat menjelaskan. Dari berbagai cerita, sudah beberapa mayat ditemukan di tempat sepi tanpa kepala. Konon kepala mereka telah diambil oleh Penebok tadi. Benar tidaknya cerita itu, saya tak dapat memastikannya. Namun isyu tentang Penebok dapat muncul sewaktu-waktu. Entah siapa yang membuat isyu itu, namun sebagian besar rakyat percaya. Karena saya tak percaya, saya tak perduli dengan isyu Penebok itu. Saya tenang-tenang saja berjalan dari Kampung Sekep ke Pantai Pengempangan, kadang-kadang seorang diri. Tak pernah saya bertemu dengan Penebok, kecuali bertemu buaya yang sedang berenang di Kulong di Kampung Bakau.Kita kembali lagi ke kisah Pantai Pengempangan, orang-orang yang sering ngobrol dan suasana pondokan di tepi pantai itu.

Kakek saya, Haji Zainal bin Haji Ahmad, yang sudah sangat sepuh, sesekali datang juga ke pondokan itu, kalau beliau sedang berada di kebun kelapanya di Pantai Pengempangan itu. Usia kakek saya ketika itu hampir seratus tahun, namun beliau masih kuat berjalan ke kebun kelapa, atau menanggok ikan di sero. Kalau kakek saya datang, orang-orang yang duduk-duk itu tidak berani ngomong tidak karuan. Mereka sangat segan dengan kakek saya itu. Orang-orang segera menyalami sambil mencium tangannya kalau beliau datang ke pondokan itu. Kakek saya itu, walaupun pergi ke kebun kelapa, selalu mengenakan sorban. Bicaranya pelan namun penuh wibawa. Anak-anak kecil di tepi pantai itu merasa takut dengan beliau. Kakek saya selalu menasehati nelayan-nelayan itu agar jangan lupa pengerjakan sembahyang lima waktu. Kalau hari Jum’at, kata beliau, sebaiknya jangan melaut agar dapat pergi ke mesjid menunaikan sembahyang Jum’at. Namun sepanjang penglihatan saya, tak banyak nelayan pergi ke mesjid sembahyang Jum’at. Salah seorang dari mereka yang taat ialah Ambo Saka, beliau seorang nelayan Bugis yang sudah agak lanjut usianya.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Cetak artikel Cetak artikel

Short URL: https://yusril.ihzamahendra.com/?p=76

Posted by on Jan 5 2008. Filed under Personal. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

52 Comments for “KENANG-KENANGAN DI MASA KECIL (BAGIAN VI)”

  1. Kiranya singkat saja apa yang aku tunggu-tunggu untuk penyegaran blog yang anda tulis. sekali lagi saya sal;ut dengan kesibukan yang ada anda masih bisa menulis blog dengan kualitas yang tidak diragukan. akhirnya, aku hanya bisa ucapkan terimakasih, wassalam.

  2. Pemandangan di bawah laut, dengan kedalaman kira-kira tiga-empat meter itu sungguh mengagumkan.

Leave a Reply